Jika ada dua kata yang mendadak familiar dan populer tahun ini bagi saya adalah: Corona dan Masker.
Hampir tiap hari kita menyebutkan atau membaca kedua kata tersebut.
Kedua kata ini, bagi saya, mengandung selipan makna: jarak, atau batas. Karena virus Corona, kita menjaga jarak dengan orang lain. Dengan masker, kita membuat batas dengan orang lain, agar tidak tertular virus Corona.
Karena pandemi ini, kita perlu batas dan jarak dengan orang lain, agar aman. Berbeda dengan kondisi normal, orang-orang menggaungkan pendobrakan batas, mengagungkan pembauran dan memangkas jarak.
Yang lucu, sementara saya dan teman-teman sudah saling merindu, dan ingin cepat-cepat kopi darat lagi, ada seorang teman, sebutlah X, yang mengungkapkan demikian: Saya lebih suka masa karantina ini. Saya jadi tak perlu bertemu orang-orang yang (sebenarnya) tak saya sukai. Saya tidak masalah tidak harus bertemu orang lain. Yang tak saya sukai di masa karantina ini adalah tidak bisa ke luar rumah untuk melakukan hobi, seperti ke pusat kebugaran atau kafe.
Kalau dipikir-pikir, di satu sisi, si X ada benarnya juga. Hidup kita memang dipenuhi orang-orang, yang tak semuanya kita sukai, atau menyukai kita, tapi kita tak bisa menghindari mereka. Seperti seorang teman lain, Y, yang rupanya, setelah masa karantina ini, baru menyadari, hidupnya selama ini dihabiskan dengan bergaul bersama orang-orang yang tak terlalu ‘berguna’ bagi hidupnya. Si Y merasa lebih bahagia, karena ternyata tanpa teman-teman pergaulannya itu, hatinya lebih damai.
Masa karantina ini memang masa yang bisa membuat orang lebih banyak mengenali dirinya sendiri. Dalam ‘kesendirian’, orang bisa jadi lebih mengetahui apa yang paling diinginkannya dan apa yang paling perlu baginya. Masa isolasi ini, bagaikan masa pemurnian, menjadi wadah bagi kita untuk menyaring lingkaran orang yang berarti bagi kita, yang paling penting dan yang paling kita kasihi.
Sejak beberapa minggu ini sejak pandemi Covid-19, sudah tak ada lagi acara kumpul-kumpul. Physical distancing. Tempat hiburan sudah ditutup. Pesta pun, ada yang dibubarkan. Bahkan ibadah di tempat ibadah pun resmi dilarang. Semua, demi menghindari penularan virus. Orang yang sakit tak lagi boleh dibesuk, orang yang meninggal pun tak lagi bisa dihadiri.
Lalu, suatu hari, di Jakarta, tiba-tiba saja, di bulan April ini, seorang artis di Jakarta meninggal dunia. Dan, uniknya, semua aturan pembatasan itu seolah tak berlaku. Seolah tak ada aturan physical distancing, ratusan orang lebih, mendatangi jenazah dan berbondong-bondong mengantarkannya hingga ke pemakaman. Tak ada pihak berwajib yang menghalangi atau menahan massa.
Mengapa? Siapa dia, bukan pejabat, bukan rohaniwan terkenal, bukan milyuner, bukan petinggi negara, tetapi mengapa dia begitu istimewa? Sebelumnya juga ada artis yang meninggal dunia, tapi tak boleh dikerumuni banyak orang. Apa yang berbeda dengan orang ini?
Konon, dia tak hanya sekedar artis. Dia juga adalah influencer yang peduli masyarakat dan menjadi penggerak pekerja seni untuk lebih bersumbangsih positif pada negeri ini. Selain suara merdu, otaknya juga cerdas, berjiwa sosial dan berhati tulus.
Bagi saya pribadi, masa muda saya, dipenuhi dengan lagu-lagunya yang penuh arti dan penghayatan. Saya tak mengenalnya secara personal, tapi ada celah dalam hidup saya yang dimasukinya dan dibuatnya lebih indah. Padahal dia tak mengenal saya. Secara tak langsung, dia memberi pengaruh yang baik dalam hidup saya, dan saya berterima kasih atas hal itu, walaupun dia totally stranger dalam hidup saya.
Demikian juga dengan teman saya si X, yang diam-diam sangat berat hati jika harus bertemu dengan kerabatnya, begitu mendengar artis ini meninggal dunia, langsung loncat dan pergi mendatangi rumah duka. Dia juga tak kenal artis ini. Artis ini juga tak mengenalnya. Ini murni hubungan artis dan penggemar. Rupanya Corona pun tak bisa membatasi atau menghalangi rasa ‘kasih’ yang dia miliki bagi orang yang sebenarnya bukan ‘siapa-siapa’nya. Mengapa? Karena, lebih besar dari kadar yang saya punya, bagi si X, artis ini memberi banyak pengaruh positif dalam hidupnya.
Memang agak ironis.
Kita bisa dekat dengan orang lain secara fisik, tapi bisa jadi hati kita tak berada di sana. Bisa saja kita jauh secara fisik, tapi hati kita berada pada orang-orang yang kita pedulikan, dan orang yang sungguh kita kasihi serta mengasihi kita.
Akan tetapi, jika kita cukup bijak, kita tentu boleh kurang setuju dengan sikap si X. Kita tak bisa hidup hanya dengan orang-orang yang kita sukai saja. Ada kalanya, orang-orang yang tidak kita sukai itu justru bersumbangsih positif dalam hidup kita. Mau tak mau, mereka membuat kita lebih baik, atau harus berubah lebih baik. Bukankah kita memang sering terpaksa oleh keadaan? Contohnya, karena terbiasa bergaul dengan tukang gossip, kita jadi ‘terpaksa’ belajar untuk memilih ucapan dan menyimpan rahasia. Hal itu baik, bukan?
Bagaikan emas, mungkin mereka adalah api yang membakar dan menyepuh kita hingga kita memiliki bentuk yang lebih bagus.
Mungkin bukan analogi yang paling tepat, tapi, seperti seorang bayi yang dilemparkan ke kolam renang, dia bisa bertahan dengan belajar terus bergerak agar terapung dalam air, walaupun itu melelahkan dan tak menyenangkan. Demikian juga hidup. Kita harus bisa bertahan dengan kehadiran orang lain, kita sukai atau tidak, memberi sumbangsih dalam pembentukan karakter hidup kita. Manusia menajamkan sesamanya. Kita tak bisa hidup tanpa orang lain.
Terkadang orang hadir dalam hidup kita dengan peran yang berbeda. Tapi kita harus bisa menerimanya, semuanya. Itu mungkin sudah satu paket. Tak bisa kita tawar, jika kita ingin mengalami pertumbuhan.
Orang-orang hadir dalam hidup kita dengan alasan atau tujuan tertentu. Ada orang yang hadir dalam hidup kita untuk menjadi ujian bagi kita, ada untuk menjadi berkat. Percayalah. Semua itu baik untuk kita, eventually.
Memang mudah untuk dikatakan, tak semudah prakteknya.
Hehehe.