Sejak 2 Oktober 1965 sampai tahun-tahun berikut, di hampir semua wilayah Sumatera terjadi gelombang penangkapan dan pembunuhan orang-orang yg dituduh PKI. Umumnya hilang tak berbekas, keluarga mereka hanya bisa menangis dalam bisu.
Tak ada segunduk tanah pun yang bisa didatangi sekadar ziarah melepas rindu. Rindu yang menyimpan dendam namun dipendam selama puluhan tahun. Rindu ayah, ibu, anak, adik, abang, kakak, sanak-saudara. Itu kepedihan yang tak terkatakan..
Tak ada narasi yang mampu mewakilkan. Hanya manusia yang masih kuat memiliki naluri sebagai insan berbudi pekerti dan sensitif atas penderitaan serta kemelut manusia lain yang mampu merasakan dengan cara empati.
Empati…, tak dimiliki tiap jiwa ternyata.
Tetapi, saya harus mengatakan: beruntung dilahirkan dan berasal dari genetika manusia-manusia Samosir. Hanya di wilayah ini dulu yang tak terdengar kisah-kisah kebiadaban pada manusia oleh manusia–yang bahkan saling mengenal dan tak sedikit memiliki hubungan darah.
Sejujurnya pula, kebanggaan saya sebagai orang Samosir, terutama karena kuatnya hubungan perkerabatan dan relasi sosial. Sopan santun yg berasal dari norma-norma adat, membentuk sikap dasar yg menekankan keramahan dan kepatutan. Tradisi tersebut seharusnya tak boleh lekang. Hanya itu kekayaan orang Samosir–selain moleknya panorama.
Samosirlah yang membekali diri saya dalam banyak hal, antara lain, spontan ikut “marlungun” atau berempati atas penderitaan orang lain seperti yang dialami keluarga dan sanak saudara korban gerakan penghilangan ratusan ribu manusia pasca G 30 S dan peristiwa kekejaman lain.
Kembalilah beradab berbudaya, wahai orang-orang Samosir. Hanya itu milik kita yang amat berharga.
***