Category Archives: Renungan

“Dusta di Antara Kita”

“Siapa yang kentut?”

Begitu saya spontan bertanya. Kasus: bau tak sedap. TKP: di dalam mobil. Tersangka: hanya empat orang, yaitu Si Papa, si Kakak, si Adik, dan saya.

“Aku!” jawab si Adik cepat.

Tidak seperti kasus kopi sianida yang bertele-tele, kasus kami ini langsung tuntas tanpa proses hukum.
Seketika mobil kami penuh tawa. Si Kakak lalu mengejek si Adik. Tapi saya memujinya.
“Bagus! Mama bangga akan kejujuran Adik,” puji saya.

Lalu saya pikir, mungkin begitulah hidup ini. Ketika kita mengungkapkan kejujuran, akan ada minimal dua respon. Ada yang menerima dan ada yang mencela. Itulah resikonya.

Padahal, seperti dalam ajaran berbagai agama, kejujuran itu hal yang mutlak. Hukum taurat kesembilan mengatakan: Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu. Entah mengapa, melakukan kejujuran sudah diajari sejak kecil tapi kita sering lupa (?) mengaplikasikannya dalam hidup nyata. Apakah karena terlalu menyakitkan, atau lebih menyulitkan, orang lebih suka mengambil jalan pintas untuk berbohong? Kejujuran memang bukan hal yang mudah. Lebih mudah melakukan kebohongan.

Dalam hal sepele dalam hidup sehari-hari, mungkin tanpa sadar kita adalah pembohong yang produktif dan seringkali kreatif. Kok bisa? Bisa dong. Orang kan suka berbasa-basi, yang biasanya isinya semua ‘kebohongan’ dalam bentuk kreatif. Mau contoh?

‘Masakanmu enak banget, masterchef pun kalah!’

‘Kamu adalah cewek paling cantik di dunia! ‘

‘Loe emang orang paling baik di dunia!‘

Basa-basi boleh saja, asal jangan sampai menjadi kebohongan. Kita bisa memuji orang tapi jangan jadi berlebihan dan bahkan melenceng dari realitas. Ucapan kita jangan jadi pembelokan kenyataan. Tetaplah di dalam rel, fokus pada tujuan kita untuk ucapan itu. Misalnya untuk memuji. Saya pikir, ucapan bercanda lebih baik daripada berbasa-basi, misalnya, daripada berkata: Kumismu lebih menarik daripada aktor Captain America, lebih baik berkata: Saking kumis lo mirip aktor Captain America, gue jadi pengen memelihara kumis juga. Yang penting kan tujuan awal kita adalah memuji (dengan kreatif). Bukan melebih-lebihkan.

Atau, berkata: ‘Kamu terlihat cantik dengan baju merah ini’, lebih baik daripada : Kamu cantik banget kayak Angelina Jolie. (Iya kalau benar mirip Jolie, kalau tidak, bagaimana? Nanti dikira menyindir, kan repot. Hehehe…)

Konon, ada seorang HRD manager di perusahaan tempat saya bekerja dulu, sering memalsukan absensi. Saya pernah masuk list urutan tiga besar karyawan yang paling sering terlambat. Tapi kalau mau jujur, HRD manager itu sama seringnya telat seperti saya, tapi namanya tidak tercantum pada list yang memalukan itu, sebab hal itu bisa ditutupi dengan manis (HRD manager gitu lho, yang pegang absensi.) Tapi toh pada akhirnya dia keluar dari perusahaan dengan tidak hormat. Itu menjadi pelajaran. Kita semua akan menerima upah dari perbuatan masing-masing. Seperti tertulis di kitab suci, apa yang kau tabur akan kau tuai. Orang yang suka berdusta pada akhirnya akan kena batunya sendiri dengan dustanya itu.

Dulu saya ada rekan yang suka karaoke. Kalau mau jujur, suara rekan ini fals, tapi jadinya lucu dan seru, dan kalau ke karaoke ada dia pasti jadi rame. Seorang rekan lain, punya suara bagus sekali. Suatu kali waktu kami karaoke, si suara bagus ini mencela si suara fals dengan jujur. “Suara lo ancur banget sih, X!”
Lalu si X yang memang berwajah bagus, juga menjawab dengan jujur:  “Eh… Mending suara gue ancur daripada loe mukenya yang ancur.” Seketika kami semua tertawa. Ouch! Kejujuran memang terkadang menyakitkan.

Ada sebuah gurauan, tentang pertanyaan paling sulit dijawab dengan jujur, yaitu jika ada wanita yang minta pendapat apakah dirinya gemuk. Dijawab jujur, nanti tersinggung. Dibilang kurus, nanti dikira bohong. Hahahaaa…

Memang tidak mudah hidup dengan kejujuran. Mungkin takkan ada yang bisa melakukannya dengan sempurna. Tapi yang terbaik adalah niat untuk melakukannya, dengan hikmat, pada saat dan tempat yang tepat. Ucapkanlah pada timing yang tepat. Bijaklah, untuk memilah mana yang harus diucapkan, mana yang hanya disimpan saja. Saya sendiri pun masih belajar bijak. Saya menulis artikel ini juga sebagai refleksi untuk diri saya sendiri, sambil mendengarkan lagu milik Broery Marantika, ‘Jangan ada dusta di antara kita’. 🙂

*-*

 

Don’t Judge My Cover?

Don’t judge the book by it’s cover.

Peribahasa ini sering dijadikan dalih oleh kalangan muda jika dikritik mengenai cara mereka berpakaian dalam ruang ibadah. “Yang penting kan, hatinya,” kata mereka. Apakah argumen ini bisa dibenarkan?

Masalah cara berpakaian dalam ibadah adalah salah satu isu yang perlu menjadi perhatian, terutama dalam gereja suku (contohnya HKBP).

Jika dibandingkan dari cara berpakaian, memang terlihat sangat kontras antara jemaat di daerah dengan jemaat di kota besar, terutama pada kalangan mudanya. Contohnya, di kota besar, tak jarang kita lihat pemudi yang memakai pakaian yang terbuka atau minim di dalam ruang ibadah gereja.

Apa masalahnya?

Alkitab mencatat bahwa asal muasal manusia mulai berpakaian adalah ketika mereka jatuh ke dalam dosa (Kejadian 3:7). Sebelumnya disebutkan dalam Kejadian 2:25 bahwa manusia itu dalam keadaan telanjang dan tidak merasa malu. Bahan pakaian pertama yang mereka gunakan adalah daun pohon ara, yang mereka gunakan untuk membuat cawat ketika mereka sadar akan ketelanjangannya.

Pakaian lengkap yang pertama digunakan manusia adalah buatan Tuhan sendiri dari kulit binatang (Kej. 3:21). Ini menunjukkan perlu adanya korban untuk menghasilkan pakaian bagi manusia setelah jatuh ke dalam dosa. Dalam bahasa Ibrani, kata yang digunakan adalah kethon yang berarti selembar kemeja sederhana, yang kemudian berkembang menjadi pakaian rakyat secara umum.

Pakaian kemudian berkembang dari berbagai bahan dan model, tetapi kemudian Tuhan memberikan satu prinsip dalam berpakaian yaitu: Seorang perempuan janganlah memakai pakaian laki-laki dan seorang laki-laki janganlah mengenakan pakaian perempuan, sebab setiap orang yang melakukan hal ini adalah kekejian bagi TUHAN, Allahmu. (Ulangan 22:5).

Jika ditarik lebih umum maka sedari awal Alkitab sudah menentang adanya LGBT (berpakaian saja tidak boleh, apalagi bergaya-gaya transgender).

Di dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus dalam salah satu perumpamaanNya mengkritik cara berpakaian yang tidak pantas (Mat. 22 : 11-12). Seorang yang hadir dalam jamuan raja dan ditemukan tidak berpakaian pesta, akan mendapat hukuman dari sang raja. Memang banyak tafsiran mengenai apa makna pakaian di sini, tetapi dari prinsip umum bisa digambarkan bahwa orang yang tidak berpakaian pesta adalah orang yang tidak menghargai yang empunya pesta tersebut.

Rasul Paulus juga memberikan prinsip dalam berpakaian, yaitu : Berpakaian dengan pantas, sopan dan sederhana (1 Tim. 2:9).

Dari uraian di atas, bisa kita tarik tiga prinsip dalam berpakaian, sebagai berikut:
1. Jangan menggunakan pakaian yang berlawanan jenis (Ul. 22:5)
2. Berpakaian adalah bentuk penghormatan kita kepada orang lain terlebih kepada Tuhan (Mat. 22: 11-12)
3. Berpakaianlah dengan pantas, sopan dan sederhana (1 Tim. 2:9)

Kita memang memiliki kebebasan dalam memilih busana, tapi gunakanlah kebebasan itu sesuai tempatnya dengan bijaksana, sebab kita juga harus mempertanggungjawabkan kebebasan kita.

Martua H. Sianipar
Alumni UI dan UPH/ Kary. Swasta/Majelis HKBP Cinere

Menolong Sesama

Menolong sesama yang membutuhkan itu bukan perkara mudah. Menolong sesama bukanlah sekedar menyodorkan sekeping uang kepada tangan yang terjulur, atau mengangsurkan sebungkus nasi kepada wajah yang menengadah itu. Memang itu semua baik. Sama juga dengan senyum kecil di wajahmu yang meneduhkan hati yang gundah ini.

Akan tetapi menolong sesama bukan perkara sederhana. Ketika rasa nyamanmu sendiri mulai terganggu, rasa amanmu terusik, dan bagian-bagian yang pribadi darimu pun digelitik olehnya. Sesamamu memang membutuhkan sekeping uang dan sebungkus nasi itu (dan tentu saja senyummu yang mengiringi semua itu). Namun mereka akan meminta lagi, dan lebih lagi.

Menolong sesama pun memerlukan pertolongan. Hanya saja, tidak banyak orang yang merasa dipanggil untuk menolongmu menolong sesama. Lebih banyak yang merasa kau harus menolong mereka juga. Lebih banyak lagi tidak mau diganggu, diusik, dan digelitik.

Menolong sesama yang membutuhkan akan terasa melelahkan, atau malah jangan-jangan, menjemukan.

Ah, sudahlah.

Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya, supaya dengan demikian ia berkenan kepada komandannya.

 

Komunitas Tanpa Syarat

dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu. (Kolose 3:11)

Kita hidup di dalam dunia di mana ada begitu banyak syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Dalam hubungan pekerjaan atau bisnis, syarat dan ketentuan memang diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi kekacauan. Akan tetapi masalahnya adalah, syarat dan ketentuan itu pun sudah menjadi bagian dalam hubungan antara manusia. Bahkan pasangan yang akan menikah pun sekarang sudah lazim membuat perjanjian pra-nikah, yang mengatur apa yang akan terjadi seandainya nanti mereka bercerai.

Gereja sebagai komunitas orang percaya, yang dipanggil keluar dari kehidupan yang penuh dosa oleh kasih karunia Allah, harus menghadapi kenyataan ini sebagai sebuah tantangan. Mengapa demikian? Karena banyak orang sekarang ini juga takut atau enggan datang ke gereja karena merasa diri mereka tidak dapat memenuhi ‘syarat dan ketentuan’ yang berlaku untuk dapat diterima di gereja. Apakah syarat dan ketentuan untuk diterima di gereja? Kekudusan, atau banyak lagi yang lain?

Kalau kita membaca Injil, kita akan menemukan bahwa ada banyak kisah tentang orang-orang yang tidak memenuhi ‘syarat dan ketentuan’ yang bahkan ada dalam kitab suci. Lihatlah cerita Saulus. Ketika Ananias, seorang hamba Tuhan di Damsyik, disuruh Tuhan untuk mendoakan dia, Ananias menolak, karena Saulus terkenal sebagai seorang yang memimpin teror terhadap orang Kristen di Yerusalem. Demikian juga Zakheus, seorang kepada pemungut cukai. Di mata orang Yahudi dia sama sekali tidak memenuhi syarat untuk mendapat keselamatan. Akan tetapi, Yesus mengatakan tentang dia: “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang inipun anak Abraham.” (Lukas 19:9). Begitu juga dengan seorang yang kerasukan roh jahat sebanyak legion Romawi. Dia yang begitu ganas sehingga harus dikucilkan di pekuburan di Gerasa. Dia bahkan bukan orang Yahudi. Akan tetapi, Yesus melintasi danau yang dilanda angin topan hanya demi menemui dia. Dan untuk membebaskan dia Yesus membiarkan satu kampung di Gerasa kehilangan mata pencaharian (Markus 5:1-20). Atau Anda mungkin ingat cerita perempuan yang diseret ke depan Yesus karena kedapatan berzinah (Yohanes 4), dan perempuan Samaria yang sudah menikah 5 kali dan hidup bersama dengan laki-laki yang bukan suaminya (Yohanes 8)? Mereka semua tidak layak untuk disambut di gereja? Yesus menyambut mereka dengan hangat.

Gereja adalah tempat di mana kasih Allah nyata. Kasih Allah harus dinyatakan dengan sekuat-kuatnya, sama seperti kuasa dan kebenaran-Nya. Jika orang-orang berdosa tidak dapat lagi datang ke gereja karena terhalang oleh ‘syarat dan ketentuan’ yang dibuat oleh gereja, ke manakah lagi mereka dapat pergi? Padahal Yesus jelas mengatakan: “Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang.” (Luk 19:10).

Gereja harus menjadi tempat di mana tidak ada syarat dan ketentuan yang diajukan. Siapapun boleh datang. Sekelam dan sehancur apapun masa lalunya, dia boleh datang. Sekeji dan sebrengsek apapun dosa-dosanya, dia diterima dengan hangat. Tidak ada pembedaan status sosial, ras, ataupun suku bangsa. Petrus menyatakan hal ini di rumah Kornelius, seorang perwira Italia yang didoakannya, “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.” (Kisah Para Rasul 10:34-35). Siapapun diterima, dan mengalami hidup yang baru di dalam kasih karunia. Haleluya!

 

Foto: Shine Jogja

Indigo dan Karunia

Belakangan ini saya banyak ditanyakan tentang fenomena anak Indigo. Yang dimaksud dengan anak Indigo adalah anak-anak yang mempunyai kemampuan khusus yang tidak bisa dijelaskan dengan nalar. Anak-anak ini memiliki indera yang terbuka terhadap hal-hal supranatural. Mereka bisa melihat, mendengar, merasakan sesuatu yang belum terjadi, atau meramalkan sebuah peristiwa di masa depan dengan tepat.

Bagaimana menjelaskan anak Indigo ini dari perspektif Kristen? Sebagai pendeta di gereja aliran Karismatik Pentakosta, dunia supranatural jelas bukanlah dunia yang asing. Oleh karena itu, saya akan mencoba menjelaskannya melalui perspektif Karismatik Pentakosta yang saya pahami.

Indigo sering dikaitkan dengan karunia. Karunia bagi gereja Karismatik Pentakosta adalah karunia Roh Kudus dan jalan yang dipakai Allah untuk bertindak di dalam kehidupan/lingkup kehidupan manusia secara adikodrati. Peter Wagner merumuskan karunia-karunia sebagai berikut: Dari 1 Korintus 12:8-10: 1. Nubuat; 2. Bahasa roh; 3. Tafsir bahasa roh; 4. Kata-kata hikmat; 5. Kata-kata pengetahuan; 6. Membedakan roh; 7. Kesembuhan; 8. Mukjizat; 9. Iman.

Dari Efesus 4:11 dan Roma 12:7-8: 10. Rasul; 11. Menginjili; 12. Mengajar; 13. Gembala; 14. Melayani; 15. Menasehati; 16. Membagi-bagikan; 17. Kepemimpinan; 18. Kemurahan.

Dari ayat-ayat lain: 19. Pertolongan; 20. Kepengurusan; 21. Hidup lajang; 22. Hidup miskin secara sukarela; 23. Kemartiran; 24. Memberi tumpangan; 25. Misionaris; 26. Doa syafaat; 27. Mengusir setan (Lihat C. Peter Wagner, Pertumbuhan Gereja dan Peranan Roh Kudus, Malang: Gandum Mas, 1992).

Kata “karunia” sendiri datang dari kata bahasa Yunani Kharismata, yang berasal dari kata Kharis, yang berarti gratis. Oleh karena itu, Kharismata hanya diterima. Bahkan untuk menerima saja pun adalah suatu karunia. Dalam kaitan dengan anak Indigo pertanyaannya akan menjadi, siapakah yang bisa menerima kharismata itu? Di dalam lingkup gereja Karismatik Pentakostal, karunia adalah pengalaman supranatural yang bersifat radikal dan di luar kekuatan manusia, sehingga tidak bisa dijelaskan dengan rasio saja tetapi dengan pengalaman secara menyeluruh. Pengalaman ini berkaitan dengan kehidupan iman seseorang, yaitu karunia yang diterima sesudah seseorang menyambut Kristus sebagai juruselamat dan mengalami kepenuhan Roh Kudus, atau pengalaman adikodrati yang menuntun seseorang datang kepada Kristus. Jadi Kharisma atau karunia adalah sesuatu yang supranatural.

Pemahaman di atas tentu sulit untuk menjawab fenomena anak Indigo, karena pada anak Indigo bakat/kemampuan adikodrati itu datang tanpa ada kaitannya dengan pengalaman spiritual Kristiani.

Pemahaman lain tentang karunia adalah pendekatan teologi yang memahami bahwa kharisma atau karunia adalah bakat yang sudah diciptakan, yang bisa dibangkitkan oleh Roh Kudus. Oleh karena itu setiap orang pasti diberi kharisma, namun ada orang yang menolak mengaktifkan karunia yang diberikan kepadanya.

Jadi, bagaimana dengan anak Indigo? Apakah kemampuan adikodrati mereka itu dapat disebut karunia? Kalau mengacu pada pemahaman yang kedua, maka ya, itu adalah karunia. Hanya saja karunia itu diaktifkan sendiri oleh Roh Kudus tanpa campur tangan manusia. Ingat bahwa karunia itu hanya diterima, artinya kepada siapa itu diberikan, itu adalah prerogatif dari Sang Pemberi.

Pertanyaan berikutnya yang timbul adalah, apakah itu tidak membahayakan? Sebagai pengikut Kristus, kita percaya bahwa rancangan Allah bagi anak-anakNya adalah rancangan kebaikan bukan kejahatan (Yeremia 29:11). Jadi pertanyaannya sebenarnya adalah bagaimana karunia yang dimiliki anak Indigo itu menjadi sesuatu yang membangun imannya, dan kemudian pada akhirnya membawa berkat bagi tubuh Kristus. Anak Indigo yang lahir dalam keluarga Kristen harus didorong menanggapi karunia adikodrati ini dengan mendekatkan diri kepada sang Pemberi karunia. Karunia yang dilengkapi dengan pengenalan yang baik akan sang Pemberi karunia, saya percaya, akan mempertajam karunia yang sudah diterima. Bukan itu saja, karunia itu pun dapat dipergunakan dengan lebih maksimal untuk mendatangkan berkat.

Karunia bukan sesuatu yang menakutkan, tetapi harus disyukuri. Anak Indigo adalah karunia bagi keluarga. Gereja pun harus menyambut anak Indigo sebagai bagian dari karunia Allah bagi tubuh Kristus, dan memberikan bimbingan agar karunia itu membawa berkat bagi Tubuh Kristus dan membawa kemuliaan bagi Allah, Sang Pemberi karunia.

Kemudian dari pada itu akan terjadi, bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia, maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat; orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi, teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan. Juga ke atas hamba-hambamu laki-laki dan perempuan akan Kucurahkan Roh-Ku pada hari-hari itu. (Yoel 2:28-29)

Follow me on Twitter: @sammy_ladh

Tentang Rasa Suka

Saya suka novel (dan film) Hunger Games. Ada banyak pesan moral dalam kisah fiksi itu. salah satunya adalah tentang rasa suka.

Haymitch, dalam film Hunger Games, dalam satu cuplikan, memberitahu Katniss, tips untuk bertahan hidup, sambil menunjuk pada Peeta yang sedang mendadahi penonton. “Dia, telah melakukannya.”
Nasihat Haymitch, cara bertahan hidup adalah dengan disukai. Membuat dirimu disukai orang. Dalam pertarungan saling membunuh untuk menjadi satu-satunya peserta yang hidup, hanya peserta yang disukai penontonlah yang akan mendapat bantuan dari sponsor, berupa makanan, obat atau peralatan bantu untuk bertarung, selama mereka berada dalam arena pertarungan yang mematikan.

Rasa suka ini ternyata sungguh berefek besar.

Mungkin teman-teman pernah menonton film kriminal, di mana orang yang dibunuh pertama kali adalah yang paling tidak disukai. Tidak usah jauh-jauh ke film, di dalam sebuah perusahaan juga, biasanya orang yang tak disukai adalah yang disingkirkan terlebih dahulu, bukan?

Lalu saya pikir, mungkin itulah yang dilakukan oleh para penjilat. Para penjilat ini berhasil membuat orang lain merasa disukai dengan jilatan-jilatan maut dan dahsyat mereka, hingga mereka jadi disukai, dan efeknya, para penjilat ini mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka pun sukses bertahan.

Dalam psikologi, mungkin itulah salah satu contoh istilah mirroring.
Kita akan menyukai orang yang cenderung mirip atau punya kesamaan dengan kita. Ada juga kecenderungan kita lebih menyukai orang yang menyukai kita juga. Hubungan yang baik, seperti pertemanan, biasanya dimulai dengan rasa saling menyukai.

Sebaliknya, kita cenderung tidak menyukai orang yang tidak menyukai kita, kan? Karena kita tidak menyukai orang tersebut, itu bisa menimbulkan sikap yang membuat orang tersebut akhirnya tidak menyukai kita. Orang yang tidak suka pada kita juga seringkali bersikap yang membuat kita tidak menyukai orang itu.

Ada sebuah kejadian yang menggelitik saya pada ironi tentang rasa suka.
Pada suatu pertemuan tahunan keluarga besar, di mana setiap orang diberikan waktu untuk mengungkapkan isi hatinya, seorang anggota keluarga besar kami (sebutlah si Z) dengan cara yang sehalus mungkin tapi terdengar sangat gamblang, membandingkan si X dan si Y. Si Y baginya adalah orang yang paling disukainya di keluarga besar kami. Dan dengan sengaja, walaupun tanpa kata-kata yang eksplisit, dia berusaha menunjukkan sejelas-jelasnya bahwa dia tidak suka seseorang (sebutlah si X) dan tidak cocok dengan si X. Sementara si Y, sangat dipuja-pujinya sepanjang penuturan yang bertele-tele dengan bumbu-bumbu kata-kata manis, yang walau terasa beracun buat si X. Tapi si X hanya diam.

Dalam hati saya merasa bahwa si Z sedang berusaha menyindir-sindir si X. Ibarat sebuah ilustrasi gambar kartun, dalam imajinasi saya membayangkan si Z ini tengah menusuk-nusuk si X dengan pedang yang tajam dan berharap si X mati kesakitan, padahal si X malah tergeli-geli tertawa dan tidak mati-mati sambil terus tertawa berguling-guling.

Saya sempat merasa simpati dan kasihan pada si X. Tapi melihat sikapnya yang tenang, saya malah jadi kagum padanya. Dan otomatis runtuhlah respek saya pada si Z. Pada akhirnya, kami semua toh bisa mengerti dan menerima sikap si Z ini, mengingat bahwa si Z ini memang memiliki masa lalu yang kurang indah, hingga sampai saat ini rasa suka tidak suka sangat penting baginya.

Pada akhirnya, ketika giliran si X tiba, dia mengucapkan beberapa kalimat yang lebih diplomatis, walau tidak ditujukan secara khusus untuk membalas si Z.

Kira-kira demikian:

Saya rasa, pada dasarnya tak ada orang yang cocok di dunia ini. Yang ada adalah orang-orang yang berusaha untuk mencocokkan dirinya dengan dengan orang lain, suka atau tidak suka. Salah satu ciri kedewasaan adalah kemampuan menyukai atau minimal menerima apa yang tidak disukai. Orang lain tidak bertanggung jawab atas perasaan kita. Kitalah yang harus mengendalikan perasaan kita. Suka tak suka, kita harus bisa hidup berdampingan dengan orang lain dengan harmonis. Tak seorangpun dari kita dilahirkan untuk menyenangkan hati orang lain. Kita juga tidak berhak memaksa orang lain menyukai kita. Kita diciptakan untuk menyenangkan hati sang Pencipta saja.

Setelah acara itu, bukan hanya saya yang merasa bahwa si Z sudah keterlaluan, dan apakah dia sadar atau tidak sadar, dia seolah tengah memicu perang pada si X. Pada hari raya (Lebaran misalnya), pertemuan tahunan dengan keluarga besar adalah saat untuk menjalin silaturahmi, mengungkapkan apresiasi, saling memaafkan, dan bukan ajang untuk mendiskreditkan orang lain. Dia tak sadar dengan caranya itu dia tengah menumpuk bara api di atas kepalanya sendiri. Dengan mengekspos ketidaksukaannya pada si X, dia telah membuat dirinya tidak disukai orang lain, dianggap kekanakan dan bersikap tidak sesuai dengan usianya.

Lalu saya simpulkan untuk diri sendiri. Sesungguhnya, hidup kita ini, teman, tidak terdiri dari hal-hal yang kita sukai saja. Hidup tak terdiri dari orang-orang yang baik pada kita, suka pada kita, dan kita sukai, saja.

Kita tidak berhak memaksa orang lain untuk menyukai kita dan membuat kita bahagia. Itu bukan tugas orang lain. Tak seorangpun di dunia ini berkewajiban membuat anda bahagia. Kebahagiaan adalah keputusan anda sendiri. Anda tak berhak harus disukai, diterima dan dicintai.

Memang keinginan untuk diterima, disukai dan dihargai adalah kebutuhan dasar manusia. Tapi tak ada hukum yang memaksa orang lain untuk menyukai kita.

Sesungguhnya rasa suka itu sungguh subjektif, Saudara! Menurut psikolog, perasaan itu adalah sebuah bentuk subjektifitas. Kita sendiri kadang bisa bingung mengapa kita bisa menyukai orang lain atau tidak menyukai orang lain, tanpa alasan yang jelas.

Dan seperti si Z, untuk apa kita terus seperti orang yang kehausan akan perhatian dan rasa suka dari orang lain? Apakah kita tidak bisa bertahan hidup dengan menyadari bahwa tidak semua orang menyukai kita? Seolah hanya itu yang menentukan siapa kita. Lihat betapa banyaknya haters para selebriti di samping banyaknya fans mereka. Hidup kita tak selalu ditentukan oleh siapa yang menyukai kita. Kita memang bertugas melakukan hal yang baik dan benar, tapi itu bukan untuk tujuan agar kita disukai, layaknya para penjilat.

Kita hidup bukan untuk menjadi favorit orang lain. Demikian juga orang lain bukan tercipta untuk menjadikan kita orang kesukaan mereka. Hidup ini sungguh tak sepicik urusan suka-menyukai. Memang keadaan akan lebih baik jika kita disukai, tapi jika memang tidak disukai, apakah kita tidak bisa survive?

Kalau kita refleksi, cobalah kita ingat-ingat. Memangnya kita selalu menyukai orang lain? Seperti contoh, tetangga kita? Apakah kita selalu menyukai rekan kerja kita? Saudara ipar atau mertua kita? Atasan atau bawahan kita? Bahkan pacar atau pasangan sendiripun tak selalu cocok dan kita sukai, bukan? Mungkin terkadang kita kesal dan membenci mereka. Tapi kita memutuskan untuk menerima mereka, terlepas dari rasa suka atau tidak. Kita mengambil tindakan logis untuk mengendalikan perasaan kita. Kita mengambil keputusan untuk menjadi dewasa dengan berusaha mengesampingkan sentimen pribadi kita, atau perasaan sesaat kita. Itu adalah keputusan dewasa.

Mungkin hanya anak kecil sajalah yang terus memilah-milah hidup ini berdasarkan apa yang enak dan tidak enak, apa yang manis dan pahit, apa yang disukai dan tak disukai, dan seterusnya. Sebab anak kecil memang cenderung tak bisa mengendalikan perasaannya.

Ada seorang teman, tidak suka naik kopaja. Dia tak suka kenek kopaja yang katanya kadang bau dan kurang sopan, dan kadang tidak mengembalikan uang kembalian dengan pas, ditambah supir kopaja yang suka mengebut dan merokok sembarangan di dalam bus. Tapi dia butuh mereka untuk mengantarkannya pada tujuan, jadi dia kesampingkan perasaan tidak sukanya demi tujuan yang lebih prioritas. (Dan dia juga tak berharap keneknya menyukai dia, hingga dia selalu diberi tempat duduk kosong dan siapa tahu ongkos jadi gratis, hahaha…)

Barangkali kita pernah juga berusaha membuat orang lain menyukai kita, tapi tetap saja, entah dengan alasan apa, orang tetap tak suka pada kita. Tapi itu bukan masalah kita. Itu masalah mereka. Jadi kalau kita tidak berbuat sesuatu yang baik untuk membuat orang lain menyukai kita, mengapa kita berharap orang harus menyukai kita?

Pada akhirnya, disukai atau tidak disukai orang lain, mari nikmati sajalah. Asal jangan kita yang bersikap yang memancing kebencian dari orang lain.

Hidup ini sudah berat, mari dijalani dengan gembira sajalah yaaa…

Jadi, siapa kira-kira yang tidak suka pada anda? ?

 

Almino Situmorang

Biarkanlah Kami

Saya teringat ketika saya beraktivitas bersama teman-teman yang mendampingi komunitas anak jalanan di Jombor. Perempatan Jombor selalu ramai di sore hari, dengan para pengendara yang tidak sabar lagi ingin cepat pulang ke rumah.Sejak kami memulai program kami di sana, perempatan itu menjadi makin ramai lagi dengan anak-anak dan beberapa relawan bertampang mahasiswa yang beraktifitas dengan penuh semangat. Sebenarnya saya tidak terlibat langsung dalam program-program yang langsung turun ke jalan, tapi karena ada seorang Bapak yang mengajukan permintaan kepada kami untuk berkenan mengasuh dan menyekolahkan anaknya lewat program Pengasuhan kami, saya merasa sebaiknya saya yang bertemu langsung dengannya.Ketika kemudian saya melihat mereka bersemangat mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan LSM kami di sana, saya jadi bersemangat lagi untuk lebih sering mendatangi mereka.

Kegiatan yang kami lakukan sendiri sebenarnya tidak terlalu ‘menghebohkan’. Kami cuma mengadakan les calistung (baca tulis hitung) untuk beberapa anak, yang kami antar jemput dari perempatan Jombor untuk belajar di kantor kami, 5 hari dalam seminggu. Lalu kami juga mengajak mereka berkreasi lewat kegiatan menggambar/melukis bersama, seminggu sekali. Ada juga yang membawa kotak berisi buku-buku bacaan, yang kami namai Ko-PER (Kotak Perpustakaan). Dan yang terakhir, yang mungkin sedikit unik adalah kami meminjamkan beberapa kamera analog kepada anak-anak jalanan, untuk mereka pakai mengabadikan aktifitas mereka sehari-hari. Film untuk kamera-kamera itu kami sediakan, dan kami juga akan memproses foto-foto hasil jepretan mereka.

Sore itu saya kembali ke perempatan ramai itu. Betapa senangnya melihat wajah anak-anak yang penuh senyum dan kegembiraan walau dalam segala keterbatasan. Sewaktu saya sedang berbicara dengan Bagas dan Eno, dua bocah berusia 6 tahun yang sangat lucu, tanpa sengaja mata saya tertuju kepada para pengendara yang sedang berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Ada seorang Bapak yang memandang dengan tajam ke arah kami. Dari pakaiannya saya menduga dia mungkin seorang pegawai pemerintah, entah dari instansi mana. Sedikit ge-er karena ada yang memandangi, saya mencoba tersenyum. Akan tetapi Bapak itu malah semakin melotot. Kemarahan terlihat jelas di wajahnya. Dia memandangi saya tanpa berkedip sedikit pun, sampai rambut halus di tengkuk saya pun berdiri karenanya. Tetapi Bapak itu tidak memalingkan wajahnya sama sekali, matanya melotot dan penuh selidik. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Untungnya lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau, dan si Bapak pun meneruskan perjalanannya, dengan, sekali lagi, entah apa yang ada di dalam pikirannya.

Ah, saya jadi teringat adegan beberapa tahun yang lalu sewaktu kami diadili warga sebuah kelurahan yang menolak di lingkungannya ada rumah yang menampung anak-anak yang “belum jadi manusia seutuhnya”. Apakah saya masih trauma oleh peristiwa itu, sehingga menghadapi pelototan seorang Bapak di perempatan saja, saya sudah bergidik? Mudah-mudahan ini hanya masalah saya sendiri, karena bangsa ini membutuhkan lebih banyak orang yang peduli kepada sesamanya. Bangsa ini membutuhkan lebih banyak orang yang peduli bukan hanya dengan retorika kata-kata atau tindakan-tindakan seremonial. Teman-teman kami di jalanan butuh kesempatan, kesempatan untuk belajar dan kesempatan untuk sekedar bermain dan tertawa. Biarkanlah kami memberikan itu kepada mereka, Bapak.

You don’t know what it’s like to love somebody, the way I love you…

Sammy Ladh

Photo: courtesy of LSM Rumah Impian (thedreamhouse.org)