Category Archives: Renungan

Tak Mampu Beli Sisir

Tadi pagi, (bukannya ingin menyalahkan cuaca), karena hujan, saya agak kesulitan mendapatkan kendaraan pesanan online. Akhirnya saya dapat juga, bukan mobil, tapi ojek online, karena waktu yang sudah mepet, walau masih agak gerimis, saya ambil saja.

Saya tiba di stasiun  MRT sambil berlari-lari mengejar waktu, agar tidak terlambat.

Di bagian dalam dinding lift, kebetulan ada cermin, jadi saya merapikan rambut dengan jari-jari. Rambut saya kusut karena gerimis hujan dan karena helm ojek. Di dalam lift ada dua orang lain yang tak saya kenal, dua-duanya wanita. Yang lebih tua, diam saja. Yang lebih muda, dengan tatapan mencela, berdesis: “Sisir mahal sih, ya…”

Saya nyaris tak percaya dengan apa yang saya dengar. Apakah dia sedang mengejek saya yang tengah menyisir rambut dengan jari? Apakah dia tengah menyindir saya tidak mampu membeli sisir?

Tapi saya tidak menghiraukan. Sebab segera setelah itu saya sudah keluar lift, dengan terburu-buru.

Tapi ucapan orang itu masih terngiang di telinga saya. Dan saya masih ingat rambut orang itu juga bukan seindah iklan shampoo. Sesama rambut kusut kok merasa punya hak mencela? Nyinyir sekali dia.

Kalau posisi saya tadi adalah teman saya si D yang tukang berdebat, dia akan segera membalas orang itu: Siapa sih lu? Memang kenapa kalau gue nggak pakai sisir? Apa urusan lu? Masalah buat lu?

Kalau itu adalah teman saya si P yang centil tapi menyentil, dia akan membalas: Idih, nggak pakai sisir juga nggak masalah, Sis, rambut saya lembut dan mudah diatur, seperti habis direbonding, cuma pakai jari aja cukup kok!

Kalau tadi itu teman saya si Y yang tak suka basa-basi, dia akan membalas: Berisik lo, urus aja rambut lo sendiri, sisir rambut lo tuh kusut kayak cacing pita! Ngaca sebelum ngomong!

Ada rasa greget tertahan yang kemudian saya tertawakan mengingat kejadian pagi itu. Seperti kata teman saya. Lucu benar manusia jaman sekarang, suka sekali mengomentari orang lain, suka sekali mencampuri urusan yang bukan urusannya.

Kalau saja tadi pagi saya tidak buru-buru, atau mungkin jika dalam keadaan mood sedang emosi, saya bisa saja membalas ejekan orang di lift berambut kusut yang tak saya kenal itu. Rambutnya lebih kusut daripada saya tapi kok beraninya menyindir saya tidak mampu membeli sisir?

Yang membuat saya ingin terbahak adalah, apa iya tampang saya sebegitu miskinnya hingga dia – orang yang tak kenal saya- berani mengatai saya kemahalan beli sisir?

Saya sama sekali tidak tersinggung. Saya hanya takjub keheranan. Kok bisa ya, ada orang, tak dikenal, seenak jidat berkomentar, mengurusi orang lain, mengejek, menghakimi orang yang tak dia kenal?

Andai dia tahu di rumah kami kebetulan banyak sisir (karena anak-anak sering asal menaruh, jadi saya beli banyak sekalian), dan tadi itu saya hanya merasa tidak sopan jika menyisir rambut di dalam lift (fasilitas umum terbuka, bukan ruang rias toilet), jadi saya pikir lebih sopan pakai jari-jari saja…

Tapi memang kita tak bisa mengatur pikiran dan mulut orang lain. Kita hanya bisa mengendalikan diri kita saja.

Saya berusaha menertawakan kejadian itu dengan mengingat lagu Iwan Fals. Temanya sama, sama-sama tak mampu. Kalau di lagu itu, masalahnya tak mampu beli susu, kalau saya, tak mampu beli sisir. Hahaha.

Dia beruntung sifat saya bukan seperti teman saya si D, P atau Y, yang pasti akan balas mendampratnya. Saya memang tipe yang menarik diri, memilih menjauhi orang yang potensial menimbulkan konflik atau masalah.

Atau mungkin saya harusnya menjadi seperti teman saya si S, yang suka bercanda, yang jika diejek tak mampu beli sisir, akan menjawab: “Iya nih, tanggal tua, belum gajian. Boleh pinjam sisirnya Mbak? Tapi Mbak nggak kutuan, ketombean, atau pitak, kan?”

Hidup memang harus diakali. Jangan terlalu serius. Banyakin humor saja. Diejek juga, bawa ketawa saja. Mungkin orang itu yang punya masalah. Seperti kata lagu Iwan Fals: Hidup sudah susah, jangan dibikin susah.  

Saya pun teringat pendeta saya yang selalu menggaungkan prinsip: Gunakan kata-kata yang lembut!

Seperti di buku suci:

Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang (Kolose 4:6).

Bagai Bangkai Tikus di Tengah Jalan

Sabtu pagi, ketika saya berjalan kaki melewati komplek dekat rumah, saya melihat ada bangkai tikus ukuran jumbo di tengah jalan. Maksud hati saya ingin olahraga dan menghirup udara pagi yang segar, apa daya malah ‘kesamprok’ bangkai tikus!

Spontan saya menutup hidung dan dan membuang muka setelah melihat bangkai tikus yang berauran dan menyebarkan aroma busuk itu. Pemandangan yang tak terhindarkan, sebab tepat berada di depan mata, di tengah jalan. Seketika saya merasa mual dan cepat-cepat melangkah menjauh. Rasanya ingin muntah. Selain merasa mual, saya juga merasa kesal.

Sebenarnya saya sudah sering melihat hal seperti ini. Bangkai tikus di tengah jalan. Tapi kali ini karena langsung di depan mata dan baunya langsung tercium, rasanya lebih kesal (biasanya hanya melihat dari dalam mobil).

Dan pertanyaan saya masih sama.

Mengapa bangkai tikus itu harus dilempar ke tengah jalan?

Selain merusak pemandangan, juga merusak penciuman. Padahal di tepi jalan sudah bagus. Banyak bunga di tepi jalan. Seperti judul sebuah film.

Mengapa tidak dibuang ke tempat sampah, atau dikubur ke tanah, supaya baunya tidak menyebar?  Bukankah tikus itu sudah mati?

Sekali lagi, mengapa, bangkai tikus itu harus ada di tengah jalan?

Apakah agar semakin mati berkeping-keping digilas mobil-mobil yang lewat?

Saya benci tikus. Sumpah, benci sekali. Barang-barang di rumah banyak yang rusak digigiti tikus. Juga di rumah, makanan yang dicuri dan dihabiskan tikus, sering membuat saya emosi. Jadi memang kalau berhasil menangkap tikus dan membunuhnya, ada rasa puas tersendiri.

Tapi, mencium bangkai tikus di depan mata, di tengah jalan, bukan bagian dari kepuasan tersebut, bagi saya.

Bayangkanlah. Jika bangkai tikus itu digilas ban mobil/motor, serpihan daging busuk itu bisa menempel di ban dan baunya pun tertempel, dan semua mobil yang menggilasnya membawa bangkai dan bau itu turut serta sepanjang perjalanan dan pulang ke garasi masing-masing? Apakah memang tujuannya agar semua mobil yang melewatinya ikut menggilasnya dan membawa bau busuk bangkai tersebar ke segala arah? Membawa pulang bau busuk hingga ke rumah kita?

Seorang teman dengan bergurau menanggapi: Ada terbersit, apakah itu perlambang sebagian tabiat orang Indonesia? Melempar topik korban bermasalah ke depan massa, lalu mengumbar aib di depan umum hingga semua orang bebas mencibir, mengumpat, memaki, menghakimi, menggunjingkan, alias menyebarkan bau busuknya kemana-mana?

Contohnya seperti kejadian baru-baru ini di berita, tentang seorang pemuda Indonesia pelaku kriminal kelamin di London. Pemuda itu yang kriminal, tapi berita tentang orangtua dan keluarganya ikut diseret, dibahas seperti dikuliti sampai habis, nyaris tanpa privasi, oleh media dan netijen ‘mahabenar’ dan ‘tak pernah berdosa’?

Tetapi teman saya yang lain berkata: Mestinya, kasih menutupi pelanggaran.

“Kebencian menimbulkan pertengkaran, tetapi kasih menutupi segala pelanggaran. Di bibir orang berpengertian terdapat hikmat, tetapi pentung tersedia bagi punggung orang yang tidak berakal budi” (Amsal 10:12-13).

Hatred stirs up conflict, but love covers over all wrongs.

Makna Natal, Antara Kemuliaan dan Damai Sejahtera

Kemarin, saya agak terkejut ketika tiba-tiba ada nomor tak dikenal mengirimkan pesan masuk di HP saya. Yang membuat saya terkejut karena itu bukan semacam pesan-pesan illegal berkedok penipuan yang sudah biasa.

Pesan yang ini mengirimkan ucapan Selamat Natal. Setelah saya baca teliti, ada nama pengirimnya. Saya harus memutar otak sebentar untuk mengingat siapa nama tersebut. Ada juga fotonya dengan seragam pejabat pemerintahan, tapi agak berbeda sebab waktu kami bertemu, dia dengan tampilan kasual. Setelah saya perbesar fotonya, baru saya ingat itu adalah teman kuliah pascasarjana, yang mungkin hanya sekali bertemu waktu ujian semester.

Yang membuat saya agak terkesan dan tersentuh adalah, dia adalah pejabat daerah dan berbeda keyakinan dengan saya, dan dia tidak hanya mengirim ucapan lewat grup, tapi juga mengirim lewat jalur pribadi (japri) kepada saya, padahal kami tidak terlalu kenal.

Menyadari ketika saat ini, hal menerima ucapan selamat natal dari orang yang tidak seiman, menjadi sesuatu yang langka (dan ‘terlarang’), membuat saya agak trenyuh. Hal itu mengingatkan saya pada sebuah kejadian, tentang seorang anak tetangga yang dulunya tiap hari main ke rumah dengan anak saya, dan tiba-tiba suatu hari tidak mau lagi main ke rumah, dan bilang kepada anak saya: Aku nggak boleh lagi main sama kamu, dilarang ayah, karena kamu beda agamanya.

Sesungguhnya saya tidak mau menjadi ‘melo’ dalam urusan seperti ini. Saya hampir tertawa sendiri ketika dulu mengingat waktu jaman mahasiswa ketika kuliah di Tokyo, ada teman mahasiswa dari negara lain yang merayakan hari besar entah aliran agama apa, saya turut mengucapkan selamat sekalipun saya tidak tahu apa yang dia rayakan dan ucapan selamat apa yang harus saya ucapkan, apalagi dalam bahasa asing. Saya hanya mengucapkan: Selamat merayakan ya. Semoga bahagia.

Lalu dia mengucapkan terima kasih dan menyahut dengan berkelakar: ‘Semoga bahagia’ bukanlah ucapan yang tepat, memangnya saya mau menikah? Hahaha.

Apa yang saya praktekkan dari hal itu adalah masalah penghargaan. Saya menghargai teman saya walau saya tidak tahu apa yang dia percayai, dan bukan berarti saya ikut menyetujui apa yang dia percayai itu.  Saya hanya menghomati dia sebagai teman saya, menghargai apa yang penting baginya, dan mengharapkan yang baik baginya. Itulah alasan saya mengucapkan selamat.

Di tengah menurunnya toleransi antar umat beragama, ironisnya, kemarin lusa malah seorang teman yang atheis mengucapkan Selamat Natal kepada saya. Saya berkelakar dengan berkata: Bukannya kamu tidak percaya soal agama?

Dan dia dengan guyon membalas: Memangnya saya jadi percaya agama kamu?

Dan kami pun sama-sama tertawa ringan dalam suasana damai.

Kemarin di gereja, yang menjadi sangat berkesan bagi saya dalam khotbah Natal dari pendeta kami adalah, bahwa makna hari Natal adalah: Kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi, dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepadaNya.

Dari nats Lukas 2:14 ini jelas terbaca, hanya Allah yang layak menerima kemuliaan. Bagian manusia hanyalah damai sejahtera. Awal penderitaan dan masalah manusia adalah ketika manusia juga mencari kemuliaan bagi dirinya sendiri, baik itu dalam bentuk penghargaan, pujian, penghormatan, kekuasaan, dan sebagainya.

Saya pun tidak mau mencari penghargaan dengan menunggu ucapan selamat dari orang lain yang tak ingin memberikannya. Seperti khotbah pendeta saya, kemuliaan hanya bagi Allah. Saya hanya mau damai sejahtera. Tak perlu diberi ucapan penghargaan pun saya tetap damai sejahtera.

Selamat Hari Natal. Mari damai sejahtera

Lari atau Dipulihkan?

Pernahkah Anda mengalami krisis rohani? Itu adalah saat di mana kita jauh dari Tuhan, semangat pelayanan kita tidak lagi berkobar, bahkan mungkin ada yang sampai mempertanyakan, buat apa saya melayani Tuhan? Benarkah saya dipanggil jadi Hamba Tuhan?

Ada banyak penyebab kita jatuh ke dalam krisis rohani. Mungkin karena relasi kita yang kurang baik di ladang pelayanan, mungkin hati kita tersakiti entah oleh jemaat atau hamba Tuhan, kita jatuh dalam dosa, jalan hidup yang kita pilih ditentang oleh orang-orang terdekat, mungkin pasangan kita, atau orang tua kita. Lantas, ketika berada dalam situasi seperti itu, apa solusinya?

Saya ingin mengajak kita merenungkan hal ini dengan belajar dari Nabi Elia di perikop 1 Raj. 19:1-8. Pasal 19 ini merupakan kelanjutan dari pasal sebelumnya. Pasal yang menggambarkan ada begitu banyak yang dilakukan Elia:

  1. Dia menentang dan mengalahkan 450 nabi Baal
  2. Dia berdoa agar hujan turun untuk mengakhiri kekeringan.
  3. Dia berlari mendahului Ahab ke Yizreel.

Pada pasal 19 kita melihat Elia yang “berbeda”. Apakah Izebel lebih hebat dari nabi-nabi Baal? Mengapa Elia sangat takut? Ketakutan Elia terlihat sangat tidak masuk akal. Di ayat 2 diceritakan bagaimana Izebel kemudian menyuruh suruhannya, untuk mengancam Elia. Dan dampaknya sungguh mengherankan, Elia yang sebelumnya tampil luar justru ketakutan bukan main dan ia “bangkit dan pergi menyelamatkan nyawanya”. Dia pergi sampai jauh ke padang gurun berjalan seharian, lalu duduk di bawah pohon arar dan mengeluh dan ingin mati. “Ya Tuhan ambillah nyawaku sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku.” (ay 4)

Yang kita lihat saat ini adalah contoh kasus krisis rohani yang hebat, yang bahkan bisa menimpa seorang tokoh besar dalam Alkitab. Mengapa?

Kita tidak tahu ada berapa lama waktu sejak Izebel mengeluarkan Ancamannya sampai ketika Elia mengalami krisis yang hebat itu. Tapi satu hal yang berbeda adalah, tidak ada firman Allah yang datang kepadanya atau kuasa Allah hadir, seperti yang bisa kita lihat di 1 Raj. 17:2,8, 18:1,36-37, 46. Ada kemungkinan bahwa persekutuan Elia dan Tuhan sedang renggang-renggangnya. Sehingga ketika ancaman itu datang, focus Elia bukan pada TUhan tapi pada ancaman itu sendiri. Akibatnya, ketakutanlah yang datang.

Kalau Elia saja bisa mengalami krisis seperti itu, tentu kita juga bisa. Sebab Elia dan kita sebetulnya tak jauh berbeda. Sama-sama manusia. Seperti kata Yakobus di Yak. 5: 17: “Elia adalah manusia biasa sama seperti kita”.

Saya pernah berada dalam krisis rohani yang luar biasa. Mungkin di antara kita juga pernah punya pengalaman yang sama. Lantas bagaimana cara Elia keluar dari masalah itu? Kita bisa belajar setidaknya tiga hal dari Elia:

1. Berhenti berlari dan datang kepada Tuhan
Di ayat 4 disebutkan bahwa Elia kemudian berhenti dari pelariannya lalu duduk di bawah pohon arar. Di situ dia bicara kepada Tuhan. Ucapannya memang berisi keluhan. Tapi setidaknya berbeda ketika sebelumnya dia hanya berlari dan berlari, menganggap bahwa pergi jauh akan menyelesaikan persoalan.
Dalam krisis rohani kita, kita tidak boleh terus lari. Pelarian tidak akan menyelesaikan apa-apa. Kita perlu berhenti dan datang kepada Tuhan. Mungkin isi doa kita pada awalnya haya keluhan-keluhan, tapi percayalah itu lebih baik daripada kita hanya berlari dan berlari, meninggalkan gereja, meninggalkan pelayanan.

2. Fase Pemulihan
Di dalam kelelahannya dan keputusasaannya, Elia kemudian tertidur. Apa artinya tidur? Tidur adalah fase pemulihan. Ketika kita kelelahan, tidur adalah penawar yang luar biasa efektif. Pada fase tidur, denyut jantung dan pernafasan kita melambat. Pada fase tidur tubuh mulai perbaikan dan pertumbuhan jaringan kembali, kekuatan otot dan tulang dibangun kembali dengan meningkatnya pasokan darah ke otot, dan system imun atau kekebalan tubuh kita semakin diperkuat. Energi pun dipulihkan.

Apa artinya tidur dalam masa krisis ini? Ini adalah fase pemulihan kita. Kita awali dengan membereskan segala masalah. Ada banyak caranya, mulai dari memperbaiki relasi kita dengan Tuhan, kemudian mendatangi orang yang bermasalah dengan kita dan mengampuni dia, sampai mungkin kita perlu melakukan konseling bagi diri kita sendiri. Ketika diri kita sendiri sudah pulih, maka kita akan masuk kepada fase terakhir, yaitu hadirnya kekuatan baru.

3.Kekuatan Baru
Dalam kisah Elia kita mendapati bahwa Malaikat Tuhan sendiri datang dan memberikan makanan kepadanya sehingga Elia kemudian mendapatkan kekuatan baru bagi tubuhnya. Kekuatan yang memungkinkan dia berjalan 40 hari 40 malam ke Gunung Horeb, ke Gunung Allah, di mana Allah kemudian menyatakan diriNya kepada Elia. Luar biasa bukan?

Ketika segala sesuatu sudah dibereskan, relasi dengan Allah juga kembali pulih, maka kita akan mendapatkan kekuatan baru, semangat baru, dalam pelayanan kita. Bahkan mungkin kita akan mendapati sesuatu yang luar biasa terjadi dalam pelayanan kita. Amin?

Buat saya, krisis kadang-kadang perlu untuk meluruskan kembali motivasi dan pelayanan kita. Tapi memang tak semua orang mendapat hak istimewa untuk mengalami sampai sejauh Elia, yang bahkan ingin mati saja. Kalau kita menjadi salah satu di antaranya, mari kita belajar dari kisah Elia.

Semoga pada Natal tahun ini, kita mengalami pemulihan Tuhan. Amin.

Never Be Enough

Mungkin banyak di antara kita yang tahu lagu Never Enough yang dibawakan oleh Loren Allred, lagu yang sempat menduduki tangga teratas kancah permusikan dunia. Lagu yang menjadi soundtrack dari film The Greatest Showman ini berhasil bertahan berminggu-minggu mengungguli lagu-lagu saingannya.

Lagu ini mengingatkan saya akan perjumpaan dengan seorang kawan lama di gereja. Dia yang saya kenal adalah masih hidup melajang dengan karir yang cukup baik. Setahun lalu dia pernah menceritakan bagaimana nikmatnya dia menggeluti pekerjaannya dengan posisi yang lumayan ditambah fasilitas-fasilitas yang disediakan perusahaannya.

Semua atribut yang dikenakan mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki tidak ada yang tidak bermerk. Kami pun melepas rindu dengan membagikan pengalaman-pengalaman hidup kami selama setahun tidak bersua.

Ketika tiba gilirannya menceritakan perjalanan hidupnya, saya cukup terkejut. Beliau memutuskan berhenti bekerja dan menggeluti pekerjaan barunya sebagai pekerja tidak tetap. Dengan gaya bicara yang ringan dia mengatakan bahwa ada beberapa alasan mengapa dia meninggalkan pekerjaannya tersebut. Antara lain memberi waktu untuk ibunya yang saat ini sendiri dan sakit-sakitan, memberi waktu untuk dirinya sendiri, mengingat selama ini dia memang sangat sibuk dengan jadual-jadual perusahaan yang sangat padat.

Namun penjelasan beliau sulit untuk saya terima mengingat gaji yang diperolehnya cukuplah besar buat dia yang masih melajang dan apakah dengan menjadi pekerja tidak tetap akan cukup untuk mencukupi kebutuhan orangtuanya dimana setiap bulan harus ada yang disisakan untuk biaya pengobatan orangtuanya dan itu tidaklah sedikit. Lalu bagaimana dengan kesenangannya terhadap barang-barang bermerk itu?

Sejuta pertanyaan menghujani pikiran saya. Saya coba bertanya baik-baik kepadanya. Namun apa jawabnya? Dengan santai ia menjawab: ”Cukup. Nggak ada masalah!”

Tentu saya tidak puas mendengar jawabannya. Saya kembali menanyakan apakah selalu ada proyek yang didapatkan demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari? Sambil membereskan tas dan Alkitabnya, dia tetap dengan santai menjawab: Cukup.

Saya masih belum puas dengan jawabannya dan kembali bertanya, “Bagaimana dengan biaya pengobatan ibu setiap bulan dan kebiasaanmu mengoleksi barang-barang bermerk?”

Dia hanya tersenyum sambil bersiap-siap meninggalkan saya sambil mencubit dagu saya yang tebal dia mengatakan: “Harus cukup dan mulai belajar merasa cukup di hadapan Tuhan.”

Dia pun pergi meninggalkan saya yang masih tidak percaya akan penjelasannya. Saya seperti tertampar mendengar kata ‘cukup’ yang dikatakannya.

Pelan-pelan saya mulai membereskan tas saya bersiap-siap ingin pulang. Dan tiba -tiba pipi ini terasa kembali memanas dan terbakar ketika dari ujung tempat parkir mobil sayup-sayup terdengar.

All the shine of a thousand spotlights, All the stars we steal from the night sky. Will never be enough, never be enough…

Saya ingat nats di Alkitab yang saya pegang:

Amsal 30:15 Si lintah mempunyai dua anak perempuan: “Untukku!” dan “Untukku!” Ada tiga hal yang tak akan kenyang, ada empat hal yang tak pernah berkata: “Cukup!”

-*-

Tio Sinaga, Alumni Sarjana Psikologi, Pengajar

Mari Kita Gembira

Filipi 4:4-7
4:4 Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! 4:5 Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat 4:6 Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.

Gembira atau bersukacita, alangkah indahnya itu. Mengapa kita harus bersukacita? Sebab sukacita itu sangat penting bagi kita. Orang yang kurang bersukacita biasanya kerjaannya hanya mengeluh saja atau mereka kerap mencari-cari alasan saja.

Amsal 17:22 berkata: “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.” Tahukah kamu, penelitian modern telah mengkonfirmasi apa yang disampaikan oleh penulis Amsal ini? Menurut penelitian di bidang kesehatan, hati yang gembira akan meningkatkan asupan oksigen, merangsang jantung, paru-paru dan otot dan meningkatkan kadar hormone endorphin, yaitu painkiller alami dalam tubuh kita. Sukacita juga dapat meredakan stress dan meredakan denyut jantung dan tekanan darah yang tinggi, membuat otot rileks, dan meningkatkan daya tahan tubuh.

Tapi masalahnya, bersukacita bukan hal yang gampang. Bersukacita ketika keadaan baik-baik saja, itu sangat mudah! Tapi, bagaimana kalau keadaan kita sedang sulit?

Bagaimana cara kita bersukacita ketika sedang sakit? Bagaimana bersukacita ketika tugas-tugas sekolah atau kuliah makin lama makin menumpuk dan waktu 24 jam rasanya terlalu sedikit? Bagaimana bersukacita ketika gaji sudah habis padahal akhir bulan masih dua minggu lagi? Bagaimana bersukacita ketika pacar hati tiba-tiba berpaling kepada lain hati ketika kita sedang sayang-sayangnya?

Kebanyakan orang akan cenderung mengeluh dalam keadaan seperti itu? Tapi tidak dengan orang percaya. Paulus dengan tegas mengatakan dalam Filipi 4:4 “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” Seakan-akan Paulus mengatakan ayat ini dengan mudah. Padahal, kalau kita tahu latar belakang bagian Firman Tuhan ini, kita akan menyadari bahwa Paulus sesungguhnya memiliki sejumlah alasan untuk tidak bersukacita.

Saya ambil contoh dua saja: Pertama, Paulus sedang berada di penjara. Siapa yang bisa bersukacita di penjara? Membayangkan penjara saja sudah bikin ngeri apalagi benar-benar menjalaninya? Kedua: jemaat yang dikasihinya, yang didirikannya bersama Silas dan Timotius, sedang dilanda bibit-bibit perselisihan. Di Filipi pasal 4 ayat 2 disebutkan ada perselisihan antara Euodia dan Sintikhe. Paulus pasti sangat mengasihi dan peduli pada kedua orang itu, sehingga nama mereka disebut dan Paulus meminta Sunsugos untuk menengahi mereka. Saya rasa wajar kalau kemudian Paulus gelisah, sebab dia jauh dari jemaatnya.

Ketika merenungkan situasi yang dihadapi oleh Paulus, rasanya sulit bersukacita, bukan? Tapi sebaliknya Paulus dengan tegas berkata, “Bersukacitalah senantiasa!”

Kok bisa Paulus berkata begitu? Bagaimana cara bersukacita dalam kondisi seperti itu?

Dari bagian Firman Tuhan yang kita renungkan ini, setidaknya ada tiga cara untuk bersuka cita meskipun keadaan kita tidak baik-baik saja.

Pertama: Bersukacitalah di dalam Tuhan!
Pada Filipi 4 ayat 4 Paulus berkata: Bersukacitalah di dalam Tuhan. Ayat ini jelas. Bahwa sebenarnya kita tidak bersukacita atas keadaan yang kita alami. Tapi kita bersukacita karena kita punya Tuhan. Kita harus selalu punya framing bahwa ada maksud Tuhan yang harus kita mengerti ketika kita mengalami segala sesuatu. Mengapa? Sebab Tuhan sangat mengasihi kita, karena itulah, seperti kata Paulus di Kitab Roma, Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Roma 8:28). Kasih Allah sudah jelas. Salib buktinya. Tapi kita akan mengerti bahwa segala yang terjadi dalam hidup kita itu adalah baik, ketika kita sungguh-sungguh mengasihi Allah.

Kedua, bersukacitalah dalam pengharapan
Roma 12:12a berkata: Bersukacitalah dalam pengharapan. Pengharapan kepada siapa? Jelas kepada Tuhan. Di Ratapan 3, penulis Alkitab berkata “Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; Besar kesetiaanMu!” Pengkotbah 3:11a juga berkata “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan ia memberikan kekekalan dalam hati mereka.”

Ketiga, jangan kuatir dan berdoalah dengan benar
Filipi 4:6 Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Jangan salah anggap. Tulisan ini tidak sedang mengajarkan bahwa orang Kristen tak boleh kuatir, tak boleh sedih. Yang Paulus maksudkan adalah: kita tak boleh dikuasai oleh kekuatiran dan kesedihan itu. Karena itulah dalam segala hal kita perlu berdoa dengan benar di hadapan Tuhan, yaitu doa yang penuh dengan ucapan syukur kepada-Nya.

Semoga renungan ini menguatkan kita dalam menjalani kehidupan kita sehari-hari. Amin!

Jika Kau Patah Hati

Sekitar bulan Juli 2019 lalu, media sosial diramaikan oleh pemberitaan mengenai seorang wanita yang diduga beragama Katolik, yang membawa anjing ke dalam masjid.

Diam-diam saya mengikuti berita ini dan mengamati berbagai macam komentar, kecaman, hujatan terhadap perempuan tersebut. Tidak sedikit netizen yang mengatakan bahwa ini adalah dampak dari toleransi beragama yang kebablasan, yang diberikan kepada kaum minoritas di negeri kode +62 ini. Berbagai kecaman bermunculan hingga ada penjelasan dari salah satu anggota keluarga mengenai kondisi kejiwaan wanita tersebut, namun tidak juga mengurangi hujatan dari netizen yang merasa diri maha benar.

Bulan September 2019, masih baru-baru ini, gereja dan kalangan Kristen kembali digemparkan oleh pemberitaan mengenai seorang pastor bernama Jared Wilson, pastor muda dari sebuah gereja besar di Amerika yang meninggal karena bunuh diri. Bagaimana mungkin? Itulah pertanyaan yang muncul mungkin hampir sejuta kali di akun media sosial milik sang pastor. Banyak yang menyesalkan tindakan beliau memilih langkah pintas tersebut untuk mengakhiri hidupnya. Dan bagi orang awam, sepertinya keputusan Pastor Jared adalah keputusan yang bodoh mengingat dia adalah seorang hamba Tuhan. Banyak yang tidak tahu, setelah ditelusuri lebih lanjut, Pastor Jared ternyata mengalami depresi berat.

Banyak di antara kita yang tidak mengetahui bahwa masalah keimanan adalah salah satu penyebab masalah timbulnya gangguan kejiwaan. Kegagalan dalam melayani, tidak berjalannya fungsi pelayanan kategorial, kegagalan dalam misi penggembalaan dan tekanan hebat yang dialami para gembala jemaat dalam menjalankan misi penggembalaannya dalam menghadapi jemaat dengan problema imannya masing-masing, serta karakter tiap-tiap jemaat yang unik, dan problema kehidupan mereka sehari-hari, adalah sumber depresi.

Tanggal 10 Oktober, dunia memperingati hari kesehatan mental. Lalu bagaimana gereja mempersiapkan diri dalam menghadapi masalah kesehatan mental?

Gereja diharapkan tidak hanya menjalani misi pelayanan Alkitabiah dan doa tetapi lebih dari itu gereja diharapkan lebih peka untuk memandang permasalahan ini lebih dalam bagi para jemaatnya.

Adalah seorang pastor Anton Boisen yang mengidap skizofrenia menghabiskan dua puluh tahun di rumah sakit jiwa. Ketika beliau dinyatakan sembuh dari sakitnya, Boisen mengatakan: “Kalau seorang Kristen patah kaki, ia dapat disembuhkan, bahkan gereja dan lembaga Kristen lainnya dapat berperan membiayai pengobatannya hingga sembuh. Namun jika ada seorang Kristen yang ‘patah hati’, maka ia akan dilempar ke rumah sakit jiwa dan dilupakan oleh gereja.”

Untuk itulah pentingnya peran medis, spiritual dan psikologis dalam proses penyembuhan masalah mental dan jiwa. Ketiga hal tersebut adalah satu kesatuan yang tidak bisa dicerai-beraikan karena memang peran tiga serangkai ini sangat mendukung proses penyembuhan. Gereja menjalankan fungsinya sebagai pendampingan bagi jemaat dengan masalah ini. Keterlibatan gereja dalam proses ini tentunya akan sangat memengaruhi pertumbuhan gereja dan pelayanannya ke dalam dan ke luar agar tumbuh dan berkembang menjadi gereja yang sehat dengan jemaat yang sehat.

Kalau semua orang Kristen yang mengalami ‘patah hati’, lalu terbuang dan dilupakan oleh gereja, bagaimana gereja dapat bertumbuh menjadi besar? Atau apakah gereja hanya menjadi tempat peribadahan dengan jemaat yang datang dengan kegelisahan hatinya lalu pulang dengan kesedihan jiwanya?

Seperti Mazmur pada ratapannya: “Hai jiwaku, mengapa susah serta gelisah dalam hidupmu…” dan tak ada yang menyembuhkannya?

-*-

Saitioma Sinaga.

Sarjana Psikologi

Sepuluh Tahun, Apakah Anda Berubah?

Bulan Desember masih terasa seperti kemarin. Tiba-tiba sekarang bulan Januari sudah mendekati ujung. Tahun berganti. Usia bertambah. Berubahkan kita?

Seorang teman saya selalu mengubah gaya rambutnya di tahun baru. Misalnya jika tahun sebelumnya rambutnya panjang, di tahun baru dipotong pendek, atau jika tahun lalu keriting, tahun ini dibuat lurus.

Ada juga teman yang selalu mengganti barangnya di tahun baru. Tak tanggung-tanggung, jika bukan mobil, ponselnya yang harus ganti. Untung bukan suaminya yang diganti, kata teman saya lainnya sambil bercanda.

Apapun bentuknya, mungkin mereka hanya ingin ada perubahan dari tahun ke tahun. Mungkin itu hanya simbol, bahwa mestinya ada perubahan sesuai dengan perubahan waktu.

Tapi itu semua hanya perubahan secara fisik. Sesungguhnya yang tak kalah penting adalah perubahan dalam diri kita. Mudah mengganti barang milik kita, tapi mengubah perilaku kita, cara pandang kita, sikap dan kelakuan kita, apakah mudah juga? Anda tentu sudah tahu jawabannya, kan. Hehehe.

Belakangan ini sedang trending topik #ten years challenge. Seorang teman tiba-tiba mengirimkan foto-foto lama kami ketika mahasiswa, dan bertanya: Kapan kita berfoto bersama begini lagi. Agak sulit, sebab foto lama itu ada di luar negeri dan kami semua kini sudah sibuk dengan keluarga masing-masing.

Terpengaruh tantangan sepuluh tahun ini, teman-teman di media sosial ramai memamerkan foto lama dengan foto baru. Ada teman yang terlihat tidak terlalu ada perubahan pada wajah dan tampilan fisiknya, ada juga yang terlihat sangat berbeda.

Yang menarik dari foto-foto challenge itu adalah, selain mengenang memori masa lalu, bernostalgia memang bisa menjadi hiburan tersendiri. Bagi pertemanan yang sudah dekat dan kebal, ini bisa menjadi ajang cela-celaan. Misalnya, ada yang mengatakan:

“Kok muka kamu dari dulu tetap seperti tomat, sih?”
“Mendingan muka akulah, daripada muka kamu seperti melon raksasa.”

Seorang teman kuliah yang memajang foto langsing sepuluh tahun lalu, mendapat komentar lucu:
“Apa yang dilakukan suamimu padamu, kok kamu jadi bengkak begini sekarang?”

Ada seorang teman yang sengaja dengan maksud bercanda memasang foto bayi dan foto saat ini dengan tagar #10yearschallenge, dan segera dihujani komentar dari teman-temannya karena hal itu mustahil. Sebab usianya sekarang sudah 30 tahun.
“Edan, pertumbuhan kamu cepat amat, Bro!” komentar seseorang.
“Banyak tekanan hidup dan tekanan dari netizen yang maha benar, jadi cepat tua, Sis!” jawabnya bergurau.

Bicara tentang membandingkan masa lalu dan masa kini, memang tak ada habisnya. Ini yang membuatnya menarik. Bukan sekedar menikmati foto masa lalu, tantangan #10yearschallenge ini juga bisa menyimpan makna lain, bahwa dalam hidup ini tak ada yang abadi. Kita hanya makhluk yang akan berubah dan menjadi tua seiring waktu berjalan, bukan vampir yang tetap awet muda dan tak mati-mati. Perubahan ini mengingatkan kita bahwa pada akhirnya kita akan tiba ke garis finish dan kembali ke Pencipta, dan waktu yang kita miliki pun terbatas, hingga kita harus menggunakannya semaksimal mungkin.

Akan tetapi, seperti sepotong lirik lagu NKOTB waktu saya remaja: Age is just number, dont you stop having fun, usia bukan jadi alasan kita untuk tidak bisa melakukan hal-hal yang kita inginkan sepanjang itu positif. Saya punya seorang kerabat yang sudah nenek berusia 70 tahun tapi masih suka mengenakan sepatu boot model seperti artis, sering mengenakan sepatu high heels, dan rajin mengganti warna rambut dan kuteks. Tidak ada orang yang berhak menghakimi orang lain karena usia. Kita punya selera masing-masing.

Bernostalgia memang bisa membuat kita merasakan kembali kebahagiaan dan bersyukur atas pencapaian yang telah kita lakukan dari masa lalu. Selain potensial mengingat kembali rasa pahit atas kenangan buruk, nostalgia juga bisa membuat kita merasa kuat bahwa akhirnya kita bisa melewati itu semua dan menjadi orang yang lebih baik saat ini. Hidup terasa lebih bermakna dan dan lebih berpengharapan karena melihat bahwa kesulitan dari masa lalu bisa teratasi dengan baik dan membuat kita semakin kuat dan dewasa serta bijaksana.

Sepuluh tahun memang bukan waktu yang singkat. Sepuluh tahun lalu anak saya masih balita, eh sekarang sudah anak gadis. Mungkin sepuluh tahun lagi dia sudah menikah dan saya sudah menjadi seorang nenek (astaga!). Hehehe.

Apapun yang terjadi, yang perlu kita bandingkan adalah diri kita sendiri, di masa lalu dengan sekarang, dan diri kita di masa depan. Bukan membandingkan diri kita dengan orang lain. Sebab kita menjalani jalur hidup kita masing-masing dan standar hidup yang berbeda, dan pergumulan yang berbeda, sehingga standar dan defenisi sukses kita juga berbeda. Kita punya standar masing-masing, yang urusannya adalah antara diri kita sendiri dengan sang Pencipta.

Seperti pernah saya dengar orang bijak berkata:

Hidup ini bukan perlombaan. Yang berlomba adalah diri kita sendiri melawan diri kita di masa lalu. Menjadi diri kita yang lebih baik semakin hari semakin baik adalah tujuan hidup atau tujuan perlombaan itu sendiri.

Jika bicara soal waktu, waktu tak membatasi kesuksesan seseorang, dan umur bukan penentu kesuksesan. Misalnya, ada yang sejak kecil sudah jenius, tapi biasa saja di usia dewasa, ada yang biasa saja waktu kecil tapi sukses ketika sudah berumur.

Tidak semua orang seperti Mark Zuckerberg. Seorang pemuda yang pernah menjadi billionaire termuda di dunia ketika berusia 22 tahun, yang kini orang ke-5 terkaya di dunia dengan kesuksesannya menciptakan Facebook ketika masih berada di bangku kuliah. Ada juga yang seperti Henry Ford mulai sukses di usia 40 tahun, atau seperti Kapten Sandlers yang merintis KFC di usia 65 tahun.

Lalu, ada seorang nenek dari Singapura, Mary Ho. Usianya sudah 81 tahun. Beliau mulai belajar bermain gitar saat usia 60 tahun dan sempat ingin menyerah namun beliau kemudian belajar tiga jam sehari. Sekarang beliau terkenal jadi rocker dan sudah diminta merekam albumnya sendiri.

Hikmahnya, tak ada kata terlambat untuk berubah lebih baik.

Selain kenangan yang membahagiakan tadi, kita juga pasti bisa teringat kesedihan atau kekecewaan di masa lalu. Tetapi hal itu pun layak kita syukuri. Bagaimanapun hal itu turut memberi sumbangsih dalam pembentukan diri kita yang saat ini. Seperti kata lagu, suka duka dipakai Tuhan untuk kebaikan kita.

Jadi, dalam sepuluh tahun ini, apa yang berubah dalam hidup anda?

*-*

Film “Bumblebee,” Baja Berhati Manusia

Sesungguhnya, dibanding film-film fiksi lainnya, minat saya lebih sedikit pada film ‘robot’ ini. Saya lebih suka jenis Avengers, atau semacam X-Men. Tapi kali ini, saya merasa tidak rugi menonton film ini.

Konon, Bumblebee adalah autobot kuning muda bernama B-127. Dia, adalah mobil beetle rongsokan yang berhasil dihidupkan oleh Charlie, seorang remaja yang telah kehilangan ayahnya, dan mengalami kesulitan komunikasi dengan ibunya, selayaknya remaja seusianya.

Dari beberapa seri film Transformers, apa yang berbeda dalam film ini adalah, minimnya adegan yang mengeksploitasi seksualitas. Tak ada adegan ciuman dan sejenisnya. Itu sebabnya aman untuk remaja. Karakter Charlie juga lebih membumi, anak remaja yang galau, punya mimpi dan kadang frustasi dengan hidupnya. Film ini memiliki kedalaman dari segi mengolah sisi emosional dan kemanusiaan. Saya sendiri ikut terbawa sedih dan terharu, juga sesekali tertawa selama menonton film ini. Bumblebee juga tampak lovable dan layak untuk dijadikan sahabat.

Film ini mengingatkan saya akan masa kecil, sebab dikemas serba eighties, termasuk musiknya. Saya tertawa melihat di film ini masih pakai kaset untuk memutar lagu. Lagu lama yang diputar adalah lagu-lagu favorit kakak-kakak saya waktu saya masih kecil. Contohnya, Unchained Melody, lagu waktu saya SD, dan ikut-ikutan model rambut cepak Demi Moore. Lalu lagu Never Gonna Give You Up milik Rick Astley, adalah lagu favorit kakak saya ketika kasmaran kala itu. Kemudian lagu A-HA, Take On Me, membuat saya ingin ikut bergoyang. Hahaha.

Ada beberapa kalimat yang berkesan bagi saya setelah menonton film ini, dan masih terngiang-ngiang hingga kini.
Ketika Charlie mencoba menstarter mobil beetle rongsokan yang diperbaikinya, dia memohon-mohon:
Please, God, please, please…”
Dan ketika ternyata mobil itu berhasil dinyalakan, Charlie menjerit senang:
Oh, God, thank you, thank you, I love You so much!”

Ketika kita merasa ‘desperate’, terpuruk tanpa harapan, dan kita memohon pertolongan pada Tuhan, alangka indahnya ketika doa kita terkabul. Ungkapan syukur pun akan melimpah. Mungkin kita pernah mengalami hal seperti ini.

Quote yang berkesan dalam film ini adalah ucapan teman baru sekaligus tetangga Charlie, Memo. Ketika Charlie merasa hidupnya sangat kacau dan suram, Memo bilang: The darkest night produces the brightest stars.”

Memang, dalam keadaan paling suram sekalipun, kita bisa bangkit dan bisa saja kita malah tampil cemerlang. Kesulitan menempa manusia-manusia yang tahan uji dan bermental baja.

Bagi saya orangtua yang punya anak remaja, film ini memberi pesan moral untuk lebih peka dan memahami dunia anak remaja yang kompleks.

Bagian lain yang paling menarik bagi saya adalah ketika Bumblebee sedang bertarung dengan Decepticons (musuh Autobots), dan Bumblebee menarik Decepticon ke bawah air dengan posisi yang mengkondisikan resiko bahaya fatal untuk keduanya, si Decepticon berkata: Kau membahayakan kita berdua.

Dalam adegan ini saya melihat kekuatan kasih dan pengorbanan dalam hubungannya dengan Charlie.

Seorang sahabat rela memberi diri, bahkan rela mati untuk sahabatnya.

Bumblebee, sang ‘robot’, rela membahayakan diri untuk keselamatan sahabat manusianya, Charlie. Bagi saya, ini ibarat perumpamaan yang terbalik. Bumblebee bagaikan robot Baja berhati manusia, dan Charlie, manusia berhati baja. Mereka adalah pasangan sahabat yang klop.

Memang film ini hanyalah fiksi, tapi ada banyak pesan moral yang bisa kita ambil dari sebuah film, yang bisa mengubah pola pikir dan jalan hidup kita.

Salah satu film yang berkesan bagi saya tahun 2018 ini adalah film ini, dan berharap tahun depan dan tahun-tahun mendatang akan lebih banyak film yang inspiratif yang akan mengubah pola pikir penonton ke arah yang lebih baik, membuat dunia kita menjadi tempat yang lebih baik untuk dihuni.

Semoga kita semua juga lebih baik di tahun baru nanti. Selamat menjelang tahun baru.

Kado Natalmu, Mewakili Isi Hatimu

Film lama, Little House on the Prairie adalah sebuah tayangan serial drama televisi Amerika, tentang keluarga Ingalls yang tinggal di sebuah pertanian di Minnesota, pada tahun 1870an.

Dalam sebuah seri dalam film Little House on the Prairie, ada sebuah kisah yang mengharukan buat saya.

Menjelang natal, keluarga Ingalls sibuk.
Mary, mendadak sibuk dengan waktu di luar rumah, untuk membantu seorang ibu tukang jahit yang sudah tua, tanpa bayaran, katanya untuk menambah pengetahuan. Belakangan ketahuan, rupanya diam-diam Mary belajar menjahit kemeja untuk hadiah natal ayahnya.

Diam-diam, Laura menjual kuda poni-nya untuk membeli kompor masak untuk ibunya. Laura menukar kudanya dengan kompor di toko ayah Nellie, Mister Nels. Nellie menginginkan kuda itu untuk hadiah natalnya.

Kompor masak besar itu dibungkus dan dikirim dengan paket besar ke rumah keluarga Ingalls malam hari sebelum Natal, dan dengan ketentuan, karena sebagai kejutan, tak boleh dibuka hingga besok paginya, di pagi hari Natal. Anak-anak sangat penasaran. Itu kado siapa, untuk siapa, dan isinya apa. Tapi tak seorangpun boleh membukanya.

Tak hanya anak-anak, rupanya ibunya, Caroline juga penasaran, tidak sabar, malamnya sampai tidak bisa tidur, ingin tahu kado besar apa isinya dan dari siapa untuk siapa. Suaminya, Charles sampai tertawa, berkata: Kamu lebih-lebih daripada anak-anak rasa penasarannya.

Yang tak diduga, ketika tiba saatnya bertukar kado natal, rupanya Charles membelikan sadel untuk kuda poni Laura. Hal ini sungguh membuat sedih. Sebab Laura sudah tak lagi memiliki kudanya.

Ibunya juga rupanya sudah menyiapkan kado natal untuk bapaknya, tetapi terpaksa diam-diam menyimpannya kembali, karena sama dengan kado yang diberikan oleh Mary pada ayahnya. Kemeja yang serupa.

Yang paling megharukan adalah ketika ibu mereka, Caroline, mengetahui kado kompor untuknya. Kuda poni Laura ditukar untuk kompor besar itu.

Hati ibu mana yang takkan meleleh melihat kejutan dan pengorbanan yang luar biasa dari seorang anak, seperti itu?

Laura yang masih sekecil itu, sadar ibu mereka butuh kompor untuk memasak bagi semua anggota keluarga. Dia mengorbankan hal yang paling disukainya untuk kepentingan semua anggota keluarga.

Sangat mengharukan melihat keluarga ini berusaha memberikan hadiah terbaik untuk keluarga, orang yang mereka kasihi. Mengorbankan tenaga, usaha, dana, bahkan hal yang paling mereka cintai,

seperti kuda poni Laura. Luar biasa semangat natal dan semangat mengasihi mereka!

Semoga kita semua memiliki semangat natal yang sama, memberikan hadiah terbaik dari diri kita untuk orang yang kita kasihi, seperti Yesus, yang lahir dan mati, dan bangkit, yang telah lebih dulu memberikan teladan dengan memberikan hadiah terbaik untuk kita, yaitu: nyawaNya.

Apa kado natal anda untuk Yesus tahun ini?

*-*