Bila Kelewat Fanatik

Apapun, bila sudah kelewat fanatik memang tak baik. Begitulah, karena terlalu mendukung Liverpool FC, anak-anakku di rumah, khususnya si sulung dan si bontot (anak kedua lebih moderat) seringkali berpengaruh pada situasi emosional mereka.

Bila menang, girang bukan main dan penuh semangat. Sebaliknya, bila kalah akan muram dan tak bergairah seharian.

Saat SD, si sulung malah sampai sakit hanya karena Liverpool kalah di final Liga Champion melawan AC Milan; tubuhnya panas dan tak sekolah dua hari. :-(Adiknya yang paling kecil itu, ikut-ikutan pula, sejak TK kali ikut-ikutan Liverpool-mania. Emaknya tak habis mengerti: kok bisa, dan berlanjut sampai sekarang?)

Sekadar info, baru-baru ini, situs Liverpool Fans Club memberitakan ada satu nenek, oma sepuh berusia 90-an tahun dari Inggris, dinobatkan sebagai pendukung LFC paling setia. Ia masih sehat dan tetap fanatik serta mengusahakan nonton tiap pertandingan LFC, kecuali bila sakit, namun tetap menonton dari tv.

Semangatnya si grandma itu, pun emosinya bila membicarakan Liverpool, akan fluktuatif dan dia mengaku amat happy sebagai anggota Big Reds sedunia.

Liverpool mencatat beberapa sejarah kelam pula akibat dukungan fans yang berlebihan. Peristiwa di stadion Heysel, Belgia, dan stadion Boro di Inggris, sampai “menerkam” korban puluhan orang, mati sia-sia karena berantam dengan fans lawan, dan tragisnya ada pula korban tersebut ayah dan anak! Gila bukan? Karena fanatisisme pada klub dukungan sampai mengorbankan nyawa?

Begitulah, di rumah kami, bila Liverpool kalah, sebaiknya jangan dibahas, tunggu mereka duluan yang menyampaikan. Namun emak mereka kadang masih saja tak paham, kadang jadi ketuslah jawaban si sulung atau si bontot karena merasa “annoying.”

Karena ketatnya persaingan di Liga Primer (melebihi ketatnya karet celana dalam :-p) dan Liverpool tertinggal enam poin dari kompetitor terberatnya, Chelsea FC, semalam si bontot jadi lesu karena Liverpool hanya main draw dengan klub calon degradasi, Sunderland: 2-2.

Dia kecewa, seharusnya memang–di atas kertas–Liverpool bisa menang dengan banyak gol. Tetapi begitulah,  hasilnya di luar bayangan, dan dia kemudian melamun sampai lewat tengah malam. Aku paham, tak kuberi komentar.

Nah, ini nih si sulung… Dia nonton bareng teman-temannya sesama Big Reds di satu kafe. Kutelepon supaya segera pulang, malah dijawab: “Iya Pak! Kok nggak ngerti sih, gua lagi bete karena Liverpool main seri melawan Sunderland! Tunggu aja kek, ntar juga gua pulang!” 🙁 :-p

Bah…, kok jadi aku kena imbasnya? Pikirku setengah protes dan itu entah keberapa kali.

Barangkali, analogi fanatisisme anak-anakku dan juga berjuta supporter pada klub bola dukungan mereka, bisa kujadikan contoh untuk memahami bahaya fanatisisme yang berlebihan, termasuk orang-orang beragama, atau pada tokoh politik atau pejabat dukungan mereka, hingga tak menerima kekalahan atau kelemahan yang didukung.

Jadi oversensitive, tak bisa menerima realitas, dikritik sedikit dukungannya, mereka langsung tersinggung atau marah. Sungguh irasional bukan?

Tugaskulah mendidik ketiga putra-putri ini, terutama si sulung dan si bontot, agar tetap mengedepankan akal-sehat, objektif memandang apapun. Jangan karena kelewat membela (pada apapun) jadi irasional, tak bisa lagi berpikir objektif, karena itu norak selain kampungan.

Foto ilustrasi: Unsplash/Pexels

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *