All posts by admin

Belajar dari Cerita Tuhan pada Hari Natal

Cerita selalu bisa jadi pembelajaran, apalagi ceritanya Tuhan. Termasuk cerita Tuhan yang disiarkan melalui peristiwa Natal, cerita tentang kelahiran Yesus Kristus. Melalui Natal, Tuhan sebetulnya telah menuliskan cerita-Nya dalam hidup kita masing-masing.

Begitulah semangat yang ingin kami hadirkan pada perayaan Natal Persekutuan Oikumene Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia tahun lalu.

Perayaan Natal 2015 ini menjadi penting artinya, sebab sebelum 2015 tak ada perayaan itu, dengan alasan tertentu. Natal kami tahun kemarin bertemakan “HiStory“. Kami bermaksud menceritakan bagaimana cerita Dia dalam hidup kita.

Melalui Natal itu, jemaat diajak untuk semakin percaya bahwa Tuhan telah menuliskan cerita-Nya untuk dalam kehidupan pribadi masing-masing. Sekitar 90 jemaat hadir di natal PO FIB yang diadakan di Auditorium Gedung X.

Tahun ini jelas kami akan mengadakan kembali perayaan Natal itu. Rencananya diadakan pada Jumat, 9 Desember 2016. Total ada 22 orang panitia yang mempersiapkan dan mengadakan acara ini.

Panitia menggambarkan persekutuan yang erat dari para mahasiswa Kristen dari angkatan 2015, 2014, dan 2013. Panitia sudah dibentuk pertengahan Oktober 2016.

Tahun ini, Natal PO FIB akan mengupas soal pentingnya hubungan pribadi antara kita dengan Juru Selamat. Natal adalah penggenapan janji Allah di mana Kristus menjadi satu-satunya juru selamat untuk menebus dosa manusia.

Setelah percaya hal itu, jemaat akan diajak untuk memaknai Natal bukan sekadar perayaan tahunan, tapi momentum kelahiran baru mereka dan menjadi pribadi yang sesuai kehendak Tuhan dengan cara selalu memiliki relasi yang intim dengan Tuhan dan punya waktu pribadi denganNya.

St. Eustorgio, Milan : Makam 3 Orang Majus

Setiap Natal, kisah tentang kelahiran bayi Yesus yang dikunjungi oleh tiga orang majus menjadi cerita yang seragam dilantunkan di gereja di seluruh dunia.

Namun apakah orang majus itu nyata? Siapakah mereka, dimana mereka sekarang?

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu memenuhi benak saya sampai suatu ketika calon suami saya (saat ini sudah menjadi suami) mengajak saya mengunjungi Basilica St. Eustorgio, sebuah gereja tua yang terletak di Piazza Sant’Eustorgio No.1, Milan.

Saya masih ingat, Januari 2009, hari itu awan mendung menggelayut, warna langit kelabu cenderung menyedihkan. Saya yang kala itu tengah mengunjungi Milan sebagai turis menjadi gundah, sebab cuaca kurang mendukung. Calon suami saya paham betul tidaklah nyaman berjalan-jalan di hari yang mendung.

Namun, ia mencoba menghibur saya dengan mengatakan : daripada gundah gulana karena cuaca kurang menggembirakan, mendingan kita jalan-jalan ke St. Eustorgio. Saya oke-oke saja, meskipun dalam hati bertanya-tanya memangnya ada apa di sana, nama gerejanya juga tampaknya kurang begitu “beken”.

Sambil berpayung kami berjalan kadang meloncat kecil menghindari genangan air. Kami membeli tiket kereta bawah tanah metropolitana sampai ke pusat kota Milan di Piazza Duomo.

Bersamaan dengan hentinya metropolitana, saya lihat orang-orang menghambur keluar dalam ritmik pacu jalan kaki yang sulit saya tandingi. Mereka terbiasa berjalan cepat. Keluar dari koridor bawah tanah, saya lihat orang orang mengembangkan payung, warna-warni alat pelindung tubuh dari percik air hujan itu menjadi dekorasi indah menghiasi pandangan mata sepanjang trotoar.

Hujan bulan Januari di Milan itu kejam sekali, suhu menukik sampai 3°C, calon suami saya berkata : untung saja suhu tidak turun sampai 0°C, karena pada suhu tersebut air hujan bisa berubah menjadi salju. “Oh” dalam hati, “sayang sekali, saya justru ingin melihat salju”.

Meskipun dingin menggigit, orang Milan lebih memilih berjalan kaki daripada menggunakan kendaraan pribadi. Terima kasih kepada pemerintah kota Milan bersama perusahaan daerah dan swasta yang bekerja sama membangun transportasi dalam kota serta juga kepada warga Milan yang rela menyisihkan 40% penghasilannya sebagai pagu pajak sehingga transportasi publiknya sangat memadai, nyaman, efektif dan efisien.

Dari sana kami melanjutkan perjalanan dengan trem. Tak lama, calon suami saya memencet bel untuk memberi tanda bahwa kami akan berhenti di perhentian yang akan datang. Trem tidak berhenti di sembarang tempat, ada semacam stanplat yang menandai dimana trem bisa berhenti.

Tiba di stanplat kami melompat saja, jalan sedikit kemudian oh, sebuah gereja berwarna terracotta dengan menara di belakangnya, tua namun indah. Calon suami saya kemudian menunjuk kepada menara gereja : “Kamu lihat itu di atas menara, ada semacam arah mata angin dengan hiasan bintang besar”. “Ya ya, aku bisa melihatnya, ” sahutku.

Oke, mari masuk ke dalam katanya sambil membuka pintu utama gereja. Aku turut masuk ke dalam, gelap. Beberapa berkas cahaya dari jendela di atas gedung memberikan sedikit sinar. Kulihat beberapa pengunjung tampak duduk di bangku-bangku, mereka terdiam, sunyi dalam pikiran masing-masing.

Aku berjalan agak ragu, kemudian di altar aku terpesona, sebuah salib berwarna keemasan, tampaknya memang dilapisi emas.

Ternyata bukan itu yang menjadi alasan calon suamiku membawaku ke tempat itu, ia menjentikkan tangannya padaku dan mengajakku berjalan ke arah kanan gedung. (Kebanyakan gereja di Eropa berbentuk salib, sehingga setelah gang yang panjang terhadap ruangan di sisi kiri dan sisi kanan yang juga kadang digunakan untuk misa kecil).

Ternyata di sebelah kanan ruangan terdapat sebuah bangunan aneh berwarna putih, semacam peti tetapi besar sekali. Apakah ini? Tanya saya padanya.

“Ini adalah makam tiga orang Majus, beberapa bagian tubuh ketiga orang majus ini dimakamkan di sini,” ujarnya.

Saya terpana, terharu dan tak menyangka. Di Milan ternyata ada makam tiga orang Majus! Jadi cerita Alkitab yang selalu bergaung setiap Natal di gereja itu, benar adanya, bukan fiksi, bukan sekedar kisah yang indah untuk dijadikan produksi drama di gereja.

Dalam hati saya berteriak, “Oh mereka eksis! Tiga orang tokoh pintar yang hebat, penuh dedikasi dan melakukan perjalanan jauh karena jeli melihat kuasa Tuhan saat berbicara melalui alam semesta pada dua ribu tahun lalu itu ada! Oh, saya lega sekali!”

Pada salah satu kolom terlihat semacam relief yang menggambarkan lembu yang sedang mengangkut peti mati dari batu (sarcopagus). Ahli sejarah menyebutkan, lembu tersebut dikemudikan oleh Santo Eustorgio yang membawa peti mati ketiga orang Majus tadi dari Constantinopel.

Berdasarkan literatur pada abad ke tiga setelah masehi, atau sekitar 300 tahun setelah Yesus wafat, Ratu Helena yang adalah bunda dari Kaisar Konstantin dari Konstantinopel pernah berziarah ke Yerusalem pada dan mengumpulkan tulang-belulang para orang Majus.

Kabarnya ketiga orang Majus ini turut berjalan ke Golgota dan menyaksikan penyaliban Yesus, mereka kemudian menetap disana dan meninggal di sana. Itulah mengapa Ratu Helena bisa mendapatkan tulang-belulang ketiga orang Majus.

Konstantin sang putera, kemudian menyerahkan hasil pengumpulan bundanya tersebut kepada Eustorgio saat ia berkunjung ke Konstantinopel sebelum menjabat sebagai Uskup Milan, sekitar tahun 344 Masehi.

Eustorgio kemudian membawa hadiah berupa peti mati berisi tulang-belulang tiga orang Majus dari Konstantinopel tersebut dengan menggunakan lembu. Setelah memasuki kawasan pintu Gerbang Milan yang bernama Porta Ticinese, lembu tidak dapat bergerak karena terjebak lumpur.

Eustorgio menyatakan, inilah tempat dimana Tuhan berkenan dan kemudian ia menempatkan sarcopagus dan membangun gereja di lokasi tersebut, hingga kini gereja tersebut dinamai sesuai nama sang Uskup.

Sayangnya delapan abad kemudian atau pada tahun 1164, kota Milan diserang oleh pasukan Frederick I Barbarosa dari Jerman yang merampas juga sarkopagus ketiga orang majus tersebut dan menyerahkannya kepada Rainald von Dassel di Cologne, Jerman. Semua usaha untuk mengembalikan peti mati dan kerangka ketiga orang majus tersebut gagal.

Baru pada tahun 1904, Kardinal Ferrari, archbishop Milan kemudian berhasil memboyong sebagian dari kerangka ketiga orang majus, yaitu masing masing bagian fibula (tulang di bagian betis), tibia (tulang kering) dan vertebrata (tulang punggung) yang diserahkan oleh archbishop Cologne Mgr. Fischer pada sebuah pesta epifani yang masih terus dirayakan hingga sekarang.

Keluar dari gereja tersebut, sekali lagi aku memandangi menara gereja. Di ujung menara tersebut bukan bentuk salib yang saya lihat melainkan sebentuk bidang berujung delapan, sebuah simbol yang mengingatkan kembali pada bintang yang diikuti oleh para orang majus.

Ah, suatu saat saya juga ingin ke Cologne, Jerman dan melihat juga sebagian peninggalan ketiga tokoh luar bisa tersebut.

*Referensi tambahan : Secret Milan, Massimo Polidoro, Jonglez Publishing, 2012.

Rieska Wulandari

Catatan: Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di

http://www.kompasiana.com/rieskawulandari/st-eustorgio-milan-makam-3-orang-majus_552a6154f17e61a504d623c0

Penulis adalah lulusan jurusan jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom), Universitas Padjajaran dan menetap di Italia.

Foto: museomilano.it

Menggali Keberanian dan Keteguhan Hati dari Kisah Moana

Saya termasuk orang yang selalu berusaha menemukan makna di balik sebuah film yang bisa diaplikasikan untuk hidup. Begitu pun saat menjelang akhir pekan ini, saya menonton Moana, sebuah film animasi 3D terbaru dari Walt Disney Pictures.

Film animasi ini mengisahkan perjalanan Moana Waialiki (disuarakan oleh pendatang baru Auli’i Cravalho), anak kepala suku Motunui, dalam mencari Maui yang mencuri jantung Te Fiti, sang Dewi Pulau. Mereka harus mengembalikan jantung itu.

Perjalanan yang membahayakan sejak mula. Moana belum pernah berlayar. Menyentuh laut pun dilarang oleh sang ayah yang over protective. Belum lagi ketakutan yang dibangun bahwa samudera di balik karang sangat mengerikan.

Apalagi misi yang akan diemban. Maui (disuarakan oleh Dwayne Johnson) adalah manusia setengah dewa yang jago mengubah diri berkat senjata kailnya. Dengan kesombongan dan kedegilannya, apa dia mau dipaksa oleh seorang mortal (manusia) macam Moana?

Dan banyak lagi hal-hal mengerikan lain yang menantinya dalam perjalanan itu. Kamu akan kerap menahan nafas menonton film ini. Tapi jangan kuatir. Bumbu jenaka juga tak kalah banyaknya. Percayalah.

Apakah Moana bisa menyelesaikan misinya? Apa pelajaran yang bisa dipetik darinya? Kamu harus menonton film ini untuk lebih jelasnya.

***

Kisah Moana belum tentu akan memberikan ‘pelajaran’ pada semua orang. Tapi yang jelas, saya mendapat banyak pelajaran dan inspirasi darinya.

Pelajaran tentang keberanian, tentang keteguhan hati. Meski ada tantangan sebesar lautan, yang sama sekali belum dikenali, di balik karang. Pun meski misi yang diemban nyaris mustahil untuk dimenangkan.

“Kamu harus menjewer kuping Maui dan membawanya menyeberangi samudera untuk mengembalikan jantung Te Fiti, sang Dewi Pulau,” tutur Tala, sang nenek yang sedang sekarat.

Tak hanya nenek yang sekarat. Pulau suku Motunui pun sedang ‘sekarat’. Kelapa tak lagi berbuah baik. Ikan-ikan juga tak ada lagi. Dan semuanya kini tergantung pada usaha si kecil Moana untuk memulihkan kembali Te Fiti, sang Dewi Pulau.

Apa boleh buat. Maui, si manusia setengah dewa, harus dicari apapun risikonya. Sebab jantung mesti dikembalikan. Itu semua butuh kekuatan, keteguhan hati, dan keberanian.

Tapi kekuatan nyata itu lahir dari kesadaran diri. Pada kasus Moana, dia sadar bahwa dirinya adalah Moana, manusia yang terpilih untuk menjemput Maui, dan sejatinya di darahnya mengalir darah suku penjelajah lautan, bukan suku penakut.

“Aku yang mencintai laut dan rakyatku. Aku sudah pergi jauh dan pengalaman mengajariku, itu yang akan menuntunku. Aku tahu jalanku (karena) aku Moana.”

***

Moana adalah film animasi tipikal Disney, dalam hal karakter tiga dimensi dan jalinan ceritanya. Moana menambah panjang deretan para ‘princess’ dalam dunia dongeng Disney. Meski Moana tegas-tegas mengatakan, dia bukanlah Putri.

Tak banyak kritikan pada film yang disutradarai oleh Ron Clements and John Musker ini. Kritik yang ada kebanyakan seputar sosio-kultural. Sosok Maui dinilai tak seperti mitologinya yang sangat kuat dan super. Penggambaran Maui yang gemuk juga terlalu men-stereotyping orang Polinesia.

Soundtrack-nya: How Far I’ll Go, I Am Moana (Song of the Ancestors), dan We Know the Way, juga tak serenyah Let It Go dari Frozen (juga terbitan Disney). Apalagi kuat pengaruh musik khas Polinesia di dalam soundtrack Moana.

Tapi saya sepakat, film ini bisa menjadi tontonan segar dan inspiratif bagi siapa saja. Terutama bagi anak-anak menjelang akhir tahun, setelah sekian lama terharu biru oleh Anna dan Ratu Salju Elsa dari kisah Frozen.

Beberapa Fakta Film Moana

1. Pengisi suara Moana adalah aktris baru asli Hawaii bernama Auli’i Cravalho, 16 tahun.

2. Moana dan pengisi suaranya, Cravalho, sama-sama berusia 16 tahun saat film ini dirilis. Cravalho mulai mengisi suara Moana saat berusia 14 tahun.

3. Berbeda dengan kebanyakan karakter Disney, Moana bukanlah Putri bangsawan. Tapi seperti kata Maui: “Kalau kamu memakai dress dan punya teman binatang, kamu adalah putri.” Dalam petualangannya, Moana tak sengaja membawa ayam jantannya: Heihei.

4. Cravalho hampir saja gagal mengisi suara Moana karena dia anak baru di sekolah dan gagal mengikuti audisi acapella. Tapi ada direktur casting Disney di audisi itu dan dia menghubungi mama Cravalho. Dia akhirnya datang ke audisi hari terakhir dan mendapatkan peran itu.

5. Cravalho dan Dwayne Johnson benar-benar menyanyi dalam beberapa lagu di film itu.

6. Karakter Disney biasanya punya teman binatang. Kalau Cinderella punya tikus, putri duyung Ariel dengan kepiting Sebastian, Moana punya babi bernama Pua dan ayam jantan Heihei.

7. Sepintas terlihat mirip antara Cravalho dan Moana. Tapi karakter Moana diciptakan jauh sebelum Cravalho dipilih jadi pengisi suaranya.

8. Kalau di film Cravalho yang menyanyikan lagu How Far I’ll Go ciptaan Lin-Manuel Miranda, maka untuk versi rekaman radio, lagu itu dinyanyikan oleh penyanyi asal Kanada, Alessia Cara.

Foto: movies.disney.com

Ditulis ulang dan lebih lengkap dari tulisan sendiri di: http://bangdeds.com