All posts by Mino Situmorang

Anda Ingin Menjadi Siapa

Jika bisa berubah wujud, anda ingin jadi seperti apa atau seperti siapa?

Sebagai hiburan yang kreatif, film X-Men menjadi salah satu genre film yang menjadi favorit saya. Dalam episode X-Men, First Class, ada beberapa percakapan yang menarik bagi saya pribadi.

Salah satunya adalah ucapan Magneto pada Mystique: “Kau ingin masyarakat menerimamu. Tapi kau bahkan tak bisa menerima dirimu sendiri!”

Magneto berkata demikian pada Mystique yang punya kemampuan berubah wujud. Aslinya Mystique berkulit kasar dan berwarna biru, dan bermata kuning, tapi dia memilih wujud seorang wanita cantik sempurna. Dia tak percaya diri dengan wujud aslinya yang aneh dan agak menakutkan.

Saya suka Mystique. Karakter mutan yang diperankan dengan akting yang cantik oleh Jennifer Lawrence ini bagi saya terlihat sungguh mengasyikkan. Bisa mengubah wujud dan suara dengan alami, menurut saya itu keren.

Jika berandai-andai bisa seperti Mystique, saya mungkin ingin mengubah wujud menjadi seperti Mariana Renata atau Rachel Weisz. (Keep on dreaming! kata hati saya, hahaha…)

Seperti Mystique, siapa yang tidak ingin penampilan menarik dan wajah yang cantik? Pun Mystique, ingin terlihat “normal” agar bisa diterima di lingkungan manusia. Sebab jangankan manusia, bagi lingkungan mutan pun dia lebih menarik dengan wujud manusia daripada wujud aslinya.

Siapa yang tak ingin terlihat enak dipandang hingga orang memuja dan memuji kita, atau menerima kita? Bahkan ada orang yang akan melakukan apa saja untuk diterima orang lain.

Apakah anda pernah mendengar bahwa belakangan ini kaum muda Korea cenderung berprinsip lebih baik bokek daripada jelek, sehingga mereka bela-belain melakukan operasi plastik? (Bukan hanya perempuan, juga laki-laki lho…)

Siapa yang tak ingin diterima. Itu adalah kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan untuk dianggap menjadi bagian dari sebuah komunitas.

Sesungguhnya hal itu bisa menjadi salah satu sumber masalah dalam hidup kita. Kerap terjadi, keinginan batiniah untuk diterima orang lain, membuat hidup kita semakin tidak bahagia dan melakukan hal yang membuat kita susah.

Segala cara mungkin akan ditempuh orang hanya untuk bisa diterima atau dianggap atau dihargai oleh orang lain. Tempo hari ada kenalan baru yang saya kira anak pejabat karena penampilan selalu wow, bahkan kadang memakai mutiara yang mewah.

Baru saya tahu kalau ternyata itu hanya tampilan artifisial. Sesungguhnya dia berasal dari keluarga yang bahkan belum bisa tinggal di rumah sendiri (bukan bermaksud menghakimi, saya hanya tak menyangka, dan saya justru jadi prihatin mendengarnya).

Dulu ada juga seorang rekan yang memang selalu rajin mentraktir semua orang dan rutin memberi bunga untuk semua wanita di kantor di hari Valentine. Mungkin itu hanya cara untuk menunjukkan bahwa dia ingin diterima dan dianggap istimewa.

So much for an acceptance.

Saya juga di waktu lalu pernah ada masa ketika saya mungkin merasa harus melakukan hal tersebut, tapi saya kemudian berhenti dan mengambil pelajaran. Bahwa itu sia-sia. Percuma. Itu adalah kesimpulan saya ketika saya berusaha untuk diterima dalam sebuah komunitas tapi kemudian saya harus melakukan yang bertentangan dengan prinsip.

Carilah orang yang bisa menerimamu apa adanya. Jika kau tak diterima, cari tempat lain, tapi jangan lupa introspeksi diri jangan sampai memang kita yang salah membawa diri hingga tidak diterima.

Seperti si Mystique, cara terbaik memang adalah menjadi diri sendiri dan menerima diri sendiri. Saya misalnya, menerima kenyataan bahwa saya bukan orang sanguin yang supel. Sampai sekarang, saya sadar, walau sudah terus berusaha belajar, saya masih seseorang yang belum lulus juga dari (contohnya) pelajaran “berbasa-basi”. Saya masih gagu jika mendadak bertemu dengan orang baru dan hanya bisa bertahan berbasa-basi di bawah lima menit kecuali orang itu bisa terus membawa percakapan. Itu sebabnya saya lebih memilih diam, daripada jadi canggung berhadapan dengan orang lain, atau malah jadi bikin masalah seperti salah komunikasi.

Ada ucapan orang bijak, kira-kira begini:

Jika anda harus membuktikan sesuatu pada orang lain agar diterima, mungkin justru itu saatnya anda harus pergi dari orang semacam itu.

Mengapa? Itu pertanda bahwa anda tak diterima apa adanya. Lebih baik mencari komunitas yang layak untuk anda dan anda layak untuk mereka.

Sebab menurut saya pribadi–bukan bermaksud skeptis–tak ada orang (hanya Tuhan) yang bisa menerima kita apa adanya. Kita harus lebih baik, mengubah diri kita lebih baik, itu salah satu cara untuk beradaptasi dengan lingkungan. Dengan berbuat baik pun belum tentu kita diterima, apalagi sebaliknya?

Tuhan mencintai kita apa adanya. Tapi saya yakin Tuhan juga ingin kita berubah makin hari makin baik hingga makin menjadi serupa seperti imejNya.

Jadi seperti si Mystique, mari terimalah diri kita apa adanya, tapi jangan berhenti di situ. Tapi, berusahalah berubah lebih baik lagi, lagi dan lagi. Sebab proses perubahan itu memang tak ada habisnya.

Jadi jika ada yang bilang: I love you just the way you are, ah yang bener!

🙂

*-*

Foto: Pixabay

Tips Menghadapi Masalah Hidup

Banyak masalah dalam hidup yang harus kita atasi. Agar lebih mudah menentukan tindakan yang harus kita ambil untuk mengatasinya, kita akan membedakan masalah hidup menjadi dua macam.

A. MASALAH BUATAN

Masalah buatan adalah masalah yang datang oleh diri kita sendiri. Masalah itu timbul karena tingkah laku dosa, sikap salah, ataupun akibat kepribadian buruk kita. Masalah buatan bukanlah masalah semu, hanya saja penyebabnya adalah diri kita sendiri.

Selama ini kita mengetahui ada tiga hal cara Allah menjawab doa, yaitu “Ya”, “Tidak”, atau “Tunggu”. Tetapi ada juga cara yang keempat, yaitu “Bertindaklah!” Berikut uraian maksud setiap jawaban Tuhan.

1. Ya!

Ketika Allah menjawab doa kita dengan “Ya”, itu berarti Ia mengabulkan permohonan kita. Ia melihat bahwa untuk kebaikan kitalah Ia mengabulkan permintaan itu.

2. Tidak!

Allah tidak mengabulkan permohonan kita karena Ia melihat bahwa yang kita minta itu bukan untuk kebaikan kita.

3. Tunggu!

Allah akan mengabulkan permohonan kita pada masa yang akan datang, bukan sekarang. Ia melihat bahwa untuk kebaikan kita permohonan kita dikabulkan pada masa yang akan datang, bukan saat ini. Waktu tunggu ini sesuai dengan waktu Allah.

4. Bertindaklah!

Allah menghendaki kitalah yang harus bertindak. Kitalah yang harus bertobat, memperbaiki diri, meninggalkan jalan kita yang berdosa. Kitalah yang harus meninggalkan kebiasaan buruk dan kebiasaan berdosa. Allah tidak akan melakukannya bagi kita. Ia pasti akan menolong kita, tapi kitalah yang harus bertindak!

Ketika menghadapi masalah buatan, kita mengharapkan Allah dengan ajaib menyulap kita dari orang yang sewenang-wenang, pemarah, pendendam, dsb. secara seketika menjadi orang yang sabar, pengasih dan penyayang, mudah mengampuni, dll.. Ini tidak akan dilakukan secara otomatis oleh Allah. Allah jelas akan menolong kita melalui Roh-Nya, tapi kita juga harus berusaha. Kita harus bertobat dari kebiasaan berbuat dosa, harus bertekad untuk meninggalkan kejahatan. Kita harus berhenti membaca bacaan porno atau menonton film porno agar tidak terangsang dan berzinah dalam hati. Kita harus menjauhi bar-bar dan minuman keras agar kita tidak kembali menjadi pemabuk.

B. MASALAH SUNGGUHAN

Masalah sungguhan adalah masalah yang datang tidak disebabkan oleh sikap atau tingkah laku kita sendiri. Masalah ini mungkin datang karena keinginan, perbuatan, dosa orang lain, bencana alam, kecelakaan, situasi negara, situasi ekonomi, dll.. Bila musibah, kecelakaan, dan sengsara datang, umat Kristen dianjurkan untuk langsung menghadap Allah untuk meminta tolong dan berlindung pada-Nya sambil terus menyembah dan memuji Dia serta tetap hidup benar. Tak perlu putus asa atau bunuh diri saat usaha kita terancam bangkrut atau sudah bangkrut. Tetaplah bertahan saat kita mengalami fitnahan hebat. Tetaplah setia saat suami/istri kita menyeleweng (yang bukan karena sifat dosa kita).

TINDAKAN KITA

Bila menghadapi suatu masalah, janganlah kita langsung panik, marah-marah, atau putus asa. Iman kita mengatakan bahwa Allah mengizinkan masalah hadir dalam hidup kita untuk kekudusan kita, menyadarkan kita akan adanya sifat-sifat yang tidak pendewasaan kita. Kita juga sadar bahwa Allah bukan saja memperbolehkan suatu masalah datang kepada kita, kadang-kadang Ia malah mendesain suatu masalah untuk kebaikan kita.

Lalu apa yang harus kita lakukan?

1. Periksa apakah itu masalah buatan atau masalah sungguhan.

2. Bila masalah itu adalah masalah buatan; datanglah segera kepada Allah, lihat kelemahan dan dosa kita, bertobat, dan memohon anugerah-Nya untuk mengubah tingkah laku dan diri, dan rubahlah sikap dan tingkah laku kita. Sebaliknya, bila masalah itu adalah masalah sungguhan, kita datang kepada Allah dan memohon kekuatan serta pertolongan-Nya untuk menyelesaikan masalah kita.

(Diringkas oleh: Sri Setyawati)

Diambil dan diringkas dari: Judul artikel: Masalah Hidup; Judul buku: Mengatasi Masalah Hidup; Penulis: Dr. Jonathan A. Trisna; Penerbit: Lembaga Pendidikan Theologia Bethel Jakarta, Jakarta 1993

Foto: Pixabay

Ketika Anda Merasa Tidak Dihargai

Pernah, tiba-tiba saya dapat SMS dari seorang sahabat, isinya begini:
”Min, gua lagi merasa nggak berharga…”

Sejenak saya tertegun membacanya. Saya tahu di seberang sana, dia pasti sedang berurai airmata sambil mengetik dan mengirimkannya via SMS ke saya.

Saat itu saya belum tahu benar apa yang dia alami dan dia belum menjelaskan, tapi karena saya baru saja baca sebuah buku, saya akhirnya mengirimkan kutipan-kutipan yang kebetulan saya rasa pas untuk kondisinya.

Dan salah satu isi SMS saya yang ternyata mengena ke dia dan pas dengan kondisinya saat itu ternyata adalah ini: ”Siapa bilang loe nggak berharga, tahu nggak, kalo gue punya perusahaan sendiri, loe adalah orang pertama yang akan gue rekrut.”

Dan itu memang bukan basa-basi. Saya tahu potensi dia. Saya sudah kenal dia sejak kuliah. Kami sering bekerjasama, dalam kepanitian dan kepengurusan organisasi kampus dan bahkan dalam kegiatan hidup sehari-hari.

Akhirnya, dia cerita tentang sebuah pekerjaan yang orang lain anggap tidak sanggup dia kerjakan. Padahal bukan begitu yang sebenarnya. Ada banyak alasan politis yang membuat sikap tidak menghargai tadi itu terjadi. Dan kemudian jawaban saya ke dia adalah kutipan-kutipan dari buku yang kebetulan baru kelar saya baca waktu itu.

Bukan bermaksud mempromosikan buku itu, tapi karena seorang teman udah bela-belain meminjamkan buku ini buat saya baca, karena dia rasa buku ini layak dibaca semua orang, saya percaya buku ini memang perlu dibaca, dan semoga berguna buat anda juga.

Bukunya berjudul BECOME A BETTER YOU, oleh Joel Osteen. Buku setebal 400an halaman ini saya sarikan sebagai berikut:

“Engkau dilahirkan untuk hal-hal yang lebih baik dari ini, setingkat lebih tinggi dari sekarang.” Bagaimana caranya?

  1. Terus maju
    2.
    Bersikap positif terhadap diri sendiri
    3.
    Mengembangkan better relationship
    4.
    Membentuk kebiasaan yang lebih baik
    5.
    Menerima tempat di mana anda berada
    6.
    Mengembangkan kehidupan hati anda
    7.
    Tetap bergairah dalam hidup

Berhentilah melihat pada apa yg anda tidak miliki, tapi mulai percaya bahwa segala sesuatu mungkin terjadi, bahwa Allah ingin melakukan sesuatu yg luar biasa dalam kehidupan anda. Rahasianya adalah menjaga mata anda terarah pada tempat tujuan anda.

Pendapat orang lain tak menentukan potensi anda. Apa yang mereka katakan atau pikirkan tentang anda tak mengubah apa yang Tuhan telah tempatkan dalam diri anda.

Jangan biarkan penolakan menjatuhkan anda. Dari penolakan terbesar terhadap kita, biasanya akan keluar tujuan terbesar kita.

Alasan mengapa begitu banyak orang tidak bahagia dan tidak mempunyai antusiasme adalah karena mereka tidak sedang memenuhi takdir mereka. Tuhan menyimpan suatu karunia, harta karun dalam diri anda, dan anda harus memunculkannya!

Belajarlah menyukai diri anda sendiri.

Saat anda memperlihatkan kasih, anda sedang memperlihatkan Tuhan kepada dunia.

Terimalah kritik. Bagaimana cara mengatasi kritik:

  1. Rayakanlah kemenangan orang lain
    2. Jangan habiskan seluruh waktu anda dengan berusaha memenangkan hati para pengkritik anda, berlarilah saja dalam perlombaan anda sendiri
    3. Takdir anda tidak ditentukan oleh para pengkritik anda
    4. Menjaga diri anda tetap bersukacita

Kembali ke teman yang tadi merasa tak dihargai itu, pada akhirnya, di tempat yang lebih bagus, dia mendapatkan pekerjaan yang sungguh menunjukkan potensinya dan mendapatkan penghargaan keren karenanya.

Bagi saya pribadi, membaca buku tadi sungguh bermanfaat! Juga bagi teman saya tadi. Dia merasa diubahkan oleh buku itu. Menjadi lebih baik.

Selamat menjadi pribadi yang lebih baik! Dan ingatlah, jangan pernah merasa tidak berharga, sebab anda berharga di mata Tuhan!!!

-*-

Foto: Pixabay

Perkataan Yang Menyenangkan

Waktu remaja, saya ingat ibu saya selalu mengingatkan saya untuk berhati-hati memilih teman bergaul. Tak disangka, sampai usia sedewasa ini pun ternyata dalam hidup ini kita tetap harus cermat dalam menyeleksi pertemanan, sebab menjadikan teman atau sahabat berarti membuka pintu bagi orang itu untuk masuk dalam kehidupan kita. Sedikit banyak kehadirannya akan memengaruhi hidup kita. Hidup kita bisa lebih baik, atau jadi lebih buruk.

Beberapa waktu lalu, dalam sebuah komunitas, ada seorang teman baru yang terlihat asyik, lucu, gaul, pokoknya fun banget. Kami semakin dekat, dan tadinya saya pikir dia akan jadi sahabat baru saya (dalam hati saya tertawa; emak-emak punya sahabat baru nih yeee).

Tapi waktu memang menunjukkan keaslian pribadi seseorang. Setelah beberapa lama saya dekat dengannya, saya merasa ada yang berbeda. Teman ini memang sungguh menyenangkan, tapi bigosnya luar biasa. Biang gosip. Tanpa saya sadari, hubungan saya menjadi kurang baik dengan beberapa orang karena salah kaprah oleh omongannya. Teman ini rupanya suka membuat sensasi dengan menyampaikan omongan seseorang ke orang lain dan menambahkan bumbu-bumbu yang merusak makna omongan orijinalnya. Dan hal itu potensial disalahartikan oleh pihak lain. Sebab watak manusia sungguh berbeda, dan cara pandangnya juga beraneka ragam, dan itu tak bisa kita kendalikan, serta kesalahkaprahan kata-kata ini bisa menyebabkan perang.

Lama-lama saya merasa, sejak dekat dia saya bawaannya jadi agak gelisah. Gosip melulu. Bawa berita buruk melulu. Bawa cerita omongan orang lain melulu. Setelah memerhatikan dari beberapa kejadian, saya memutuskan lebih baik menarik diri dari pertemanan kami. Yang biasanya kami nyaris chatting tiap hari, perlahan mulai saya kurangi dan nyaris tak pernah saya balas lagi jika tak dirasa ada yang penting.

Dia sadar dengan perubahan itu. Beberapa kali dia menanyakan kok nggak pernah balas chat lagi dan tak mau ketemuan lagi. Saya tidak menjawab dengan apa-adanya, sebab saya yakin efeknya akan panjang lagi. Maka dengan klise saya jawab sibuk. Sejujurnya, hidup memang lebih seru dengannya, penuh tawa canda, tapi hidup saya lebih baik tanpa dia. Lebih tenang dan damai. Dengannya saya hanya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang tanpa ada pengembangan diri yang positif.
Ada beberapa hal yang saya pelajari dari kejadian tersebut, seperti di berikut ini:

1. Pilihlah teman yang positif, yang membuatmu semakin baik.

Ada seorang teman yang disebali teman lain karena jarang muncul hang out. Tapi saya suka dan kagum sama dia karena dia memang sedang sibuk ambil kursus untuk pengembangan diri dan bisnis. Saya belajar banyak darinya.

2. Jangan mudah terbawa berita atau terhasut.

Bukalah wawasan, dengarlah berita tapi seleksi dengan akal sehat, banyak-banyak bertanya pada orang bijak, supaya tahu mana yang betul mana yang hanya provokasi. Berpikir positif lebih baik daripada berburuk sangka.

3. Janganlah menjadi pembawa gosip atau kabar burung, atau kabar buruk.

Seperti tertulis di Amsal: Perkataan yang menyenangkan adalah seperti sarang madu, manis bagi hati dan obat bagi tulang-tulang. Sedapat-dapatnya jadilah pembawa berita positif dan damai. Terkadang, sekalipun omongan orang lain benar, kita tak perlu menyampaikannya pada orang lain. Itu bisa membuat perpecahan. Marilah berusaha membawa berita yang benar dan positif dengan bijak. Hati-hatilah dengan ucapan kita sebab itu bisa membawa teman atau musuh.

Untuk kenyamanan hidup, mungkin kita perlu menutup pintu bagi pembawa gosip, orang picik, provokator atau perusak kedamaian. Cukup saksikan mereka sesekali dari balik kaca jendela rumah anda yang tertutup. Anda pun tak sudi jadi orang yang demikian, bukan?

-*-

Foto: Pixabay

Ketika SATU Tak Pernah Cukup

Tempo hari, saya mengajak anak saya yang bungsu liburan singkat sekalian menemani neneknya berkunjung ke rumah kerabat di kampung halaman. Karena ayah dan kakaknya tidak bisa ikut, awalnya dia kurang semangat ikut, tapi karena ingat di depan rumah nenek yang di kampung bisa menangkap ikan, dia jadi bersemangat sekali.

Tiket pesawat pun kami pesan di hari Senin untuk keberangkatan Jumat. Sepanjang minggu itu yang dia bicarakan hanya soal menangkap ikan di kampung nanti. Dia ingin menangkap ikan sebanyak-banyaknya untuk mengisi akuarium di rumah yang ikannya tinggal satu ekor. Selainnya sudah pada mati.

Sebelum berangkat, bahkan sepanjang jalan, soal menangkap ikan itu saja yang dia bicarakan. Bahkan ketika pesawat mendarat di Silangit, dia sudah tak sabar ingin cepat-cepat menuju danau. Padahal kami harus berkunjung dulu ke rumah kerabat di dekat Tarutung. Saya sampai bertanya apakah masih ada kolam ikan di belakang rumah kerabat tersebut, yang ternyata sudah kering. Anak saya mulai kecewa.

Setelah dari rumah kerabat, kami ke rumah kerabat lainnya di Balige. Di depan rumahnya juga persis tepi Danau Toba. Anak saya dibawa kesana, tapi karena hari sudah gelap, tak mungkin menangkap ikan lagi.

Kami tiba di Tomok sudah malam hari. Besok paginya, air danau sedang keruh. Tak ada ikan yang terlihat di tepi air. Saya bahkan sudah sampai teriak minta tolong pada nelayan kapal kecil yang sedang lewat, minta ikan kecil, tapi dia bilang sedang tidak ada. Anak saya mulai kesal. Setelah itu kami berbelanja ke pasar dan seharian jalan-jalan keliling pesisir Danau Toba dan sekitarnya. Sore hari, kami pulang ke rumah nenek, hujan turun hingga kami tak lagi ke pantai. Anak saya pun marah. Saya merasa telah merusak kebahagiaannya.

Besoknya, bangun pagi saya langsung ke pantai. Saya lihat airnya jernih. Saya sudah siapkan jaring. Terlihatlah beberapa ikan-ikan kecil. Begitu saya coba tangkap, semua kabur. Semakin lama saya makin jauh masuk ke dalam air mengejar ikan, tapi makin cepat juga ikannya kabur, dan sudah tak terlihat.

Nyaris tiga puluh menit saya mencoba mencari ikan, tak ada lagi, dan saya tak mungkin masuk makin dalam ke tengah danau. Tinggi air sudah nyaris melewati pinggang saya. Dan saya pun berdoa. Tuhan, tolonglah. Satu ikan kecil saja buat anak saya, biar dia puas dengan liburannya. Sebab hari ini kami akan kembali ke Jakarta.

Lalu saya melangkah kembali ke arah luar pantai, nyaris tanpa harapan. Tanpa sengaja tiba-tiba terlihatlah seekor ikan kecil ini di tepi pantai, dan langsung saya tangkap dengan jaring. Dapat! Saya bahagia bukan main! Terima kasih, Tuhan. Doa saya terkabul!

Sempat juga muncul rasa serakah. Satu ikan lagi deh Tuhan, please… Tapi nyaris setengah jam lagi saya di tepi danau mencari ikan, tak ada lagi. Lewatlah seorang nelayan kecil, dan saya minta ikan, tapi dia hanya bisa memberikan ikan mujahir yang paling kecil dan itu pun masih terlalu besar (dan itu bukan jenis ikan yang anak saya mau).

Saya kembali ke rumah dan membangunkan anak, sambil memperlihatkan ikan kecil itu. Anak saya senang, dan memasukkan ikan itu ke dalam botol aqua. Dia tidak tertarik pada mujahir tadi. Tapi tidak lebih dari setengah jam, ikan kecil itu mati! Anak saya marah-marah. Tapi saya tidak galau lagi. Setidaknya, doa saya sudah dikabulkan. Ikan sudah ditangkap. Tujuan awal sudah tercapai. Proses berikutnya kan, resiko lain.

Saya biarkan anak saya marah-marah sampai dia bosan. Setelah itu, untungnya anak saya bisa dibuat mengerti. Dia membuat saya berjanji akan membeli ikan di Jakarta saja. Seratus ekor! Katanya. Saya hanya menahan senyum.

Yang saya ingat, tadi waktu berdoa minta ikan, saya sempat berpikir, masa saya mau ngerepotin Tuhan hanya untuk urusan ikan kecil ini? Masa Tuhan mau direpotin untuk hal-hal sepele begitu? Lalu saya ingat, pendeta saya bilang, kenapa tidak! Hal seremeh apapun doakan saja pada Tuhan.

Merenungi kejadian ini, saya merefleksikan diri dengan membandingkan diri pada anak saya. Ada dua hal yang saya simpulkan.

Pertama.

Mungkin dalam pergumulan hidup, saya sering hanya fokus pada pergumulan, atau tujuan, atau rencana-rencana saya saja. Seperti anak saya, yang hanya memikirkan tujuan menangkap ikan, dia jadi tak lagi menikmati sisi lainnya, seperti indahnya pemandangan danau Toba dari atas pesawat, nikmatnya jajanan pasar yang hanya ada di Tomok, teduhnya pemandangan bukit hijau Kebun Raya yang baru diresmikan Jokowi di Samosir, lezatnya waffle yang coklatnya lumer di ruang tunggu bandara, serunya mencari durian jatuh di belakang rumah nenek, asyiknya bermain air danau, uniknya pengalaman mencari telur bebek peliharaan tante di sekitar tepi pantai, dan maknyosnya makan ikan bakar segar yang baru ditangkap nelayan dan langsung dimasak.

Kedua.

Ketika kita sudah mendapatkan apa yang kita doakan, kadang mungkin kita tak puas dan masih lebih serakah lagi ingin semakin mendapatkan lebih banyak, lagi dan lagi. Kita lupa bersyukur dan lupa mencukupkan diri dengan apa yang sudah kita miliki.

Kita mungkin pernah seperti itu. Kita sibuk dengan segala pergumulan dan rencana serta tujuan kita, dan tidak bisa mengalihkan perhatian sejenak pada hal-hal di sekitar kita (apa yang sudah kita miliki) yang bisa membuat mata kita terbuka dan lebih tenang serta bersyukur pada Tuhan. Padahal, pada akhirnya, apapun yang kita lakukan takkan bisa menyelesaikan pergumulan kita, apapun tujuan kita hanya tercapai jika kita sudah meminta tolong pada Tuhan, apapun masalah kita kalau dengan kekuatan kita sendiri takkan terpecahkan. Intinya, semua usaha dan rencana kita kembali hanya pada pertolongan Tuhan.

Sesekali, mungkin kita perlu berhenti sejenak, menghitung semua yang kita miliki. Seperti kata lagu, hitunglah berkat sepanjang hidupmu, kau niscaya kagum oleh kasihNya.

-*-

 

Foto: Pixabay

 

DOA YANG DITOLAK

Mengapa doa ditolak? Mungkinkah itu salah satu cara yang walau menyakitkan, bisa membuat kita semakin dewasa?

Waktu sekolah dulu, teman-teman saya suka iseng mencomot makanan ketika temannya sedang berdoa. Jadi, belajar dari pengalaman, kalau mau makan, sambil berdoa, ada teman saya yang akan menutupi makanan dengan kedua telapak tangan untuk menghindari para ‘maling’ jahil itu. Tentu saja doanya jadi kurang konsentrasi. Itu memori lucu saya tentang doa yang masih berkesan.

Apa yang paling berkesan bagi anda, tentang doa? Ada teman saya yang usil yang menjawab demikian: Doa saya paling sering ditolak!

Wah. Pernahkah doa anda ditolak? Teman saya itu pasti menjawab: Pernah banget! Sering, malah!! (Hahaha).

Jaman mahasiswa, saya pernah mendoakan sesuatu, cukup lama. Akhirnya saya sedih sekali karena ternyata doa itu ditolak. Tapi rupanya, doa itu bukan ditolak, hanya diundur waktunya. Pada akhirnya, kisahnya adalah happy ending. Sampai kini hal tersebut adalah sebuah pengingat bagi saya untuk berusaha bersabar, menunggu waktu jawaban Tuhan.

Jangan salah. Seperti teman saya yang usil tadi, doa saya yang betul-betul ditolak juga banyak, dan ada yang hingga kini masih berbekas. Tapi kembali saya ingat kejadian ‘pengingat’ tadi, dan walau masih belajar iklas, tetap saja terasa berat. Mungkin memang perlu waktu.

Seorang sahabat, sejak beberapa tahun belakangan ini memiliki pergumulan berat. Akhir-akhir ini dia, jika dia kirim pesan WA ke saya, keluhannya adalah, seolah doanya tak terjawab. Atau doanya mungkin ditolak. Dia hampir menyerah. Karena sama-sama sibuk, saya dan dia hanya bisa komunikasi aktif dengan chatting. Membaca ceritanya, kadang saya ikut menangis selama chatting. Sejujurnya, saya juga ikut letih pada pergumulannya. Seolah tak ada jawaban, seolah tak ada jalan keluar. Dan itu sungguh menyesakkan dan melelahkan. Saya hanya bisa menghiburnya dengan mendorongnya bersabar dan percaya, walau mungkin saya juga tak bisa sekuat itu.

Bicara soal ditolak, memang tak ada enaknya. Ditolak itu sakit. Ya ditolak cintanya, ya ditolak lamaran kerjanya, ditolak masuk suatu kumpulan, atau ditolak proposal kenaikan gaji, dan lainnya. Ditolak itu menyakitkan. Jangankan yang ditolak jika kita yang meminta, bahkan jika yang ditolak pemberian atau sumbangan kita pun bisa bikin sakit hati.

Bagaimana dengan doa yang ditolak tadi? Teman saya bertanya: Apa yang membuat Tuhan sebegitu ‘pelit’ atau ‘kejam’ menolak doa umat ciptaanNya?

Saya ingat sekali kala masih muda dulu pernah curhat dalam doa pada Tuhan. Saya dengan jujur berdoa dan bilang padaNya: Tuhan saya benci sama itu orang, jahat banget dia sama saya, Tuhan pasti tahu. Tuhan pasti tahu juga saya saat ini nggak mau maafin dia dan saya berharap dia mendapat balasan setimpal atau lebih buruk. Saya berharap segala yang terburuk terjadi menimpanya. Tuhan, Engkau tahu isi hati saya dan itulah keinginan jujur saya. Timpakanlah segala cilaka padanya! Tapi Kau Tuhan pengasih. Kau pasti mengampuni dia. Tapi dia jahat banget, Tuhan!

Habis berdoa, saya bengong. Hah! Doa macam apa tuh! Beberapa waktu setelah itu, jika saya teringat, saya menertawakan diri sendiri. Betapa silly doa itu walaupun betapa jujurnya. Tapi Tuhan kan tidak menolak doa macam apapun. Tidak ada doa yang ditolak dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Intinya adalah pada kalimat penutup: Tapi kehendakMulah yang jadi. Amin.

Pada akhirnya saya sadar, jawaban Tuhan atas doa yang tadi itu adalah: Tugasmu adalah mengampuni. TugasKu, membalaskan dengan caraKu dan waktuKu, dan itu bukan urusanmu.

Tentang doa, analogi saya kemudian menjadi sederhana. Seperti ini. Anak saya boleh meminta apa saja. Tapi sayalah orangtua. Saya lebih tahu yang terbaik untuknya. Dia bisa minta dibelikan iphone terbaru, tapi saya bisa memberikannya hanya ponsel biasa, sebab saya tahu yang penting buat dia adalah komunikasi, bukan gaya keren-kerenan yang akan membuat dia sombong dan dibenci teman-temannya.

Pernah juga, dulu ada doa yang dikabulkan Tuhan yang kemudian membuat saya menyesal. Ada sebuah cita-cita impian saya dan Tuhan mengabulkan doa saya untuk hal itu. Tapi ternyata impian itu tidak seperti yang saya harapkan. Apa maksud Tuhan di situ? Apa mau bilang: ‘Nih rasain permintaan lu nih!’?
Bukan. Mungkin Tuhan ingin saya belajar sesuatu dari situ. Dan betul. Saya jadi belajar, tidak semua impian atau keinginan kita baik bagi kita. Atau mungkin memang baik, walau dengan cara yang menyakitkan, yang bisa membuat kita semakin dewasa. Itu mungkin berlaku bagi pergumulan sahabat saya tadi.

Lalu seorang teman bertanya: Jadi apa resep doa yang manjur? (Manjur? Lu kira jamu! jawab teman usil tadi.) Tapi betul. Memang ada. Ada resep doa yang manjur. Doa yang pasti dikabulkan. Apa itu?

Mau doa manjur? Tinggallah di dalam Aku. Apa pun yang kau minta akan Kuberikan.

Itu tertulis dalam kitab Yohanes 15:7. Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya.

Apa itu artinya tinggal dalam Tuhan? Pendeta saya menjabarkannya seperti berikut ini.

Artinya, ketahuilah hati Tuhan. Kenalilah Tuhan. Lakukanlah perintah Tuhan. Bertingkahlakulah sebagai anak Tuhan.

Anak Tuhan?

Ya. Kalau kita tinggal di dalam Tuhan, dan melakukan firman Tuhan, tak mungkin lagi kita meminta/mendoakan hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.

Contohnya?

Tuhan tidak suka kesombongan, jadi percuma kita berdoa minta jadi millioner sebab itu mungkin akan membuat kita jadi sombong, berbuat dosa dan jadi batu sandungan. Anak Tuhan takkan minta sesuatu yang akan membuatnya tidak menaati Tuhan.
Masih bingung?

Misalnya kau anak pendeta. Kalau sudah tahu ayahmu enggak bakalan kasih kau pergi ke diskotik, untuk apa menghabiskan waktu untuk bolak-balik minta ijin ke diskotik? Sudah pasti ditolak. Tapi jika kau minta ijin pergi ke gereja, pasti dikasih langsung, malah disuruh cepat-cepat berangkat, dan mungkin diberi ongkos lebih dan uang jajan (hahaha).

Teman usil tadi pun menyimpulkan dengan asal. Kalau begitu, percuma dong berdoa minta jadi milioner, doanya bakal ditolak! Lalu saya bolehnya minta apa dong?

Kata pendeta, mintalah hikmat, kesabaran, kasih. Itu pasti manjur, pasti dikabulkan! Seratus persen manjur! Mintalah hikmat untuk bisa hidup saleh walau tak jadi milioner. Sebab tujuan hidup kita adalah untuk memuliakan Tuhan, bukan untuk menjadi milioner.

Anak saya pernah bingung karena jika dia minta uang sumbangan untuk murid yang berduka di sekolah, pasti saya kasih, dan jumlahnya pasti lebih besar dari pada uang jajannya. Kalau dia minta uang untuk beli mainan pasti saya interogasinya lama dan belum tentu dikabulkan. Dia sempat kesal.

Begitulah kadang saya melihat diri saya dalam hal jawaban doa. Apa yang kita inginkan bukan selalu yang kita butuhkan. Memang menyakitkan ketika doa kita tidak dikabulkan. Tapi Tuhan tahu yang terbaik bagi anak-anakNya. Dan seperti kata pendeta, apapun isi hati kita, tak ada salahnya menceritakan pada Tuhan. Segala curhat, ‘aib’ dan rahasia kita aman di tanganNya, tak bakalan disebarkan ke orang lain. Yakinlah! Jaman sekarang serba terbuka. Kita curhat lewat telepon bisa direkam/disadap. Curhat lewat email/surat/chatting, bisa disimpan atau di-captured dan disebar. Tak ada lagi privasi. Lalu mengapa tak kembali kepada doa, privasi tertinggi, terpercaya dan tersejahtera?

Lalu kata pendeta saya: Tapi, jangan berdoa hanya jika sedang ada permintaan lho, ya. Itu namanya egois. Memangnya kau suka jika temanmu muncul pada saat ada maunya saja? Memangnya enak kalau teman hanya telepon kalau mau minta tolong, tetangga hanya datang kalau mau pinjam uang? Memangnya enak diperlakukan begitu?

-*-

Foto: Pixabay

 

Kamu Egois, Aku Egois

Salah satu masa paling menyenangkan selama bergelut di dunia kerja ini adalah ketika suami saya pindah ke kantor di sebelah gedung kantor tempat saya bekerja. Kami bisa berangkat dan pulang kerja bersama dan sesekali janjian makan siang berdua, atau makan malam berdua sepulang kerja sebelum pulang ke rumah. Semacet apapun Jakarta rasanya tak terlalu mengganggu sebab saya tinggal duduk dan suami yang menyetir. Kami bisa mengobrol sambil ngemil dan mendengarkan radio/musik.

Tapi itu tak lama. Setelah beberapa tahun, dia ditugaskan lagi ke kantor cabang perusahaan yang lain yang berada di pinggiran Jakarta. Tak mungkin lagi dia antar atau jemput saya, sebab berbeda arah. Pernah terpikir untuk mengemudi sendiri atau mencari pengemudi pribadi, tapi pada akhirnya memutuskan lebih praktis kembali ke pangkuan angkutan umum, yang sebelum dan sesudahnya dan kapan saja seolah setia mendampingi saya (hahaha).

Apa yang terjadi dengan warga angkutan umum sekarang? Begitu saya bertanya dalam hati ketika baru kembali lagi ke ‘alam bebas’ itu. Rasanya seperti dulu ketika baru pulang dari Jepang yang serba rapi dan kagok ketika melihat semrawutnya Jakarta.

Satu kata yang lantas terbersit dari pikiran saya adalah: Egois.

Seperti kemarin pagi, di angkot, dengan cueknya seorang bapak berpakaian rapi merokok seenaknya padahal semua isi angkot yang mayoritas wanita sudah menutup hidung dan mengibas-ibas sebagai isyarat supaya beliau mematikan rokok. Egois sekali bapak ini! pikir saya. Teringat di Jepang ada inovasi untuk perokok, namanya Smoking Bells (bentuknya seperti bell/lonceng). Alat ini didesain untuk membuat perokok menikmati asap rokoknya sendiri di tempat umum, hingga tidak akan mengenai orang di sekitarnya.

Lalu soal tempat duduk di angkutan umum. Jika saya bandingkan, bila pagi hari saya naik patas AC, kemungkinan besar tidak akan dapat tempat duduk. Yang duduk sambil tidur adalah (selain wanita) para pria berpenampilan kantoran rapi yang seolah takkan peduli sekalipun ada nenek atau ibu hamil berdiri di dalam bus.

Jika saya naik kopaja, yang kebetulan isinya kebanyakan para buruh, kemungkinan besar mereka akan memberikan saya (atau wanita lainnya) tempat duduk mereka. Di situ saya kadang merasa sedih (ini bukan bercanda). Membandingkan kedua hal ini membuat saya miris. Kembali satu kata itu terbersit. Egois sekali para pria kantoran ini!

Lalu bukan hanya itu. Ada saja penumpang yang tidak mau menggeser tempat duduk untuk orang di sampingnya. Jika karena ukuran badan jadi tidak muat, mungkin bisa dimaklumi. Tapi jika karena ogah rugi, misalnya harusnya bisa berlima tapi yang duduk masih empat orang, aduh! Penumpang egois! (Makan tuh tempat duduk! Begitu teman saya pernah memaki).

Lalu kemarin lusa, seorang berpenampilan mahasiswi duduk di sebelah saya di kopaja. Di Sudirman, dia turun lebih dulu. Anehnya, tak ada ucapan permisi atau ngomong apa kek supaya saya memberi jalan, nyelonong saja dengan kasar. Untung saya sudah antisipasi, segera bangkit berdiri agar dia bisa keluar dengan lega, padahal saya cuma geser kaki juga sebenarnya dia masih bisa lewat. Bahkan saya sampai berdiri mundur memberi jalan, hingga saya berdiri di selasar kopaja. Yang tak saya duga, masih sempat-sempatnya sepatu kets-nya mundur dan menginjak sepatu saya. Saya hanya berdecak dan mengusap sepatu. Sakitnya nggak seberapa, kesalnya itu lho. Lalu, ketika saya turun, saya baru sadar suatu hal.

Astaga, saudara-saudara, rupanya sudah copotlah aksesori blink-blink sepatu lama favorit saya yang modelnya sudah tidak diproduksi itu lagi! (Ini bagian lebaynya, hahaha).

Dengan sedih dan geram saya pungut si Blink-blink yang oleh rekan kantor yang jahil disebut swarovski. Lalu saya melangkah dengan gaya sok cool walau diam-diam berharap tak ada yang memerhatikan perbedaan di antara kedua sepatu saya! (Tengsin, tahu!). Tiap kali ada orang berpapasan dengan saya dan melirik ke bawah, saya langsung mempercepat langkah, bagai selebiriti menghindari paparazzi (cuiiii…).

Tiba di pintu masuk gedung, satpam juga melirik sepatu saya walau tak berkata apa-apa. Masuk kantor, rekan-rekan saya terpingkal-pingkal mendengar cerita saya. Kasihan, untung swarovski mahalnya nggak hilang pas copot tadi, goda mereka. Lalu seorang teman sepakat dan berkata, memang anak muda jaman sekarang egois banget dan kadang nggak punya manner. Tentu saja itu hiperbola dan tak bermaksud menggeneralisasi. (Lalu saya mengelem kembali sang swarovski palsu, dan sepatu favorit saya kembali ke penampilan semula).

Belum selesai sampai di situ. Ketika saya turun lift dan mau keluar di lobi, ada orang yang berada di lantai itu segera menerobos masuk. Padahal sudah jelas ada aturan, biarkan yang mau keluar terlebih dahulu. Kayak mau naik angkot aja takut nggak keangkut ya, Neng? Dan itu sering terjadi. Memangnya dia nggak bisa bedain apa, ini lift Neng, bukan kopaja yang orang berebutan naik! Kalau di perkantoran pusat bisnis sudirman saja masih begini gaya orang kerja, apa kata dunia?! Egois amat sih, Mbak? Harusnya dia lihat kebiasaan di Jepang, jika naik eskalator, orang-orang berjajar rapih di sebelah kiri, dan jika ada yang buru-buru silakan berjalan di sebelah kanan.

Tapi mungkin bukan hanya dia, dia, dan dia tadi yang egois. Mungkin saya juga pernah melakukan keegoisan yang kurang-lebih sama.

Pernah saya (dan semua penumpang) membiarkan seorang nenek berdiri di kopaja. Waktu itu saya memang kurang sehat. Ini bukan ngeles. Dalam hati saya berkata: Maaf ya, Nek. Bukannya saya egois, tapi tekanan darah saya sedang turun jadi saya nggak kuat berdiri lama-lama. Untungnya nenek itu tidak jauh tujuannya, beberapa menit segera turun.

Saya juga pernah duduk di kopaja dan tidak mau geser. Kenapa? Karena tempat duduk di sebelah saya basah bekas hujan. Si Nona manja yang baru naik tidak mau masuk untuk duduk dan saya juga tidak mau pindah ke sebelah. Si kenek mengomel dan saya balas: Saya sudah naik dari terminal dan duduk di sini duluan, kenapa harus saya yang pindah? Dan itu kursinya basah! (Kenek yang malang, ibu-ibu loe lawan berdebat, hahaha). Si kenek pun diam dan melap kursi tapi si Nona manja yang terlanjur mengambek tidak mau duduk lagi. Silakan berdiri sendiri di belakang, Non! Biar tinggi sendiri. Atau jadi model pendamping pengamen (ini ucapan teman saya ketika saya ceritakan kisah ini).

Lalu ketika malamnya saya bercerita pada suami, dan karena tahu anak-anak menguping, saya sengaja berkata: Dunia luar sana itu keras! (Anak sulung saya langsung menyahut: Ih, mama lebay!)

Pernah juga saya naik kopaja (lama-lama kopaja jadi favorit gue deh ini, hahaha) yang ternyata lagi dicharter oleh guru-guru madrasah yang akan training di Senayan. Mereka kaget pas saya naik. Lalu mereka bilang: Ini kopaja lagi nggak narik.

Pikir saya: Lha kok berhenti pas saya setop? Ternyata berhenti karena ada mobil berhenti di depannya. Hahaha. Dengan malu saya nyaris turun. Tapi tiba-tiba saja ide itu muncul. Mungkin karena saya kepepet takut terlambat (Ide memang sering muncul dalam keadaan kepepet). Saya tanya, mereka lewat mana, boleh ikut nggak? Ternyata searah kantor saya dan mereka langsung menerima saya ikut. Tempat duduk memang hanya sekitar separuh saja yang terisi. Berhati mulia sekali sekali, pikir saya. Saya jadi penumpang gratis. Ibu-ibu guru itu mengajak saya mengobrol, ada yang mengajak saya bercanda, ada juga bu guru yang ngegodain seorang pak guru yang mendadak pindah tempat duduk (katanya biar dekat saya, hahaha). Mereka bahkan mengajak saya ikut berfoto wefie.

Betapa beruntung saya, kali ini bertemu orang-orang yang sama sekali tidak egois. Keneknya pun tidak mau terima ketika saya mau turun saya coba selipkan selembar uang. Semua guru itu langsung berteriak: Jangan diterima. Full service gratis ini, Mbak!

Ini salah satu contoh kisah toleransi khas orang Indonesia yang legendaris itu, yang sama sekali jauh dari keegoisan. Guru memang luar biasa, jasamu memang tiada tara!

Kembali ke masalah egois-egoisan tadi. Mungkin memang masih baru sampai di situ progres kita. Kita memang masih dalam proses perubahan. Semoga semakin cepat perubahan ini, dan semakin baik. Kebalikan dari lagu Kemesraan, keegoisan ini semoga cepat berlalu. 🙂

-*-

Foto: Pixabay

Kamu Garam atau Vetsin?

Seorang kenalan yang bekerja di bagian HRD, pernah membuat istilah sendiri untuk mengklasifikasi dua jenis karyawan di perusahaannya. Satu, garam. Satu lagi,vetsin. Apa maksudnya?

Kita akan bahas setelah yang ini.

Apakah panggilan hidup anda? Menjadi pebisnis, politikus, pengacara, atau pemusik? Atau lainnya. Sesungguhnya, panggilan hidup kita ditentukan oleh jati diri kita.

Sebagai orang Kristen, jati diri kita adalah gereja.  Kata Gereja mengacu pada istilah Yunani: ekklesia yang berarti orang-orang yang dikumpulkan/dipisahkan oleh panggilan Allah. Dalam keberadaannya di dunia, gereja memiliki dwi kewargaan (jati diri ganda) yaitu:

  1. Warga Kerajaan Allah: Gereja adalah suatu umat yang kudus yang dipanggil dari dunia untuk menjadi milik Allah.
  2. Warga dunia: Gereja adalah umat yang diutus ke dalam dunia untuk bersaksi dan melayani.

Bonhoeffer menyebut hal ini dengan istilah panggilan hidup ‘keduniawian yang saleh’. Orang Kristen harus bisa hidup di dunia ini dengan cara surgawi.

Sejarah gereja mencatat bahwa gereja kesulitan dalam mempertahankan jati diri gandanya tersebut. Kadang-kadang akibat keinginan yang sejati untuk menitikberatkan kekudusannya, gereja undur dari dunia di satu sisi ekstrim (ada yang menyebutnya fanatik atau terlalu rohani). Tetapi di sisi ekstrim yang lain, dalam menonjolkan keduniawiannya, gereja secara keliru menyesuaikan diri dalam tolak ukur dan nilai-nilai yang dianut dunia (ada yang memberinya istilah: terlalu duniawi).

Tanpa memelihara ke dua sisi dari jati diri gereja, gereja (baca: kita) tak kunjung dapat terlibat dalam misi. Misi muncul dari ajaran alkitabiah tentang keberadaan gereja dalam masyarakat.

Yesus sendiri yang mengajarkan kebenaran ini dalam metafora yang terkenal yaitu Garam Dunia dan Terang Dunia (Matius 5:13-16)

John Stott, seorang teolog Inggris menyimpulkan empat hal yang terkandung dalam metafora ini, yaitu :

  1. Orang Kristen berbeda secara asasi dari non Kristen.

Dunia ini gelap, demikianlah dinyatakan Yesus secara tidak langsung, tapi kamulah yang harus menjadi terangnya. Dunia sedang membusuk, tapi kamulah yang menjadi garamnya dan melindunginya dari kebusukan.

  1. Orang Kristen harus masuk ke dalam masyarakat non Kristen.

Kendati orang Kristen berbeda secara moral dan spiritual, tetapi secara sosial mereka sekali-kali tidak boleh memisahkan diri dari masyarakat sekitarnya. Sebaliknya terang harus menyinari kegelapan itu dan garam harus meresap kedalam daging yang sedang membusuk itu.

  1. Orang Kristen dapat memengaruhi masyarakat non Kristen.

Sebelum penemuan lemari pendingin, garam adalah bahan pengawet yang paling dikenal oleh masyarakat. Pembusukan daging dan ikan dapat diperlambat dengan merendamnya pada air garam. Terang lebih mencolok lagi, jika lampu dinyalakan maka kondisi gelap berubah menjadi terang. Demikian juga orang Kristen mempengaruhi masyarakat dengan mencegah pembusukan dan kegelapan, dan menjadi terang dalam masyarakat sekitarnya.

  1. Orang Kristen harus mempertahankan keunikan Kristiani mereka.

Jika garam tidak mempertahankan keasinannya (menjadi tawar), maka garam itu menjadi tidak ada gunanya. (Roma 12:2)

Kembalipada klasifikasi teman HRD tadi.

Yang dia sebut Garam itu adalah karyawan yang original, tulus hati, bekerja dengan integritas, dan sumbangsihnya nyata bagi perusahaan.

Yang disebutnya Vetsin adalah mereka yang terlihat ramah, manis dan pintar berbasa-basi, pintar mengambil hati orang, tapi kinerjanya minus. Biasanya mereka adalah penjilat. Manis di luar, busuk di dalam, dan potensial berbahaya bagi perusahaan.

Tahukah anda, manfaat garam sungguh banyak, baik dalam bidang kesehatan, kecantikan, industri, keamanan dan pertanian. Tanpa garam tentu kita tidak akan bisa bertahan hidup. Sebagai contoh, fungsi garam antara lain, memperkuat sistem kekebalan tubuh, membantu menurunkan kadar kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi, serta dapat membantu mengatur detak jantung agar lebih teratur, mengontrol gula darah dan meningkatkan sensitivitas insulin yang membantu mempertahankan kadar gula yang tepat dalam tubuh, dan membantu menjaga kekuatan tulang.

Dalam bidang keamanan, di negara-negara yang memiliki empat musim, garam  digunakan untuk pemeliharaan jalan dengan tujuan untuk menjaga mobil, truk, dan bus sekolah sehingga aman di jalan ketika musim dingin bersalju.

Bagaimana dengan vetsin? Vetsin atau istilah lainnya Monosodium Glutamate (MSG) masih sering digunakan sebagai bahan penyedap masakan. Di balik rasa gurih yang ditimbulkan oleh vetsin, ada banyak penyakit mengintai. Contoh efek samping dalam jangka panjang, bisa menjadi penyebab jantung tidak sehat, kanker (MSG dibuat dalam proses pemanasan pada suhu tinggi dan waktu lama sehingga dapat membentuk pirolisis yang bersifat karsinogenik, senyawa berbahaya yang dapat memicu kanker), dan kerusakan sistem syaraf. Konsumsi penyedap rasa dalam jangka panjang terhadap sistem syaraf seperti depresi, migrain, insomnia, juga disorientasi.

Sekarang kembali pada kita, untuk direnungkan. Apakah jati diri anda? Apakah panggilan hidup anda?

Apakah anda adalah garam atau vetsin bagi lingkungan anda?

-*-

 

Martua H. Sianipar

Penulis adalah Alumni UI dan UPH/Karyawan swasta/Majelis HKBP Cinere

 

Daftar Pustaka :

  1. John Stott (GMA Nainggolan), Isu-isu global menantang kepemimpinan Kristen, YKBK,  2000
  2. John Stott (GMA Nainggolan), Khotbah di Bukit, YKBK, 2008
  3. Bruce Milne (Connie Item-Corputty), Mengenali kebenaran, BPK, 1993
  4. Donald Guthrie (Lisda T Gamadhi), Theologi Perjanjian Baru 3, BPK, 1993
  5. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, YKBK, 1998
  6. http://manfaat.co.id/39-manfaat-garam-dalam-berbagai-bidang
  7. http://tradisioanal-obat.blogspot.co.id/2015/05/efek-bahaya-msg-bagi-kesehatan.html

Foto: Pixabay

Masih Seperti yang Dulu

Reuni. Sebuah kata yang bagai mesin waktu, yang bisa menerbangkan kita dengan instan ke masa lalu.

Orang-orang seolah tak pernah bosan reuni. Padahal apa yang kita kenang di masa lalu mungkin sudah tidak relevan.  Mungkin karena banyak hal konyol yang bisa dikenang kembali. Dalam sebuah reuni terkadang ada momen kejujuran. Yaitu momen di mana sesuatu yang dulu dirahasiakan sekarang diungkap (seperti tax amnesty dong, hehe). Saya sungguh tidak menyangka ketika seorang teman rupanya masih menyimpan rasa kesal sama seorang teman lain, hanya karena dulu tidak ikut ditraktir makan. Lalu ada juga yang masih musuhan padahal sudah lupa dulu akar masalahnya apa.

Lalu, “Astaga, kamu nggak berubah ya!” kata seorang teman, A, kepada teman lainnya, B. Menurut A, si B masih galak dan berjiwa provokator. Dan si C, katanya, masih sama, kalem dan sensitif. Dan tentang saya, katanya terlihat banyak berubah, sekarang lebih tenang dan bijak (hahaha), mungkin karena tuntutan karir, ya, tambahnya. Kami hanya tertawa-tawa. Mungkin di memorinya masih tertinggal kenangan dulu ketika remaja kami enggak bisa diam, di mana-mana mengobrol dan ngakak-ngakak. Lalu pada saya dia berbisik: “Si D kok masih sama aja kayak dulu ya, egois, pelit, perhitungan, sirikan, nggak mau kalah, banyak membual dan gengsinya tinggi.”

Pada akhirnya acara reunian itu memang jadi momen yang membuat kami menertawakan masa lalu, sambil introspeksi, membandingkan dengan diri kami yang sekarang, dan pulang dengan pertanyaan, apa iya saya belum berubah? Atau, apa iya saya sudah berubah? Apakah saya masih sama saja seperti dulu (seperti lagu lawas milik Dian Pisesha yang sering diputar kakak saya di masa saya kecil)?

Aku masih seperti yang dulu?

Saya kagum pada seorang teman, si Q, yang rajin mengevaluasi dirinya. Dia penganut ajaran orang bijak yang mengatakan: Jangan bandingkan diri anda dengan orang lain, tapi bandingkanlah dengan diri anda sendiri. Dia membuat resolusi dan menjadi parameter untuk membandingkan dirinya yang sekarang dengan dirinya tahun lalu, dan seterusnya.

Dalam sharingnya, pernah dia menemukan pola pikirnya masih ada yang sama dengan pola pikir dirinya waktu remaja. Dan dia berjuang keras mengubah hal itu. Misalnya, sikap mementingkan diri sendiri, pamer atau membual untuk mendapatkan pengakuan, dan suka memberontak pada peraturan. Itu kan sikap remaja puber kita banget, masa masih sama saja sekarang? Katanya.

Sikapnya itu membuat saya berpikir, apakah tanpa kita sadari, masih samakah pola pikir kita sekarang dengan masa dulu? Seperti seseorang yang saya kenal, umur 45 tapi pola pikirnya sama saja dengan anaknya yang berumur 15 (ukuran bodi saja yang lebih besar dari anaknya).

Bicara tentang perubahan, menarik bila mengamati metamorfosis kupu-kupu. Prosesnya terjadi cukup panjang dan lama namum sederhana. Daur hidup kupu-kupu dimulai dari telur menjadi ulat  lalu menjadi kepompong. Jika telah sempurna, kupu-kupu keluar dari kepompong tersebut,dan menjadi kupu-kupu dewasa.

Fase pupa atau kepompong berlangsung dengan waktu yang bervariasi, ada yang berkisar beberapa minggu, bulan, bahkan ada yang sampai tahunan. Fase pupa merupakan fase yang amat penting karena pada fase inilah dipersiapkan perubahan yang besar. Sel-sel larva akan berubah membentuk sayap, kaki, mata, dan bagian-bagian tubuh lainnya. Pada fase ini memerlukan energi yang sangat besar, sebelum masuk fase dewasa. Pada fase dewasa ini bertanggung jawab atas kelangsungan jenisnya dan menentukan dimana individu-individu baru akan berkembang.

Jika dianalogikan dengan perubahan pada kupu-kupu, hidup kita juga dibentuk terus, diubahkan dari sifat kanak, menjadi dewasa, prosesnya lama, berkali-kali, berulang-ulang ditempa, dimurnikan, dibentuk, hingga hasil akhirnya sempurna, seindah kupu-kupu dewasa.

Seperti pada fase pupa/kepompong, mungkin sama dengan fase menuju kedewasaan bagi manusia, kedewasaan memang perlu energi besar, untuk mengendalikan diri dan memikul salib. Dan pada usia dewasa kita memikirkan untuk menjadi pribadi yang menjadi teladan bagi generasi berikutnya, bukan malah sama saja dengan pola pikir generasi yang jauh lebih muda daripada kita.

Kembali ke reuni tadi, ada satu hal yang paling saya sesalkan, yaitu seorang yang teman yang, dulu adalah orang yang sangat toleran, entah mengapa kini terlihat sangat rasis, baik dalam ucapan dan status-status di media sosial, yang sering meresahkan dan potensial mempropagandakan perselisihan dan perpecahan. Padahal kami sama-sama pernah duduk di bangku universitas terbaik di negeri ini dan juga kuliah di salah satu kampus terbaik di negara orang (dia bahkan lebih lama tinggal di luar negeri). Rupanya kita tak bisa berharap orang lain akan lebih terbuka matanya karena sudah melihat dunia luar, atau akan membuat wawasan dan pola pikirnya berubah lebih mengglobal karena sudah melihat lebih banyak keanekaragaman. Kalau begitu, lantas apa yang bisa kita harapkan dari mereka yang level pendidikannya lebih rendah dengan wawasan yang lebih sedikit? Lalu masihkah berlaku pepatah: Katak di bawah tempurung? Atau harus diganti menjadi : Katak leyeh-leyeh di atas tempurung berjemur pakai kacamata hitam?

Saya menghibur diri dengan membaca tulisan di jurnal resolusi teman si Q tadi:

Jika anda belum berubah, tidak apa-apa, belum terlambat, berubahlah sekarang juga. Hidup adalah perubahan dan pelajaran yang berkesinambungan. Long life learning. Jangan jadi orang lain. Jadilah diri sendiri, dengan versi yang lebih baik. Be you, but better. Jangan sama lagilah pola pikir kita di masa lalu dengan sekarang. Seperti metamorfosis kupu-kupu, janganlah berlama-lama menjadi kepompong yang terbungkus buruk rupa, marilah segera berubah, bertransformasi menjadi lebih cantik setiap hari.

Amin.

(Dan saya masih senyum-senyum teringat seorang teman membuat lelucon: Dalam sebuah reuni, seorang teman yang sudah keluar dari rumah sakit jiwa menyanyikan sebuah lagu, yang membuat semua orang kabur dari tempat reunian. Lagu apakah itu? :))

(Daftar pustaka/kutipan dari : http://www.kelasipa.com/2015/04/penjelasan-proses-metamorfosis-kupu-lengkap.html)

-*-

“Dusta di Antara Kita”

“Siapa yang kentut?”

Begitu saya spontan bertanya. Kasus: bau tak sedap. TKP: di dalam mobil. Tersangka: hanya empat orang, yaitu Si Papa, si Kakak, si Adik, dan saya.

“Aku!” jawab si Adik cepat.

Tidak seperti kasus kopi sianida yang bertele-tele, kasus kami ini langsung tuntas tanpa proses hukum.
Seketika mobil kami penuh tawa. Si Kakak lalu mengejek si Adik. Tapi saya memujinya.
“Bagus! Mama bangga akan kejujuran Adik,” puji saya.

Lalu saya pikir, mungkin begitulah hidup ini. Ketika kita mengungkapkan kejujuran, akan ada minimal dua respon. Ada yang menerima dan ada yang mencela. Itulah resikonya.

Padahal, seperti dalam ajaran berbagai agama, kejujuran itu hal yang mutlak. Hukum taurat kesembilan mengatakan: Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu. Entah mengapa, melakukan kejujuran sudah diajari sejak kecil tapi kita sering lupa (?) mengaplikasikannya dalam hidup nyata. Apakah karena terlalu menyakitkan, atau lebih menyulitkan, orang lebih suka mengambil jalan pintas untuk berbohong? Kejujuran memang bukan hal yang mudah. Lebih mudah melakukan kebohongan.

Dalam hal sepele dalam hidup sehari-hari, mungkin tanpa sadar kita adalah pembohong yang produktif dan seringkali kreatif. Kok bisa? Bisa dong. Orang kan suka berbasa-basi, yang biasanya isinya semua ‘kebohongan’ dalam bentuk kreatif. Mau contoh?

‘Masakanmu enak banget, masterchef pun kalah!’

‘Kamu adalah cewek paling cantik di dunia! ‘

‘Loe emang orang paling baik di dunia!‘

Basa-basi boleh saja, asal jangan sampai menjadi kebohongan. Kita bisa memuji orang tapi jangan jadi berlebihan dan bahkan melenceng dari realitas. Ucapan kita jangan jadi pembelokan kenyataan. Tetaplah di dalam rel, fokus pada tujuan kita untuk ucapan itu. Misalnya untuk memuji. Saya pikir, ucapan bercanda lebih baik daripada berbasa-basi, misalnya, daripada berkata: Kumismu lebih menarik daripada aktor Captain America, lebih baik berkata: Saking kumis lo mirip aktor Captain America, gue jadi pengen memelihara kumis juga. Yang penting kan tujuan awal kita adalah memuji (dengan kreatif). Bukan melebih-lebihkan.

Atau, berkata: ‘Kamu terlihat cantik dengan baju merah ini’, lebih baik daripada : Kamu cantik banget kayak Angelina Jolie. (Iya kalau benar mirip Jolie, kalau tidak, bagaimana? Nanti dikira menyindir, kan repot. Hehehe…)

Konon, ada seorang HRD manager di perusahaan tempat saya bekerja dulu, sering memalsukan absensi. Saya pernah masuk list urutan tiga besar karyawan yang paling sering terlambat. Tapi kalau mau jujur, HRD manager itu sama seringnya telat seperti saya, tapi namanya tidak tercantum pada list yang memalukan itu, sebab hal itu bisa ditutupi dengan manis (HRD manager gitu lho, yang pegang absensi.) Tapi toh pada akhirnya dia keluar dari perusahaan dengan tidak hormat. Itu menjadi pelajaran. Kita semua akan menerima upah dari perbuatan masing-masing. Seperti tertulis di kitab suci, apa yang kau tabur akan kau tuai. Orang yang suka berdusta pada akhirnya akan kena batunya sendiri dengan dustanya itu.

Dulu saya ada rekan yang suka karaoke. Kalau mau jujur, suara rekan ini fals, tapi jadinya lucu dan seru, dan kalau ke karaoke ada dia pasti jadi rame. Seorang rekan lain, punya suara bagus sekali. Suatu kali waktu kami karaoke, si suara bagus ini mencela si suara fals dengan jujur. “Suara lo ancur banget sih, X!”
Lalu si X yang memang berwajah bagus, juga menjawab dengan jujur:  “Eh… Mending suara gue ancur daripada loe mukenya yang ancur.” Seketika kami semua tertawa. Ouch! Kejujuran memang terkadang menyakitkan.

Ada sebuah gurauan, tentang pertanyaan paling sulit dijawab dengan jujur, yaitu jika ada wanita yang minta pendapat apakah dirinya gemuk. Dijawab jujur, nanti tersinggung. Dibilang kurus, nanti dikira bohong. Hahahaaa…

Memang tidak mudah hidup dengan kejujuran. Mungkin takkan ada yang bisa melakukannya dengan sempurna. Tapi yang terbaik adalah niat untuk melakukannya, dengan hikmat, pada saat dan tempat yang tepat. Ucapkanlah pada timing yang tepat. Bijaklah, untuk memilah mana yang harus diucapkan, mana yang hanya disimpan saja. Saya sendiri pun masih belajar bijak. Saya menulis artikel ini juga sebagai refleksi untuk diri saya sendiri, sambil mendengarkan lagu milik Broery Marantika, ‘Jangan ada dusta di antara kita’. 🙂

*-*