Tag Archives: Pribumi

Yang Lebih Penting daripada isu Pribumi dan Non-pribumi

Dua pekan lalu, saya diminta sekelompok ‘ibu-ibu muda’ penghuni BSD dan sekitar bicara hukum yang relevan diketahui. Mereka para ibu yang biasa antar-jemput anak di sekolah Penabur dan satu keponakan perempuan ikut penggagas; perkumpulan sosial dengan kegiatan rohani dengan berbagai agenda rutin, melakukan aksi sosial ke masyarakat yang membutuhkan tanpa memandang agama dan etnisitas, tak membedakan orang pribumi atau golongan Timur asing macam aturan pemerintah kolonial. Pokoknya wujud kepedulian, menyumbang tanpa motif lain, berupa sembako, pengobatan, dan lain-lain.

Ternyata, tak hanya topik hukum yang jadi bahan omongan, melebar ke persoalan-persoalan masyarakat perkotaan di zaman sekarang, mulai dari “budaya” gadgets, kecenderungan digitalisasi, perilaku dan minat anak dan orang dewasa yang semua akhirnya harus mengakui: terjadi perobahan yang begitu cepat, nyata, dan tak terbendung. Mindset, behavior, orientasi dan minat orang-orang (terutama anak), seperti kian tegas jarak atau gap dengan orang tua.

Saya pun menambahkan pandangan dan pengetahuan atau informasi yang saya tahu, termasuk yang terjadi di berbagai negara. Trend globalisasi dan dunia yang semakin datar atau flat (bukan bumi datar maksudnya) akibat kemajuan teknologi dan sains, perekonomian dunia yang semakin terbuka namun sebenarnya kian kompetitif dan mengukuhkan hegemoni negara-negara berekonomi kuat karena unggul industri dan teknologi yang berdampak pada penerimaan negara dari hasil ekspor (perdagangan luar negeri), akan semakin nyata menimbulkan disparitas atau kesenjangan sosial-ekonomi pada masyarakat di negara-negara yang kalah bersaing.

Kesempatan kerja bagi generasi penerus (murid SD-SMP sekarang) akan semakin berat dan hanya yang benar-benar unggul yang berjaya; teknologi digital dan berbasis online, perlahan atau cepat, akan menggusur SDM.

Para ibu-ibu yang lebih banyak dari etnis Tionghoa itu seperti telah paham dan karenanya memprioritaskan pendidikan anak, menyiapkan yang dibutuhkan anak (antara lain belajar beberapa bahasa asing).

Sepanjang perjalanan menuju rumah dan jarak cukup jauh dari kawasan Serpong, saya bayangkan situasi negara ini, sekarang dan nanti. Lalu, teringat ketiga anak saya yang ketiganya menuju tahap dewasa secara usia dan menurut aturan hukum perdata. Mereka akan menghadapi kompetisi yang lebih keras itu, anak mereka (bila mereka memilih menikah dan punya anak karena saya tengah berupaya menjadi ayah yang moderat, tak mau memaksa anak married meskipun saya inginkan) bukan lagi generasi milenial dan entah seperti apa dampak kemajuan teknologi-sains dan cyber yang mempengaruhi berbagai hal.

Saya sedikit nervous manakala bayangan tersebut muncul, khawatir ketiga putra-putri dan anak mereka tak mampu berebut kesempatan kerja atau menyiapkan sumber penghasilan yang menjamin kebutuhan mereka di masa depan–dan suatu sikap yang bodoh bila saya hanya mengandalkan “melihat nanti saja” atau “Tuhan akan membantu mereka.” Otak saya harus digunakan memikirkan dan membagikan pada mereka (mumpung masih bisa bicara dan berbuat), terutama mengantisipasi yang akan datang, terlepas dari mereka concern atau cuek bebek (kuharap betul tak begitu).

Namun, jujur dan legawa saya akui, di antara beberapa keunggulan orang Tionghoa atau China (terutama diaspora), memang mereka lebih siap menghadapi situasi seperti apapun. Suka atau tidak, semangat, etos, elan, dan kegigihan mereka belajar dan “making money” serta melakukan saving maupun investasi, memang lebih baik sejak dulu.
Dan, itulah salah satu penyebab munculnya kecemburuan –dan bahkan antipati– bagi orang-orang yang tak bisa mengakui keunggulan orang (etnis) lain seraya bangkit karena mau menyadari kelemahan sendiri.

Para

ibu-ibu muda yang mengundang saya itu begitu antusias bertanya: apa lagi yang seharusnya mereka lakukan untuk melindungi anak dari persoalan hukum, dan meminta advis saya untuk menambah kesiapan putra-putri mereka berkompetisi di level internasional, kelak. Mereka begitu peduli dan mencatat saran-saran yang saya sampaikan walau yang saya katakan bukan ujaran seorang pakar, cuma berdasarkan info dan bacaan dan sebagian hasil pengamatan di beberapa perusahaan yang melakukan likuidasi dan rasionalisasi pekerja akibat situasi perekonomian nasional dan global.

Terus terang, kesadaran seperti itu sangat saya inginkan sebenarnya dimiliki orang tua atau masyarakat berusia dewasa di negara ini. Tak lagi tertarik menyoal atau mengusung isu: pribumi-non pri, agama itu-agama anu.

Tetapi, kayak orang Medan, “Apalah yang mau awak bilang. Patron dan tokoh-tokoh yang didukung orang-orang dan bahkan kalangan pendidik pun masih banyak mengandalkan isu-isu murahan macam itu.”

Kecemburuan pada satu etnis itu pun tak menjadi tantangan yang menciptakan perubahan demi perbaikan. Sementara, keterbelengguan tersebut amat penting dan masih tetap menarik bagi para pemburu kekuasaan yang mengatasnamakan “suara rakyat banyak” untuk dieksploitasi.

-*-

Kenangan di Kampus; Spirit Kenusantaraan yang Menghormati Plurarisme dan Multikulturalisme

Setelah gagal kuliah di Fakultas Filsafat UGM, di luar kemauan saya, abang saya mendaftarkan saya di satu kampus swasta, fakultas hukum, Universitas Kristen Indonesia kampus Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.

Saya pun akhirnya masuk ke lingkungan kampus yang saat itu dikuasai Menwa (mahasiswa semi serdadu), dua gang yang amat kuat di Jakarta (Siliwangi dengan bos Yapto S, gang Berland; dua gang ini diisi para anak kolong atawa turunan tentara), selain gang Ambon dengan bos Jongki Piters.

Angkatan saya ada 300 lebih sekian jumlah mahasiswa, hampir semua suku yang ada di Indonesia “terwakili.” Agama kepercayaan pun begitu. Walau berlabel kampus Kristen (Protestan), mata kuliah agama yang diajarkan dosen, sama sekali bukan berisi teologia Kristen, melainkan agama sebagai suatu “disiplin ilmu” atau epistemologi atau sejarah dan filsafat agama. Pokoknya, asal-usul dan makna agama (tak spesifik agama tertentu).

Uniknya, justru mata kuliah Hukum Islam yang wajib dan empat semester (dua tahun), tak hanya menyangkut hukum-hukum Syariah dan Fiqh, terutama mengenai hukum keluarga-perkawinan-perwalian-pewarisan, pun sejarah dan mazhab-mazhab dalam agama Islam. Kuliah tersebut wajib karena bagaimana pun, aplikasi atau praksis hukum pasti akan bersentuhan dengan masyarakat yang –sebagaimana diketahui– mayoritas Muslim. Hukum Islam (masa itu) termasuk mata kuliah yang angker bagi umumnya mahasiswa hukum di Jakarta (terutama FH UI, FH UKI, FH Universitas Pancasila karena dosen-dosen pengajar yang sama).

Susah betul lulus…
Mahasiswa bisa jadi abadi di kampus gara-gara mata kuliah yang satu ini. (Saya mau membanggakan diri tanpa malu-malu: Hukum Islam termasuk kuliah favorit dan saya sering di-booked hingga kewalahan memberikan tentier/tutorial pada mahasiswa-mahasiswa seangkatan, junior, bahkan pada senior yang tak lulus meski telah belasan kali ujian! Honor? Cukup “ucapan terima kasih,” walau selalu disuguhi kopi plus kudapan dan rokok oleh pengundang. 🙂

Di antara yang susah lulus itu (tak usah kaget) justru lebih banyak mahasiswa Muslim (dan jumlah mereka banyak memang di kampus), dan itu tak berkorelasi dengan aqidah, tentunya. Materi Hukum Islam memang padat dan rumit terutama mengenai sistem dan aturan waris, terlebih karena metode atau aturan yang berbeda pada masing-masing mazhab. Butuh kecerdasan ekstra selain minat agar bisa lulus, formulanya “pakai matematika” pula. Jauh lebih mudah menghitung pembagian waris menurut hukum Barat (KUH Perdata).

Tentir yang saya berikan selalu menyertakan mahasiswa multi etnis dan agama, lintas angkatan dan tak perlu lagi gengsi karena kadang saya gabung dengan junior–ketimbang tak lulus? Tetapi sayang, pengetahuan Hukum Islam yang dulu lumayan kuat saya kuasai perlahan tergerus; terakhir saya bawakan di acara hukum untuk wanita karir yang digagas Radio Cosmopolitan Jakarta, 2005-2006. Sejak itu, kian menguap karena tak ada lagi yang meminta (klien atau publik).

*-*

Di antara kenangan dan pengalaman yang paling mengesankan selama saya di FH UKI yang lekat dengan label “kampus keras” dan banyak diisi para jawara ibukota itu, relasi dan pergaulan dengan ratusan mahasiswa lintas angkatan, beragam suku dan keyakinan, dengan semangat atau ikatan: pertemanan yang intens, hangat, egaliter, tak bersekat-sekat. Rasanya hanya ke kalangan Menwa saya kurang akrab karena tak nyaman dengan seragam serta tampilan mereka yang umumnya militeristik; namun ada beberapa jadi teman akrab (junior).

Ditambah pengalaman bersekolah di SMA (14 Jakarta), spirit kenusantaraan yang menghormati plurarisme dan multikulturalisme, kian terbangun selama kuliah. Kawan-kawan saya yang lintas angkatan itu (pada yang junior malah lebih akrab karena urusan tentir-menentir), telah berperan mengeratkan tali-temali keindonesiaan yang harus jujur kukatakan: amat indah. Rumah atau kos-kosan mereka banyak sekali yang pernah kujambangi, kuinapi, makan enak atau mendengar musik sambil ngobrol apa saja yang asyik diomongkan. Rumah (kakak-kakak) dan kos-an saya pun begitu…

Seorang di antara kawan masa lampau yang sempat akrab dengan saya (sebelum dia keluar di tahun keempat kuliah karena memilih berbisnis), lelaki keturunan Arab bernama Ali. Dia anak orang kaya, berumah di Menteng, orangtuanya (eks) pemilik Hotel Sabang. Entah berapa kali saya nginap di rumahnya yang mengundang decak saking luas dan mewah, di wilayah Menteng. Ia kawan yang sungguh baik, makanan dan minuman yang melimpah di rumahnya tak bosan dia sodorkan pada siapa saja kawan yang mampir atau menginap (dengan embel-embel “belajar bersama”) di rumahnya. Orangtua dan sanak saudaranya begitu pula halnya.

Tak sebersit pun rasanya kami (di FH UKI) menyinggung keyakinan dan isu kepribumian-ketidakpribumian. Organisasi mahasiswa dari luar tak berhasil menerobos ke dalam maka tak kentara siapa anggota GMKI, HMI, PMKRI, dan yang lain. Itu kampus berlabel agama yang hampir sempurna menganut sekularisme. Kampus yang dikenal keras karena hegemoni resimen mahasiswa dan gang-gang anak muda Jakarta namun terjauh dari aliran sektarianisme maupun sukuisme.

Tiba-tiba tadi teringat mereka semua, dan Ali salah satu –yang entah di mana dia kini. Semoga dia tetap seperti Ali yang kukenal, lelaki berdarah Arab yang menyenangkan, tak menghendaki polarisasi manusia berdasarkan suku bangsa atau agama. Bahkan bila pun tak sama kewarganegaraan.

*-*

Pribumi dan Non Pribumi, Warisan Kolonial Yang Masih Membelenggu

Pada pidato perdana setelah dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, Dr. Anies Baswedan menyampaikan pernyataan-pernyataan yang dalam pandangan penulis patut untuk dicermati.

Sebagaimana diberitakan oleh beberapa media, dalam pernyataan-pernyataan tersebut Pak Gubernur menggunakan istilah “pribumi” untuk merujuk pada komponen bangsa yang dalam pandangan beliau pernah ditindas dan dikalahkan pada masa lalu. Oleh karena itu, setelah merdeka, kini saatnya komponen bangsa tersebut menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Pernyataan Dr. Baswedan di atas berpotensi memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Siapakah yang beliau maksud sebagai “pribumi” itu? Bagaimana hubungan komponen bangsa yang disebut “pribumi” tersebut dengan komponen lain yang dapat menjadi pembanding, yaitu “non-pribumi”?

Sejak kapan kategorisasi pribumi dan non-pribumi digunakan dalam masyarakat Indonesia? Apakah penggunaan istilah tersebut masih relevan di era reformasi ini? Tulisan singkat ini mencoba mendiskusikan pertanyaan petanyaan di atas.

Bila pendefinisian seeorang atau sekelompok orang sebagai “pribumi” atau “non-pribumi” didasarkan pada asal usul nenek moyang dari orang atau kelompok tersebut, maka sebagian besar – bila bukan seluruh – bangsa Indonesia tak dapat dikategorikan sebagai pribumi.

Betapa tidak? Sebagian besar antropolog sepakat bahwa asal usul manusia modern dapat ditelusuri hingga benua Afrika, antara 80 ribu hinga 100 ribu yang lalu. Ini berarti bahwa seluruh penghuni nusantara pada dasarnya adalah keturunan dari para imigran yang datang di kepulauan Asia Tenggara ini puluhan ribu tahun yang lalu.

Arus kedatangan rumpun Austronesia bahkan lebih lambat lagi. “Penduduk asli” pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Semenanjung Malaka itu meninggalkan “tanah leluhur mereka”, yaitu pulau Taiwan sekitar 1000 tahun atau lebih sebelum masehi.

Bila para penduduk asli itu sebenarnya adalah “pendatang”, mengapa saat ini kita mengenal pembedaan antara “pribumi” dan “non pribumi”? Siapakah yang pribumi dan siapakah yang bukan?

Pembedaan antara “pribumi” dan “non pribumi” sebenarnya merupakan sebuah fenomena yang tergolong baru, bila dibandingkan dengan sejarah nusantara yang telah mencapai ribuan tahun. Pembedaan ini baru mulai dikenal pada sekitar abad ke sembilan belas, seiring dengan stratifikasi masyarakat berdasarkan ras, yang menurut Professor Wertheim, sangat berbeda dari sistem lama di Indonesia, yang tidak mengenal pembedaan semacam itu.

Stratifikasi sosial baru yang diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial ini menempatkan orang orang Belanda dan golongan Eropa lainnya pada lapisan teratas dari masyarakat pada saat itu.

Orang orang Eropa ini memiliki status hukum yang sangat berbeda dari golongan lain, yaitu mereka yang disebut sebagai bumiputera, yang justru menempati lapisan masyarakat terbawah. Sementara itu, dalam wilayah koloni Belanda saat itu, terdapat pula orang-orang Asia yang berasal dari negara negara di luar nusantara.

Mereka adalah para pendatang (atau keturunan pendatang) dari Tiongkok, Jepang, Arab, India.  Sebagaimana dituliskan oleh Charles A. Coppel, orang-orang ini (dengan pengecualian pendatang dari Jepang yang pada akhir abad Sembilan belas disamakan dengan golongan Eropa) dikategorikan sebagai “mereka yang disamakan dengan pribumi”.

Namun meski disamakan secara status, mereka dibedakan sebagai golongan tersendiri, yaitu “Timur Asing”.  Menurut Coppel, istilah “Timur Asing” ini seolah melanggengkan pandangan bahwa mereka pada hakikatnya adalah ‘orang orang asing.

Meski penggolongan penduduk berdasakan ras di atas merupakan peninggalan kebijakan kolonial, keberadaannya nampaknya diterima oleh para aktivis pergerakan nasional pada awal abad ke-dua puluh. Sebagian besar dari organisasi yang memupuk kebangsaan Indonesia pada periode itu memandang bahwa hanya masyarakat pribumi lah yang dapat disebut sebagai bangsa Indonesia.

Orang-orang Timur Asing tidak dapat dianggap sebagai bangsa Indonesia meski mereka telah hadir di wilayah jajahan Belanda itu selama beberapa generasi. Sebagaimana ditulis oleh Mobini-Kheseh, setidaknya selama beberapa waktu, orang-orang keturunan Arab tidak dapat menjadi anggota penuh dari Syarikat Islam (SI), sebuah organisasi yang menjadikan agama Islam sebagai salah satu pemersatu.

Hanya beberapa dari para tokoh kebangsaan saat itu – teruatama para pendiri Indische Partij – yang berpandangan bahwa Indonesia (saat itu disebut sebagai Hindia) adalah tanah air dari mereka yang tinggal di Indonesia, tanpa memandang ras, etnisitas, ataupun agama.

Sayang, Indische Partij sendiri tak berumur panjang karena segera diberangus oleh pemerintah kolonial. Seiring pudarnya Indische Partij, ide pembangunan bangsa Indonesia yang berdasarkan pada status kepribumian menjadi wacana yang paling dominan dalam pergerakan kebangsaan di waktu itu.

Lebih dari dua abad telah berlalu sejak penggolongan masyarakat berdasarkan ras diperkenalkan oleh pemerintah Kolonial. Indonesia pun telah lebih dari tujuh puluh tahun berada dalam alam kemerdekaan. Namun istilah pribumi dan non-pribumi masih seringkali didengungkan, tanpa memberi klarifikasi mengenai konteks di mana istilah tersebut pertama kali dicipta.

Sebagai bangsa merdeka, bukankah seyogyanya kita pun membebaskan diri dari belenggu mental yang pernah dikenakan kepada kita oleh pemerintahan kolonial di masa lalu?

Dalam hemat penulis, salah satu dari belenggu tersebut adalah pembedaan terhadap saudara sebangsa berdasarkan penggolongan pribumi dan non pribumi. Hancurnya belenggu tersebut akan membawa kita kembali kepada cita-cita lama yang selalu mulia, yaitu membangun bangsa Indonesia yang mencakup seluruh anak negeri, termasuk mereka yang pada masa kolonial dikategorikan sebagai “pribumi” dan “non pribumi.”

 

Johanes Herlijanto

Penulis adalah antropolog dan dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UPH, Karawaci.

Tulisan pernah muncul di Petraonline.net 5 Juni 2017, namun telah diedit sesuai konteks saat ini.

 

Foto Pixabay

Pribumi dan Nonpribumi, Warisan Kolonial yang Masih Membelenggu

Beberapa waktu yang lalu, petraonline.net baru saja mempublikasikan sebuah artikel singkat yang memaparkan bahwa pembedaan pribumi dan nonpribumi sebenarnya hanyalah berdasar pada argumentasi omong kosong belaka.

Baca: Omong Kosong soa Pribumi – Nonpribumi

Betapa tidak? Sebagian besar antropolog sepakat bahwa asal-usul manusia modern dapat ditelusuri hingga benua Afrika, antara 80.000 hinga 100.000 yang lalu. Ini berarti bahwa seluruh penghuni Nusantara pada dasarnya adalah keturunan dari para imigran yang datang di kepulauan Asia Tenggara ini puluhan ribu tahun yang lalu.

Arus kedatangan rumpun Austronesia bahkan lebih lambat lagi. “Penduduk asli” pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Semenanjung Malaka itu meninggalkan ‘tanah leluhur mereka,’ yaitu pulau Taiwan sekitar 1.000 tahun atau lebih sebelum masehi.

Bila para penduduk asli itu sebenarnya adalah “pendatang”, mengapa saat ini kita mengenal pembedaan antara “pribumi” dan “nonpribumi”? Siapakah yang pribumi dan siapakah yang bukan?

Pembedaan antara “pribumi” dan “nonpribumi” sebenarnya merupakan sebuah fenomena yang tergolong baru, bila dibandingkan dengan sejarah Nusantara yang telah mencapai ribuan tahun. Pembedaan ini baru mulai dikenal pada sekitar abad ke sembilan belas, seiring dengan stratifikasi masyarakat berdasarkan ras, yang menurut Professor Wertheim, sangat berbeda dari sistem lama di Indonesia, yang tidak mengenal pembedaan semacam itu.

Stratifikasi sosial baru yang diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial ini menempatkan orang-orang Belanda dan golongan Eropa lainnya pada lapisan teratas dari masyarakat pada saat itu. Orang-orang Eropa ini memiliki status hukum yang sangat berbeda dari golongan lain, yaitu mereka yang disebut sebagai bumiputera, yang justru menempati lapisan masyarakat terbawah.

Sementara itu, dalam wilayah koloni Belanda saat itu, terdapat pula orang-orang Asia yang berasal dari negara negara di luar Nusantara. Mereka adalah para pendatang (atau keturunan pendatang) dari Tiongkok, Jepang, Arab, India.

Sebagaimana dituliskan oleh Charles A. Coppel, orang-orang ini (dengan pengecualian pendatang dari Jepang yang pada akhir abad Sembilan belas disamakan dengan golongan Eropa) dikategorikan sebagai “mereka yang disamakan dengan pribumi”.

Namun meski disamakan secara status, mereka dibedakan sebagai golongan tersendiri, yaitu “Timur Asing”. Menurut Coppel, istilah “Timur Asing” ini seolah melanggengkan pandangan bahwa mereka pada hakikatnya adalah “orang orang asing”.

Meski penggolongan penduduk berdasakan ras di atas merupakan peninggalan kebijakan kolonial, keberadaannya tampaknya diterima oleh para aktivis pergerakan nasional pada awal abad ke-dua puluh. Sebagian besar dari organisasi yang memupuk kebangsaan Indonesia pada periode itu memandang bahwa hanya masyarakat pribumilah yang dapat disebut sebagai bangsa Indonesia.

Orang-orang Timur Asing tidak dapat dianggap sebagai bangsa Indonesia meski mereka telah hadir di wilayah jajahan Belanda itu selama beberapa generasi. Sebagaimana ditulis oleh Mobini-Kheseh, setidaknya selama beberapa waktu, orang-orang keturunan Arab tidak dapat menjadi anggota penuh dari Syarikat Islam (SI), sebuah organisasi yang menjadikan agama Islam sebagai salah satu pemersatu.

Hanya beberapa dari para tokoh kebangsaan saat itu – teruatama para pendiri Indische Partij – yang berpandangan bahwa Indonesia (saat itu disebut sebagai Hindia) adalah tanah air dari mereka yang tinggal di Indonesia, tanpa memandang ras, etnisitas, ataupun agama.

Sayang, Indische Partij sendiri tak berumur panjang karena segera diberangus oleh pemerintah kolonial. Seiring pudarnya Indische Partij, ide pembangunan bangsa Indonesia yang berdasarkan pada status kepribumian menjadi wacana yang paling dominan dalam pergerakan kebangsaan di waktu itu.

Lebih dari dua abad telah berlalu sejak penggolongan masyarakat berdasarkan ras diperkenalkan oleh pemerintah Kolonial. Indonesia pun telah tujuh puluh tahun berada dalam alam kemerdekaan. Namun istilah pribumi dan non-pribumi masih seringkali didengungkan, tanpa memahami konteks di mana istilah tersebut pertama kali dicipta.

Sebagai bangsa merdeka, bukankah seyogianya kita pun membebaskan diri dari belenggu mental yang pernah dikenakan kepada kita oleh pemerintahan kolonial di masa lalu?

Dalam hemat saya, salah satu dari belenggu tersebut adalah pembedaan terhadap saudara sebangsa berdasarkan penggolongan pribumi dan nonpribumi.

 

J Roestam

Penulis adalah antropolog

 

Foto: pixabay.com

Omong Kosong soal Pribumi – Nonpribumi

Pribumi dan nonpribumi? Itu cuma konsep omong kosong. Bukan cuma saya yang bilang lho ya. Itu juga dibuktikan secara ilmiah. Mengapa saya berpendapat begitu? Coba baca sampai selesai ya.

Saya mulai dari cerita masa kecil saya dulu deh. Saya ini lahir dan besar di lingkungan yang majemuk. Waktu saya kecil sekali, keluarga kami menjadi satu dari dua keluarga Kristen yang tinggal di afdeling di salah satu sudut kawasan perkebunan sawit milik PTP Nusantara VII (Sekarang PTPN IV).

Tapi kami tetap saling menghormati. Teman-teman saya menghargai saya yang tak ikutan berpuasa dengan mereka saat ramadan. Saya pun menghargai mereka yang sedang menahan lapar dan haus. Ketika Idul Fitri tiba, kegembiraan mereka juga menular sampai ke rumah kami. (Tentang kisah ini, bisa baca tulisan saya: Pasir Mandoge dan Kisahku)

Kemudian saya bersekolah di SMP dan SMA Negeri dengan teman dari berbagai latar belakang agama yang berbeda.

Adik saya dan Om saya memilih ikut agama istri mereka masing-masing. Dan warna-warni di keluarga kami bukan cuma soal agama. Di darah anak-anak kami, mengalir darah Batak Simalungun, Batak Toba, Batak Karo, Tionghoa, Minang, Jawa, dan China.

Orangtua kami adalah pasangan Batak Simalungun. Tentu ada resistensi ketika anak-anaknya membawa menantu dari berlainan suku dan agama. Tapi lambat laun kami baik-baik saja dengan semua itu. Perbedaan menjadi keniscayaan di keluarga kami. Ikatan kami adalah kekeluargaan kami. Sedang urusan agama, itu pribadi sifatnya.

Dalam perspektif yang kurang lebih sama, seharusnya kita orang Indonesia tetap bisa hidup aman damai dalam kebinekaan kita. Karena kita ini sesungguhnya satu keluarga berdasarkan genetika, bahkan dengan mereka yang kita anggap berbeda ras dengan kita.

Tak ada gen murni Indonesia. Kita ini semua adalah pendatang di bumi Nusantara. (Masih berpikir kamu orang pribumi?) Begitulah yang ditegaskan Prof. Dr. Herawati Supolo-Sudoyo M.S. Ph.D, ahli genetika dari Lembaga Eijkman, dalam suatu seminar yang saya hadiri, beberapa waktu lalu.

“Kita merupakan pencampuran genetika dan semua berasal dari Afrika,” kata Prof. Herawati. Dengan kata lain, omong kosonglah dengan istilah-istilah “pribumi” dan “nonpribumi” yang didengung-dengungkan sekelompok orang itu.

Herawati mengatakan meski merupakan pencampuran, presentasi genetika Austronesia lebih dominan di bagian barat Indonesia dan genetika Papua di kawasan timur. Tetapi ada gradasi pembauran genetik ditemukan pada populasi Indonesia di barat maupun di timur.

Dari mana kesimpulan ini? Herawati dan tim peneliti menganalisis 2.740 individu dari 12 pulau, 6 dari Indonesia barat dan enam dari Nusa Tenggara Timur (Sumba, Flores, Lembata, Alor, Pantar, dan Timor). Jadi bukan asumsi atau asal njeplak gaya kalangan rasis itu.

Saya sepakat dengan arkeolog senior Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak yang mengatakan, “Kebinekaan di Indonesia adalah sebuah keniscayaan.”

Tak bisa lebih sepakat lagi dengan ucapan antropolog Dr. Kartini Sjahrir, yang menegaskan bahwa kemajemukan adalah satu paket dari pendiri negeri ini, yang dijadikan sebagai konstruksi sosial Indonesia.

“Yang mengatakan Cina-Cina, pribumi non pribumi, adalah sebuah kebodohan mendasar,” katanya. “Mereka lupa siapa dirinya, seperti Malin Kundang lupa pada ibunya.”