Tag Archives: masjid

Menyusuri Jejak – jejak Kerajaan Gowa

Gigitan terakhir deppa kakau a.k.a sawalla (= kue gemblong, bhs Jawa) meluncur ke kerongkongan tepat saat langkah menggapai gerbang kecil di samping Masjid Al-Hilal. Akhirnya kembali ke sini setelah 6 (enam) tahun berlalu dari langkah pertama dijejakkan di parkiran masjid ini.

Waktu itu, bang Aras, kawan yang menemani berjalan, meminta ijin untuk sholat Jumat sebentar di masjid terdekat yang kami lalui selama berkeliling di Gowa dan Al-Hilal-lah yang kami tuju saat panggilan sholat menggema.

Masjid Al-Hilal, Katangka

Saya mampir ke Masjid Al-Hilal selepas iseng bermain ke tempat peristirahatan Sultan Hasanuddin. Dari belakang masjid, tempat peristirahatan itu terlihat di ketinggian Bukit Tamalate. Ada gerbang di belakang peristirahatan, tapi menurut Mustaqim, abang yang berjaga di tempat itu, gerbangnya dikunci.

Jadilah saya jalan – jalan petang menyurusi jalan raya untuk turun ke masjid – yang lagi – lagi kata Mustaqim lumayan jauh – dan setiap melewati pagar rumah penduduk atau berpapasan dengan mereka yang melaju dengan kendaraan bermotor; dilihatin dengan pandangan penuh tanya. Jaraknya nggak jauh koq. Keenakan duduk manis di atas kendaraanlah membuat orang malas untuk mengayun langkah.

Bangunan berbentuk limas di belakang Masjid Katangka

O,ya, alasan lain yang membuat orang enggan berjalan kaki, ternyata, jalanan yang ramai kendaraan itu; rawan copet. Upzzz. Saya baru tahu saat pulang ke Antang diantar sama mas – mas Grabcar. Dirinya berbagi cerita, “mbaaaak, tadi lewatin patung massa – awal mendengarnya saya pikir si mas mau bercerita tentang patung jaman atau berat hihi – kan?, itu simbol mbak, sepanjang tempat itu rawan kejahatan.”

Ouuwww yaaaa? Alhamdulillah, terpujilah TUHAN, dilindungi dan diberkatilah selalu para pejalan yang berjalan dengan hati yang bersih; semua aman sentosa.

Masjid Al-Hilal dibangun pada 1603 M di dalam komplek Istana Tamalate semasa pemerintahan I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna, Raja Gowa ke-16. Jika di kemudian hari ia lebih dikenal sebagai Masjid Katangka, itu karena tempatnya berdiri sekarang berada di kampung Katangka.


Makam kuno di pekarangan Masjid Katangka

Ah ya, sebenarnya, siang itu saya berencana bermain berlama – lama di Museum Balla Lompoa yang berdiri gagah di tengah kota Sungguminasa, Gowa. Ada sesuatu yang ingin saya cari di sana. Nah, mumpung selama di Makassar tinggalnya hanya 30 menit dari Gowa, pergilah saya ke museum yang ternyata pintunya lebih sering tertutup rapat daripada dibuka itu. Yasudah, terlanjur di Gowa, saya beranjak ke Bukit Tamalate.

Museum Balla Lompoa ini adalah bekas istana Kerajaan Gowa

Lega melihat tempat peristirahatan Sultan Hasanuddin dan raja – raja Gowa di puncak Tamalate kini lebih terbuka. Pagar beton yang dulu membentengi tempat peristirahatan rapat – rapat sudah berganti dengan pagar besi.

Di belakang peristirahatan ada taman berumput yang teduh, dan pengunjung pun bisa menikmati pemandangan yang ada di kaki bukit dengan leluasa. Saya teringat duluuu, mesti mencari pijakan yang agak tinggi bahkan diam – diam memanjat pagar untuk memuaskan rasa penasaran pada penampakan yang ada di baliknya.

Kamu tahu ada apa di balik pagar itu? Ada bangunan – bangunan besar berbentuk limas yang menyembul dari kaki bukit. Tempat yang akhirnya saya datangi saat melangkah ke pekarangan belakang Masjid Katangka setelah tertunda selama enam tahun!

Duluu, sewaktu menunggu bang Aras Jumat’an; saya hanya berdiam di dalam mobil karena di luar hujan deras. Sekarang, saya bisa melihat dan menyentuhnya dari dekat.

Lalu, apa isi bangunan besar itu? Tak ada informasi yang bisa didapatkan di sana. Tak ada pula yang bisa diajak berbincang selain dua anak kecil yang asik bermain dengan ikan – ikan kecil di genangan air di tanah berlumpur di antara makam.


Bagus ya .. ada 5 or 6 makam di dalam bangunan besar – besar di belakang Masjid Katangka

“Masuk mi saja bu, tidak dikunci ji pintunya. Ada kuburang di dalam,” berulang mereka mengompori tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan dari ikan – ikannya.

Penasaran, saya pun melangkah dengan bersijingkat, serta sesekali melompat menghindari genangan dan tanah becek, mendekati salah satu bangunan limas yang pintunya terbuka lebar – lebar. Dari balik pintunya saya melongok pelan – pelan ke dalam ruang yang gelap.

Onde mandeeee, dua anak kecil itu tak bohong. Makamnya cantik – cantik! pada bagian kepala, kaki dan sekelilingnya diukir serta dicat merah, hitam dan kuning keemasan. Ini bukan makam kebanyakan. Sayang banget, makam – makam itu tak dilengkapi informasi penting untuk pengunjung yang penasaran seperti saya.

Lalu, siapa saja mereka? sesuai informasi pada papan yang bertengger di pagar di samping gerbang masjid; Makam Keluarga Keturunan Raja Gowa.


Coba baca baik – baik tulisan pada pintu makam ini

Di kunjungan kedua ini saya tak mengulas Sultan Hasanuddin. Tentu, kamu sudah tahu kan siapa si empunya nama itu? Saya lebih fokus pada Sultan Abdul Djalil meski energi besar yang mengikuti langkah selama di bukit hingga turun dari Tamalate terbawa dari pintu peristirahatan kedua Sultan Gowa ini.

Saya mengerti, mereka, orang – orang besar pada masanya. Yang saya tak tahu, belum sempat mencari tahu, dan entah saya juga tak tahu apakah nanti akan mencari tahu; adakah yang belum diselesaikan sebelum beranjak ke alam sana?

Karenanya, sebelum beranjak dari bukit, saya mohon kepada beliau berdua, “Karaeng, jangan miki ikut na. Berani ka datang sendiri, berani ja pulang sendiri juga.” Eeeh, nggak tahunya dikawal turun dari bukit hingga ke peristirahatan Syekh Yusuf ?

Di seberang Masjid Katangka, mata saya silau dengan sebuah penanda usang yang berdiri di pinggir jalan. Penanda yang tak tampak bila tak awas … 200M Makam Syekh Yusuf. Kamu tahu kan, mata saya hijau bukan saat melihat uang tapi melihat kuburan! Baru kali ini saya merasakan melangkah menuju titik 200 meter itu, jauuuh ya.

Untuk memastikan tak terlalu jauh melangkah dan tak melewati tujuan, saya pun mampir bertanya pada ibu penjaga warung di tepi jalan yang jaraknya hanya dua rumah dari tempat yang dituju hahaha.


Makam Syekh Yusuf

Langkah saya disambut oleh seorang kakek yang menyodorkan bungkusan berwarna putih di depan gerbang Makam Syekh Yusuf. Tak ada tanya yang sulit untuk dijawab sebelum melangkah ke dalam pelataran makam. Saya hanya merasa dipalak!

+ Sepatunya simpan mi sini biar aman. Saya pun melepas sepatu di dekat pintu.
– Terima kasih, permisi pak.
+ Lima ribu, ongkos titip sepatu dan tiket masuk. Baiklah, saya pun merogoh uang lima ribu perak dari kantong celana dan menyorongkan ke si bapak.
– Semuanya dua puluh ribu, bunganya belum dibayar

Njirrrr!! #TukangKuburan dipalak di kuburan!! kenapa nggak ada pengumuman ongkos berkunjung atau tulisan, bayar dengan iklas? Saya minta kembali uang lima ribu yang sudah disodorkan dan menyerahkan uang dua puluh ribu agar nggak dipotong lagi ongkos lain – lain (jika ada) dan minta bukti pembayaran HTM yang disobek dari sisa tumpukan karcis yang sudah lusuh.

Anggap saja beramal, saya melangkah dengan membuang segala pikiran tak baik yang berusaha menggoda dan menenangkan hati mendekati pintu makam.

+ Duduk dulu bu, di dalam masih ada orang. Silakan pakai kerudungnya.

Mas – mas yang berjaga di depan pintu masuk kubur menghentikan langkah saya dan menunjuk bangku untuk menunggu serta keranjang berisi tumpukan kerudung. Ok deh, ternyata ada dua lapis pintu di sini. Saya jadi ingat sewaktu memanjat menara Masjid Agung di Banten Lama.

Ada 3 tempat kotak sumbangan yang disodorkan dari pintu, di dalam menara yang sesak hingga puncak, dan saya memilih hanya mengeluarkan uang setelah turun di pintu masuk. Ingat, hidup itu pilihan!

– Oh gitu, eh .. saya ada koq. Gak pa-pa kan pakai punya sendiri? Nah, ini perlu dipastikan jangan sampai ada lagi tambahan ongkos tak terduga.


Pak Mudjibu, kuat duduk berjam – jam, dari pagi hingga pagi di makam Syekh Yusuf, Tuanta Salamaka ri Gowa

Saat itu yang duduk – duduk menunggu jadwal berkunjung ada seorang ibu dengan dua anaknya, seorang kakek, dan dua lelaki muda. Ketika waktunya tiba, si mas penjaga pintu berteriak dan mempersilakan kami masuk. Kloter kami ketambahan seorang perempuan muda dan seorang lelaki yang menggandeng puterinya.

Pintu dibuka. Orang – orang yang tadi menunggu dengan sabar itu berlomba menggapai pintu. Saya pelan – pelan undur, memilih berjalan paling belakang. Kreek. Pintu ditutup dari depan, dada mendadak sesak, susah bernapas. Hati kecil saya bertanya, “kamu ngapain masuk sini, Lip?”

Belum juga dijawab, kaki masih terpaku di balik pintu memerhatikan pengunjung lain yang bergegas ke tujuannya masing – masing ketika sebuah towelan mendarat di punggung. Ternyata, mas – mas penjaga pintu.

Ia menunjuk – nunjuk makam Syekh Yusuf, mengarahkan saya – yang mungkin dilihatnya bingung – untuk mendekati makam itu. Ketika saya melontarkan tanya, dia menolak menjawab pertanyaan saya dengan menunjuk Mudjibu; lelaki yang duduk di antara Syekh Yusuf dan istrinya sebagai tempat untuk bertanya.

Syekh Yusuf Al-Makassary, ulama besar dari Gowa adalah keponakan Sultan Alauddin, Sultan Gowa ke-14, Sultan Gowa pertama yang memeluk agama Islam. Syekh Yusuf meninggal di tempat pengasingannya di Cape Town, Afrika Selatan pada 1699.

Jasadnya dibawa kembali ke tanah air atas permintaan Sultan Abdul Djalil, Sultan Gowa ke-19 dan dimakamkan di tempat peristirahatannya sekarang pada 1705. Kisah lengkapnya? Coba cek toko sebelah eeh .. kakek Gugel.


Coba di-zoom dan baca tulisan di makam itu

Tak leluasa bergerak dan masih menunggu antrian, saya jadi berkesempatan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang. Selain Syekh Yusuf dan istrinya; bila tak salah mengingat, di ruang yang pengab itu ada 9 (sembilan) makam lain. Dari kesemuanya itu, tulisan pada makam di samping kanan Syekh Yusuf membuat mata jleeeb.

Mappadulung Daeng Mattimung Kareang Sanabone Sultan Abd Djalil, Raja Gowa ke-19, Tumenanga Ri Lakiung.

Jadiii, yang tadi di Bukit Tamalate siapaaaaa? Tergesa, saya pamit pada bapak Mudjibu, mencari udara segar di luar, saleum

 

Tulisan ini juga dimuat di: https://obendon.com/2017/02/22/menyusuri-jejak-jejak-kerajaan-gowa/

 

Foto: Dok Pribadi