Tag Archives: Kristus

Angela Yuan: Kisah Seorang Ibu yang Hancur dan Mencari Harapan

Impian menjadi seorang ibu yang membawa anaknya kepada hidup yang sukses lenyap saat dia mendengar anaknya adalah seorang homoseksual. Suaminya tidak lagi seperti yang dia harapkan di saat mereka mulai membangun keluarga.

Anak pertamanya hidup dengan jalan hidupnya sendiri. Dan terakhir, anak yang diharapkannya menjadi kebanggaan dirinya, ternyata seorang homoseks dan pengedar narkoba pula.

Di saat hampir menyelesaikan studi doktoralnya, anak terkasihnya itu dikeluarkan dari kampus karena diketahui ia adalah seorang gay. Semua usahanya untuk membangun keluarga yang terpandang secara sosial dan ekonomi hancur di saat satu persatu semua yang dicintainya tidak lagi mencintainya.

Lalu untuk apa lagi dia hidup di saat segalanya sudah hancur? Masih adakah harapan baginya?

Sejak diumumkan bahwa akan ada KKR Kesaksian tentang seorang homoseksual dan pengedar narkoba yang menjadi dosen setelah Tuhan mengubah hidupnya, saya langsung menandai kalender untuk hadir. Yang memberi kesaksian adalah seorang penulis, pembicara dan pengajar di Moody Bible Institute: Christopher Yuan.

Sebenarnya harapan saya menghadiri KKR Kesaksian ini adalah ingin mempelajari seluk beluk seseorang yang tadinya homoseksual lalu menjadi normal kembali. Apakah mungkin? Bagaimana pemulihan yang Tuhan lakukan? Itulah tujuan saya hadir pada acara ini.

Saya berhasil mengajak suami untuk menemani saya hadir. Kapasitas Katedral Mesias – RMCI, GRII Pusat di Kemayoran, adalah 4.000-5.000 orang. Saat saya tiba, ruangan sudah hampir penuh.

Wow, ternyata seperti saya, banyak juga yang tertarik pada acara ini. Rupanya kisah pertobatan seorang Christopher Yuan cukup terkenal.

Sejak semula di gereja sudah diumumkan bahwa Christopher Yuan akan hadir bersama kedua orang tuanya–Angela dan Leon Yuan–saat akan memberi kesaksian. Sebelum dan sesudah kesaksian dibawakan, Pdt. DR. Stephen Tong memberikan pemberitaan firman Tuhan yang melengkapi kesaksian yang disampaikan.

Kurang lebih selama 3 jam berada di acara tersebut, saya tidak merasa lelah dan jenuh mendengarkan apa yang disampaikan oleh Keluarga Yuan. Mereka secara bergantian membagikan kisah hidup keluarga itu dari sejak awal dibangun lalu mulai mapan kemudian terjadi guncangan dan akhirnya hancur berantakan.

Hingga pada saat yang sangat kritis Tuhan datang menyelamatkan mereka satu persatu, dimulai dari Angela Yuan, sang ibu.

Angela adalah seorang ibu rumah tangga yang sangat mengutamakan keluarga. Ia membantu suaminya membangun usaha klinik gigi.

Leon Yuan, adalah seorang dokter gigi dengan reputasi yang baik yang memulai kariernya dari bawah bersama Angela. Setelah menikah 20 tahunan hubungan Angela dan Leon menjadi semakin renggang dan dingin. Semua yang semula berawal baik seiring bertambah tahun semakin menuju kehancuran.

Leon dan Angela memiliki 2 anak laki-laki. Christopher adalah anak bungsu yang pada mulanya sangat dekat dengan sang ibu. Hanya, saat dia mengalami pelecehan seksual di usia belasan oleh seorang laki-laki dewasa, maka dia pun mulai kehilangan orientasi seksualnya. Bibit menjadi seorang homoseksual pun sudah mulai tertanam saat itu.

Mendengarkan Angela menceritakan kehancuran hatinya saat anak yang dikasihi memilih menjadi gay, saya pun terbawa emosi. Ia merasa gagal total menjaga pernikahannya dari kehancuran.

Pada saat itu, relasinya dengan suami dan anak tertua sudah semakin renggang dari hari ke hari. Ia merasa telah gagal sebagai seorang ibu ketika Christopher memilih untuk menjadi seorang gay.

Tak terbayang jika saya mengalaminya. Saya dan suami bersama 4 anak laki-laki kami begitu dekat satu sama lain. Apa jadinya saya jika sesuatu yang saya sangat tidak harapkan terjadi pada salah satu anggota keluarga saya?

Sesuatu yang buruk, memalukan dan menghancurkan? Mungkinkah saya akan sama seperti Angela Yuan? Pada saat itu, Angela sudah memutuskan bahwa ia akan mengakhiri hidupnya.

Saya menanti-nantikan bagian dimana Tuhan masuk dalam cerita keluarga Yuan. Sebab, saat pertama memulai kesaksiannya Leon memberitahu bahwa mereka bukanlah keluarga yang mengenal Kristus. Rasa ingin tahu saya membawa saya menyimak setiap perkataan yang disampaikan Angela.

Dia menceritakan bahwa ketika dia memutuskan akan mengakhiri hidupnya, pada saat itu Tuhan memanggilnya. Melalui sebuah traktat yang diberikan seorang pendeta padanya, Tuhan berbicara padanya lewat tulisan yang ada didalam traktat itu.

Angela membaca salah satu bagian dalam traktat itu yang mengatakan bahwa Kristus sudah mati supaya mereka yang percaya padaNya tidak lagi mati.

Lalu ia bertanya-tanya, apakah Kristus juga mati baginya? Bagaimana caranya mengenal Kristus yang mau mati bagi dirinya? Lalu apakah dia masih harus mengakhiri hidupnya jika Kristus sudah mati baginya?

Semua pertanyaan-pertanyaan itu dia pikirkan dalam perjalanan akan menemui Christopher untuk terakhir kalinya sebelum ia memutuskan akan bunuh diri. Saat itu, Angela sudah ingin mati. Ia tidak sanggup hidup lagi. Ia sudah kehilangan harapan dalam hidupnya.

Angela merasa sudah tidak memiliki apa-apa lagi untuk menjadi alasannya tetap hidup. Tetapi pada saat yang sama ia mendengarkan suara Tuhan yang berkata bahwa Tuhan mengasihinya dan Tuhan juga mengasihi Christopher. Dan tidak ada yang akan dapat memisahkan kita dari kasih ALLAH, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.

Roma 8:38-39 inilah yang Tuhan pakai untuk memanggilnya. Tuhan memanggil Angela untuk menerima kasihNya. Dan inilah permulaan dari pencarian harapan Angela bagi Christpher, anaknya yang terhilang.

Sekalipun acara KKR Kesaksian ini menyoroti pertobatan seorang gay dan drug dealer yang akhirnya sekarang Tuhan pakai menjadi alatNya melayani mereka yang berada didunia yang dulu pernah dihidupi seorang Christopher Yuan, tetapi bagi saya kisah Angela Yuan, sang ibu, itulah yang saya bawa pulang dan jadikan pelajaran baru bagi hidup saya.

Siapa yang tahu jalan di depan hidup kita? Paling tidak jika saya butuh kekuatan, saya tahu ada teladan seorang ibu yang berjuang keras demi kembalinya sang anak kepada Tuhan, setelah ia sendiri Tuhan panggil untuk percaya dan mengikutiNya. Angela tidak henti-hentinya berdoa bagi Christopher dan terus membanjiri Christopher dengan surat-suratnya yang berisi firman Tuhan saat Christopher dipenjara.

Angela memberikan pelajaran pada saya bagaimana seharusnya seorang ibu berjuang dengan segenap hati dan tanpa lelah agar anaknya yang tersesat dapat kembali pulang kepada Tuhan.

Dia adalah seorang ibu yang setelah hidup didalam Tuhan, tidak melepaskan harapannya pada Kristus, dan percaya akan kasihNya melalui keselamatan yang diberikan di atas salib. Dan ibu ini ingin anak terkasihnya yang jatuh dalam kegelapan dosa mendapatkan harapan dan kasih yang sama yang sudah ia terima dari Kristus.

Tidak ada yang akan dapat memisahkan kita dari kasih ALLAH, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.

Nah, bagi pembaca Petra Online, terutama bagi para wanita, untuk menjadi seperti seorang Angela Yuan yang hidupnya Tuhan perbaharui, dapat kita mulai dari saat masih di bangku kuliah atau pun saat sudah bekerja, saat masih bujang maupun saat sudah berkeluarga. Masalahnya, sudahkah engkau memiliki kasih Kristus?

Soli Deo Gloria

(Silahkan search google untuk lebih mengenal Christopher Yuan dan Angela Yuan yang sudah menulis buku tentang kisah hidup mereka)

Inge Waluyo

Penulis adalah ibu rumah tangga yang mengajar bahasa inggris di sekolah dasar di Bintaro Jaya

Foto: www.challies.com

Semakin Tangguh!

Selamat memaknai hari kenaikan Tuhan Yesus! Sebuah hari raya dalam kalender gereja, yang mungkin kurang terdengar gaungnya dibanding Natal dan Paskah.

Natal, Paskah, dan kenaikan Tuhan Yesus adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam karya pelayanan Yesus di dunia. Peristiwa Natal adalah awal, penyaliban dan Paskah adalah penggenapan, kenaikan Tuhan Yesus adalah akhir pelayananNya di dunia secara kasat mata.

Akhir kehidupan Yesus di dunia membawa implikasi untuk para pengikutNya: awal menghidupi kehidupan yang berpusatkan pada Kristus tanpa pendampingan dari Kristus secara lahiriah.

Hal ini bukan hal mudah. Menghidupi kehidupan yang berpusatkan pada Kristus di tengah-tengah dunia yang semakin lama terasa semakin buruk. Namun, tantangan itu ada untuk membuat kita menjadi semakin tangguh.

Jika Kristus tidak naik ke surga, maka tidak akan ada ketangguhan Petrus, Paulus, Filipus. Rasul-rasul tidak akan punya kisah sendiri untuk dituliskan, tidak akan ada surat-surat yang menguatkan dari Paulus.

Pada akhirnya, “what makes us a human? A story that we tell.” Semoga kita semua memiliki dan selalu memiliki kisah-kisah baik untuk dibagikan dan diwariskan kepada setiap umat di bumi tercinta ini.

Selamat merayakan Hari Kenaikan Tuhan Yesus.

Rouli Esther Pasaribu

Penulis adalah pengajar paruh waktu di Program Pascasarja Kajian Wilayah Jepang UI.

“Semoga Kamu Mendapatkan Hidayah”

Ini dia kalimat yang sering banget sekarang kita baca di media sosial. Sedikit-sedikit, jika perdebatan atau perang posting di akun media sosial makin tinggi tensinya, keluarlah kalimat sakti “semoga kamu mendapatkan hidayah”.

Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, hidayah artinya “petunjuk atau bimbingan dari Tuhan”. Merujuk dari “semoga dapat hidayah”, ini menyiratkan yang mengucapkan duluan sudah dapat hidayah dan lawan bicaranya belum dapat.

Apalagi sekarang, menjelang Pilkada DKI Jakarta, di mana isu Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA) “digoreng-goreng” dengan tujuan memenangkan pasangan calon tertentu yang menjadi peserta kontestan Pilkada.

Perang ide dan gagasan sudah bergeser jadi perang keimanan. Parahnya lagi ini justru SARA ini lebih menentukan daripada program apa yang terbaik dari masing-masing pasangan calon. Sampai Tuhan “diminta-minta” untuk memberikan hidayah ke pihak-pihak tertentu.

Tapi di kehidupan Kristen itu unik. Hidayah enggak bisa kita dapatkan serta-merta meski kita sudah mencari hidayah itu.

Di kekristenan yang terjadi adalah kita mesti PERCAYA dulu, baru kita bisa memperoleh dan merasakan hidayah. Petunjuk dari Tuhan sedahsyat apapun, senyata apapun–misalkan gunung tiba-tiba terbang dan pindah dari sisi kiri ke kanan–tak akan ada gunanya. Yang terjadi malah kita akan sibuk membahas “kenapa gunung itu bisa pindah? Bagaimana analisis tekstur tanahnya? Elevasinya?” dan segala analisis yang njelimet.

Namun, jika kita percaya terlebih dahulu bahwa Yesus mati, lalu hari ketiga Dia bangkit dari antara orang mati, mengalahkan maut dan kegelapan buat menebus dosa manusia, maka segala sesuatu akan menjadi lebih mudah dicerna. Bahkan hidayah sekecil apapun kadarnya, kita langsung bisa mensyukurinya.

1 Kor 15:17: Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu.

Menjadi Kristen memang tidak seperti yang biasa kita alami di kehidupan sehari-hari, dimana kita biasanya merasakan terlebih dahulu baru percaya.

Tunggu sampai kita sendiri yang di Danau Toba, baru kita yakin dan benar-benar percaya bahwa pemandangan Danau Toba memang indah, kalau enggak bisa juga kita hanya bilang “aaah ini permainan sudut pandang kamera saja”, “jangan-jangan sebenarnya nggak indah-indah amat”, “ini cuma karena dioprek-oprek di software foto,” dst.

Paling parah, saking siriknya dengan kehebatan seseorang mencapai sesuatu dan kita enggak percaya atas apa yang dicapai, lalu kita langsung memberi stempel “HOAX!”

Nah di kekristenan semua serba terbalik jadinya, kan. Hancurkan dulu ego, singkirkan perasaan penuh analitis dan dialektika, percayai sepenuhnya bahwa Kristus mati dan bangkit buat menebus dosa manusia, setelah itu barulah hidayah itu mendapat jalannya. Baru setelah itu, hidayah bisa kita rasakan.

Dan Paskah di tahun 2017 ini terasa pas, setelah kita merayakan kebangkitan Yesus Kristus dalam ibadah subuh penuh khidmat, bolehlah kita mengucapkan dengan takzim:

“Semoga kalian semua mendapatkan hidayah”.

 

Foto: pixabay.com

Belajar dari Cerita Tuhan pada Hari Natal

Cerita selalu bisa jadi pembelajaran, apalagi ceritanya Tuhan. Termasuk cerita Tuhan yang disiarkan melalui peristiwa Natal, cerita tentang kelahiran Yesus Kristus. Melalui Natal, Tuhan sebetulnya telah menuliskan cerita-Nya dalam hidup kita masing-masing.

Begitulah semangat yang ingin kami hadirkan pada perayaan Natal Persekutuan Oikumene Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia tahun lalu.

Perayaan Natal 2015 ini menjadi penting artinya, sebab sebelum 2015 tak ada perayaan itu, dengan alasan tertentu. Natal kami tahun kemarin bertemakan “HiStory“. Kami bermaksud menceritakan bagaimana cerita Dia dalam hidup kita.

Melalui Natal itu, jemaat diajak untuk semakin percaya bahwa Tuhan telah menuliskan cerita-Nya untuk dalam kehidupan pribadi masing-masing. Sekitar 90 jemaat hadir di natal PO FIB yang diadakan di Auditorium Gedung X.

Tahun ini jelas kami akan mengadakan kembali perayaan Natal itu. Rencananya diadakan pada Jumat, 9 Desember 2016. Total ada 22 orang panitia yang mempersiapkan dan mengadakan acara ini.

Panitia menggambarkan persekutuan yang erat dari para mahasiswa Kristen dari angkatan 2015, 2014, dan 2013. Panitia sudah dibentuk pertengahan Oktober 2016.

Tahun ini, Natal PO FIB akan mengupas soal pentingnya hubungan pribadi antara kita dengan Juru Selamat. Natal adalah penggenapan janji Allah di mana Kristus menjadi satu-satunya juru selamat untuk menebus dosa manusia.

Setelah percaya hal itu, jemaat akan diajak untuk memaknai Natal bukan sekadar perayaan tahunan, tapi momentum kelahiran baru mereka dan menjadi pribadi yang sesuai kehendak Tuhan dengan cara selalu memiliki relasi yang intim dengan Tuhan dan punya waktu pribadi denganNya.

#stillstanding

Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu. (1 Korintus 3:16-17 ITB)

Pagi-pagi buta saya dikejutkan oleh teriakan seorang jemaat gereja yang menggedor-gedor pintu rumah kami. Rupanya dia terpaksa melompati pagar karena telah beberapa lama memanggil-manggil dari luar tanpa mendapat jawaban dari kami yang sedang tertidur lelap. Dia datang untuk mengabari bahwa gedung gereja kami sedang terbakar.

Kami pun bergegas menuju ke gereja yang berjarak kurang dari 1 km dari rumah. Sampai di sana kami hanya bisa menyaksikan api yang telah memakan habis ruang ibadah utama kami beserta semua yang ada di dalamnya. Alat musik, sound sistem, lampu, kursi-kursi yang sudah ditata rapi untuk ibadah pagi ini, semuanya dilalap api. Tidak ada yang bisa kami lakukan.

Pemuda-pemuda yang sudah ada di sana kemudian sedikit bercerita bagaimana mereka susah payah memanggil bantuan pemadam kebakaran. Lokasi kami berjarak hanya sepelemparan batu dari Akademi Angkatan Udara dan Bandara Adisucipto, namun pihak AAU tidak dapat membantu pemadaman karena terkendala prosedur “chain of command” mereka, yang katanya sungkan untuk membangunkan komandan di pagi-pagi buta seperti itu. Lokasi kami juga berjarak lebih dekat dengan wilayah kotamadya Yogyakarta daripada pusat pemerintahan kabupaten Sleman, walaupun secara administrasi kami berada di kabupaten Sleman. Ketika menghubungi pemadam kebakaran Kodya, jawabannya juga sama, kami merupakan tanggung jawab kabupaten Sleman. Akhirnya memang kami harus pasrah menunggu kedatangan pemadam kebakaran kabupaten Sleman yang markasnya berjarak dua kali lebih jauh daripada pemadam kebakaran Kodya. Beberapa jemaat yang tiba dengan segera ke lokasi pun menunggu cukup lama sambil menangis memandangi api yang merembet dan membesar membakari tempat ibadah kami. Puji Tuhan ada bapak-bapak polisi yang menemani mereka dalam ratapan mereka.

Ah sudahlah. Kami tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Kami menerima kejadian ini sebagai musibah yang diizinkan Tuhan terjadi. Penyebab kebakaran yang katanya masih mau diselidiki, apakah benar karena arus pendek (korslet) atau penyebab lain, tidak lagi terlalu kami hiraukan. Kami mau belajar menerima dan memaknai bahwa Tuhan sanggup mendatangkan kebaikan yang lebih besar bagi kami melalui peristiwa ini.

Tempat ibadah kami ini belum lama kami tempati . Kira-kira satu setengah tahun yang lalu kami pindah ke tempat ini. Sedikit demi sedikit kami mendandani tempat itu, yang aslinya adalah rumah tua yang sudah lama kosong, sampai menjadi salah satu gereja kecil dengan interior paling cantik di Jogja. Mungkin itu yang akan kami rindukan. Ada banyak spot untuk berfoto selfie di dalam gereja kami yang terbakar itu.

Ah sudahlah. Saat ini kami mau mulai berdoa dan beriman bahwa Tuhan akan mencukupkan kami untuk merenovasi kembali tempat ibadah dan menyewa tempat ibadah sementara selama renovasi berlangsung. Anggota jemaat kami, yang datang dari berbagai kalangan seperti wirausahawan, mahasiswa, mantan narapidana, ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), mantan anak jalanan, keluarga-keluarga prasejahtera, semua percaya Tuhan kami adalah Bapa kami yang sempurna, yang mengasihi kami dan sanggup menolong kami. Tulisan ini saya buat bukan untuk meraih simpati atau menunjukkan bahwa kami patut dikasihani. Yang terbakar hanya tempat ibadah, sesungguhnya gereja tidak terbakar, karena gereja adalah kami, setiap orang yang percaya kepada kasih karunia dalam Kristus Yesus.

Don’t cry with me, because I don’t.
Smile with me, stand by me.
For I know whom I have believed
He who is good, and He is able

 

Foto : Shine Jogja

AwKarin-Anya dan Labirin Gelap di Dunia Maya

Saat anak atau orang terdekat diberikan akses ke dunia tanpa batas bernama teknologi digital dan Internet, serta tak diawasi pula, mereka terancam bahaya.

***

Anya Geraldine dan Awkarin. Dua nama ini banyak dipergunjingkan masyarakat. Baik lewat media massa maupun media sosial. Keduanya adalah selebritas media sosial, yang dengan aksinya sehari-hari di dunia maya, telah melahirkan banyak penggemar sekaligus haters.

Masalahnya, aksi mereka telah menimbulkan keresahan sebagian masyarakat. Gaya bergaul yang bebas, cara berpakaian yang dianggap tak sesuai norma ketimuran, membuat resah banyak orang. Anya Geraldine dan Awkarin sampai-sampai dipanggil oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Terlepas dari masalah dampak sosial dan psikologi yang ditimbulkan perilaku keduanya (Sebetulnya bukan cuma keduanya, kalau punya waktu cobalah telusuri media sosial, banyak yang seperti mereka) di jejaring sosial, sebetulnya fenomena  AwKarin dan Anya cuma riak permukaan saja.

Apa yang bisa ditawarkan dunia maya atau media sosial, jauh lebih mengerikan ketimbang sekadar mengamati gerak-gerik kedua makhluk cantik itu lalu tersesat dalam langgam keduanya.

Masyarakat abai pada dampak yang bisa ditimbulkan media sosial serta Internet, dan abai pula mengajari anak-anaknya untuk bijak menggunakannya. Mereka tak acuh pada perilaku online orang-orang terdekatnya.

Bagi orangtua, perangkat teknologi (termasuk Internet dan media sosial di dalamnya) dijadikan sebagai umpan agar anak tak keasyikan main di luar, atau jangan-jangan agar anak-anak tak mengganggu aktivitas orangtua.

Padahal, saat mereka diberikan akses pada dunia tanpa batas bernama teknologi digital dan Internet serta tak diawasi pula, anak terancam kecemplung ke dalam labirin gelap, panjang berliku, dan menyesatkan.

Apa saja bahaya yang menghadang anak di labirin yang bisa menyesatkan itu? Banyak! Mulai dari contoh negatif ala-ala Awkarin dan Anya, gaya hidup bebas, sampai yang jauh lebih mengerikan seperti jeratan predator seksual dan kejahatan lainnya.

Alih-alih ikut resah dan marah pada fenomena Awkarin dan Anya, ada baiknya orangtua mulai melihat keseharian anak-anaknya. Seberapa banyak mereka menghabiskan waktunya dengan gadget dan Internet. Apakah lebih banyak ketimbang waktu untuk mengobrol dengan orangtua atau saudara lain?

Bagaimana cara menyikapi masalah ini?

Pertama, patuhilah ketentuan penggunaan media sosial. Bacalah term & condition saat sign-up secara teliti, meski itu bisa membosankan karena panjangnya. Contohnya untuk usia pengguna. Jangan karena ingin anak jadi gaul (atau mungkin supaya anak tak mengganggu aktivitas Anda), anda mengizinkan anak memiliki akun media sosial padahal usianya belum cukup. Facebook misalnya, mensyaratkan penggunanya tak berusia di bawah 13 tahun.

Ingat, situs-situs media sosial akan selalu berasumsi bahwa penggunanya sudah cukup umur sehingga konten-konten yang beredar di dalamnya sudah sesuai dengan batas usia penggunanya. Jadi, kalau memang anak masih di bawah umur, ya jangan dibuatkan akun atau diizinkan punya akun media sosial.

Kedua, orangtua wajib mengawasi aktivitas anak-anak di media sosial dengan menjadi teman mereka. Pegang akses untuk masuk ke akun media sosial anak. Software-software antivirus juga sudah punya fitur parenting untuk mengontrol aktivitas anak di Internet. Manfaatkan itu.

Mungkin ada anak yang risih orangtuanya berada di daftar friendlist atau follower-nya. Tapi orangtua harus menjelaskan dengan baik apa maksud di balik itu semua. Yang penting, orangtua berjanji untuk tak banyak mencampuri urusan anak di media sosial, kecuali itu menjurus dan membahayakan keselamatan mereka.

Selebihnya jadilah pengamat yang diam. Anak-anak akan menyadari bahwa aktivitas mereka dilihat oleh orangtua, mereka akan merasa terlindungi kalau ada yang macam-macam di sana.

Ketiga, perbanyak komunikasi langsung dengan anak dalam berbagai kesempatan. Bikinlah quality time yang banyak dengan mereka. Apakah waktu-waktu sarapan sebelum berangkat sekolah? Atau saat makan malam? Atau pada saat kalian beraktivitas bersama di akhir pekan.

Keempat, tunjukkan! Kalau meminta anak tak sibuk dengan gadget atau media sosial, orangtua juga harus segendang sepenarian. Jangan malah asyik mantengin hape atau laptop ketika bersama anak-anak.

Kelima, jadilah teladan dalam perbuatan baik. Saya percaya, ketika hidup kita memancarkan kebaikan dan terang Kristus secara nyata dalam aktivitas sehari-sehari, khususnya di depan anak-anak kita sendiri, mereka akan baik-baik saja.

Buruanlah, jangan sampai terlambat ya.

 

DEDDY SINAGA

Foto: Pixabay/twinquinn84