Tag Archives: kisah inspirasi

Ketelanjangan, Onsen, dan Turisme

Beberapa waktu yang lalu seorang teman menulis kegiatannya di Jepang. Salah satunya waktu dia mandi di onsen (sumber air panas) yang ada di Taman Nasional Daisetsuzan, Hokkaido. (Baca ceritanya di sini).

Salah satu topik yang dibahas di perjalanan si kawan itu adalah soal mandi bugil bersama di sana.

Wow. Pornokah? Tidak!

Saya juga pernah mengalami sensasi berendam di Onsen di Kota Oita di Pulau Kyushu. Kota ini menarik. Di salah satu hotelnya, tamu harus memakai yukata saat wara-wiri di hotel itu. Kami juga ke habitat monyet liar di Gunung Takasaki.

Nah, Oita itu sangat terkenal dengan onsen-nya. Di salah satu onsen di sana, kami serombongan wartawan dari ASEAN, diajak menikmati sensasi pemandian air panas ala Jepang.

Diawali dengan mandi pasir panas. Dengan mengenakan pakaian khusus, para tamu bisa berbaring-baring atau membaluri tubuh dengan pasir yang panas itu. Cewek boleh berada di area cowok. Tapi cowok sangat terlarang masuk ke area cewek.

Kegiatan ini sangat menyegarkan fisik setelah perjalanan panjang dari Tokyo.

Kemudian dilanjutkan dengan membersihkan tubuh di kamar mandi. Lalu tamu diarahkan ke tempat pemandian air panas bersama, yang menjadi inti kegiatan di onsen.

Nah, sebelum memasuki kolam pemandian air panas, dilarang membawa penutup tubuh kecuali handuk kecil yang sudah disediakan. Kecuali saya, wartawan dari Indonesia enggan masuk ke sini. Mereka memilih bebersih lalu kembali ke bus.

Malu, kata mereka. Saya nyengir saja. Hehehe

Di kolam pemandian sedalam sekitar 1 meteran itu, para lelaki berendam bersama. Semua telanjang. Tak ada yang malu, tak ada yang risih. Saya juga. Jelas dong. Kenapa? Baca dong lebih lanjut biar kalian tahu alasannya.

Selesai acara itu, di bus para wartawan ramai membicarakan soal acara mandi bugil bareng itu. Riuh sekali.

***

Onsen dan mandi bugil, itu juga biasa di Indonesia. Di Sumatera Utara, ada yang namanya okup. Tapi saya belum pernah merasakan seperti apa suasana di dalam okup.

Yang pernah saya alami adalah mandi di pemandian air panas umum yang ada di Lau Debuk-Debuk di Kabupaten Karo, ketika saya kecil. Bentuknya seperti kolam renang dengan air panas yang keruh keputihan plus bau belerang yang menyengat.

Apakah okup yang banyak kalian temukan di sepanjang jalan Jamin Ginting, dari Medan menuju Brastagi, sama seperti Lau Debuk-Debuk? Entahlah.

Lalu di Kuningan, Jawa Barat, juga banyak pemandian air panas, bukan? Mulai dari yang pribadi sampai berupa kolam renang yang besar. Di Ciseeng, Depok, juga ada.

Lalu, soal mandi bugil. Itu juga biasa di Indonesia, setidaknya di tempat saya besar, di salah satu sudut Kota Pematang Siantar, SUMUT.

Saya ini besar di Siantar dan rumah tempat saya tinggal dulu tak ada kamar mandi. Kami semua mandi di pemandian umum di mata air. Yes! Mata air. Jadi, tak jauh dari rumah, tepatnya di tepi sungai Bah Bolon, ada beberapa titik mata air yang jernih dan segar.

Pemandian alami ini terbuka. Ada yang khusus untuk lelaki, lalu sekitar beberapa ratus meter jauhnya ke arah hilir ada pemandian khusus untuk perempuan. Tak ada tutup, semua terbuka begitu saja. Kegiatan Mandi Cuci Kakus (MCK) pun dilakukan di sana.

Kalau di pemandian perempuan semua ala kampung dengan mengenakan sarung atau handuk, di tempat lelaki bebas terbuka alias bugil!

Tapi rasanya biasa saja. Tak ada yang merasa malu. Kalaupun ada, ya tinggal pakai penutup. Sesederhana itu. Selama 12 tahun saya melakukan itu. Makanya, di Jepang saya tak malu. Hehe.

Saya percaya, kebiasaan dan tempat-tempat pemandian umum macam ini ada juga di tempat-tempat lain di nusantara ini.

Nah, setelah bercerita begitu jauh, ada sebuah pertanyaan penting yang dulu, sewaktu di Jepang, juga sempat timbul dalam hati saya.

Apakah okup atau kebiasaan mandi bersama di permandian umum itu juga bisa menjadi daya tarik wisata yang mendunia, seperti halnya yang ada di Hokkaido dan Oita?

Sumberdaya alamnya kita punya. Kebiasaannya juga ada. Tapi gaungnya lokal-lokal saja. Pernahkah ada kesadaran di hati kita untuk membuatnya mendunia?

Sebetulnya ini bisa berlaku pada semua macam bentuk wisata dan destinasinya di Indonesia. Kesadaran untuk membuat semua destinasi wisata kita mendunia, supaya orang di luar sana tak hanya mengenal Bali semata.

Kesadaran yang harus diikuti dengan upaya nyata, oleh semua stakeholder pariwisata di negeri ini. Upaya untuk memperbaiki segala sarana dan prasarana. Serta upaya untuk memperbaiki mentalitas dari seluruh masyarakat supaya memandang turis sebagai tamu, bukan sumur duit yang harus dikuras habis-habisan.

Apa pendapat kalian?

Foto: abdulmominyottabd/Pixabay

 

“Dusta di Antara Kita”

“Siapa yang kentut?”

Begitu saya spontan bertanya. Kasus: bau tak sedap. TKP: di dalam mobil. Tersangka: hanya empat orang, yaitu Si Papa, si Kakak, si Adik, dan saya.

“Aku!” jawab si Adik cepat.

Tidak seperti kasus kopi sianida yang bertele-tele, kasus kami ini langsung tuntas tanpa proses hukum.
Seketika mobil kami penuh tawa. Si Kakak lalu mengejek si Adik. Tapi saya memujinya.
“Bagus! Mama bangga akan kejujuran Adik,” puji saya.

Lalu saya pikir, mungkin begitulah hidup ini. Ketika kita mengungkapkan kejujuran, akan ada minimal dua respon. Ada yang menerima dan ada yang mencela. Itulah resikonya.

Padahal, seperti dalam ajaran berbagai agama, kejujuran itu hal yang mutlak. Hukum taurat kesembilan mengatakan: Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu. Entah mengapa, melakukan kejujuran sudah diajari sejak kecil tapi kita sering lupa (?) mengaplikasikannya dalam hidup nyata. Apakah karena terlalu menyakitkan, atau lebih menyulitkan, orang lebih suka mengambil jalan pintas untuk berbohong? Kejujuran memang bukan hal yang mudah. Lebih mudah melakukan kebohongan.

Dalam hal sepele dalam hidup sehari-hari, mungkin tanpa sadar kita adalah pembohong yang produktif dan seringkali kreatif. Kok bisa? Bisa dong. Orang kan suka berbasa-basi, yang biasanya isinya semua ‘kebohongan’ dalam bentuk kreatif. Mau contoh?

‘Masakanmu enak banget, masterchef pun kalah!’

‘Kamu adalah cewek paling cantik di dunia! ‘

‘Loe emang orang paling baik di dunia!‘

Basa-basi boleh saja, asal jangan sampai menjadi kebohongan. Kita bisa memuji orang tapi jangan jadi berlebihan dan bahkan melenceng dari realitas. Ucapan kita jangan jadi pembelokan kenyataan. Tetaplah di dalam rel, fokus pada tujuan kita untuk ucapan itu. Misalnya untuk memuji. Saya pikir, ucapan bercanda lebih baik daripada berbasa-basi, misalnya, daripada berkata: Kumismu lebih menarik daripada aktor Captain America, lebih baik berkata: Saking kumis lo mirip aktor Captain America, gue jadi pengen memelihara kumis juga. Yang penting kan tujuan awal kita adalah memuji (dengan kreatif). Bukan melebih-lebihkan.

Atau, berkata: ‘Kamu terlihat cantik dengan baju merah ini’, lebih baik daripada : Kamu cantik banget kayak Angelina Jolie. (Iya kalau benar mirip Jolie, kalau tidak, bagaimana? Nanti dikira menyindir, kan repot. Hehehe…)

Konon, ada seorang HRD manager di perusahaan tempat saya bekerja dulu, sering memalsukan absensi. Saya pernah masuk list urutan tiga besar karyawan yang paling sering terlambat. Tapi kalau mau jujur, HRD manager itu sama seringnya telat seperti saya, tapi namanya tidak tercantum pada list yang memalukan itu, sebab hal itu bisa ditutupi dengan manis (HRD manager gitu lho, yang pegang absensi.) Tapi toh pada akhirnya dia keluar dari perusahaan dengan tidak hormat. Itu menjadi pelajaran. Kita semua akan menerima upah dari perbuatan masing-masing. Seperti tertulis di kitab suci, apa yang kau tabur akan kau tuai. Orang yang suka berdusta pada akhirnya akan kena batunya sendiri dengan dustanya itu.

Dulu saya ada rekan yang suka karaoke. Kalau mau jujur, suara rekan ini fals, tapi jadinya lucu dan seru, dan kalau ke karaoke ada dia pasti jadi rame. Seorang rekan lain, punya suara bagus sekali. Suatu kali waktu kami karaoke, si suara bagus ini mencela si suara fals dengan jujur. “Suara lo ancur banget sih, X!”
Lalu si X yang memang berwajah bagus, juga menjawab dengan jujur:  “Eh… Mending suara gue ancur daripada loe mukenya yang ancur.” Seketika kami semua tertawa. Ouch! Kejujuran memang terkadang menyakitkan.

Ada sebuah gurauan, tentang pertanyaan paling sulit dijawab dengan jujur, yaitu jika ada wanita yang minta pendapat apakah dirinya gemuk. Dijawab jujur, nanti tersinggung. Dibilang kurus, nanti dikira bohong. Hahahaaa…

Memang tidak mudah hidup dengan kejujuran. Mungkin takkan ada yang bisa melakukannya dengan sempurna. Tapi yang terbaik adalah niat untuk melakukannya, dengan hikmat, pada saat dan tempat yang tepat. Ucapkanlah pada timing yang tepat. Bijaklah, untuk memilah mana yang harus diucapkan, mana yang hanya disimpan saja. Saya sendiri pun masih belajar bijak. Saya menulis artikel ini juga sebagai refleksi untuk diri saya sendiri, sambil mendengarkan lagu milik Broery Marantika, ‘Jangan ada dusta di antara kita’. 🙂

*-*

 

Berbagi Tips Sederhana Menulis

Akhir pekan lalu saya berkesempatan berbagi pengalaman dengan adik-adik siswa kelas 7 SMP Labschool Kebayoran dalam sebuah kelas menulis.

Di luar dugaan, kelas menulis kali ini diikuti lebih dari 100 orang. Saya tadinya mengira kelas ini hanya akan diikuti sekitar 30-an orang, seperti sebelumnya.

Tapi baiklah, tak ada masalah. Mulai dari teori sampai praktik, semua bisa ditangkap dengan baik oleh para siswa itu. Sebab, menulis itu sebetulnya tak sulit kok.

Saya akan memberikan ringkasan tentang apa yang disampaikan di sana. Jadi menulis itu intinya adalah mengomunikasikan segala ide atau pikiran kita kepada orang lain atau pembaca. Menulis ini luas maksudnya, bukan sekadar tulisan berita di media massa. Artikel populer atau postingan di media sosial, itu termasuk.

Menarik, bahwa banyak dari siswa itu ternyata masih menulis di buku diary. Anda tahu, diary adalah medium yang sangat bisa dipakai untuk mengasah kemampuan menulis. Saya sudah melakukannya sejak duduk di bangku SMP.

Kalau tak punya diary, pada masa kini ada banyak platform, terutama yang berbasis online, yang bisa dijadikan sarana menulis. Macam blog pribadi seperti WordPress atau Blogspot.

Atau blog sosial/komunitas macam Petra Online ini, tempat Anda bisa menulis apa saja yang terkait dengan kehidupan Kristiani sehari-hari.

Hanya saja, seringkali kita bingung kan? Ada banyak hal di luar sana, lantas apa yang akan kita tulis? Dari mana kita mulai?

Sebetulnya tak usah berpikir rumit. Mulailah menulis dari hal-hal yang berhubungan dengan diri Anda sendiri. Dengan begitu, Anda akan lebih mudah menemukan ide. Yang penting, jujurlah, jangan mengada-ada.

Apa saja yang berhubungan dengan diri Anda?

Pengalaman adalah sesuatu yang berhubungan atau dekat dengan Anda. Cerita tentang perjalananmu ke destinasi wisata yang sangat berkesan, misalnya, tentu akan sangat menarik dan bisa jadi menginspirasi orang lain yang kemudian jadi ingin ke sana.

Ceritakan dengan mendetail tentang perjalanan Anda ke sana, terutama tentang cara untuk sampai di sana, apa saja yang Anda saksikan, tentang kesan dominan, pengalaman tak terlupakan, dan sebagainya.

Pengalaman rohani juga adalah sesuatu yang layak untuk dituliskan sebagai inspirasi bagi orang lain. Tanpa perlu menggurui atau berkotbah, banyak dari kita bisa belajar dan menemukan cara Tuhan bekerja melalui kesaksian hidup orang lain.

Apa lagi? Keseharian Anda, keluarga, lingkungan tempat tinggal, komunitas, tentu sangat bisa Anda kisahkan kepada orang lain. Bagaimana Anda mengisi waktu di rumah dengan kakak atau adik atau anak. Atau tentang bagaimana Anda menyatakan hormat dan cinta pada orangtua, dan sebagainya.

Hobi? Tentu saja menarik untuk ditulis. Atau tentang dunia pekerjaan Anda. Siapa yang lebih tahu tentang kehidupan guru/sekolah, selain Anda  yang bekerja sebagai guru, bukan? Siapa yang lebih tahu mengenai dunia para peneliti selain dari peneliti?

Nah di luar hal-hal yang berkaitan dengan diri sendiri, Anda bisa mulai dengan ‘mengedarkan pandang’ ke sekeliling dan lihat, ada banyak hal yang bisa Anda tuliskan mengenai itu semua. Pasang mata, jeli melihat fenomena yang ada atau keresahan yang ada di sekeliling.

Pantau media sosial dan lihat apa yang sedang ramai ‘dipergunjingkan’ di sana. Semakin Anda menulis tentang sesuatu yang sedang ramai dibicarakan orang, semakin besar kemungkinan tulisan Anda akan banyak dibaca atau di-share oleh orang lain.

Setelah ide ada, mulailah menulis. Ada sebuah tips sederhana yang pernah disampaikan seorang senior di media tempat saya dulu bekerja. Tips untuk menulis adalah MENULIS SAJA! Intinya, kalau Anda ingin menulis, jangan kebanyakan mikir. Kalau sedang ada ide, langsung saja menulis. Atau minimal catat dulu di notes supaya tidak lupa untuk kemudian segera diolah.

Jangan terburu-buru ingin menulis dengan indah. Anda masih punya banyak waktu untuk menyunting tulisan itu. Lakukan itu, jangan terburu-buru mempublikasikannya.

Bikin judul yang menggoda. Juga awalan tulisan/lead yang menarik orang untuk terus membaca tulisan itu sampai akhir. Tak usah bertele-tele, lugas saja dalam berbahasa. Sampaikan langsung apa yang menjadi maksud Anda.

Last but not least, banyaklah membaca. Kenapa? Membaca itu akan membuka wawasan Anda lebih luas. Anda bisa mendapatkan banyak ide untuk menulis dari segala bacaan itu. Dengan membaca, Anda juga bisa memperkaya diksi.

Selamat menulis.

 

DEDDY SINAGA – Disadur dan ditulis ulang dari tulisan pribadi di CNN Indonesia Student (http://student.cnnindonesia.com/edukasi/20160926114859-445-161155/berbagi-tips-sederhana-menulis/)

Foto: leandrodecarvalhophoto/Pixabay

 

Ketika Ponsel Ketinggalan di Rumah

Lampu lalu lintas di pertigaan Jalan Juanda-Margonda, Depok, baru saja berubah merah. Saya bergegas ingin mengambil ponsel di laci tas. Cari punya cari, ternyata saya ingat ponsel tertinggal di rumah. Aduh.

Perasaan galau pun langsung muncul. Tetapi untuk kembali ke rumah rasanya berat hati.

Maklum, itu sudah setengah perjalanan ke kantor. Rasanya buang-buang waktu dan bensin saja kalau harus memutar balik. Ya sudahlah ya, perjalanan pun dilanjutkan ke kantor. Tapi di hati muncul tanda tanya, “Bagaimana hidup seharian ini tanpa ponsel?”

Singkat cerita, ternyata baik-baik saja kok. Walau kadang-kadang, tak sadar tangan meraba saku celana atau kemeja. Mata sekali-kali refleks melirik ke sebelah laptop, tempat biasa meletakkan ponsel. Selebihnya, I’m just fine!

Malah, saya kira, ada kualitas hidup yang berubah jadi lebih baik kala kita tak tergantung pada ponsel. Misalnya, komunikasi ke rumah harus saya lakukan dengan telepon kantor. Mendengar suara istri dan anak lewat sambungan telepon, ternyata jauh lebih baik ketimbang bicara dengan mereka semata-mata melalui pesan instan.

Diskusi dengan tim kerja bisa dilakukan dengan langsung, tak melalui grup Whatsapp padahal duduk berdekatan. Hayo, seberapa kerap kalian bicara dengan kolega melalui pesan instan, padahal duduknya tak jauh dari meja? Lagi pula, banyak berjalan di kantor jadi lebih sehat bukan?

Bicara langsung kepada tim atau kepada orang lain, bukan semata-mata lewat pesan teks, juga meminimalisir salah pengertian. Saya kira, kita sudah terlalu banyak bergantung pada emoji untuk mewakili emosi. Padahal, barangkali kita lebih banyak menipu diri sendiri.

Sok tersenyum, padahal di hati sedang gundah. Sok tertawa, padahal di wajah sebaris senyum pun tak ada. Siapa yang bisa menerka apa yang sesungguhnya kita rasakan, dengan hanya melihat emoji yang kita kirimkan? Hanya kita dan Tuhan yang tahu kan?

***

Sebuah riset tahun 2014 mendapati bahwa orang Indonesia adalah pengguna ponsel pintar nomor satu di dunia dalam hal durasinya. Penelitian Milward-Brown itu mendapati orang Indonesia memakai ponsel pintar rata-rata 181 menit per hari.

Urutan kedua adalah orang Filipina dengan 174 menit per hari. Berikutnya berturut-turut Cina, Brasil, dan Vietnam.

Tak heran memang kalau ponsel itu menyita banyak waktu kita dalam kehidupan sehari-hari. Ketika berada di rumah, cobalah periksa seberapa sering Anda menghabiskan waktu dengan ponsel ketimbang bersenda gurau dengan suami/istri atau anak-anak.

Saat berkumpul dengan sahabat atau teman, coba cek seberapa banyak kalian melirik layar ponsel ketimbang berbagi cerita atau rasa kangen?

***

Saya masih ingat kok rasanya hidup tanpa ponsel, dulu sekali. Janjian dengan teman cukup dengan lisan, sampai pada hari H. Atau kalau punya telepon rumah, janji bisa diingatkan kembali. Selebihnya, ada rasa percaya bahwa orang yang kita ajak ketemuan pasti akan memenuhi janjinya.

Bicara dengan teman bisa sampai lupa waktu, lupa pulang, lupa makan. Tak ada intervensi perangkat teknologi bernama ponsel atau tablet.

Kita boleh menggunakan perangkat teknologi. Tapi jangan sampai perangkat itu hanya menghadirkan rasa percaya yang maya. Jangan sampai perangkat itu menciptakan relasi sebatas baris kata-kata di layar belaka. Jangan sampai perangkat itu menggantikan waktu-waktu yang intim dan berharga.

***

Apakah saya bisa menghapuskan kebutuhan pada ponsel? Ya tidak mungkin juga. Sebab ponsel adalah ‘senjata’ saya saat bekerja. Aplikasi-aplikasi semacam email, Internet, notes, kamera, video, sudah menjadi kebutuhan bagi profesi saya. Belum lagi ratusan kontak di dalamnya.

Tetapi ketinggalan ponsel kemarin itu mengajarkan saya, bahwa kebutuhan tak perlu berubah menjadi ketergantungan. Jadi tak perlu galau berlebihan kalau ponsel kamu ketinggalan.

DEDDY SINAGA

Foto: pixabay.com

Bahagiakah Anda?

Apakah anda bahagia?happy woman-570883_960_720

Waktu masih bekerja di bagian rekrutmen, kadang-kadang saya menanyakan hal di atas pada kandidat yang saya wawancarai. Nyaris tak pernah ada jawaban spontan akan pertanyaan ini. Biasanya kandidat akan mengernyit atau terdiam dulu beberapa detik, atau bahkan balik bertanya: Maaf, maksudnya bagaimana?

Tidak seperti ketika saya bertanya, misalnya: Apakah anda suka dengan pekerjaan anda? Jawaban Tidak, atau, Ya, biasanya terucap lebih spontan.

Pernah saya menanyakan hal serupa pada seorang teman dekat. Dia malah balik bertanya: Bahagia itu apa sih? (Saya mengerti dia sangat sibuk dan mungkin tak ada waktu untuk memikirkan pertanyaan bodoh itu. Tapi, lalu rupanya pertanyaan itu membuatnya mengevaluasi ulang jalan hidupnya).

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring, bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan).

Bagi saya, waktu kecil, bahagia sudah ada jadwalnya. Yang pasti dalam setahun minimal ada tiga kali. Hari ulang tahun, hari Natal dan libur sekolah.

Apa yang menjadi kesamaan semua momen itu? Karena pada saat itu saya mendapatkan apa yang saya inginkan atau sukai. Versi kanak dalam diri saya pun mendefinisikan bahagia sebagai, keberhasilan menggapai keinginan dan target saya. Saya bahagia dengan semua yang saya dapatkan.

Hal itu pun berubah seiring waktu. Berbeda dengan dulu, sekarang defenisi bahagia bagi saya adalah rasa damai. Peace of mind. Rasa damai, walaupun saya tidak bisa mendapatkan keinginan, menggapai impian dan mencapai target-target saya. Dan itu ternyata sulit.

Mungkin berbeda dengan anda. Seperti seorang pengusaha sukses pernah berkata, dia akan merasa bahagia jika ketika dia bangun pagi, dia tidak menginginkan apapun lagi. Saya merasa itu lebih sulit lagi.

Dalam buku The Practices of Happiness: Political Economy, Religion and Wellbeing (2011, John Atherton, Elaine Graham and Ian Steedman), disebutkan, jika kebahagiaan berarti semata perasaan senang, itu akan menjadi makna hedonistik yang dapat dikritik dari persepsi filsafat dan teologis.

Dalam filsafat Aristotelian, kebahagiaan dianggap lebih dari sekedar kesenangan. Kebahagiaan terkait dengan pengembangan dan pemenuhan umat manusia yang tidak terpisahkan, yang berarti realisasi dari potensi yang kita miliki sebagai manusia.

Pemahaman kebahagiaan yang sama dijabarkan dalam tradisi Kristen. Kebahagiaan dipahami bukan dalam hal kesenangan atau kepuasan, tetapi dalam hal pengembangan umat manusia itu. Kebahagiaan adalah pemenuhan semua manusia, yang hanya mungkin dalam kasih Allah dan kasih sesama.

Dalam etika sosial Kristen, kebahagiaan sebagai pemenuhan manusia, terkait dengan pandangan Kristen tentang umat manusia, yang terdapat dalam hubungan antar individu, makhluk sosial yang saling bergantung hidup dengan orang lain. Sehingga bukan seperti perspektif individu, kebahagiaan lebih dari sekedar perasaan enak dan kesenangan.

Lalu, apa kata Alkitab tentang kebahagiaan?

Dalam Lukas 11:28 tertulis: Tetapi Ia berkata: Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya.” (Dalam versi NIVBlessed rather are those who hear the word of God and obey it). Blessed diterjemahkan menjadi bahagia. Orang yang bahagia, orang yang diberkati.

Di dalam Khotbah di Bukit, ciri-ciri orang bahagia, yaitu: orang yang miskin di hadapan Allah, orang yang berdukacita, orang yang lemah lembutorang yang lapar dan haus akan kebenaran, orang yang murah hatinya, orang yang suci hatinya, dan, orang yang membawa damai (Matius 5:1-10).

Nah, Alkitab memiliki defenisi kebahagiaan yang berbeda dengan yang tertulis di kamus. Di kotbah tadi tak ada tertulis: ‘orang yang bahagia adalah yang merasa senang dan puas, dan yang mendapatkan keinginannya’, ya?

Selain itu, Tuhan Yesus juga berkata, “Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima.” (Kisah Para Rasul 20:25). Ini benar-benar kontras dengan konsep bahagia saya waktu kanak-kanak, kan?

Yang lebih dahsyat lagi, dalam Yakobus, berbahagia jika jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan (James 1:2 Consider it pure joy, my brothers and sisters, whenever you face trials of many kinds). Pencobaan adalah kebahagiaan? Ini sungguh ironis, bukan?

Padahal seorang profesor psikologi, A. Furnham (1953) juga menyatakan bahwa kebahagiaan merupakan bagian dari kesejahteraan, kepuasan, untuk melakukan kepuasan hidup, atau sama dengan tidak adanya tekanan psikologis. Pencobaan, kan tekanan?

Saya pernah menonton film kartun Disney, Inside Out, yaitu sebuah film dengan cerita yang menekankan temuan neuropsikologi bahwa emosi manusia mempengaruhi hubungan interpersonal dan dapat dimoderasi secara signifikan oleh manusia itu sendiri.

Film box office di seluruh dunia ini telah menerima beberapa penghargaan, termasuk Golden Globe Award. Ceritanya tentang seorang gadis kecil bernama Riley Andersen yang di dalam pikirannya ada lima personifikasi emosi dasar, yaitu Joy, Sadness, Fear, Disgust, dan Anger (Bahagia, Sedih, Takut, Jijik, dan Marah) yang mempengaruhi tindakannya melalui console di markas batinnya.

Tindakan Riley yang berusia sebelas tahun, dikendalikan oleh lima emosi mayoritas di atas, tapi JOY-lah yang menjadi pemimpin yang mengambil kendali agar Riley tetap bahagia.

Seperti ketika Riley pindah ke rumah yang jelek dan bau bangkai tikus, dan truk barang mereka hilang, dan hanya ada restoran pizza rasa brokoli yang Riley benci, emosi yang spontan muncul tentu adalah marah, sedih dan takut, tapi JOY dalam batin Riley mengendalikan emosinya dengan berkata: “Jangan fokus pada apa yang salah, selalu ada cara untuk memperbaikinya. Ayo cari senangnya. Find the fun!”

Riley pun mengambil tongkat dan memainkan gumpalan kertas sampah seperti bermain hoki di rumah kotor melompong itu, yang segera disambut oleh ayahnya. Suasana pun langsung berubah gembira.

Sebagai terobosan dalam film ini adalah, bahwa emosi diciptakan untuk menghubungkan orang bersama-sama, dan bahwa hubungan adalah hal yang paling penting dalam hidup ini. Emosi ada untuk mengatur kehidupan sosial dan penataan interaksi interpersonal (masih sejalan dengan buku The Practices of Happiness tadi, kan?)

Seperti itulah hidup kita. Kitalah yang pegang kendali atas emosi kita. Kitalah yang menentukan untuk membiarkan tombol kesedihan, ataukah memencet tombol sukacita, ketika masalah datang. Memang tak mudah, dan pasti banyak energi yang keluar, tapi pilihan ada di tangan kita.

Lalu, seperti para pakar berkata, kebahagiaan itu keputusan kita. Kita bisa meraung sedih berkepanjangan karena hujan, atau bisa mengambil payung dan berpose untuk diunduh ke media sosial (yang terakhir ini kalimat buatan saya, hehe).

Terlalu banyak hal dalam hidup ini yang menggerus perasaan kita hingga kita lupa untuk mengingat bahwa hidup kita sungguh diberkati, dan kita sering lupa memilih tombol perasaan bahagia. Seperti Riley dalam film Inside Out, biarlah JOY selalu mengendalikan tombol dalam emosi kita.

Mari berbahagia!

-*-

Mencari Pekerjaan yang Ideal?

Anda pernah berganti pekerjaan?

Saya sudah tiga kali. Yang sekarang adalah pekerjaan saya yang keempat. Ada beberapa alasan mengapa saya pindah kerja.

Pekerjaan pertama saya di maskapai penerbangan Jepang adalah yang paling berkesan. Pahit dan manis bercampur-aduk di sana. Yang paling tak terlupakan adalah satu hal. Bayangkanlah, gara-gara saya masih karyawan baru dalam masa training, saya salah memprogram reservasi hingga keberangkatan pesawat nyaris delay dan perusahaan rugi biaya satu seat penumpang seharga ribuan dollar.

Saya berhenti bukan karena itu, tapi karena maskapai itu berhenti beroperasi di Indonesia waktu itu. Sesungguhnya saya senang bekerja di sana, walau pernah punya atasan ekspatriat yang kalau emosi suka membanting meja… (ngeri!)

Sebagai pekerjaan pertama, saya belajar sangat banyak di sana. Pekerjaan itu nyaris sempurna untuk saya. Nilai minus pekerjaan itu buat saya hanya satu: lokasinya bukan di Jakarta, tapi jauh di Bali.

Tempat saya kerja yang kedua adalah maskapai penerbangan asing lainnya. Sebenarnya ini adalah pekerjaan impian saya sejak kuliah. Bisa kerja di perusahaan itu adalah dream came true. Tapi ternyata keadaannya tidak seperti yang saya kira. Saya tidak betah bekerja di sana. Lingkungan pekerjaannya tidak kondusif. Saya hanya dua tahun di sana sementara teman-teman yang tidak tahu keadaan yang sebenarnya, masih menyayangkan karena saya meninggalkan perusahaan itu. Saya ambil hikmah, rupanya tidak semua impian kita seindah yang kita harapkan.

Pada pekerjaan saya yang ketiga, saya betah tujuh tahun. Yang paling berkesan dari perusahaan itu adalah suasana persahabatan sesama rekan kerja dan rasa kekeluargaan dengan atasan yang ekspatriat. Gajinya kecil (hahaha) dan jenjang karir lambat sekali tapi karyawan betah di sana. Pada akhirnya saya (dan yang lain) keluar juga karena kemudian ada perubahan yang merusak kenyamanan itu, sehingga saya putuskan tak ada lagi yang bisa saya pertahankan di sana.

Tempat kerja saya berikutnya, hampir sama, suasana persahabatan dengan rekan kerja terasa enak, walau gaji dan karir tak menjanjikan (hehehe). Bagi saya, yang membedakan pekerjaan ini dari semua pekerjaan sebelumnya adalah bidang pekerjaannya!

Kali ini saya merasa klik sekali dengan bidang pekerjaan ini. Saya suka dan merasa passion saya memang di bidang itu. Baru kali ini saya merasa secocok ini dengan bidang pekerjaan saya, setelah empat kali pindah kerja.

Ada juga faktor-faktor lain yang tidak kondusif di lingkungan pekerjaan ini, tapi karena saya menikmati sekali bidang pekerjaan saya, saya berusaha untuk tidak mau terdistraksi. Saking excited, saya bahkan pernah mengalami keanehan, yaitu rasa ketidaksabaran hari segera berganti pagi karena ingin segera ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaan, dan saya segera mulai bekerja dari pagi walau itu belum mulai jam kerja, dan tak peduli walaupun lembur tidak dibayar di malam harinya.

Lalu saya simpulkan, memang benar kata orang, lakukanlah apa yang kita sukai. Do what you love. Kalau tak dapat pekerjaan yang kita sukai, love what you do. Itulah kunci kebahagiaan dalam dunia kerja. Saya baru sadar bahwa apa yang terjadi di pekerjaan saya yang kedua dan ketiga adalah sikap love what you do, sedangkan pekerjaan pertama dan yang sekarang, adalah passion.

Juga saya setuju dengan kata orang, bahwa melakukan apa yang kita sukai itu terasa menyenangkan, tak perlu dipaksa, kita menikmati dan bisa lupa waktu, layaknya kita mengerjakan hobi.

Sejauh ini, bagi saya, pekerjaan ini adalah yang paling ideal dari semua pekerjaan yang pernah saya lakoni. Dan setelah bekerja hampir delapan belas tahun, saya mengambil kesimpulan sendiri (anda boleh tidak setuju, hehehe…) sebagai berikut:

Jika anda mencari pekerjaan yang ideal atau sempurna, lupakan. Tak akan pernah ada. (Mungkin ada sih, tapi itu mungkin satu di antara seribu.)

Pernah saya dan teman membuat list faktor-faktor bahan pertimbangan, karena bingung apakah ingin tetap di situ atau pergi mencari pekerjaan baru. Seperti ini:

1. Gaji/karir
2. Suasana lingkungan kerja/interpersonal relation
3. Bidang pekerjaan/passion

Teman saya itu pindah kerja ke sebuah grup perusahaan terbesar Jepang. Baru masuk seminggu dia sudah stress. Nomor 1 ada di sana tapi nomor 2 tidak ada dan nomor 3 agak minim. Gaji besar, jabatan tinggi, tapi katanya, semua orang seolah saling menjatuhkan, menghasut dan menjerumuskan. Pekerjaannya pun sangat menekan bathin.

Lalu seorang teman lain, juga baru pindah kerja ke tempat lain. Dia memiliki nomor 1 dan 2, gaji besar dan rekan kerja yang kooperatif, tapi dia tidak menikmati pekerjaan itu. Aslinya, dia adalah tipe pekerja belakang meja, tapi pekerjaan yang ini mengharuskannya sering terjun ke lapangan. Dan itu membuatnya tidak bahagia.

Dalam sebuah reuni, kami membahas tentang pekerjaan kami masing-masing dan akhirnya kami menyimpulkan bahwa tak ada pekerjaan yang ideal. Kita hanya harus memilih prioritas, memilih yang paling bisa kita tolerir, dari semua faktor di atas.

Saya sendiri lebih tak bisa menolerir bekerja pada bidang yang tidak saya sukai, sehingga pada kondisi terburuk, saya akan lebih memilih pekerjaan yang tidak dapat nomor 1-nya. Prioritas saya adalah menikmati hidup melalui pekerjaan. Materi dan jabatan bisa menyusul. Yang terpenting adalah kita melakukan tugas kita seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Seperti tertulis di Amsal 10:16; Upah pekerjaan orang benar membawa kepada kehidupan, penghasilan orang fasik membawa kepada dosa.

Juga seperti di Amsal 10:22: Berkat Tuhanlah yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya.

Bagaimana dengan anda?
Masih penasaran ingin mencoba mencari pekerjaan yang ideal?
🙂

Tatkala Jalan Umum Menjadi Ranjau

Di Kelurahan Medang, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, 3 orang meninggal baru-baru ini karena mobilnya jatuh ke sungai. Mobil jatuh ke sungai dengan posisi mobil terbalik. Mobil terkunci di air tergenang, sehingga penumpang tidak bisa keluar. Semua penumpang mobil meninggal. Menurut saksi mata, sopir mobil itu menghindari kambing yang menyeberang jalan. Di daerah ini sering orang meninggal karena kecelakaan, kata seorang warga yang melihat kejadian. Semua jalan tidak memiliki pengaman di daerah ini. Akibatnya, kecelakaan makin sering terjadi akhir-akhir ini.

Dalam pertemuan internasional, Indonesia selalu terdepan dalam membahas pembangunan berkelanjutan (sustainable divelopment) dan mudah untuk meratifikasi aturan internasional untuk diterapkan di masyarakat. Tetapi dalam prakteknya, sebaliknya.

Faktanya, hampir di seluruh negeri, dampak pembangunan yang berkelanjutan adalah risiko negatifnya. Dalam hal pembangunan infrastruktur jalan umum yang berkelanjutan adalah kecelakaannya. Kecelakaan terjadi terus-menerus. Hampir tidak ada jalan umum yang memberikan kenyamanan.

Kecelakaan di jalan umum diakibatkan oleh pembangunan jalan yang persis sama fungsinya dengan ranjau. Seolah jalan umum itu menjadi ranjau yang siap menelan korban kapan saja. Bedanya, ranjau di jalan umum kelihatan sangat jelas di siang hari dan gelap di malam hari.

Jalan umum seperti jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kecamatan, jalan desa, dan jalan dusun kita kini terbuat dari beton yang tingginya bervariasi dengan tanah di sekitarnya tanpa pengaman sedikit pun.

Dengan kata lain, jika ban kendaraan sedikit lari dari jalan beton langsung terjatuh, kemudian terjadilah kecelakaan yang menelan korban. Tidak ada jalan bagi pejalan kaki, sepeda, sepeda motor, gerobak, dan kendaraan kecil untuk kebutuhan masyarakat.

Di berbagai tempat, khususnya di Provinsi Banten, jalan-jalan umum itu terbuat dari beton yang kanan dan kiri jalan menganga ke tanah sebagai penampung beton. Jalan-jalan umum itu tanpa pengaman sedikit pun. Jarak jalan dengan rumah masyarakat ada yang kurang dari 1 meter.

Jika kendaraan mengalami kecelakaan maka yang kecelakaan tidak hanya pemilik kendaraan tetapi masyarakat pemilik rumah di pinggir jalan umum juga ikut celaka.

Jika mengamati jalan-jalan umum yang terbuat dari beton, tidak ada bedanya dengan ranjau yang menakutkan. Jalan umum kita tidak memiliki trotoar, saluran air jika hujan tiba, dan berbagai kebutuhan untuk fungsi penyelamatan pengguna jalan.

Hal ini diperparah dengan perilaku berkendara masyarakat kita. Masayarakat pengguna jalan menggunakan jalan sesuai seleranya. Seringkali kecelakaan pengguna sepeda motor masuk ke jalan raya tanpa melirik ke kiri dan kanan. Mereka asal masuk ke jalan raya, akibatnya terjadi kecelakaan.

Di Selangor Malaysia, hampir 30 % dari lebar jalan adalah trotoar yang di bawah trotoar adalah gorong-gorong yang berfungsi untuk menghindari banjir. Dengan demikian pejalan kaki, sepeda motor, gerobak dan pengguna jalan di luar mobil nyaman. Saluran airnya jelas arahnya. Sepanjang perjalanan, masyarakat pengguna merasa nyaman.

Jalan umum menjadi ranjau bagi pengguna jalan disebabkan oleh: pertama, perencanaan jalan tidak memperhitungkan dampak negatif. Padahal, UU Nomor 32 tahun 2009 mewajibkan membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). KLHS inilah yang mendokumentasikan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Faktanya, perencanaan terjadi karena jumlah dana yang tersedia. Pembangunan fokus kepada dana yang tersedia bukan dalam rangka kebutuhan yang mendesak rakyat. Akibatnya, pembangunan jalan asal jadi. Risikonya kesalahan ini ditanggung masyarakat itu sendiri.

Kedua, pembangunan jalan tidak berdasarkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang di dalamnya tercantum Daya Dukung (DD) dan Daya Tampung Lingkungan. Jalan tanpa pengaman ditambah jumlah penduduk yang tidak terkendali memperparah jumlah kecelakaan.

Ketiga, perilaku berkendara sangat jauh dari etika berkendara.

Keempat, penggantian bahan jalan raya seperti penggantian aspal menjadi beton erat kaitannya dengan bisnis penguasa. Kemungkinan, pemilik perusahaan beton itu adalah penguasa atau keluarganya.

Faktor kepentingan bisnis ini penghalang inovasi untuk menjawab pembangunan infrastruktur berdasarkan kebutuhan masyarakat. Banyak masyarakat kita berkendara menurut selera sendiri. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya masyarakat kita memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) tanpa belajar. Masyarakat kita lebih senang prosedural dibandingkan keselamatan nyawanya.

Jalan umum yang sejatinya nyaman bagi pengguna jalan, justru berfungsi sebagai ranjau yang sempurna untuk menelan korban. Pemerintah seolah kehilangan akal sehat dalam membangun infrastruktur jalan umum. Pemerintah yang kehilangan akal sehat ditambah lagi dengan perilaku berkendara, ditambah pula kesenangan masyarakat membuat ‘polisi tidur’ tanpa aturan yang acapkali menimbulkan kecelakaan, ikut menyempurnakan jalan umum sebagai ranjau.

Masyarakat secara bebas dan tidak ada pilihan untuk tidak membuat polisi tidur untuk mengendalikan pengendara dari kecepatan tinggi. Risikonya, pemilik kendaraan yang sering mengalami kecelakaan.

Di Tangerang Selatan, ada pelebaran jalan. Jalan yang dulunya satu arah kini dua arah. Kini jalan mulus tanpa macet. Tetapi, hal yang mengagetkan adalah di tengah jalan yang kini mulus itu ada tiang listrik berjejer.

Bagaimana mungkin tiang listrik ada persis di tengah jalan raya? Ini aneh tapi nyata. Dalam konteks jalan raya di Tangerang Selatan ini, tepat disebut ranjau yang siap menelan korban. Cepat atau lambat, kita hanya menunggu waktu melihat dan mendengar korban tiang listrik di Tangerang Selatan.

Pemerintahan Jokowi yang dikenal berpihak kepada keadilan, sejatinya mengevaluasi kembali jalan-jalan umum yang selama ini berfungsi sebagai ranjau. Komitmen kita dengan PBB untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan harus konsisten. Pertumbuhan ekonomi tidak ada maknanya jika masyarakat tidak nyaman dalam perjalanan. Semua keluarga dalam keprihatinan tiap hari jika jalan umum berfungsi sebagai ranjau. Negara harus melindungi rakyat dari ranjau jalan raya. Rakyat berhak mendapat kenyamanan di jalan raya.

Gurgur Manurung

Penulis adalah praktisi lingkungan hidup. Alumnus Pascasarjana bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB. Peneliti di Institut For Indonesia Local Policy Studies, Banten.

Foto: tashaat/pixabay

 

Si Adik Yang Lebih ‘Tua’ dari Kakaknya (Tentang Indigo Bagian 5)

Saya dan kakak perempuan saya yang usianya dua tahun lebih tua dari saya sering mengalami banyak hal-hal aneh yang tidak masuk akal. Seiring dengan bertambahnya usia, saya mencoba mencari tahu ada apa dengan saya, dan akhirnya saya menemukan konsep indigo. Saya mencari tahu ciri-ciri orang indigo dari berbagai sumber, dan saya akan coba menceritakan beberapa pengalaman yang saya alami berdasarkan beberapa ciri-ciri yang saya dapatkan:

1. Memiliki daya ingat yang baik, kemampuan yang tajam dalam mengamati.

Saat berbincang-bincang dengan keluarga, saya sering mengenang peristiwa-peristiwa lama, termasuk teman-teman lama. Keluarga saya sering kali heran karena saya masih mengingat kejadian-kejadian yang sudah berlalu selama hampir 30 tahun. Saya juga masih ingat nama-nama teman-teman saya waktu masih kecil. Saya bahkan mengingat teman-teman dari kakak dan adik saya. Kakak dan adik saya sangat heran, karena bahkan mereka sudah banyak lupa nama teman-teman mereka serta kejadian-kejadian tersebut.

Suatu saat, saya mengamat-amati beberapa hal dalam keluarga saya. Saya menghubung-hubungkan hal-hal tersebut dan menemukan suatu kejanggalan. Saya pun tiba-tiba tahu suatu masalah akan terjadi. Dan ketika hal itu terjadi, kami membahas masalah tersebut, dan saya pun membeberkan hal-hal yang sebelumnya telah saya amati tadi, dan menjelaskan hubungan hal-hal tersebut. Akhirnya masalah itu diketahui penyebabnya dan kaitannya satu sama lain. Mama saya terheran-heran dengan tajamnya pengamatan saya terhadap hal-hal yang terjadi dalam keluarga kami dan kaitannya satu sama lain. Seandainya saya tidak bicara, mungkin masalah itu masih belum diketahui dan diselesaikan untuk jangka waktu yang lebih lama.

Suami saya datang dari keluarga besar, dengan 9 bersaudara. Sebagai pendatang, saya berkomitmen untuk mengenal keluarga besar suami saya. Pada tahun-tahun pertama pernikahan kami, saya menemukan kejanggalan-kejanggalan. Misalnya, awalnya suami saya tidak tahu siapa sepupu-sepupunya. Dia juga tidak tahu apa hubungan orang-orang tertentu dengan keluarganya, padahal mereka sering datang berkunjung ke rumah mertua saya. Saya mengamat-amati ipar-ipar saya dan pasangan mereka. Setelah bergerilya mencari informasi tentang keluarga mertua saya, saya minta suami membawa saya mengunjungi keluarga mertua saya yang tidak pernah disebutkan oleh mertua saya. Setelah menghubung-hubungkan berbagai kejadian, percakapan, dan perilaku berbagai orang dalam keluarga besar suami saya, pada akhirnya saya mengungkap bahwa ternyata ada pihak yang menginginkan agar sesuatu dihilangkan, dan suatu hal lain yang dibentuk dalam keluarga mertua saya dan anak-anaknya. Hal tersebut sebenarnya sudah menjadi rahasia umum bagi the extended family (kakak beradik dan sepupu-sepupu dari mertua saya serta keluarganya), namun tidak diketahui oleh suami saya bersaudara. Saat saya menyatakan pengamatan saya ke salah seorang sepupu dari suami saya, dia terheran-heran karena saya mengetahui hal tersebut, Dia bahkan mengira ada yang memberitahukan hal itu pada saya. Namun saya hanya mengatakan bahwa saya mengetahuinya melalui pengamatan saya.

Sebelum berumah tangga, suami saya tidak merasakan kejanggalan-kejanggalan pada hal-hal yang terjadi di dalam keluarganya. Namun seiring dengan perjalannan rumah tangga kami, apa yang saya amati itu semakin jelas dan akhirnya terjadi. Sesuatu yang ingin dihilangkan dan sesuatu yang ingin dibentuk, telah hampir mencapai puncaknya.

2. Cerdas dan kreatif.
Di antara keempat anak orangtua saya, sayalah satu-satunya yang tidak pernah menjadi juara kelas. Kemampuan akademis saya hanya masuk kategori baik atau cukup, sementara kakak dan adik-adik saya beberapa kali masuk kategori 10 besar di kelas mereka.

Walaupun secara akademis saya anak ‘biasa’ saja, orangtua dan keluarga saya mengatakan bahwa sayalah yang paling cerdas. Menurut Mama, sejak masih kecil saya mampu tetap berpikiran dingin dalam berbagai masalah, dan mengambil tindakan yang logis dan relevan dalam berbagai kondisi darurat. Saya selalu dapat masuk dalam lingkungan baru tanpa masalah, di mana hal ini seringkali menjadi tantangan bagi anak-anak.

Untuk kemampuan penguasaan Bahasa, karunia saya bukan pada penguasaan menggunakan bahasa tersebut, melainkan bagaimana saya menggunakan bahasa untuk mengulas atau menjelaskan sesuatu dengan sangat deskriptif dan rinci. Karena itu, saat masih bersekolah, saat diberi tugas ‘menulis pendek’, baik berupa surat imajiner pada seorang teman, menulis cerita pendek, atau mengarang, seringkali guru saya mengatakan bahwa tulisan saya terlalu panjang.

Sulit bagi saya menulis sesuatu secara padat dan ringkas. Bagi saya untuk membuat suatu tulisan yang padat, berarti harus detil, dan jadinya tidak ringkas. (Tulisan ini salah satu contohnya, hehehe…).

Saya sering mengumpulkan puisi dan lirik lagu yang isinya sesuai isi hati ataupun deskripsi saya tentang suatu hal, misalnya tentang keluarga, cinta, masa depan, iman, dan sebagainya. Walaupun saya jarang menulis karya tulis apa pun, namun saat saya menulis, saya mendapati saya menulis dengan rinci, dan mendalam.

Karena saya sangat deskriptif dalam berbahasa, saya pun bisa menjelaskan hal-hal yang sulit dimengerti oleh orang lain. Sebenarnya penjelasan tentang hal-hal tersebut dapat dengan mudah dicari dari berbagai sumber, namun beberapa orang mengatakan bahwa mereka lebih dapat memahaminya setelah saya jelaskan.

Beberapa contoh misalnya pada Mama dan Tante-tante saya, saya menjelaskan hal-hal yang merupakan hal baru bagi mereka. Misalnya apa itu Internet, Facebook, menggunakan smartphone, online banking, dan lainnya. Pada anak saya…. berbagai hal yang tidak dipahami oleh anak seusianya.

Dalam pekerjaan, saya mengajar bidang studi Literasi Informasi untuk tingkat TK sampai kelas 6 SD. Di Indonesia, belum ada kurikulum khusus untuk bidang studi ini. Banyak sekolah menyisipkan pembelajaran literasi informasi dalam mata pelajaran lain seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris atau bidang studi Pengetahuan Sosial seperti sejarah, PPKN, atau pengetahuan seni dan budaya.

Dengan sendirinya, belum ada juga buku pelajaran untuk bidang studi ini. Di tempat saya bekerja, kurikulum yang digunakan adalah kurikulum internasional, dan saya bisa saja menggunakan kurikulum Literasi Informasi dari negara-negara barat dalam mengajar, serta berbagai materi pelajarannya.

Seiring dengan perjalanan karir saya sebagai seorang guru dalam bidang studi ini, saya belajar bahwa tidak semua hal yang saya dapatkan dari kurikulum dan materi pelajaran literasi informasi dari luar negeri itu dapat diaplikasikan di tempat kerja saya karena konteksnya berbeda. Akhirnya saya mendesain sendiri kurikulum literasi informasi serta materi-materi pelajaran ini, termasuk pula lembar kerja siswa (LKS) serta sistem penilaian bagi siswa.

Bagi mereka yang guru ataupun paham dengan dunia pendidikan, tentunya dapat memahami bahwa mendesain suatu kurikulum bukan hal mudah.

Saya mendesain dua kurikulum literasi informasi untuk digunakan di dua sekolah dengan kurikulum berbeda, dan hasil karya saya memuaskan rekan-rekan kerja saya yaitu guru-guru wali kelas, para pimpinan sekolah karena bisa mengakomodasi kebutuhan pembelajaran literasi informasi yang bukan hanya sesuai konteks kurikulum sekolah, tapi juga sesuai dengan letak gegorafis dan budaya.

3. Memiliki jiwa dewasa yang lebih dini dari usianya.

Menurut Mama saya, sejak kecil, yaitu sekitar usia 4 atau 5 tahun, banyak orang mengira saya adalah yang ‘kakak’ di antara anak-anaknya. Awalnya saya kesal dikira lebih tua dari kakak saya. Memangnya wajah saya boros apa? (Hehehe…)

Kakak yang awalnya senang dianggap terlihat lebih muda dari saya, berbalik menjadi sebal pada saya, karena dia sering dimarahi orangtua kami yang menganggapnya bersikap tidak dewasa atau kekanak-kanakan, dan sering menegurnya dengan kalimat: “Coba lihat sikap adikmu!” atau, “Kenapa sih kamu tidak berpikir panjang seperti adikmu?”, dan sejenisnya.

Kelak setelah dewasa, saya berjumpa beberapa “orang pintar” secara tidak sengaja, dan mereka mengatakan bahwa saya terlihat lebih dewasa daripada kakak saya karena saya punya jiwa yang dewasa (I have an old soul).

Sejak saya berusia enam tahun, orangtua saya berencana untuk punya anak lagi, anak ke-4. Pada akhirnya orang tua saya harus menunggu tujuh tahun untuk mendapatkan anak ke-4 mereka, si bungsu kami.

Saat Mama hamil, saya sudah berusia 13 tahun, kakak saya 15 tahun dan adik 12 tahun. Papa, kakak dan adik saya dengan antusias menyambut kedatangan si bayi, tapi saya tidak.

Suatu hari Mama mengajak saya bicara hanya berdua, dan menanyakan mengapa saya tidak setuju Mama dan Papa punya bayi lagi. Mama bilang itu aneh, karena saya sangat suka anak-anak. Keluarga, teman-teman dan tetangga banyak yang memuji saya yang mudah berinteraksi dan mencuri hati anak-anak, sehingga kalau ada acara keluarga, Mama sering meminta saya bermain dengan anak-anak kecil yang dibawa orangtuanya, supaya mereka tenang dan tidak mengganggu.

Saya ingat jawaban saya membuat Mama saya kaget. Saya menjawab bahwa saya bukannya membenci si bayi, tapi saya khawatir akan masa depan calon adik saya itu. Saya bilang, saat dia SMA nanti, Papa sudah pensiun, dan tidak punya cukup uang untuk membiayai pendidikan si bungsu untuk kuliah.

Mama saya sangat sangat heran karena saya punya pikiran yang sangat dewasa dan jauh ke depan. Dia bahkan sedikit marah, karena saya seolah-olah mengguruinya. Dia menekankan, bahwa saya tidak perlu khawatir tentang hal itu, karena itu adalah urusan orangtua.

4. Clairvoyant: kemampuan mengetahui gambaran akan apa yang akan terjadi di masa depan.

Saya sering tiba-tiba tahu sesuatu hal akan terjadi di masa depan. Hal itu terjadi bukan dengan pengelihatan, tapi hanya berupa perasaan tahu yang kuat dan pasti.

Saya percaya, tiap orang indigo juga mempunyai karunia berbeda-beda. Mengenai pengalaman saya mengetahui hal yang terjadi di masa depan, tidak pernah tentang hal-hal umum. Dengan kata lain, pengalaman saya mengetahu apa yang akan terjadi di masa depan, selalu seputar tentang diri saya dan keluarga, teman-teman, dan orang-orang yang saya kenal langsung.

Masih berkaitan dengan pembicaraan antara saya dan Mama saya di atas, saat itu saya juga mengatakan pada Mama, bahwa nantinya Papa dan Mama akan mengalami kesulitan membiayai pendidikan si bungsu, dan mereka akan meminta saya akan membantu.

Singkat cerita, bertahun-tahun kemudian, karena krisis moneter yang berawal di tahun 1997, keuangan Papa dan Mama tanpa disangka mengalami kemerosotan. Dan saya pun pada akhirnya harus membantu biaya pendidikan kuliah adik bungsu saya.

Contoh-contoh pengalaman saya lainnya di mana saya mengetahu dengan pasti apa yang akan terjadi:

– Sejak masih belum sekolah, saya tahu akan bekerja di lembaga pendidikan (sekolah). Saya pernah bekerja di lembaga non pendidikan, tapi saya tahu itu hanya akan bersifat sementara

– Saya saat masih SMA, saya sudah mengetahui bahwa saya kuliah di UI.

– Saat masih kuliah, saya tahu anak pertama saya nantinya adalah perempuan.

– Saat baru berkenalan dengan suami saya, saya sudah tahu bahwa dialah yang akan menjadi suami saya.

Saya juga sering mendapat mimpi tentang orang-orang yang saya kenal akan mengalami hal-hal buruk, sakit berat, kecelakaan atau bahkan kematian. Kalau sedang mendapat mimpi seperti itu, saya akan berubah gelisah tak karuan. Ketika peristiwa yang saya mimpikan itu menjadi kenyataan, saya selalu merasa sedih, dan bahkan terkadang merasa bersalah.

Saya merasa mimpi saya itu peringatan, dan mungkin saya harusnya bisa mencegah hal itu untuk terjadi. Tapi dalam perjalanan iman saya, saya belajar bahwa tidak ada satupun yang dapat terjadi di luar kehendak Allah, dan saya mengamininya.

5. Mengetahui keberadaan roh-roh atau sosok astral.

Sejauh ini pengalaman saya melihat sosok astral, hanya berupa sekelebat sosok dan sosok yang meniru sosok seseorang. Saya tidak pernah melihat sosok-sosok seperti kuntilanak, pocong, gondoruwo, tuyul dan sebangsanya.

Saat saya usia sekitar dua tahun, Papa mendapat tugas belajar di ITB, dan kami sekeluarga pun pindah ke Bandung. Saat itu adik saya yang paling bungsu belum lahir.

Di Bandung, kami menempati sebuah rumah di daerah yang padat. Rumah itu punya sumur timba dengan dinding setinggi dada orang dewasa. Di samping sumur ada tempat untuk mencuci pakaian, mandi, dan kloset kecil. Saya tidak mau mandi ataupun buang air di dekat sumur, karena sangat takut dengan sumur itu. Saya merasa ada kekuatan besar dari dalam sumur yang menarik saya. Saya juga tidak merasa nyaman berada di dapur rumah tersebut, karena sering mendengar orang lalu lalang di sana, padahal tidak ada orang di dapur.

Saat usia saya sekitar enam tahun, kami sekeluarga kembali ke kota kediaman kami semula, yaitu Pontianak. Selama bertahun-tahun kemudian, kami berpindah-pindah dari rumah yang satu ke rumah yang lainnya.

Hampir di setiap rumah, selalu ada bagian rumah yang saya tidak suka. Saya akan merasa adanya tekanan kuat pada diri saya di tempat tersebut sampai-sampai saya merasa kepanasan. Terkadang mendengar suara-suara orang lalu lalang, dan terkadang bahka sekelebat sosok manusia lewat.

Mulanya saya mengira itu salah satu anggota keluarga, karena sekarang keluarga kami menjadi lebih ramai dengan adanya tiga orang sepupu yang tinggal dengan kami. Tapi saya sering ketakutan saat beberapa kali mendapatkan bahwa ternyata anggota keluarga berada di ruangan yang lain, dan tidak ada yang sedang atau baru dari ruangan di mana saya melihat sekelebat sosok itu.

Pernah juga beberapa kali saya melihat sosok yang saya kira seseorang, tapi ternyata orang tersebut sedang tidak di tempat atau berada di ruangan lain di rumah saya. Ketika saya kembali lagi untuk memeriksa, sosok tersebut sudah tidak ada.

Beberapa contohnya:
Saat itu saya sudah duduk di bangku SMP. Suatu siang, saya sedang berkaca pada sebuah cermin yang berada di atas westafel di ruang makan rumah kami. Dari kaca saya dapat melihat ruang tamu dan pintu depan yang mengarah ke teras.

Tiba-tiba pintu depan itu terbuka dan Papa saya masuk. Tapi kemudian sosok Papa tersebut masuk menembus dinding kamar tidur Papa dan Mama. Saya terkesiap dan segera masuk kamar itu. Di dalam kamar hanya ada Mama dan kata Mama, Papa belum pulang dari kantor.

Di rumah yang sama, saya yang juga masih SMP, terbangun tengah malam, karena mendengar handle pintu kamar tidur saya berbunyi. Saya bangun dan melihat handle pintu bergoyang, seperti ada yang mau membuka pintu kamar tidur saya dari luar.

Saya pun bangkit dari tempat tidur dan membukakan pintu yang memang terkunci. Saya melihat nenek saya masuk ke kamarnya yang berhadapan dengan kamar tidur saya. Dia menoleh saat saya membuka pintu kamar saya, tapi tidak berkata apa-apa.

Dengan perasaan kesal, saya kembali ke kamar dan melanjutkan untuk tidur. Saya berpikir, mungkin nenek mengira sudah pagi, dan hendak membangunkan kami, seperti yang biasa dia lakukan.

Esok paginya ketika saya menanyakan hal itu padanya, nenek bilang dia tidur lelap dan tidak terbangun sedikit pun kemarin malam, apalagi keluar kamar.

Saya terkejut dan bertanya-tanya, kalau bukan nenek, jadi siapa yang saya lihat tadi malam. Tapi keluarga saya tidak memperdulikan kebingungan saya, dan berkata saya hanya bermimpi.

Hal ini terulang beberapa kali, namun tetap keluarga mengatakan saya hanya bermimpi. Sampai akhirnya kakak saya mengaku bahwa dia pun pernah mengalami hal yang sama beberapa kali.

Di rumah yang saat ini saya tempati, saya juga pernah mengalami hal serupa. Saat itu anak saya masih berusia setahun atau dua tahun sedang bermain-main dengan suami saya sambil nonton TV. Sementara saya sedang mencuci pakaian di ruang cuci “semi outdoor” di bagian belakang rumah.

Pintu dari ruang cuci menuju dapur saya biarkan terbuka. Saya kemudian melihat suami saya masuk ke dapur untuk mengambil minum. Lalu dia kembali ke ruang TV. Setelah selesai mencuci, saya masuk rumah dan melihat suami memakai baju yang berbeda dengan yang tadi saya lihat dia kenakan saat dia ke dapur.

Saya bertanya apakah di sudah mandi, karena itu sudah berganti baju, tapi suami saya bilang tidak. Saya merasa aneh, dan menceritakan bahwa tadi saya melihat dia masuk dapur untuk ambil minum. Dan suami saya bilang, dia tidak meninggalkan ruang TV sedetik pun.

6. Sensitif dan intuitif.

Saya sensitif dan intutif terhadap orang-rang yang dekat dengan saya. Contohnya, saat saya masih SMA dulu, saya pernah dekat dengan seseorang. Saya sangat menyayangi dia, begitu pula dia terhadap saya. Saya selalu tahu kalau dia sedang sakit atau ada masalah. Saya akan menanyakan langsung hal itu padanya dan hal itu selalu benar.

Kalau saya memilih untuk mau mencari tahu, saya bisa tahu siapa yang suka/tertarik pada siapa. Dalam banyak kasus saya memilih untuk “menjadi batu” alias pura-pura tidak tahu dengan ketertarikan orang tersebut pada saya, karena saya sudah tahu orang tersebut tidak akan menjadi pasangan yang tepat bagi saya.

Pernah saya membandel, menerobos intuisi saya. Beberapa kali saya mejalin hubugan dengan beberapa orang, walaupun saya tahu tak satu pun dari mereka adalah orang yang tepat bagi saya. Dan akhirnya hubungan-hubungan itu berakhir dengan kepahitan.

Saya juga tahu kalau teman atau keluarga saya punya masalah, namun seringkali tidak menunjukkan pada mereka kalau saya tahu apa yang sedang mereka hadapi. Hal ini karena saya tidak mau mencampuri urusan orang lain, kalau tidak diminta.

Saat orangtua saya hendak memutuskan perkara besar, seperti misalnya membuka usaha baru, pindah rumah, memilih tempat kuliah bagi anak-anaknya, saya mendapatkan perasaan kuat bahwa terkadang pilihan-pilihan mereka tidak tepat. Saya mencoba menyampaikannya pada mereka, dan tentu saja, mereka tidak memperdulikan saya.

Dalam banyak hal, intusisi saya menjadi kenyataan. Misalnya saat orangtua mencoba berbisnis di bidang transportasi yaitu taksi, berakhir dengan kondisi nyaris bangkrut.

Kakak saya didaftarkan kuliah di bidang studi yang asing bagi dia, sementara minatnya adalah di Bahasa Inggris. Saya memperingatkan orangtua saya bahwa hal itu tidak sesuai panggilan Kakak saya. Namun, lagi-lagi saya tidak diperdulikan. Kamu masih anak-anak, orangtua lebih tahu, kata mereka.

Sebagai anak, kami menuruti saja kemauan orang tua, dan kakak menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Namun saat ini, karier kakak saya adalah di bidang Bahasa Inggris, yaitu sebagai penterjemah.

Jadi, saya ini indigo atau bukan?

Sampai sekarang, saya belum merasa perlu berkonsultasi ke psikolog untuk mengetahui apakah saya indigo atau bukan. Alasan pertama, karena karunia ini tidak menyakiti/melukai saya (secara fisik), atau pun menempatkan saya dalam situasi bahaya (sampai sekarang).

Alasan kedua, saya terlebih dahulu ingin mempelajari lebih banyak tentang perspektif Kristen mengenai fenomena indigo. Saya mendapatkan fenomena ini belum banyak dibahas dalam prespektif Kristen, bahkan terkesan hal tabu untuk dibicarakan.

Beberapa teman dan keluarga bahkan mengatakan sebaiknya saya tidak menggali lebih jauh tentang karunia-karunia saya, terutama dalam mengetahui apa yang terjadi dalam masa depan. Mereka memperingatkan, bahwa saya bisa dituduh melakukan tenung atau guna-guna melalui mimpi agar orang-orang tertentu mengalami sakit, kecelakaan ataupun meninggal dunia.

Sementara, menggunakan tenung dan guna-guna adalah hal-hal yang bertentangan dengan iman Kristen. Walaupun kemampuan-kemampuan unik saya ini bukan saya dapatkan dengan ‘berguru’ atau penyembahan berhala, saya tahu ada pendapat bahwa ‘ilmu’ yang didapatkan oleh leluhur, dapat turun pada keturunannya.

Jadi ada kemungkinan bahwa leluhur saya memang ‘berguru’ dan ‘ilmu’ mereka terwariskan pada saya.

Tapi saya percaya pengelihatan saya tentang masa depan berasal dari Allah semata. Saya menemukan suatu ayat di dalam Alkitab yaitu Kisah Para Rasul 2: 17:
“Akan terjadi pada hari-hari terakhir–demikianlah firman Allah–bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia; maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat, dan teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan, dan orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi.”

Jadi, indigo atau bukan, semua kemampuan unik yang saya miliki adalah pemberian dari Sang Pencipta.

JN (data penulis ada pada Redaksi)

Foto: Geralt/Pixabay

Anakku Indigo, Bukan? (Tentang Indigo Bagian 4)

Bicara soal indigo, saya tertarik untuk membicarakan apa yang dialami anak saya, sebut saja namanya A. Awalnya saya kira dia hanya punya kelebihan soal ‘penglihatan’ saja. Tapi ketika dia mulai bilang mengenai mimpi yang jadi kenyataan, kemudian seperti mendapat vision, saya mulai mengobservasi lagi.

Dulu, sewaktu dia belum sekolah, dia pernah bicara: “Ibu di situ dekat jendela ada perempuan, berdiri aja diem.” Saya pikir anak kecil memang bisa ’melihat’ kan? Ntar ketika dia tambah besar juga hilang. Tetapi saya percaya yang dilihatnya, karena saya sendiri pernah melihat “seorang perempuan” masuk ke rumah saya, kamar saya tepatnya.

Tapi ketika A bersekolah di playgroup, suster dan gurunya melaporkan dia sering teriak-teriak ketakutan. Saya perhatikan di rumah juga begitu. Dia suka menutup mata, katanya melihat yang seram-seram, atau anak kecil yang marah ke dia: di situ tuh ada anak kecil melototin aku, di balik semak, atau: itu di atas pohon apaan besar-besar begitu – sementara kami orang dewasa yang dilaporin tidak melihat apa-apa.

Dia gambar: “Ini orang-orang jelek yang suka ganggu aku.”

Supaya dia tidak stres, kami bilang saja: sudah tidak usah diperhatikan. Saya tidak mau bilang: gak ada apa-apa kok, daripada bingung bagaimana menjelaskan kok hanya dia yang lihat dan juga supaya dia tetap menceritakan ke kami apa saja yang dilihat atau dialaminya, kami tidak mau mengabaikan omongannya.

Ada keluarga yang menyarankan kami membawanya ke ‘orang pintar’ untuk menutup kelebihan itu. Tapi saya dan bapaknya tidak mau. Kami percaya, Tuhan yang memberi kemampuan, kepada Tuhan juga kami meminta untuk diambil kemampuan melihatnya kalau Tuhan berkenan. Kami doakan dia setiap malam. Puji Tuhan penglihatan-penglihatan itu hilang, selama beberapa tahun…

Pada saat di kelas 4, ternyata datang lagi. Bahkan lebih seram yang dilihatnya. Dia bisa berkomunikasi. Tapi kali ini anaknya lebih siap. “Tidak usah berdoa minta diilangin ya bu, pak, aku gak papa,” katanya. Belakangan dia bilang, kalau dia sudah bisa menutup sendiri kemampuannya, lalu membukanya lagi jika dia mau.

Dia sempat bilang kalau dia sudah gak mau buka-buka lagi, capek. Memang waktu masih belum dapat dikontrol, saya perhatikan dia agak kurus, setahu saya memang kemampuan seperti ini menguras energy. Belakangan dia jadi sering melaporkan mengenai mimpi yang menjadi kenyataan. Pernah juga dia bilang mendapat penglihatan.

Jika penglihatannya membuat tidak nyaman saya ajak dia berdoa. Saya sering mengingatkan dia untuk selalu berdoa, apalagi kalau diberikan kemampuan lebih. Harus lebih dekat dengan Tuhan supaya diberikan kekuatan.

Ada pengalaman lain. Ketika kemarin memilih-milih sekolah, banyak maunya, namanya juga anak-anak. Entah bagaimana saya akhirnya ngobrol dengan seorang teman, tentang sekolah anaknya. Hari itu juga saya buka website sekolah itu, ternyata besoknya open house. Pas banget! Ah saya hanya iseng pengen lihat-lihat saja, gak berniatan juga menyekolahkan dia di situ.

Saya ajak A ke sana. Begitu masuk halaman sekolah, auranya berubah. “Oh my God. This was in my dream, sometimes ago dan lihat di mimpi aku suka,” katanya. Dia langsung memutuskan, mendaftar di sana dan ikut tesnya. Ini persis seperti di mimpiku, setiap detailnya.

Dalam hati saya bilang, what a coincidence, saya baru tahu kemarin dan hari ini open house. Kalau saya enggak dapat informasinya, enggak bakalan saya ke sana melihat sekolah itu. Biasanya dia juga malas kalau diajak lihat sekolah, kali ini dia biasa saja, tidak menolak, tidak mengiyakan: ayo jalan, begitu saja. Jadi saya pikir, bukan kebetulan itu.

Ketika masa awal pengenalan sekolah, dia memberi tahu saya – yang saat itu ada sesi terpisah kalau dia sudah ada kenalan 1 orang. Saat bubar saya ketemu dengan kawannya itu dan mamanya. Sebelum pulang kami bertukar nomor ponsel lalu mengobrol. Ketika di jalan pulang, tiba-tiba anak saya berteriak: “Oh my God! Oh my God!

Saya kemudian tanya: “Duuh kamu ada apa sih teriak-teriak?” Sejurus dia kemudian menjawab: “I just remember, she (her new friend’s name) was in my dream, I knew her, that’s why when I saw her i feel familiar.

Sampai sekarang kami masih belum tahu apa rencana Tuhan. dia punya watak agak keras, beda dengan adiknya. Tapi saya sempat bilang, coba diasah, pasti Tuhan punya rencana.

Dia jawab: “Ogah ah, dipakai buat cari duit?”

“Enggakk…dipakai buat menolong orang kan bisa,” kata saya.

“Oh iya ya,” ujarnya.

Oh iya, satu lagi. dia cukup pintar berbahasa Inggris. Pada umur 2 tahun dia bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris yang sederhana dan lancar. Akhirnya saya masukkan kursus dan sekarang dia hobi menulis fiksi pakai bahasa Inggris full.

Saya masih bertanya-tanya, apa dia termasuk indigo? Entahlah, indigo atau bukan, tidak penting, saya hanya ingin hidupnya dan kemampuannya kelak berguna untuk orang lain.

DK (data penulis ada pada Redaksi)

Foto: AdinaVoicu/pixabay

Pulau Tunda Punya Cerita

Ini adalah cara menikmati travelling dengan cara backpacking yang berkesan dan menyisakan pengalaman yang tak terlupakan. Jadi, pada 9-10 Juli 2016 lalu, saya berkesempatan melakukan wisata bahari ke Pulau Tunda, Serang, Banten.

Awalnya lumayan berpikir keras mencari tempat liburan mengingat itu bertepatan dengan liburan hari raya Idul Fitri dan libur anak sekolah. Terbayang kan kalau mau liburan ke pantai, pasti penuh sesak dan enggak bisa menikmati keindahan semesta (lebay…).

Eh ternyata salah satu TL-ku (tour leader) menyarankan ke Pulau Tunda. ”Sepi Kak,” katanya. “Bisa snorkeling sampai bosan,” tambahnya.

OK berangkat!!

Sebenarnya apa sih keistimewaan Pulau Tunda? Ternyata Pulau Tunda itu punya cerita,…

Awal mula nama pulau itu adalah ketika rombongan Sultan Hasanuddin dan ayahnya Syarif Hidayatullah tengah dalam perjalanan laut dari Banten menuju Cirebon.

Tiba-tiba datang badai dan angin kencang. Ombak menggulung-gulung sedemikian besarnya, sehingga Syarif Hidayatullah dan Sultan Hasanuddin memerintahkan awak kapal untuk singgah dulu di pulau terdekat.

Sultan Hasanuddin dan ayahnya serta rombongan kemudian singgah di sebuah pulau sambil menunggu cuaca membaik. Mereka terpaksa menunda perjalanan karena khawatir dengan cuaca yang memburuk itu.

Tahukan Anda, pulau yang dijadikan tempat singgah Sultan Hasanudin dan rombongan itu adalah Pulau Tunda, yang namanya diambil dari kisah perjalanan Sultan Hasanuddin ke Cirebon, yang terpaksa harus ditunda karena cuaca buruk.

Nah, menunda perjalanan ke Cirebon itu akhirnya diabadikan menjadi nama Pulau Tunda yang kita kenal selama ini.

Meski demikian, cerita ini tentu perlu dikaji lebih jauh. Apakah benar nama itu memang berasal dari perjalanan yang tertunda, atau hanya cerita semata.

Cerita itu sempat saya tanyakan pada Alay Sudirman, pemuda yang menjadi TL kami di Pulau Tunda, dan dia membenarkannya.

Alay juga bercerita bagaimana dia begitu berusaha supaya Pulau Tunda menjadi tempat wisata bahari yang mampu bersaing dengan pulau-pulau lainnya. Dia ingin sekali Pulau Tunda bisa seperti  wisata bahari Kepulauan Seribu, yang  tiap pulaunya punya cerita.

Mulai dari mengikuti kursus diving, snorkeling, sampai merenovasi rumahnya menjadi sebuah homestay (yang kami tempati kemarin).  Ah andaikata pemerintah kita melihat kegigihannya, pasti akan jauh lebih baik.

Nah penasaran kan dengan Pulau Tunda ?

Pulau Tunda  hanya berpenduduk sekitar 3.000 orang. Sudah ada fasilitas sekolah sampai tingkat SMP di sana. Listrik juga menyala, khususnya di puskesmas dan masjid, walaupun dibantu dengan genset.

Perjalanan ke Pulau Tunda

Perjalanan ke sana dimulai dari Slipi ke arah terminal Pakupatan, Serang. Kemudian kira-kira butuh satu jam menuju dermaga Karangantu. Sangat disayangkan kondisi jalan yang sedang diperbaiki, sehingga kami agak lama sampai di dermaga Karangantu.

Dari dermaga Karangantu kami menuju ke Pulau Tunda dengan menumpang perahu sederhana, bukan speedboat seperti yang biasa terlihat di Marina Ancol. Namanya juga  ala backpacker. Butuh waktu 2 jam perjalanan ke pulau itu.

Sesampainya di homestay, kami disambut dengan makan siang yang menggugah selera. Menunya sayur asem, sambal, ikan asin, tempe tahu, dan ikan goreng. Homestay kami tidak jauh dari dermaga Pulau Tunda. So sehabis makan siang, setelah istirahat sebentar, tak sabar kami melanjutkan wisata bahari alias snorkeling sekaligus foto-foto buat narsis.

Ada 5 spot yang kami akan kunjungi dalam 2 hari, yaitu:

  1. Spot 1 Villa barat
  2. Spot 2   Dermaga Barat/mercusuar
  3. Spot 3   Karang Donat/utara
  4. Spot 4  Tanjung Baja
  5. Spot  5 Tanjung Boong

 

Apa saja di Spot-Spot Itu 

Beberapa spot memiliki keindahan batu karang dan ikan yang luar biasa. Bisa  dibayangkan ketika kita berada di laut  lepas dan bisa melihat batu karang, yang seperti diatur tata letaknya. Begitu indah. Dan aneka ikan warni-warni, yang jarang kita temukan sehari hari (How Great Thou Art…)

Bagi pemula seperti saya, takjub saya dibuatnya! Sama seperti ketika melihat keindahan laut di Belitung, saya diingatkan kembali betapa Tuhan itu dalam menciptakan semua mahlukNya tidak dengan sembarangan. Dia menjadikan kita istimewa dan unik di mataNya. Semakin bersyukur dan bersyukur bisa menikmati keindahan alam buatanNya.

Karena di beberapa spot ada kumpulan karang yang lumayan banyak, diharapkan memakai alat snorkeling yang lengkap ya,  seperti memakai spin/kaki katak. Ini supaya kalian tidak terkena karang yang tajam.

Diharapkan pula untuk tidak menginjak karang, karena kita dapat merusaknya.

Jenis bintang lautnya juga berbeda dari perairan di Belitung. Warnanya biru tua, sedangkan di Belitung berwarna oranye. Tapi ingat ya sehabis berfoto foto dengan bintang laut, jangan dibawa pulang, harus dikembalikan ke laut lagi.

Di sela-sela waktu snorkeling di 5 spot, kami juga berkesempatan mengunjungi sebuah jembatan bernama Jembatan di Dermaga Galau. Lucu ya namanya. Cocok buat kamu yang sedang galau. Sebab di sini pemandangannya sangat bagus untuk foto-foto dan menikmati sunset atau sunrise. Atau untuk sekadar melamun. Hehehe.

Hanya satu yang tidak saya dapati, yaitu melihat kemunculan lumba-lumba. Padahal ini adalah salah satu daya tarik Pulau Tunda.

Demikianlah cerita perjalanan ala backpacker ke Pulau Tunda. Sangat menyenangkan dan kayaknya enggak bikin bosan. Suatu hari nanti saya harus kembali lagi ke sana, karena mungkin ada hatiku yang ‘tertunda’ di sana hahahahha.

Bagi teman-teman penggemar backpacking, selalu ingat ya. Jangan buang sampah sembarangan ke laut dan usahakan membawa plastik untuk menampung sampah-sampah kita di perjalanan. Jangan sekali-kali sampah dibuang ke laut.

Lets Go Tunda Island

Helvy Nainggolan

Foto-foto: dok.pribadi