Tag Archives: Jurnalisme

Wartawan, Jurnalisme, dan Gospel Worldview

Perhatikan kalimat ini: Saya terlatih menjadi jurnalis dan saya juga terlatih menjadi pengikut Kristen sejati. Apakah ini dua hal yang bertolak belakang? Atau dapatkah seorang jurnalis menjadi Kristen yang baik. Sebaliknya, dapatkah seorang Kristen sejati menjadi jurnalis yang baik?

Di Indonesia ada banyak jurnalis Kristen, itu faktanya. Tapi seberapa banyak kekristenan dan terutama Injil mempengaruhi mereka bekerja di dunia jurnalistik umum? Di sisi lain, ada juga kelompok jurnalis dari media-media Kristen. Sudahkah Injil betul-betul mempengaruhi mereka bekerja?

Di Indonesia, jurnalis Kristen dan Katolik biasanya berkumpul dalam forum, seperti Forum Wartawan Kristen atau Forum Wartawan Katolik. Tapi dalam aktivitasnya, forum-forum itu lebih banyak berfungsi sebagai ajang silaturahmi dan pembinaan rohani. Bukan sebagai forum intelektual, bagaimana para jurnalis ini membedah doktrin-doktrin kekristenan secara ilmiah, berdasarkan sudut pandang jurnalisme dan sebagainya.

Maka tulisan ini menjadi upaya saya untuk mencari benang merah antara jurnalis dan Injil. Menemukan jawaban atas pertanyaan bagaimana seorang jurnalis dan dunia jurnalisme memandang Kitab Injil dan apa pengaruh Injil dalam hidup mereka.

Memahami Cara Kerja Jurnalistik

Untuk menjawab pertanyaan pada bagian pendahuluan, saya kira kita harus terlebih dahulu memahami bagaimana seorang jurnalis bekerja. Jurnalis sebagai seorang profesional memiliki aturan dan etika profesional dalam pekerjaannya.

Pada dasarnya, jurnalis sejati atau wartawan sejati bertujuan untuk menyampaikan soal-soal yang rumit dan mengkomunikasikannya dengan cepat menggunakan relatif sedikit kata, supaya lebih sederhana dan mudah dipahami oleh pembaca/publik.

Apa yang dikomunikasikan kepada pembaca sesungguhnya? Servis seorang jurnalis adalah kebenaran. Kebenaran itu berkaitan dengan fakta-fakta. Berdasarkan fakta inilah para jurnalis bekerja.

Kalau dijabarkan lebih mendetail, ada baiknya melihat pedoman kerja wartawan Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Pada pasal 6 yang terdapat dalam bab mengenai Asas, Fungsi, Hak, Kewajiban dan Peranan Pers, disebutkan bahwa wartawan itu berkewajiban:

– memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
– menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan
Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan;

– mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum;

– memperjuangkan keadilan dan kebenaran;

Jadi, wartawan harus bekerja berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Fakta, dalam hal ini adalah: informasi yang tepat, akurat, dan benar. Semua informasi hanya tinggal menjadi informasi sebelum dilakukan check and recheck serta verifikasi. Setelah melewati proses check and recheck dan verifikasi, sebuah informasi berubah menjadi FAKTA.

Fakta, sesuai dengan makna sebenarnya, haruslah dapat dipercaya. Sebab kalau tidak, maka sudah menyalahi hakikatnya. Fakta yang bukan fakta adalah hoax atau informasi palsu.

Tapi sebelum menjadi berita, fakta-fakta harus dipilah-pilah. Sebab, acuan dalam penulisan berita harus memperhatikan variabel penting yaitu angle tulisan dan newsvalue atau nilai berita.

Angle adalah sudut pandang berita, tentang tema utama atau topik utama yang hendak disampaikan melalui berita tersebut. Sedangkan newsvalue adalah nilai berita yang mempengaruhi keterbacaan berita tersebut. Kalau berita tak mengandung salah satu atau beberapa newsvalue, dipastikan berita itu akan rendah tingkat keterbacaannya.

Beberapa newsvalue adalah: proximity (kedekatan), aktualitas (kebaruan berita), magnitude, dan ketokohan dalam berita. Nanti kita akan melihat bagaimana unsur newsvalue ini bisa ditemukan dalam Injil. Tapi sebelumnya, mari kita mengenali keempat Kitab Injil terlebih dahulu.

Memahami Kitab Injil

Ke-66 kitab yang terdapat di dalam Alkitab telah melewati apa yang disebut dengan proses kanonisasi, yaitu proses yang melibatkan pengenalan dan pengakuan akan originalitas dan otoritas ke-66 kitab itu sebagai Firman yang diilhamkan Tuhan.

Perjanjian Lama khususnya pada Alkitab kaum Protestan, mengacu pada Taurat Ibrani yang terdiri 39 kitab. Tak banyak persoalan dalam kanonisasi Perjanjian Lama. Walau denominasi lain, macam Katolik memasukkan beberapa kitab yang disebut deuterocanonical.

Sedangkan untuk Perjanjian Baru, di mana keempat kitab Injil berada, penentuannya telah melewati berbagai pengujian, seperti:

– apostolicity

Apakah ia ditulis oleh seorang rasul atau diotentifikasi oleh seorang rasul?

– universality

Apakah ia dibaca dan diterima secara luas?

– karakter

Memadai secara spiritual, diarahkan pada kesalehan, konten doktrinal mempunyai kesesuaian dengan pengajaran rasul-rasul.

Prosesnya panjang dan memakan waktu cukup lama sebelum akhirnya gereja bersepakat pada kitab-kitab yang ada di dalam Perjanjian Baru saat ini.

Tetapi penyelidikan terhadap kitab-kitab Perjanjian Baru terus berlangsung sampai kini dan telah melahirkan banyak sekali hasil penelitian yang menarik. Salah satu yang relevan untuk saya angkat pada tulisan ini adalah hasil penelitian yang mendapati bahwa keempat Injil memiliki ciri kesusasteraan yang sama, yaitu sebagai buku biografi kuno.

Salah seorang pakar yang meneliti hal itu adalah Michael R. Licona Ph.D, seorang associate professor teologi di Houston Baptist University. Saya mendengar banyak paparannya pada sebuah acara di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Pakar Perjanjian Baru ini memiliki empat alasan saat menyimpulkan bahwa keempat Injil adalah biografi kuno:

Pertama, Biografi biasanya berfokus pada seorang karakter utama, bukan pada era, peristiwa, atau pemerintahan. Dalam hal ini, fokus pada keempat injil adalah sosok Yesus Kristus. Kedua, menggambarkan mengenai silsilah karakter utama, kemudian bergerak cepat untuk menceritakan mengenai kisah si tokoh di tengah publik, dalam hal ini adalah pelayanan Yesus. Ketiga, biografi kuno memiliki panjang 10.000-20.000 kata, supaya cerita cukup ditampung pada satu gulungan. Semua kitab injil begitu panjangnya. Keempat, karakter utama digambarkan melalui kata-kata dan perbuatannya.

Kaitan antara Injil dan Berita

Satu hal yang menarik, kata Injil atau gospel sendiri berasal dari kata evangelion, dari Bahasa Yunani, yang artinya ‘good news’ atau ‘berita baik’.
Injil adalah sebuah berita.

Jelas tak sama dengan berita-berita pada umumnya yang kita baca di media online atau media cetak, atau kita tonton di stasiun TV. Tapi sebagaimana Injil dan kitab-kitab lain menjalani proses kanonisasi, berita pun berproses sebelum menjadi apa yang kita baca atau pirsa.

Kalau melihat prosesnya, pembuatan dan penerbitan berita di media massa juga melewati proses panjang. Segala informasi harus dibedah, diperiksa, dicek dan ricek, untuk diketahui mana yang memang fakta dan mana yang bukan fakta.

Fakta-fakta itu kemudian disaring lagi melalui apa yang disebut ukuran newsvalue, alias nilai berita. Nilai berita akan mempengaruhi apakah fakta-fakta itu menarik untuk dibaca atau tidak. Kalau tidak ada nilai berita, ya tidak akan diterbitkan sebab tidak akan dibaca oleh orang.

Dalam konteks ini, menurut saya Injil adalah berita yang sudah melewati berbagai proses tadi. Injil adalah fakta, bukan fiksi. Meski di dalamnya terkandung muatan fiksi macam perumpamaan-perumpamaan yang diceritakan Yesus Kristus. Tapi itu jelas tak mempengaruhi keabsahan Injil sebagai fakta sejarah, yang merupakan biografi kuno tentang Yesus Kristus.

Kitab Injil dan kitab-kitab lain di Alkitab sudah merupakan hasil verifikasi ketat, untuk memisahkannya dari kitab-kitab yang tak punya unsur yang kuat untuk disebut sebagai Firman yang diilhamkan oleh Allah melalui Roh Kudus.

Dalam dunia jurnalistik, biografi termasuk salah satu produk jurnalisme. Cukup sering media menuliskan biografi tentang tokoh-tokoh yang populer, penting, dan berpengaruh.

Sebab berita semacam itu juga menarik dan inspiratif serta edukatif, sebagaimana arahan pasal 3 UU no 40/1999, bahwa salah satu fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

Dalam penyusunan biografi, selain memperhatikan akurasi, yang terutama adalah bagaimana menampilkan hal-hal penting yang menarik dalam riwayat hidup tokoh yang ditulis. Sebab tak semua riwayat itu menarik dan relevan untuk diceritakan kepada pembaca. Dalam penulisan biografi dengan ruang yang terbatas, jelas harus ada upaya pemilihan editorial, mana fakta atau kisah yang harus diceritakan dan mana yang tidak perlu.

Sama halnya dengan Injil, tak menceritakan keseluruhan riwayat hidup Yesus Kristus, sebab tak dianggap relevan dengan maksud penulisan kitab Injil tersebut. Melainkan para penulis Kitab Injil, dengan bimbingan Roh Kudus, menuliskan hal-hal dalam pelayanan Yesus, baik perkataan dan perbuatan-Nya, yang memiliki relevansi dengan tujuan penulisan kitab tersebut.
Apakah tujuan penulisan Injil dan keseluruhan Alkitab? Bukankah dengan maksud membawa ‘pulang’ anak-anak Adam-Hawa kembali ke Firdaus?

Penulis Kitab Markus misalnya, menceritakan pelayanan Yesus Kristus dengan maksud untuk menunjukkan bahwa Yesus adalah Allah melalui perbuatan dan perkataan-Nya. Begitu juga penulis Kitab Yohanes. Sedang penulis Kitab Matius memberi penekanan pada kemesiasan Yesus. Jadi mereka menyampaikan berbagai fakta mengenai perbuatan dan perkataan Yesus yang akan menopang tujuan mereka masing-masing, dan tentu saja, sesuai dengan maksud Tuhan sendiri dalam penulisan Injil.

Sedangkan aspek newsvalue yang dipenuhi Injil yang paling jelas adalah ketokohan, sesuai dengan kesusasteraannya selaku biografi kuno. Tentang Yesus Kristus ditulis sebagai biografi sebab tokoh ini memang sangat menarik perhatian dan sangat kontroversial pada zaman tersebut dan sampai sekarang. Apa yang diucapkan-Nya dan dilakukannya menarik perhatian luar biasa. Anak tukang kayu dari Nazareth itu disebut Nabi, Guru, Juru Selamat/Mesias, dan Tuhan.

Lebih lanjut, pertanyaannya, bagaimanakah seorang jurnalis memandang kitab Injil?

Bagaimana Jurnalis Memandang Kitab Injil

Sebagai berita, Injil, menurut saya, sudah memenuhi segala syarat sebagai berita yang menarik untuk dibaca dan sangat berpengaruh. Secara umum bagi setiap manusia, yang sudah berdosa dan kehilangan kemuliaan. Dan secara khusus bagi para jurnalis-jurnalis Kristen di luar sana.

Injil dituliskan dan diinspirasikan oleh Tuhan sebagai ‘jalan pulang’ manusia ke Firdaus, tempat seharusnya manusia berada saat diciptakan. Kejatuhan manusia ke dalam dosa telah menyebabkan keterpisahannya dengan Tuhan dan akibatnya adalah kematian.

Tapi Tuhan sudah menyediakan jalan keluar. Karena demikianlah Allah mengasihi isi dunia ini, sehingga dikaruniakan-Nya Anak-Nya yang tunggal itu, supaya barangsiapa yang percaya akan Dia jangan binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).

Tuhan Yesus Kristus sendiri sudah memberitakan: Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku (Yohanes 14:6). Bagi seorang jurnalis Kristen, ia haruslah memandang Kitab Injil sebagai panduan menuju keselamatannya.

Tapi bukan hanya itu. Sebagai profesi yang bisa memberikan pengaruh kepada khalayak, menjadi penting bahwa Injil tak hanya memandu tapi juga sekaligus mempengaruhi bagaimana seorang jurnalis bekerja. Dalam hal ini, bagaimana Injil mempengaruhi bagaimana jurnalis meliput dan menuliskan berita. Sebab apa yang mereka tuliskan akan berdampak pada orang banyak.

Dalam konteks ini, sederhananya adalah bagaimana Injil menjadi worldview seorang jurnalis dan pada akhirnya membentuk perilakunya, mempengaruhi bagaimana dia meliput dan menuliskan beritanya. Dalam pandangan saya, setidaknya ada empat hal yang harusnya terjadi pada diri seorang jurnalis ketika memiliki Gospel worldview:

Hidup yang berpadanan dengan Injil

Filipi 1:27 menuliskan: “Hanya, hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus, supaya, apabila aku datang aku melihat, dan apabila aku tidak datang aku mendengar, bahwa kamu teguh berdiri dalam satu roh, dan sehati sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari Berita Injil.”

Hidup yang berpadanan dengan Injil amat penting. Sebab, sebagai seorang jurnalis Kristen, maka ia harus memiliki kesaksian hidup sesuai dengan apa yang dia percayai, sesuai dengan imannya dan tidak hanya menjadi jurnalis Kristen KTP. Sebab sekelilingnya akan melihat dan menghakimi bagaimana dia hidup. Kesaksian hidup yang benar akan sangat berdampak, tak hanya bagi diri sendiri, tapi juga bagi orang lain.

Tidak menjadi pembenci

Seringkali godaan untuk berpihak muncul saat wartawan menulis berita. Padahal, prinsip jurnalisme adalah keberimbangan dan cover both side. Wartawan harus memberikan ruang yang sama dan berimbang kepada narasumber-narasumbernya, seberapapun dia tak menyukai salah satunya.

Yesus Kristus di Kitab Injil juga mensyaratkan supaya kita tidak menjadi pembenci melainkan mengasihi orang lain seperti diri sendiri (Matius 22:39).

Wartawan juga tidak boleh buru-buru menghakimi dan memberikan penilaian prematur, melainkan harus selalu menimbang baik-baik setiap perkara. Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil (Yohanes 7:24).

Tuliskan kebenaran dan ciptakan perdamaian

Seperti yang disebut pada poin pertama, jurnalisme sejatinya tidak berpihak. Tapi amanat bagi pers adalah untuk menyampaikan kebenaran dan keadilan, seperti termaktub dalam pasal 6 UU Pers. Begitulah juga panggilan sebagai orang Kristen untuk senantiasa berpihak kepada kebenaran dan berusaha menciptakan perdamaian, bukan menimbulkan sensasi dan kontroversi. Tuhan Yesus berkata berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah (Matius 5:9).

Mengedepankan kepentingan orang lain dan tidak mencari pujian sia-sia

Begitulah yang disebutkan dalam Filipi 2:3 “…dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri.”

Banyak wartawan yang berambisi mengejar pujian atau penghargaan, sehingga kadang kala jadi kebablasan dan tak jarang yang rela membuat berita bohong hanya untuk jadi seseorang yang menonjol dibandingkan orang lain. Atau mungkin membuat berita yang benar, hanya tidak memperhatikan etika dan kesopanan. Sekadar mencari sensasi dan kunjungan lebih banyak pembaca ke outlet berita mereka.

Sebagai wartawan Kristen yang hidupnya dipengaruhi Injil, harusnya bersikap rendah hati dan mengutamakan orang lain. Dengan sikap ini, biasanya seorang wartawan akan lebih jernih dalam melihat persoalan yang hendak diliput dan ditulisnya. Keran informasi juga akan terbuka dengan lebar dan ada banyak hal-hal menarik yang bisa digali, kalau seorang wartawan tidak sok tahu atau sombong.

Jadilah Cerdas di Tengah Berita Palsu yang Mendera

Media sosial kita berisi banyak berita palsu. Apalagi di tengah suasana pemilihan kepala daerah yang panasnya luar biasa. Ini sungguh menyedihkan.

Banyak media abal-abal bermunculan dengan ‘berita-berita’ bombastis. Keberpihakan ditunjukkan dengan begitu telanjangnya.

Bahkan ada juga media yang bisa disebut kredibel, juga jatuh ke jurang yang sama.

Ini semua mengangkangi upaya sungguh-sungguh para wartawan di luar sana yang jujur menyampaikan berita berdasarkan fakta.

Di tengah situasi semakin sulitnya membedakan mana fakta dan mana yang bukan fakta di dunia online, menurut saya, media harus tetap berpegang pada ‘kitab suci’ jurnalisme.

Wartawan harus bekerja dengan prinsip check and recheck, cover both sides, prinsip-prinsip jurnalisme yang menjadi andalan dalam menyajikan berita.

Sebab ini adalah gerbang pertahanan para pewarta. Tak boleh ada kompromi. Apalagi dibutakan oleh nafsu mengejar traffic atau click belaka. Kredibilitas jadi taruhannya.

Berita itu Berdasarkan Fakta..

Sebagai wartawan, saya belajar banyak di media tempat saya bekerja sebelumnya. Salah satu senior di sana pernah berkata: “Berita dibangun berdasarkan fakta.”

Apa itu fakta? Fakta adalah informasi yang sudah diverifikasi. Kalau belum diverifikasi, sifatnya masih informasi belaka. Bisa benar dan bisa hanya rumor saja. Fakta pun, kalau hendak disiarkan, harus punya newsvalue atau nilai berita.

Menurut saya, media yang gemar ‘bermasturbasi’ dengan hoax atau berita palsu, sesungguhnya masih belum sampai pada fakta. Atau mungkin memang sengaja dibangun untuk mengaburkan fakta. Entahlah.

Kalau sudah begini, pembacalah yang harus cerdas dan banyak usaha. Informasi apapun yang beredar di media (apalagi yang abal-abal) dan media sosial harus dicek sebaik-baiknya.

Tak apa membandingkan informasi yang sama dari media lain, meski tak sepaham dengannya.  Karena kadang memang sebuah cerita memang bisa jadi punya nuansa yang berbeda meski mengacu pada fakta yang sama.

Ini sih memang karena sudut pandang saja.

Foto juga dengan mudah bisa dicek kebenarannya. Sekarang kan sudah ada mesin pencari yang pintar luar biasa. Cukup drag and drop foto itu di kolom pencarian. Saya cukup sering melakukan hal ini. Biasanya, foto-foto hoax bisa dengan mudah diketahui benar atau tidaknya.

Kamu cuma dimanfaatkan

Pembaca perlu menyadari adanya dugaan tentang persoalan ekonomi di balik kehadiran media penyebar berita palsu itu.

Target mereka adalah mengejar pengunjung sebanyak-banyaknya. Makin banyak pengunjungnya, makin besar trafffic-nya. Makin besar traffic-nya, patut diduga makin besar kemungkinan mendapatkan uang masuk dari pengiklannya.

Kadang mereka tak peduli pada konten yang disajikan. Itu hanyalah pemancing, perangkap, saja.

Tapi mereka ini sedang bermain-main dengan api. Dan kamu pembaca, entah sadar atau tidak, ikut ambil bagian di dalamnya.

Sebab berita palsu berpotensi besar jadi penyebab perpecahan, pertikaian, dan masalah-masalah berbahaya lainnya, ketika kamu menyebarkan berita palsu itu begitu rupa.

Sebab, penyakit pembaca yang tak acuh pada fakta adalah bahwa mereka juga tak acuh juga saat menyebarkan/men-share lagi hoax itu di lingkaran sosialnya. Lalu berita palsu itu menyebar ke mana-mana, dan seterusnya, dan seterusnya.

Waspada aturan penjeratnya

Kita punya undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau biasa disebut UU ITE, yang mengatur soal hoax atau berita palsu ini.

Pada bab mengenai “Perbuatan yang Dilarang”, pasal 28 disebut begini:

(1) Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan
rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku,
agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Penegakan undang-undang ini memang masih perlu dipertanyakan keseriusan dan kepastiannya. Meskipun begitu, kita harus tetap berhati-hati, sebab bisa jadi kita termasuk golongan yang mencicipi penjara karena tak acuh pada fakta.

Foto: Pixabay/Mattysimpson