Tag Archives: adat

Adat/Tradisi versus Kekristenan, Bagaimana Menyikapinya?

Kita hidup dalam masyarakat yang memiliki tradisi/adat. Tapi ada juga banyak tradisi dalam adat yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Bagaimana kita menyikapinya?

Verkuyl menulis bahwa kata ‘adat’ berasal dari bahasa Arab ‘ada’ yang berarti cara yang telah lazim atau kebiasaan yang terjadi pada masyarakat.

Adat merupakan hasil karya manusia dalam mengatur kehidupannya serta relasi antar sesamanya agar memiliki ketertiban dan keteraturan untuk menuju kesejahteraan yang diharapkan.

Pertemuan antara kekristenan dan adat sering sekali terjadi proses saling mempengaruhi, baik secara sadar atau tidak. Lalu bagaimana manusia bersikap menghadapi tradisi itu?

Setidaknya ada tiga kecenderungan yang dijadikan panutan sikap manusia menghadapi adat-istiadat di sekelilingnya.

Pertama, sikap antagonistis/penolakan akan segala bentuk adat-istiadat yang tidak diingininya, gejala ini kita lihat dalam bentuk fundamentalisme yang ektrim. Kelompok ini memandang seolah-olah tidak ada sesuatu yang baik didalamnya, alias semuanya jahat.

– Mat.15: 6b “… Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri”.
– 1Pet.1:18-19 “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus…”

Kedua, sikap terbuka yang kompromistis yang menerima segala bentuk adat-istiadat lingkungannya. Sikap demikian sering terlihat dalam kecenderungan liberalisme ekstrim yang sering menganut faham kebebasan.

Ketiga, sikap dualisme.
Sikap ini tidak mempertentangkan dan tidak mencampurkan faham-faham adat itu, tetapi membiarkan semua adat-istiadat itu berjalan sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing. Sikap ini menggunakan standar ganda, yaitu dilingkungan kristen ia berusaha hidup suci sesuai standar lingkungan jemaatnya tetapi didalam adat dia juga melaksanakan adat sesuai dengan standard perilaku adat yang berlaku.

Bagaimana sikap kita seharusnya?

Rasanya ketiga kecenderungan sikap demikian kurang tepat bagi seorang Kristen. Verkuyl dalam salah satu buku etikanya mengatakan bahwa umat Kristen terjerat diantara daya tarik antara libertinisme dan farisiisme. Di satu segi ia ditarik oleh kecenderungan keterbukaan dengan moralitas bebasnya, di segi lain ia ditarik oleh kecenderungan ketertutupan dengan moralitas kakunya. Kenyataan yang disebutkan Verkuyl itu memang benar, dan sikap di antara itu juga tergoda sikap mendua yang ada di antara kedua kecenderungan itu.

Lalu bagaimana selayaknya gereja bersikap?

Bagi mereka yang takut akan Allah, rasanya semua tindakan kita dalam menerima adat-istiadat perlu berorientasi pada Allah dan kehendak-Nya, ini menghasilkan empat pertimbangan berikut, yaitu

sikap dalam menghadapi adat-istiadat :

(1) Memuji dan memuliakan Allah
(2) Tidak menyembah berhala
(3) Mencerminkan kekudusan Allah
(4) Mengasihi manusia dan kemanusiaan.

Keempatnya berurutan dari atas ke bawah dimana memuji dan memuliakan Allah adalah tugas utama umat Kristen (Mazmur 150) dan ketiga lainnya diukur dari apakah itu meneguhkan kepujian dan kemuliaan Allah atau tidak.

Lalu adakah tingkat-tingkat pertumbuhan yang menentukan umat kristen bersikap?

Kedewasaan umat kristen dalam bersikap perlu mengarah pada kecenderungan transformatif, yaitu ia hidup dengan mentransformasikan setiap adat-istiadat agar sesuai dengan kepujian, kemuliaan dan kehendak Allah.

Ia semula hidup berkajang dalam dosa dan melakukan adat-istiadat dimana kuasa dosa banyak berpengaruh. Pengenalannya akan Tuhan Yesus Kristus membawanya kepada pertobatan (metanoea) dimana ia mulai merasakan perubahan arah dalam hidupnya dari dosa menuju kebenaran, dan seperti apa yang dikatakan oleh rasul Paulus: Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang (2Kor.5:17).

Dari perubahan yang transformatif inilah ia terus menerus melakukan transformasi dari dosa menuju kebenaran sehingga kehidupannya makin hari makin baik. Rasul Paulus mengatakan bahwa: Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah menjadi sempurna, melainkan aku mengejarnya (Flp.3:12).

Namun, harus disadari bahwa transformasi itu bukanlah hasil usaha manusia dengan kekuatannya sendiri tetapi sebagai hasil interaksi iman kita yang mendatangkan rahmat Allah: Dan semuanya itu dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan perdamaian itu kepada kami (2Kor.5:18).

Sebagai kesimpulan:
1. Penerimaan dan penghargaan kita terhadap Adat tersebut sebenarnya juga sejalan dengan Alkitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
2. Kita harus selektif terhadap Adat, menerima yang sesuai dan menolak yang bertentangan dengan Alkitab.
3. Kita juga harus mengikuti teladan Tuhan Yesus, yang tidak hanya selektif terhadap Adat, tapi juga terus menerus membaharuinya.
4. Dalam penerapan Adat tersebut, kita harus selalu waspada agar tidak tersesat dan menghambat pertumbuhan Iman kita. Sikap waspada tersebut sesuai dengan pemahaman kita tentang doktrin manusia, termasuk diri sendiri, yang telah jatuh ke dalam dosa.
5. Penerimaan dan penghargaan kita terhadap Adat secara umumnya, juga sejalan dengan pengakuan dan penghargaan kita kepada nilai luhur kemanusiaan kita yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah.
6. Penerimaan dan penghargaan kita terhadap Adat dapat juga dilihat sebagai penghargaan kita kepada karya nenek moyang sebagai salah satu warisan sangat berharga. Karena itu, kita bukan saja bersikap menerima Adat tersebut tetapi juga terus menerus membaharuinya.
7. Penerimaan dan pengakuan kita terhadap Adat juga dapat dilihat sebagai pengakuan dan penghargaan akan karya Allah yang sanggup bekerja di dalam diri nenek moyang, entah mereka menyadari hal itu atau tidak.
8.

Penerimaan dan penghargaan kita terhadap Adat juga dapat menjadi sarana bersaksi. Jadi jika kita menolak adat, maka kita sebenarnya kehilangan kesempatan utk bersaksi.

Ingat kesaksian rasul Paulus pada Gal.1:14-16; 1Kor.9:19-23.

“Di dalam agama Yahudi aku jauh lebih maju dari banyak teman yang sebaya dengan aku di antara bangsaku, sebagai orang yang sangat rajin memelihara adat istiadat nenek moyangku” (Gal.1:14).
-“Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang. Demikianlah Bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi…bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang, aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil… ” (1Kor.9:19-23).

-*-

Siam-Thailand dan Mitos-mitos Asal Mula Batak

Tak sedikit yang percaya, Suku Batak berasal dari tanah Siam (Thai), walau belum ada hasil riset yg sahih dan bisa membuktikan dng mematuhi syarat dan kaedah keilmuan atau ilmiah.

Konon, sekitar 3.000 tahun lalu, akibat perang suku di wilayah-wilayah pedalaman yg bergunung-gunung di wilayah Siam, satu kelompok suku kemudian bermigrasi dengan cara menyeberangi laut yang berdekatan dengan Selat Malaka, menggunakan rakit berbahan bambu.

Rombongan yang eksodus tersebut masih sesuku dengan Suku Karen yg berserak di wilayah Myanmar-Thailand kini. Mereka merupakan suku atau sub-etnis yg berposisi minoritas dan karenanya acap sasaran agresi suku-suku lain yang lebih besar dan kuat.

Karena bukan suku yang terbiasa dengan laut dan hanya mengandalkan rakit, para pencari “suaka” tersebut akhirnya berserak, terombang-ambing tanpa tujuan. Sebagian besar yg selamat–karena banyak yg tewas selama terombang-ambing di lautan luas yang diterjang ombak ganas serta serangan badai–akhirnya terdampar di beberapa tempat. Yang paling banyak, terdampar di Pantai Barus (kini masuk Kabupaten Tapanuli Tengah).

Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke wilayah pedalaman yg bergunung-gunung karena lebih suka dan memang dasarnya bukan masyarakat maritim. Berbulan-bulan menembus hutan lebat, naik turun bukit, menyeberangi sungai-sungai berarus kuat dng jeram-jeram yg mengerikan, membuat jumlah mereka berkurang perlahan-lahan. Saat itu, binatang buas seperti harimau, beruang, ular berbisa, buaya, masih banyak pula.

Para pengungsi yang telah berbulan-bulan kelelahan itu pun banyak jadi korban terkaman dan gigitan binatang buas saat menerabas hutan dan menyeberangi sungai.

Yang tersisa akhirnya tiba di satu wilayah yang kini disebut Sianjurmulamula, di kaki Gunung Pusuk Buhit, masuk Kabupaten Samosir. Pilihan tempat tersebut karena mereka terpesona melihat satu lembah yang indah dan ada satu gunung yang cocok dijadikan tempat pemujaan bagi dewa-dewa (debata) yang mereka percaya sejak turun-temurun.

Sianjurmulamula atau kini disebut juga Limbong-Sagala memang satu tempat yg mempesona, apalagi bila dipandang dari bukit-bukit yang mengitarinya. Lahannya relatif subur dan cocok untuk tumbuhan padi.

Lokasinya tak seberapa jauh dari satu danau yang luas (Danau Toba), namun para musafir yg tersisa itu lebih suka berdomisili di kaki-kaki bukit dan gunung ketimbang berdekatan dengan air (danau).

Disebabkan sulitnya mendapatkan sumber makanan sementara bibit padi (boni) yang mereka bawa dari Siam dan telah mulai ditanam di lahan-lahan setelah mencabuti semak belukar masih lama bisa dipanen, terjadilah masalah kelaparan.

Nyaris tewas semua, apalagi cuaca sering berhujan membuat kedinginan dan demam yg mengerikan.Di antara yg selamat, satu lelaki muda yang kuat dan berwibawa, yang sejak dari Siam telah didaulat sebagai pimpinan rombongan.

Suatu pagi dia pergi mendaki Pusuk Buhit dan di sana bersemedi, memohon belas-kasihan Sang Dewata agar mereka yang tersisa sedikit dan telah merana berbulan-bulan, diselamatkan dari ancaman kematian. Ketika ia turun dari puncak gunung, kondisi tubuhnya amat lemah hingga jatuh pingsan dan tak sadar berhari-hari.

Satu makhluk serupa manusia namun berbeda fisik dengan lelaki itu, entah dari mana muncul, kemudian menyelamatkan lelaki muda yang tergeletak dengan tubuh lunglai tersebut. Perempuan yang menolongnya adalah penghuni aseli yang disebut “halak bunian” yang populasinya amat sedikit dan sisa (survivor) letusan Gunung Toba.

Perempuan “bunian” tsb membopong lelaki muda itu ke Sianjurmulamula, dan ternyata semua pendatang, yakni sanak-saudara dan kerabat lelaki muda itu telah tewas karena kelaparan dan kedinginan yang menyebabkan demam hebat.

Ia kemudian merawat lelaki muda tersebut hingga pulih dan selanjutnya, seperti kisah Adam dan Hawa, mereka berdua mendiami wilayah yang indah permai.

Lelaki muda itulah yang kemudian disebut Si Raja Batak dan keturunannya–dari perempuan aseli atau “bunian”–menjadi para pemula, dan selanjutnya menjadi Suku Batak.

Oleh karena Si Raja Batak amat sedih kehilangan sanak-saudara dan kerabatnya, ia kemudian menurunkan ajaran dan petuah pada keturunannya agar saling menjaga, saling terikat, sampai kapan pun. Keinginannya itu melekat kuat pada semua keturunannya yang kemudian–dengan local genius–menciptakan tata aturan, norma-norma, yang mutlak dipatuhi.

Kepatuhan pada petuah yang dipesankan sang pemula, yang kemudian mereka sebut: Ompunta Si Raja Batak, melahirkan aturan-aturan yang menekankan pentingnya identitas agar harmoni dan pranata sosial terjaga baik. Perlahan-lahan melembaga, menjadi pegangan, walau berkali-kali mengalami perbaikan demi penyempurnaan dan dianggap paling ideal.

Aturan, kaedah-kaedah, dan pengidentifikasian setiap individu (anggota komunitas) itulah yang kemudian melahirkan adat dan marga. Pesan dan spirit yang ditiupkan Si Raja Batak pulalah yang menyebabkan mengapa etnis Batak patuh pada adat, aturan sosial, dan mengingat trah (tarombo) atau silsilah dan diwariskan pada keturunan mereka hingga kini.

Meskipun tak sedikit yang tak peduli, menyangkal, atau menganggap dongeng belaka.

Catatan spontan ini merupakan paduan dongeng, mitos, legenda, hasil pendengaran dan pembacaan, dikembangkan dalam ruang imajinasi namun mengaitkannya dng fakta dan realitas, yakni: sampai sekarang, mayoritas orang Batak masih setia pada adat dan marga, juga meyakini “tarombo” mereka. Dari situlah pula lahir penamaan, istilah, terms, menyangkut status tiap person.

Ada yang dipanggil: ompung, tulang-nantulang, amangtua-inangtua, amanguda-inanguda, amangboru-namboru, lae-eda, amangbao-inangbao, ampara, anggi, iboto, sesuai hubungan darah dan marga.

Dari aturan maupun kaedah yang tercipta itu pula lahir konfigurasi adat yang berpengaruh kuat pada relasi sosial dan hubungan antarindividu yang kemudian dilambangkan macam “tiga tungku” atau “dalihan natolu”. Ada tiga unsur dalam relasi sosial yang amat penting, yakni: Hulahula, Dongan Tubu, Boru.

Kembali ke paragraf awal, fisik dan wajah orang Batak termasuk beragam, pula warna kulit. Ada yang mirip orang Siam, India, Melayu, Cina, dll. Ada yang berkulit legam (macam penulis), ada yang terang atau putih, ada yang kayak orang Cina.

Ada yg berambut ikal, lurus, pun yang keriting macam orang Afrika. Ada yang bermuka oval, ada yang lonjong dan ada pula yang disebut “bersegi lima.” Ada yang berhidung mancung kayak India atau Arab, ada pula yang pesek.

Ada yang beralis tebal, ada pula yang ala kadar. Ada yang berkumis, berjenggot, ada pula yang klimis seperti bayi. Ada yang tampan dan cantik bukan main, ada yang jeleknya minta ampun (penulis tak termasuk).

Namun, lingua franca Siam-Thai-Myanmar, tak ada miripnya dengan Bahasa Batak. Walau sama-sama memiiki aksara, Batak punya, lebih pendek dan “tegas,” tak keriting seperti aksara Siam.

DNA kedua suku-bangsa tersebut pun mungkin juga tak mirip, entahlah bila dilakukan riset secara acak (random). Kebudayaan mereka pun begitu, juga kepercayaan aseli. Siam condong ke Budhisme, sementara Batak aseli ke Hinduisme.

Tetapi, siapa tahu “tutu” suku dari Siam yang mengungsi pada zaman baheula itu merupakan suku minoritas dan hampir semua eksodus akibat pertikaian tiada putus antarsuku sehingga yang tersisa di Siam, kini menjadi “prototipe” Batak yang langka, namun ada.

Bagi penulis, dongeng ini merupakan suatu kegemaran menelusuri asal-mula manusia Batak dikaitkan dengan mitos-mitos yang menyebar dalam bentuk verbal maupun literal, meski tak banyak. Ada keasyikan tersendiri membiarkan penjelajahan imajinasi dengan mempertimbangkan berbagai hal atau aspek.

Namun, sampai kini masih terus penasaran: Dari manakah sesungguhnya asal manusia Batak? Apakah dasarnya penghuni aseli atau orang-orang yang bermigrasi dari wilayah lain di luar wilayah yg kemudian disebut Tano Batak?

Semua tak bisa dijawab lewat dongeng, mitos, legenda, apalagi dengan bertanya pada “orang pintar,” dukun, paranormal, melainkan hanya melalui studi, riset, dng mengindahkan kaedah atau syarat ilmiah–dan itu pun tetap terbuka diuji, namun setidaknya memiliki dasar dan kerangka pikir yg mengandalkan rasio, ilmu pengetahuan-sains, bukan kepercayaan buta yang diterima tanpa memfungsikan otak, dan itulah guna penting pendidikan formal.

Itu dulu dongengku. Namanya imajinasi, santai saja menanggapi. Jangan terlalu serius. Capek nanti berpolemik, tak ada pula hasilnya. Keunikan adat-budaya Batak itu saja kita nikmati bagi yang masih tertarik.

Horas. 🙂

 

Foto: petraonline.net