Rayakan Cinta Tanpa Banyak Kata, Tanpa Cokelat dan Tetap Tidak Maksiat

Bila sepotong cekelat yang ingin kau berikan di Hari Valentine tanggal 14 Februari ini malah akan membuat kau jadi “maksiat secara otomatis” alias “auto-maksiat”, atau bahkan mengucapkan Happy Valentine aja bikin kau jadi “autokafir”, tapi kau pengen banget menunjukkan rasa kasih sayang kau ke orang terdekat dalam hidupmu.

Ada beberapa cara kok, tidak mesti dengan memberi cokelat atau bahkan tidak perlu berkata-kata secara verbal. Meskipun masih cukup membingungkan bagaimana sebuah benda yang fana sekaligus menggiurkan seperti cokelat begitu bisa menentukan kadar keimanan kamu.

Dikutip dari Brightside, ada beberapa cara yang bisa kamu lakukan secara tidak langsung untuk menunjukan rasa sayang kamu kepada pasangan. Beberapa penjabaran di sini bisa berlaku untuk pasangan hidup, dan tentu saja untuk yang baru berstatus pacaran. Jadi tetap…jauhi maksiat!

Ini seperti merayakan cinta tanpa perlu banyak kata-kata.

  1. Kasih waktu pasanganmu untuk istirahat

Setelah menjalani aktivitas dan hari yang panjang, kita semua pasti membutuhkan waktu untuk beristirahat. Usahakan jangan terlalu buru-buru memberikan pasangan kamu pekerjaan rumah.

Berikan waktu untuk dia beristirahat. Tindakan ini juga berfungsi untuk menurunkan tingkat emosional dan membuat kamu terhindar dari konflik.

  1. Jadi Pendengar yang baik

Jika pasangan kamu ingin bercerita atau mengobrol, jangan langsung menolak, apalagi kalau pembicaraan itu terasa penting. Pasangan kita membutuhkan sosok yang mau mendengarkan keluh kesahnya, cerita kesehariannya, dan semua mimpinya.

  1. Jangan melarang pasanganmu bertemu dengan teman-temannya

Saat sedang menjalin hubungan dengan seseorang, kamu secara enggak sadar pasti menganggap dia adalah milikmu. Tapi sadarilah, bahwa setiap orang memerlukan ruang dan waktu pribadi yang ingin mereka habiskan bersama teman-temannya.

  1. Perhatikan hal-hal yang pasanganmu sukai

Terkadang kamu memang ingin membahagiakan pasangan dengan kejutan, tapi terkadang kebahagiaan itu datang dari hal-hal yang kecil, misalnya apa makanan kesukaan dan hobinya. Saat kamu mengingat apa yang dia sukai, ini akan menjadi sesuatu yang sangat berarti baginya.

  1. Berikan pujian

Semua orang suka mendapatkan pujian, hal itu juga berlaku bagi pasangan kamu. Enggak ada salahnya kok kamu memberikan pujian jika pasanganmu terlihat cantik atau tampan. Meski terbilang sepele, ini adalah hal-hal kecil uang bisa membuatnya merasa nyaman.

  1. Bangun mimpi bersama

Memiliki mimpi yang sama dan dibangun dari nol akan memberikan pengaruh baik bagi hubungan. Kamu dan si dia akan bisa tumbuh bersama dengan tujuan yang baik.

  1. Jadilah pacar dan teman yang baik

Terkadang secara enggak sadar, rasa sayang yang kita miliki membuat protektif terhadap si dia, padahal sikap tersebut akan membuat pasangan merasa tidak nyaman.

Ada baiknya posisikan diri sebagai seorang teman baik yang selalu mendukung apapun keputusannya.  Biarkan dia mandiri dan mebuat keputusan sendiri.

  1. Masak dan makan bersama

Jika kamu dan pasangan sama-sama memiliki waktu luang, enggak ada salahnya untuk menghabiskan waktu dengan memasak bersama. Ini akan membuat hubungan kamu bersama pasangan semakin harmonis dan hangat.

Enggak hanya memasak, kamu juga bisa melakukan aktivitas seperti belanja ke supermarket dan makan bersama.

  1. Jangan ungkin kekurangan pasangan

Semua orang pasti memiliki kekurangan, hal itu juga berlaku buat pasangan kamu. Agar hubungan kalian tetap harmonis, kamu harus berusaha menerima kekurangan dan belajar untuk tidak memperhatikan hal yang terlalu detail.

Usahakan jangan mengeluh tentang kekurangan si dia. Karena itu akan peluang konflik semakin besar dan membuat hubungan kamu tidak harmonis.

Sepuluh Tahun, Apakah Anda Berubah?

Bulan Desember masih terasa seperti kemarin. Tiba-tiba sekarang bulan Januari sudah mendekati ujung. Tahun berganti. Usia bertambah. Berubahkan kita?

Seorang teman saya selalu mengubah gaya rambutnya di tahun baru. Misalnya jika tahun sebelumnya rambutnya panjang, di tahun baru dipotong pendek, atau jika tahun lalu keriting, tahun ini dibuat lurus.

Ada juga teman yang selalu mengganti barangnya di tahun baru. Tak tanggung-tanggung, jika bukan mobil, ponselnya yang harus ganti. Untung bukan suaminya yang diganti, kata teman saya lainnya sambil bercanda.

Apapun bentuknya, mungkin mereka hanya ingin ada perubahan dari tahun ke tahun. Mungkin itu hanya simbol, bahwa mestinya ada perubahan sesuai dengan perubahan waktu.

Tapi itu semua hanya perubahan secara fisik. Sesungguhnya yang tak kalah penting adalah perubahan dalam diri kita. Mudah mengganti barang milik kita, tapi mengubah perilaku kita, cara pandang kita, sikap dan kelakuan kita, apakah mudah juga? Anda tentu sudah tahu jawabannya, kan. Hehehe.

Belakangan ini sedang trending topik #ten years challenge. Seorang teman tiba-tiba mengirimkan foto-foto lama kami ketika mahasiswa, dan bertanya: Kapan kita berfoto bersama begini lagi. Agak sulit, sebab foto lama itu ada di luar negeri dan kami semua kini sudah sibuk dengan keluarga masing-masing.

Terpengaruh tantangan sepuluh tahun ini, teman-teman di media sosial ramai memamerkan foto lama dengan foto baru. Ada teman yang terlihat tidak terlalu ada perubahan pada wajah dan tampilan fisiknya, ada juga yang terlihat sangat berbeda.

Yang menarik dari foto-foto challenge itu adalah, selain mengenang memori masa lalu, bernostalgia memang bisa menjadi hiburan tersendiri. Bagi pertemanan yang sudah dekat dan kebal, ini bisa menjadi ajang cela-celaan. Misalnya, ada yang mengatakan:

“Kok muka kamu dari dulu tetap seperti tomat, sih?”
“Mendingan muka akulah, daripada muka kamu seperti melon raksasa.”

Seorang teman kuliah yang memajang foto langsing sepuluh tahun lalu, mendapat komentar lucu:
“Apa yang dilakukan suamimu padamu, kok kamu jadi bengkak begini sekarang?”

Ada seorang teman yang sengaja dengan maksud bercanda memasang foto bayi dan foto saat ini dengan tagar #10yearschallenge, dan segera dihujani komentar dari teman-temannya karena hal itu mustahil. Sebab usianya sekarang sudah 30 tahun.
“Edan, pertumbuhan kamu cepat amat, Bro!” komentar seseorang.
“Banyak tekanan hidup dan tekanan dari netizen yang maha benar, jadi cepat tua, Sis!” jawabnya bergurau.

Bicara tentang membandingkan masa lalu dan masa kini, memang tak ada habisnya. Ini yang membuatnya menarik. Bukan sekedar menikmati foto masa lalu, tantangan #10yearschallenge ini juga bisa menyimpan makna lain, bahwa dalam hidup ini tak ada yang abadi. Kita hanya makhluk yang akan berubah dan menjadi tua seiring waktu berjalan, bukan vampir yang tetap awet muda dan tak mati-mati. Perubahan ini mengingatkan kita bahwa pada akhirnya kita akan tiba ke garis finish dan kembali ke Pencipta, dan waktu yang kita miliki pun terbatas, hingga kita harus menggunakannya semaksimal mungkin.

Akan tetapi, seperti sepotong lirik lagu NKOTB waktu saya remaja: Age is just number, dont you stop having fun, usia bukan jadi alasan kita untuk tidak bisa melakukan hal-hal yang kita inginkan sepanjang itu positif. Saya punya seorang kerabat yang sudah nenek berusia 70 tahun tapi masih suka mengenakan sepatu boot model seperti artis, sering mengenakan sepatu high heels, dan rajin mengganti warna rambut dan kuteks. Tidak ada orang yang berhak menghakimi orang lain karena usia. Kita punya selera masing-masing.

Bernostalgia memang bisa membuat kita merasakan kembali kebahagiaan dan bersyukur atas pencapaian yang telah kita lakukan dari masa lalu. Selain potensial mengingat kembali rasa pahit atas kenangan buruk, nostalgia juga bisa membuat kita merasa kuat bahwa akhirnya kita bisa melewati itu semua dan menjadi orang yang lebih baik saat ini. Hidup terasa lebih bermakna dan dan lebih berpengharapan karena melihat bahwa kesulitan dari masa lalu bisa teratasi dengan baik dan membuat kita semakin kuat dan dewasa serta bijaksana.

Sepuluh tahun memang bukan waktu yang singkat. Sepuluh tahun lalu anak saya masih balita, eh sekarang sudah anak gadis. Mungkin sepuluh tahun lagi dia sudah menikah dan saya sudah menjadi seorang nenek (astaga!). Hehehe.

Apapun yang terjadi, yang perlu kita bandingkan adalah diri kita sendiri, di masa lalu dengan sekarang, dan diri kita di masa depan. Bukan membandingkan diri kita dengan orang lain. Sebab kita menjalani jalur hidup kita masing-masing dan standar hidup yang berbeda, dan pergumulan yang berbeda, sehingga standar dan defenisi sukses kita juga berbeda. Kita punya standar masing-masing, yang urusannya adalah antara diri kita sendiri dengan sang Pencipta.

Seperti pernah saya dengar orang bijak berkata:

Hidup ini bukan perlombaan. Yang berlomba adalah diri kita sendiri melawan diri kita di masa lalu. Menjadi diri kita yang lebih baik semakin hari semakin baik adalah tujuan hidup atau tujuan perlombaan itu sendiri.

Jika bicara soal waktu, waktu tak membatasi kesuksesan seseorang, dan umur bukan penentu kesuksesan. Misalnya, ada yang sejak kecil sudah jenius, tapi biasa saja di usia dewasa, ada yang biasa saja waktu kecil tapi sukses ketika sudah berumur.

Tidak semua orang seperti Mark Zuckerberg. Seorang pemuda yang pernah menjadi billionaire termuda di dunia ketika berusia 22 tahun, yang kini orang ke-5 terkaya di dunia dengan kesuksesannya menciptakan Facebook ketika masih berada di bangku kuliah. Ada juga yang seperti Henry Ford mulai sukses di usia 40 tahun, atau seperti Kapten Sandlers yang merintis KFC di usia 65 tahun.

Lalu, ada seorang nenek dari Singapura, Mary Ho. Usianya sudah 81 tahun. Beliau mulai belajar bermain gitar saat usia 60 tahun dan sempat ingin menyerah namun beliau kemudian belajar tiga jam sehari. Sekarang beliau terkenal jadi rocker dan sudah diminta merekam albumnya sendiri.

Hikmahnya, tak ada kata terlambat untuk berubah lebih baik.

Selain kenangan yang membahagiakan tadi, kita juga pasti bisa teringat kesedihan atau kekecewaan di masa lalu. Tetapi hal itu pun layak kita syukuri. Bagaimanapun hal itu turut memberi sumbangsih dalam pembentukan diri kita yang saat ini. Seperti kata lagu, suka duka dipakai Tuhan untuk kebaikan kita.

Jadi, dalam sepuluh tahun ini, apa yang berubah dalam hidup anda?

*-*

Film “Bumblebee,” Baja Berhati Manusia

Sesungguhnya, dibanding film-film fiksi lainnya, minat saya lebih sedikit pada film ‘robot’ ini. Saya lebih suka jenis Avengers, atau semacam X-Men. Tapi kali ini, saya merasa tidak rugi menonton film ini.

Konon, Bumblebee adalah autobot kuning muda bernama B-127. Dia, adalah mobil beetle rongsokan yang berhasil dihidupkan oleh Charlie, seorang remaja yang telah kehilangan ayahnya, dan mengalami kesulitan komunikasi dengan ibunya, selayaknya remaja seusianya.

Dari beberapa seri film Transformers, apa yang berbeda dalam film ini adalah, minimnya adegan yang mengeksploitasi seksualitas. Tak ada adegan ciuman dan sejenisnya. Itu sebabnya aman untuk remaja. Karakter Charlie juga lebih membumi, anak remaja yang galau, punya mimpi dan kadang frustasi dengan hidupnya. Film ini memiliki kedalaman dari segi mengolah sisi emosional dan kemanusiaan. Saya sendiri ikut terbawa sedih dan terharu, juga sesekali tertawa selama menonton film ini. Bumblebee juga tampak lovable dan layak untuk dijadikan sahabat.

Film ini mengingatkan saya akan masa kecil, sebab dikemas serba eighties, termasuk musiknya. Saya tertawa melihat di film ini masih pakai kaset untuk memutar lagu. Lagu lama yang diputar adalah lagu-lagu favorit kakak-kakak saya waktu saya masih kecil. Contohnya, Unchained Melody, lagu waktu saya SD, dan ikut-ikutan model rambut cepak Demi Moore. Lalu lagu Never Gonna Give You Up milik Rick Astley, adalah lagu favorit kakak saya ketika kasmaran kala itu. Kemudian lagu A-HA, Take On Me, membuat saya ingin ikut bergoyang. Hahaha.

Ada beberapa kalimat yang berkesan bagi saya setelah menonton film ini, dan masih terngiang-ngiang hingga kini.
Ketika Charlie mencoba menstarter mobil beetle rongsokan yang diperbaikinya, dia memohon-mohon:
Please, God, please, please…”
Dan ketika ternyata mobil itu berhasil dinyalakan, Charlie menjerit senang:
Oh, God, thank you, thank you, I love You so much!”

Ketika kita merasa ‘desperate’, terpuruk tanpa harapan, dan kita memohon pertolongan pada Tuhan, alangka indahnya ketika doa kita terkabul. Ungkapan syukur pun akan melimpah. Mungkin kita pernah mengalami hal seperti ini.

Quote yang berkesan dalam film ini adalah ucapan teman baru sekaligus tetangga Charlie, Memo. Ketika Charlie merasa hidupnya sangat kacau dan suram, Memo bilang: The darkest night produces the brightest stars.”

Memang, dalam keadaan paling suram sekalipun, kita bisa bangkit dan bisa saja kita malah tampil cemerlang. Kesulitan menempa manusia-manusia yang tahan uji dan bermental baja.

Bagi saya orangtua yang punya anak remaja, film ini memberi pesan moral untuk lebih peka dan memahami dunia anak remaja yang kompleks.

Bagian lain yang paling menarik bagi saya adalah ketika Bumblebee sedang bertarung dengan Decepticons (musuh Autobots), dan Bumblebee menarik Decepticon ke bawah air dengan posisi yang mengkondisikan resiko bahaya fatal untuk keduanya, si Decepticon berkata: Kau membahayakan kita berdua.

Dalam adegan ini saya melihat kekuatan kasih dan pengorbanan dalam hubungannya dengan Charlie.

Seorang sahabat rela memberi diri, bahkan rela mati untuk sahabatnya.

Bumblebee, sang ‘robot’, rela membahayakan diri untuk keselamatan sahabat manusianya, Charlie. Bagi saya, ini ibarat perumpamaan yang terbalik. Bumblebee bagaikan robot Baja berhati manusia, dan Charlie, manusia berhati baja. Mereka adalah pasangan sahabat yang klop.

Memang film ini hanyalah fiksi, tapi ada banyak pesan moral yang bisa kita ambil dari sebuah film, yang bisa mengubah pola pikir dan jalan hidup kita.

Salah satu film yang berkesan bagi saya tahun 2018 ini adalah film ini, dan berharap tahun depan dan tahun-tahun mendatang akan lebih banyak film yang inspiratif yang akan mengubah pola pikir penonton ke arah yang lebih baik, membuat dunia kita menjadi tempat yang lebih baik untuk dihuni.

Semoga kita semua juga lebih baik di tahun baru nanti. Selamat menjelang tahun baru.

Kado Natalmu, Mewakili Isi Hatimu

Film lama, Little House on the Prairie adalah sebuah tayangan serial drama televisi Amerika, tentang keluarga Ingalls yang tinggal di sebuah pertanian di Minnesota, pada tahun 1870an.

Dalam sebuah seri dalam film Little House on the Prairie, ada sebuah kisah yang mengharukan buat saya.

Menjelang natal, keluarga Ingalls sibuk.
Mary, mendadak sibuk dengan waktu di luar rumah, untuk membantu seorang ibu tukang jahit yang sudah tua, tanpa bayaran, katanya untuk menambah pengetahuan. Belakangan ketahuan, rupanya diam-diam Mary belajar menjahit kemeja untuk hadiah natal ayahnya.

Diam-diam, Laura menjual kuda poni-nya untuk membeli kompor masak untuk ibunya. Laura menukar kudanya dengan kompor di toko ayah Nellie, Mister Nels. Nellie menginginkan kuda itu untuk hadiah natalnya.

Kompor masak besar itu dibungkus dan dikirim dengan paket besar ke rumah keluarga Ingalls malam hari sebelum Natal, dan dengan ketentuan, karena sebagai kejutan, tak boleh dibuka hingga besok paginya, di pagi hari Natal. Anak-anak sangat penasaran. Itu kado siapa, untuk siapa, dan isinya apa. Tapi tak seorangpun boleh membukanya.

Tak hanya anak-anak, rupanya ibunya, Caroline juga penasaran, tidak sabar, malamnya sampai tidak bisa tidur, ingin tahu kado besar apa isinya dan dari siapa untuk siapa. Suaminya, Charles sampai tertawa, berkata: Kamu lebih-lebih daripada anak-anak rasa penasarannya.

Yang tak diduga, ketika tiba saatnya bertukar kado natal, rupanya Charles membelikan sadel untuk kuda poni Laura. Hal ini sungguh membuat sedih. Sebab Laura sudah tak lagi memiliki kudanya.

Ibunya juga rupanya sudah menyiapkan kado natal untuk bapaknya, tetapi terpaksa diam-diam menyimpannya kembali, karena sama dengan kado yang diberikan oleh Mary pada ayahnya. Kemeja yang serupa.

Yang paling megharukan adalah ketika ibu mereka, Caroline, mengetahui kado kompor untuknya. Kuda poni Laura ditukar untuk kompor besar itu.

Hati ibu mana yang takkan meleleh melihat kejutan dan pengorbanan yang luar biasa dari seorang anak, seperti itu?

Laura yang masih sekecil itu, sadar ibu mereka butuh kompor untuk memasak bagi semua anggota keluarga. Dia mengorbankan hal yang paling disukainya untuk kepentingan semua anggota keluarga.

Sangat mengharukan melihat keluarga ini berusaha memberikan hadiah terbaik untuk keluarga, orang yang mereka kasihi. Mengorbankan tenaga, usaha, dana, bahkan hal yang paling mereka cintai,

seperti kuda poni Laura. Luar biasa semangat natal dan semangat mengasihi mereka!

Semoga kita semua memiliki semangat natal yang sama, memberikan hadiah terbaik dari diri kita untuk orang yang kita kasihi, seperti Yesus, yang lahir dan mati, dan bangkit, yang telah lebih dulu memberikan teladan dengan memberikan hadiah terbaik untuk kita, yaitu: nyawaNya.

Apa kado natal anda untuk Yesus tahun ini?

*-*

RAHASIA PANJANG UMUR

Bulan lalu, November, kebetulan ada hari guru nasional (PGRI).

Menurut Wikipedia, Guru, (dalam bahasa Sanskerta, arti secara harfiahnya adalah “berat”) adalah seorang pengajar suatu ilmu. Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.

Secara formal, guru adalah seorang pengajar di sekolah negeri ataupun swasta yang memiliki kemampuan berdasarkan latar belakang pendidikan formal minimal berstatus sarjana, dan telah memiliki ketetapan hukum yang sah sebagai guru berdasarkan undang-undang guru dan dosen yang berlaku di Indonesia.

Menurut saya, kita semua adalah guru, dan murid sekaligus. Yang di sekolah adalah guru profesional. Kita adalah guru fungsional.

Guru, pada hakekatnya adalah pemberi contoh, untuk ditiru. Pemberi teladan. Pemberi kesaksian, pemberi inspirasi. Kita semua bisa menjadi guru bagi sekitar. Sebab sadar tak sadar, di sekeliling kita ada yang melihat kita, lalu meniru kita, ada yang mengikuti kita, dan juga ada yang tidak. Tergantung apa yang kita lakukan, ucapkan atau contohkan.

Jika diteliti, sebenarnya kita semua adalah guru. Di kantor kita adalah guru untuk anak buah atau rekan kerja lainnya. Di rumah, kita adalah guru untuk anak-anak dan asisten rumah tangga. Di tempat umum juga kita bisa menjadi guru dengan menjadi teladan memberikan contoh dalam menaati peraturan, seperti buang sampah, antri, parkir sesuai aturan, dan menjaga ketertiban.

Contohnya. Seorang rekan kerja saya yang lebih junior, saya anggap adalah guru saya dalam hal mode dan kecantikan, karena dialah yang mengajari saya tentang make up dan fesyen yang kebetulan bidang yang dikuasainya. Dari dialah saya tahu bagaimana menggunakan pemulas mata dengan benar (hahaha).

Saya ingat, ketika anak saya masih TK, tiba-tiba dia rajin membaca dan sering membeli buku. Ketika saya bercerita pada neneknya, neneknya berkata: Ya kalian berdua orangtuanyalah yang ditiru. Kalian berdua kan suka membaca. Nah itu beberapa tahun lalu. Sekarang anak saya itu sering bermain HP. Tak perlu heran. Saya tahu, kami berdualah yang dilihatnya juga, hahaha…

Hal umum, yang paling saya ingat dari ajaran ayah saya waktu kecil adalah, jangan lupa mematikan lampu dan air jika sudah tidak digunakan. Sampai sekarang saya masih melakukannya, bahkan kadang saya spontan berhenti dulu untuk mematikan air keran di tempat umum (contoh, toilet kantor atau toilet mal) jika ada yang lupa dan membiarkannya begitu saja.

Itu mungkin adalah contoh bahwa saya mengingat betul ajaran ayah saya (yang itu) dan terus melakukannya. Dan sekarang, saya masih dalam tahap sedang menanamkannya pada anak-anak saya.

Bicara tentang murid, dulu waktu mahasiswa, aktif dalam organisasi kampus, saya ingat sekali ada frase yang sangat berkesan bagi saya: Berikanlah saya hati seorang murid.
Apa artinya itu hati seorang murid? Begitu dulu saya pikir. Artinya adalah, hati yang selalu ingin belajar, selalu mendapat ajaran dari guru. Selalu mau diberi pengetahuan baru.

Hal ini membuat saya teringat guru favorit saya waktu SMP. Saya selalu ingin hari yang ada jadwal beliau cepat-cepat datang dan merasa terlalu cepat jika waktu belajar dengan beliau sudah berakhir. Saya suka belajar dengan beliau. Mengapa? Sebab saya suka yang diajarkan, dan saya suka cara beliau mengajarkannya. Dan saya juga suka mengerjakan PR dari beliau, walau mungkin itu jadi beban bagi murid lain.

Dan bisa dibilang, hingga kini ilmu yang diajarkan oleh guru favorit saya itu sungguh berguna dan masih relevan dengan pekerjaan profesional saya.

Minggu lalu saya berulang-tahun dan kado paling spesial adalah ucapan yang paling menyentuh hati saya, dari nats Amsal 3.
“Apa rahasia panjang umur?”

Jawabannya: dalam nats Amsal 3.
Amsal 3:1

Hai anakku, janganlah engkau melupakan ajaranku, dan biarlah hatimu memelihara perintahku.

Ajaran orangtua tidak boleh dilupakan, kita harus mengingatnya, dan berarti juga menaati. Ketaatan berarti, ajaran itu tertanam di hatinya, dan menjadil inti kepribadiannya.

Amsal 3:1Hai anakku, janganlah engkau melupakan ajaranku, dan biarlah hatimu memelihara perintahku,
3:2 karena panjang umur dan lanjut usia serta sejahtera akan ditambahkannya kepadamu.
3:3 Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau! Kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu,
3:4 maka engkau akan mendapat kasih dan penghargaan dalam pandangan Allah serta manusia.
Saya jadi ingat film Kungfu jaman kecil dulu, di mana murid/anak didiknya sungguh hormat dengan gurunya. Mereka akan melakukan apa saja yang diajarkan sang guru, mengikut gurunya tanpa pamrih, penuh totalitas dan kesetiaan tanpa batas.

Saya pikir, orangtua kita, lebih dari sekedar guru kungfu, yang harus lebih kita hormati. Mengapa?

Sebab mereka tidak hanya guru, melainkan perwakilan Tuhan di dunia ini, di mana mereka adalah imej Allah dalam bentuk manusia.

Jika kembali pada pertanyaan tadi, apa rahasia panjang umur?
jawabannya:
Menjadi anak (‘murid’) yang melakukan ajaran orangtua.

Seperti dalam versi bahasa Inggris, New International Version (NIV):

My son, do not forget my teaching, but keep my commands in your heart,
for they will prolong your life many years and bring you peace and prosperity.’

Tidak hanya panjang umur, juga lanjut usia serta sejahtera akan ditambahkannya kepada kita.

-*-

“Bohemian Rhapsody”, Kesuksesan Setelah Penolakan

Setelah menonton film Bohemian Rhapsody , saya membaca di Wikipedia, bahwa tahun 2004, lagu Queen “Bohemian Rhapsody” masuk ke dalam Grammy Hall of Fame. Pada tahun 2012, lagu tersebut memuncaki daftar jajak pendapat nasional ITV di Inggris sebagai “Lagu Nomor Satu Favorit Bangsa” sepanjang lebih dari 60 tahun riwayat musik Inggris.

Luar biasa, pikir saya.

Saya sendiri masih menyimpan album kaset Queen, A Night At The Opera. Konon album itu rilis tahun 1975, dan saya belum lahir. Kaset itu sebenarnya adalah milik kakak laki-laki saya, yang umurnya lebih tua sepuluh tahun dari pada saya. Waktu saya kecil, mau tak mau saya ikut mendengarkan lagu-lagu yang kakak-kakak saya putar di rumah, sehingga saya jadi ikut tahu.

‘Love of My Life’, adalah lagu Queen yang paling mengena di hati saya. Tapi memang, lagu yang paling unik, bagi saya, adalah Bohemian Rhapsody. Setelah kuliah, saya baru sadar apa saja kata-kata dalam lirik lagu itu, sekalipun saya sering menyanyikannya sejak kecil, tak menyadari apa artinya secara menyeluruh. Bagi saya, lagu itu mengandung pilihan kosakata yang unik, tempo yang rumit, nada yang tinggi melengking dan tidak tertebak, melodi yang ekstrim, sekaligus kompleks. Tapi sangat jenius.

Ketika melihat iklan film Bohemian Rhapsody di bioskop, saya sudah ingin menonton. Saya agak terkejut, setelah minggu kedua pemutarannya, bioskop masih penuh hingga baris ke depan. Saya bahkan nyaris tidak dapat karcis.

Di dalam bioskop, saya serasa ikut masuk dalam ruangan konser langsung band Queen. Menonton film ini, membuat saya terpingkal, terharu dan terkesima. Dan terinspirasi. Film ini berhasil memancing emosi penonton. Selama menonton, saya tak tahan untuk tidak ikut bernyanyi, dan jadi menyayangkan mengapa Queen sudah tidak eksis lagi, sebab saya jadi rindu lagu-lagu mereka.

Pesan moral, yang paling mengena buat saya dari film ini, berhati-hatilah memilih orang terdekatmu.

Itu setelah saya melihat bahwa manajer Freddie Mercury, Paul Prenter, membuat Freddie jauh dari band-nya, dari Mary, dan nyaris tidak ikut konser besar Live Aid. Terlepas dari fakta apakah manajer Freddie memang betul-betul mengkhianatinya seperti di film itu atau tidak, tapi dalam film ini, sangat jelas terlihat bahwa orang terdekat kita sungguh berpengaruh dalam hidup kita. Mereka memiliki andil yang besar yang membawa kita ke arah yang kita inginkan atau tidak, ke arah lebih baik atau tidak. Itu sebabnya kita harus sungguh jeli memasukkan orang ke jaringan terdekat dalam hidup kita, sebab pergaulan kita juga menentukan jati diri kita.

Dan sering terjadi juga kemungkinan besar, bahwa orang terdekat kita potensial menjadi musuh terbesar kita, menjadi pengkhianat, seperti karakter Prenter, yang sebelumnya adalah eksekutif rekaman yang jadi selingkuhan Freddie, lalu menjadi manajer Freddie, yang di film ini, dendam dan setelah dia dipecat, membeberkan kehidupan pribadi Mercury yang sangat kelam.

Pesan moral lainnya, terlihat dari adegan ketika seorang produser besar, Foster, yang konon menyarankan agar Queen membuat album, tapi menolak lagu ‘Bohemian Rhapsody’ sebagai singel karena dianggap tidak bisa ‘dijual’. Queen tidak menyerah atas penolakan itu dan maju terus mencari produser lain, dan akhirnya lagu ‘Bohemian Rhapsody’ sukses di urutan teratas tangga lagu dunia. Hal ini menunjukkan bahwa penolakan tak lantas membuat mereka berhenti. Persistensi yang luar biasa.

Sebab seperti orang bijak berkata, jika pintu satu tertutup, kita bisa melompati jendela. Sebuah kesuksesan hanya bisa digapai dengan semangat pantang menyerah.

Itulah hal yang membuat seorang bocah imigran bernama Farrokh Bulsara, menjadi seorang legenda: Freddie Mercury, vokalis Queen, salah satu musisi paling terkenal di dunia, menjadi inspirasi yang patut kita teladani (terlepas dari pilihan gaya hidupnya). Sekalipun akhirnya dia kalah oleh penyakitnya, bukan berarti dia kalah dalam hidupnya, sebab seperti yang dia ucapkan, dia telah memenuhi takdirnya, menikmati hidup dan menjalankan impiannya.

Seorang bohemian yang hidup dalam rapsodi hidupnya.

-*-

Hormati Karya Orang Lain

Sebagai praktisi hukum dan penulis amatiran, saya di belakang JRX – SID dalam kasusnya dengan pedangdut Via Vallen.
Saya Mendukung JRX-SID!

Hormatilah karya orang lain!

Mencipta suatu karya, sesederhana apapun, tidak semua orang bisa, dan tak setiap saat bisa dilakukan. Proses kreatif itu membutuhkan keahlian dan kesempatan.

Ide dan momentum yang melahirkan suatu karya pun tak selalu bisa dikondisikan; ada banyak hal yang menginspirasi suatu karya, kadang disebut “negative capability,” dan hanya mengikut (koheren) dalam diri (orang) tertentu atau sang pencipta suatu karya.

Perlu diketahui, setiap karya (tulisan, lagu, lukisan, foto, disain, dll) bagaikan anak kandung sang pencipta. Karena itulah selain “hak komersil”, pencipta berhak pula “hak moral” atas karyanya; maka jangan sembarang memanfaatkan atau mempermainkan, atau mengubah karya orang lain.

Tidak semua penulis lagu senang bila ciptaannya diubah jadi lagu berirama dangdut, atau seriosa/aria, misalnya. Pencipta memiliki hak moral, dan jangan bawel atas hak orang lain –atau jangan gunakan sama sekali.

Via Vallen yang sudah amat sohor dan meraup banyak uang, seharusnya menjalin komunikasi dengan JRX-SID tentang lagu yang dinyanyikan atau ditampilkan. Lebih baik lagi bila disampaikan semacam “disclaimer” berisi pernyataan bahwa dirinya tidak akan memproduksi dalam bentuk apapun medianya selain dinyanyikan di suatu pertunjukan. Di luar itu bukan tanggung jawabnya atau tim kreatif-manajemennya.

Belajarlah jadi orang berbudaya dengan cara menghormati karya cipta orang lain. Suatu tulisan (puisi, prosa, esai, dsb) boleh anda gunakan tanpa harus membayar, dengan syarat terlebih dahulu minta izin dari pengarangnya dan jangan ganti atau hilangkan nama penulisnya. Bila dihilangkan, berarti itikad sejak dari pikiran memang sudah tidak baik.

Namun membagikan (share) suatu tulisan atau foto atau lukisan/grafis/sketsa atau video di medsos bilamana ada fasilitas “share”, menurutku tanpa minta izin pun boleh namun silakan pula melakukan bila merasa perlu, atau supaya lebih afdol, sebab sudah dibuat fitur “share.” Tetapi jangan copypaste lalu menghilangkan nama penciptanya atau pemotret, yang sering berdalih ecek-ecek: “diambil dari postingan sebelah.”

Apa sih ruginya mencantumkan nama pengarang atau pencipta suatu karya karena toh pemegang hak cipta pun tahu kok itu bukan bermotif komersil, kecuali memang dimanfaatkan “si pengambil” untuk nyari duit?

Bahkan materi-materi yang diambil dari Google atau media Internet pun harus menyebut dari mana sumbernya, lebih elok lagi bila menuliskan pencipta/pemotret karya yang ditampilkan, meski hanya untuk bahan postingan di medsos.

Merepotkan? Kalau begitu jangan gunakan karya orang lain bila tak mau repot sedikit. Tampilkan saja hanya tulisan atau foto karya sendiri, orisinal, agar tak ada urusan dengan orang lain.

Ketahuilah, bila sudi menghormati karya orang lain, sesungguhnya itu menunjukkan kualitas diri sendiri di mata orang lain. Anda akan mendapat respek bila mau menghormati karya orang lain, meski tak disampaikan.

Bagi saya pribadi, karena saya sengaja membuka semua postingan untuk publik dan ada fitur “share,” silakan bila tertarik tanpa harus minta izin. Namun, untuk post hasil karya saya pribadi (esai, teks, foto) jangan dong dihilangkan nama saya. Mbok hargai dikit, waktu dan pulsa (selain pikiran) telah kukorbankan atau bagikan, tak ada pula imbalan materil. Mosok tega sih? Sering pula tak bisa terlihat yang nge-share, sengaja diumpetin.

Tega deh kamyuuu

Wartawan, Jurnalisme, dan Gospel Worldview

Perhatikan kalimat ini: Saya terlatih menjadi jurnalis dan saya juga terlatih menjadi pengikut Kristen sejati. Apakah ini dua hal yang bertolak belakang? Atau dapatkah seorang jurnalis menjadi Kristen yang baik. Sebaliknya, dapatkah seorang Kristen sejati menjadi jurnalis yang baik?

Di Indonesia ada banyak jurnalis Kristen, itu faktanya. Tapi seberapa banyak kekristenan dan terutama Injil mempengaruhi mereka bekerja di dunia jurnalistik umum? Di sisi lain, ada juga kelompok jurnalis dari media-media Kristen. Sudahkah Injil betul-betul mempengaruhi mereka bekerja?

Di Indonesia, jurnalis Kristen dan Katolik biasanya berkumpul dalam forum, seperti Forum Wartawan Kristen atau Forum Wartawan Katolik. Tapi dalam aktivitasnya, forum-forum itu lebih banyak berfungsi sebagai ajang silaturahmi dan pembinaan rohani. Bukan sebagai forum intelektual, bagaimana para jurnalis ini membedah doktrin-doktrin kekristenan secara ilmiah, berdasarkan sudut pandang jurnalisme dan sebagainya.

Maka tulisan ini menjadi upaya saya untuk mencari benang merah antara jurnalis dan Injil. Menemukan jawaban atas pertanyaan bagaimana seorang jurnalis dan dunia jurnalisme memandang Kitab Injil dan apa pengaruh Injil dalam hidup mereka.

Memahami Cara Kerja Jurnalistik

Untuk menjawab pertanyaan pada bagian pendahuluan, saya kira kita harus terlebih dahulu memahami bagaimana seorang jurnalis bekerja. Jurnalis sebagai seorang profesional memiliki aturan dan etika profesional dalam pekerjaannya.

Pada dasarnya, jurnalis sejati atau wartawan sejati bertujuan untuk menyampaikan soal-soal yang rumit dan mengkomunikasikannya dengan cepat menggunakan relatif sedikit kata, supaya lebih sederhana dan mudah dipahami oleh pembaca/publik.

Apa yang dikomunikasikan kepada pembaca sesungguhnya? Servis seorang jurnalis adalah kebenaran. Kebenaran itu berkaitan dengan fakta-fakta. Berdasarkan fakta inilah para jurnalis bekerja.

Kalau dijabarkan lebih mendetail, ada baiknya melihat pedoman kerja wartawan Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Pada pasal 6 yang terdapat dalam bab mengenai Asas, Fungsi, Hak, Kewajiban dan Peranan Pers, disebutkan bahwa wartawan itu berkewajiban:

– memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
– menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan
Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan;

– mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum;

– memperjuangkan keadilan dan kebenaran;

Jadi, wartawan harus bekerja berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Fakta, dalam hal ini adalah: informasi yang tepat, akurat, dan benar. Semua informasi hanya tinggal menjadi informasi sebelum dilakukan check and recheck serta verifikasi. Setelah melewati proses check and recheck dan verifikasi, sebuah informasi berubah menjadi FAKTA.

Fakta, sesuai dengan makna sebenarnya, haruslah dapat dipercaya. Sebab kalau tidak, maka sudah menyalahi hakikatnya. Fakta yang bukan fakta adalah hoax atau informasi palsu.

Tapi sebelum menjadi berita, fakta-fakta harus dipilah-pilah. Sebab, acuan dalam penulisan berita harus memperhatikan variabel penting yaitu angle tulisan dan newsvalue atau nilai berita.

Angle adalah sudut pandang berita, tentang tema utama atau topik utama yang hendak disampaikan melalui berita tersebut. Sedangkan newsvalue adalah nilai berita yang mempengaruhi keterbacaan berita tersebut. Kalau berita tak mengandung salah satu atau beberapa newsvalue, dipastikan berita itu akan rendah tingkat keterbacaannya.

Beberapa newsvalue adalah: proximity (kedekatan), aktualitas (kebaruan berita), magnitude, dan ketokohan dalam berita. Nanti kita akan melihat bagaimana unsur newsvalue ini bisa ditemukan dalam Injil. Tapi sebelumnya, mari kita mengenali keempat Kitab Injil terlebih dahulu.

Memahami Kitab Injil

Ke-66 kitab yang terdapat di dalam Alkitab telah melewati apa yang disebut dengan proses kanonisasi, yaitu proses yang melibatkan pengenalan dan pengakuan akan originalitas dan otoritas ke-66 kitab itu sebagai Firman yang diilhamkan Tuhan.

Perjanjian Lama khususnya pada Alkitab kaum Protestan, mengacu pada Taurat Ibrani yang terdiri 39 kitab. Tak banyak persoalan dalam kanonisasi Perjanjian Lama. Walau denominasi lain, macam Katolik memasukkan beberapa kitab yang disebut deuterocanonical.

Sedangkan untuk Perjanjian Baru, di mana keempat kitab Injil berada, penentuannya telah melewati berbagai pengujian, seperti:

– apostolicity

Apakah ia ditulis oleh seorang rasul atau diotentifikasi oleh seorang rasul?

– universality

Apakah ia dibaca dan diterima secara luas?

– karakter

Memadai secara spiritual, diarahkan pada kesalehan, konten doktrinal mempunyai kesesuaian dengan pengajaran rasul-rasul.

Prosesnya panjang dan memakan waktu cukup lama sebelum akhirnya gereja bersepakat pada kitab-kitab yang ada di dalam Perjanjian Baru saat ini.

Tetapi penyelidikan terhadap kitab-kitab Perjanjian Baru terus berlangsung sampai kini dan telah melahirkan banyak sekali hasil penelitian yang menarik. Salah satu yang relevan untuk saya angkat pada tulisan ini adalah hasil penelitian yang mendapati bahwa keempat Injil memiliki ciri kesusasteraan yang sama, yaitu sebagai buku biografi kuno.

Salah seorang pakar yang meneliti hal itu adalah Michael R. Licona Ph.D, seorang associate professor teologi di Houston Baptist University. Saya mendengar banyak paparannya pada sebuah acara di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Pakar Perjanjian Baru ini memiliki empat alasan saat menyimpulkan bahwa keempat Injil adalah biografi kuno:

Pertama, Biografi biasanya berfokus pada seorang karakter utama, bukan pada era, peristiwa, atau pemerintahan. Dalam hal ini, fokus pada keempat injil adalah sosok Yesus Kristus. Kedua, menggambarkan mengenai silsilah karakter utama, kemudian bergerak cepat untuk menceritakan mengenai kisah si tokoh di tengah publik, dalam hal ini adalah pelayanan Yesus. Ketiga, biografi kuno memiliki panjang 10.000-20.000 kata, supaya cerita cukup ditampung pada satu gulungan. Semua kitab injil begitu panjangnya. Keempat, karakter utama digambarkan melalui kata-kata dan perbuatannya.

Kaitan antara Injil dan Berita

Satu hal yang menarik, kata Injil atau gospel sendiri berasal dari kata evangelion, dari Bahasa Yunani, yang artinya ‘good news’ atau ‘berita baik’.
Injil adalah sebuah berita.

Jelas tak sama dengan berita-berita pada umumnya yang kita baca di media online atau media cetak, atau kita tonton di stasiun TV. Tapi sebagaimana Injil dan kitab-kitab lain menjalani proses kanonisasi, berita pun berproses sebelum menjadi apa yang kita baca atau pirsa.

Kalau melihat prosesnya, pembuatan dan penerbitan berita di media massa juga melewati proses panjang. Segala informasi harus dibedah, diperiksa, dicek dan ricek, untuk diketahui mana yang memang fakta dan mana yang bukan fakta.

Fakta-fakta itu kemudian disaring lagi melalui apa yang disebut ukuran newsvalue, alias nilai berita. Nilai berita akan mempengaruhi apakah fakta-fakta itu menarik untuk dibaca atau tidak. Kalau tidak ada nilai berita, ya tidak akan diterbitkan sebab tidak akan dibaca oleh orang.

Dalam konteks ini, menurut saya Injil adalah berita yang sudah melewati berbagai proses tadi. Injil adalah fakta, bukan fiksi. Meski di dalamnya terkandung muatan fiksi macam perumpamaan-perumpamaan yang diceritakan Yesus Kristus. Tapi itu jelas tak mempengaruhi keabsahan Injil sebagai fakta sejarah, yang merupakan biografi kuno tentang Yesus Kristus.

Kitab Injil dan kitab-kitab lain di Alkitab sudah merupakan hasil verifikasi ketat, untuk memisahkannya dari kitab-kitab yang tak punya unsur yang kuat untuk disebut sebagai Firman yang diilhamkan oleh Allah melalui Roh Kudus.

Dalam dunia jurnalistik, biografi termasuk salah satu produk jurnalisme. Cukup sering media menuliskan biografi tentang tokoh-tokoh yang populer, penting, dan berpengaruh.

Sebab berita semacam itu juga menarik dan inspiratif serta edukatif, sebagaimana arahan pasal 3 UU no 40/1999, bahwa salah satu fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

Dalam penyusunan biografi, selain memperhatikan akurasi, yang terutama adalah bagaimana menampilkan hal-hal penting yang menarik dalam riwayat hidup tokoh yang ditulis. Sebab tak semua riwayat itu menarik dan relevan untuk diceritakan kepada pembaca. Dalam penulisan biografi dengan ruang yang terbatas, jelas harus ada upaya pemilihan editorial, mana fakta atau kisah yang harus diceritakan dan mana yang tidak perlu.

Sama halnya dengan Injil, tak menceritakan keseluruhan riwayat hidup Yesus Kristus, sebab tak dianggap relevan dengan maksud penulisan kitab Injil tersebut. Melainkan para penulis Kitab Injil, dengan bimbingan Roh Kudus, menuliskan hal-hal dalam pelayanan Yesus, baik perkataan dan perbuatan-Nya, yang memiliki relevansi dengan tujuan penulisan kitab tersebut.
Apakah tujuan penulisan Injil dan keseluruhan Alkitab? Bukankah dengan maksud membawa ‘pulang’ anak-anak Adam-Hawa kembali ke Firdaus?

Penulis Kitab Markus misalnya, menceritakan pelayanan Yesus Kristus dengan maksud untuk menunjukkan bahwa Yesus adalah Allah melalui perbuatan dan perkataan-Nya. Begitu juga penulis Kitab Yohanes. Sedang penulis Kitab Matius memberi penekanan pada kemesiasan Yesus. Jadi mereka menyampaikan berbagai fakta mengenai perbuatan dan perkataan Yesus yang akan menopang tujuan mereka masing-masing, dan tentu saja, sesuai dengan maksud Tuhan sendiri dalam penulisan Injil.

Sedangkan aspek newsvalue yang dipenuhi Injil yang paling jelas adalah ketokohan, sesuai dengan kesusasteraannya selaku biografi kuno. Tentang Yesus Kristus ditulis sebagai biografi sebab tokoh ini memang sangat menarik perhatian dan sangat kontroversial pada zaman tersebut dan sampai sekarang. Apa yang diucapkan-Nya dan dilakukannya menarik perhatian luar biasa. Anak tukang kayu dari Nazareth itu disebut Nabi, Guru, Juru Selamat/Mesias, dan Tuhan.

Lebih lanjut, pertanyaannya, bagaimanakah seorang jurnalis memandang kitab Injil?

Bagaimana Jurnalis Memandang Kitab Injil

Sebagai berita, Injil, menurut saya, sudah memenuhi segala syarat sebagai berita yang menarik untuk dibaca dan sangat berpengaruh. Secara umum bagi setiap manusia, yang sudah berdosa dan kehilangan kemuliaan. Dan secara khusus bagi para jurnalis-jurnalis Kristen di luar sana.

Injil dituliskan dan diinspirasikan oleh Tuhan sebagai ‘jalan pulang’ manusia ke Firdaus, tempat seharusnya manusia berada saat diciptakan. Kejatuhan manusia ke dalam dosa telah menyebabkan keterpisahannya dengan Tuhan dan akibatnya adalah kematian.

Tapi Tuhan sudah menyediakan jalan keluar. Karena demikianlah Allah mengasihi isi dunia ini, sehingga dikaruniakan-Nya Anak-Nya yang tunggal itu, supaya barangsiapa yang percaya akan Dia jangan binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).

Tuhan Yesus Kristus sendiri sudah memberitakan: Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku (Yohanes 14:6). Bagi seorang jurnalis Kristen, ia haruslah memandang Kitab Injil sebagai panduan menuju keselamatannya.

Tapi bukan hanya itu. Sebagai profesi yang bisa memberikan pengaruh kepada khalayak, menjadi penting bahwa Injil tak hanya memandu tapi juga sekaligus mempengaruhi bagaimana seorang jurnalis bekerja. Dalam hal ini, bagaimana Injil mempengaruhi bagaimana jurnalis meliput dan menuliskan berita. Sebab apa yang mereka tuliskan akan berdampak pada orang banyak.

Dalam konteks ini, sederhananya adalah bagaimana Injil menjadi worldview seorang jurnalis dan pada akhirnya membentuk perilakunya, mempengaruhi bagaimana dia meliput dan menuliskan beritanya. Dalam pandangan saya, setidaknya ada empat hal yang harusnya terjadi pada diri seorang jurnalis ketika memiliki Gospel worldview:

Hidup yang berpadanan dengan Injil

Filipi 1:27 menuliskan: “Hanya, hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus, supaya, apabila aku datang aku melihat, dan apabila aku tidak datang aku mendengar, bahwa kamu teguh berdiri dalam satu roh, dan sehati sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari Berita Injil.”

Hidup yang berpadanan dengan Injil amat penting. Sebab, sebagai seorang jurnalis Kristen, maka ia harus memiliki kesaksian hidup sesuai dengan apa yang dia percayai, sesuai dengan imannya dan tidak hanya menjadi jurnalis Kristen KTP. Sebab sekelilingnya akan melihat dan menghakimi bagaimana dia hidup. Kesaksian hidup yang benar akan sangat berdampak, tak hanya bagi diri sendiri, tapi juga bagi orang lain.

Tidak menjadi pembenci

Seringkali godaan untuk berpihak muncul saat wartawan menulis berita. Padahal, prinsip jurnalisme adalah keberimbangan dan cover both side. Wartawan harus memberikan ruang yang sama dan berimbang kepada narasumber-narasumbernya, seberapapun dia tak menyukai salah satunya.

Yesus Kristus di Kitab Injil juga mensyaratkan supaya kita tidak menjadi pembenci melainkan mengasihi orang lain seperti diri sendiri (Matius 22:39).

Wartawan juga tidak boleh buru-buru menghakimi dan memberikan penilaian prematur, melainkan harus selalu menimbang baik-baik setiap perkara. Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil (Yohanes 7:24).

Tuliskan kebenaran dan ciptakan perdamaian

Seperti yang disebut pada poin pertama, jurnalisme sejatinya tidak berpihak. Tapi amanat bagi pers adalah untuk menyampaikan kebenaran dan keadilan, seperti termaktub dalam pasal 6 UU Pers. Begitulah juga panggilan sebagai orang Kristen untuk senantiasa berpihak kepada kebenaran dan berusaha menciptakan perdamaian, bukan menimbulkan sensasi dan kontroversi. Tuhan Yesus berkata berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah (Matius 5:9).

Mengedepankan kepentingan orang lain dan tidak mencari pujian sia-sia

Begitulah yang disebutkan dalam Filipi 2:3 “…dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri.”

Banyak wartawan yang berambisi mengejar pujian atau penghargaan, sehingga kadang kala jadi kebablasan dan tak jarang yang rela membuat berita bohong hanya untuk jadi seseorang yang menonjol dibandingkan orang lain. Atau mungkin membuat berita yang benar, hanya tidak memperhatikan etika dan kesopanan. Sekadar mencari sensasi dan kunjungan lebih banyak pembaca ke outlet berita mereka.

Sebagai wartawan Kristen yang hidupnya dipengaruhi Injil, harusnya bersikap rendah hati dan mengutamakan orang lain. Dengan sikap ini, biasanya seorang wartawan akan lebih jernih dalam melihat persoalan yang hendak diliput dan ditulisnya. Keran informasi juga akan terbuka dengan lebar dan ada banyak hal-hal menarik yang bisa digali, kalau seorang wartawan tidak sok tahu atau sombong.

Keadilan yang Tidak Adil?

Keadilan itu Imparsial dan Impersonal.

Rektor UGM ramai dikecam karena sikapnya yang dianggap lunak atas kasus perkosaan mahasiwi oleh mahasiswa di lingkungan kampusnya.

Ternyata memang, sederet gelar akademis yang dimiliki seseorang, tidak berbanding lurus dengan pembentukan sikap intelektual yang seharusnya tegas dan pro keadilan tanpa melihat siapa pelaku dan siapa korban; yang menempatkan persoalan hukum dan moral secara imparsial; tak berpihak karena alasan apapun selain demi keadilan dan kemanusiaan.
Juga di lingkungan lembaga-lembaga agama syarat tersebut seharusnya berlaku.

Agamawan/rohaniawan cabul, tak layak dilindungi karena alasan “bisa membuat malu institusi agama” hingga ditutup-tutupi dan malah menjadikan korban pelecehan seksual korban dua kali! Pelaku tak dihukum, dituduh pula korban “mencemarkan nama baik” pelaku.

Saya tak perlu ungkap di lembaga-lembaga agama apa saja itu terjadi. Pembaca tentulah pernah atau kerap mendengar.
Demi “menjaga nama baik” seringkali kasus perundungan dan kejahatan syahwat lelaki ditutupi, malah korban yang disudutkan. Sangat tak adil. Bayangkan itu terjadi pada dirimu, diriku, pada putra putri atau sanak saudara sendiri. Sangat menyakitkan, bukan?

Jadi, karena tak bisa menerima diperlakukan tak adil, bersikaplah tegas mengenai keadilan dan ketidakadilan. Bila anda ikut mendiamkan kasus-kasus pelecehan seksual pada perempuan, atas nama apapun atau karena dalih apapun, jangan pernah menuntut keadilan dalam pelbagai hal.

Sikap adil itu harus dibangun sejak dini di benak dan jiwa tiap insan, agar patut disebut waras. Ya, manusia waras. Hanya yang tidak waras pikiran dan kejiwaan yang bisa menganggap soal biasa persoalan kekejaman maupun kejahatan.

Jangan pernah toleran atau kompromistis atas kasus keatidakadilan atau kejahatan yang menimpa orang lain karena alasan melindungi/membela korps, sejawat, agama, suku, gender, orientasi seksual, status sosial, atau karena pelaku kerabat atau kawan.

Bersikaplah fair, just, adil, impersonal dan imparsial bila menyangkut keadilan-ketidakadilan.

Mari renungkan: seperti apakah sikap kita menyangkut kasus yang terjadi di UGM dan di berbagai institusi atau lokasi bila terjadi atau menimpa diri atau keluarga sendiri. Sangat pedih dan menyakitkan bila ketidakadilan yang kau alami atau yang kualami disepelekan orang-orang karena pelbagai alasan atau dalih!

Mari Belajar Moderat

Di beberapa WA Grup yang menyertakan saya, cukup ramai dibicarakan soal rencana acara “spiritual” ini, yaitu ratusan paranormal akan berkumpul di Danau Toba. Hal ini dan ditanggapi pro kontra, lebih banyak yang keberatan dan alasan umumnya mereka: bertentangan dengan ajaran agama.

Saya sendiri tidak tertarik ritual semacam namun tak ikut menolak. Saya lebih suka dan telah mencoba melakukan bersama kawan-kawan gerakan kultural atau kesadaran menyayangi Danau Toba dan hutan yang mengitari. Lebih rasional dan tidak mengundang penilaian sinis atau dianggap seperti orang “tak bertuhan.”

Lelah menanggapi tuduhan-tuduhan semacam itu; apalagi masyarakat Batak pun banyak juga yang agamis (tak berarti relijius karena itu beda; relijiusitas seseorang itu lebih terlihat dari perilaku, dan tentulah lebih menyukai kedalaman menjalin hubungan yang agung dengan Tuhan yang dipercaya, bukan dilihat dari keaktifan beribadah atau beragama belaka).

Tetapi, bila pun ritual “membujuk penghuni danau” ini jadi dilaksanakan dan penggagasnya (maaf) bukan seseorang yang kupercaya integritasnya, menurutku biarlah dilakukan.

Argumen saya begini:

– Siapapun tidak berwenang mengintervensi keyakinan orang lain dan bila melsayakan, sama dengan mengatur dan menjajah kepercayaan orang lain; itu bentuk kesombongan dan fasisme kecil-kecilan.

– Siapapun tidak berotoritas memaksa orang lain harus serupa dengan yang diyakininya meski ada ayat-ayat suci dari agama yang menjustifikasi. Belajarlah menghormati kepercayaan orang lain sepanjang tidak mengusik ketenangan orang lain dan tidak merugikan pihak manapun.

– Bila ada yang merasa karena iman atau ajaran agamanya perlu menentang acara sejenis, cukup di lingkungan sendiri (keluarga, anak) dan jangan seperti “polisi agama” merecoki yang diyakini orang lain.

– Bila anda merasa terancam dan tidak suka ulah pihak-pihak yang intoleran dengan mengganggu kebebasan anda atau orang lain beragama atau menganut suatu keyakinan, jangan pula mengikuti mereka karena bertentangan dengan keyakinan yang anda anut atau percayai.

– Belajarlah bersikap moderat dan saling menghormati orang yang tak sama kepercayaan dengan anda karena anda pun akan marah bila diganggu atau dicibir orang yang tak sama kepercayaan dengan anda.

Untuk menunjukkan keimanan atau sikap agamis anda tidak pantas dan melanggar HAM bila melarang orang lain melakukan yang mereka percayai.

– Khotbahilah diri sendiri dan tak ada yang meminta anda mengkhotbahi orang lain; bila kelak anda ikut penghuni sorga dan yang lain tidak, syukurilah dengan rendah hati.

Sekali lagi, saya tidak cocok dengan penggagas atau bentuk acara sejenis ini, namun sebagai orang berpendidikan dan berupaya moderat, mendukung multikulturalisme dan menghormati pluralisme, saya tidak layak mengecam apalagi ikut melarang atas nama iman atau agama yang kuanut.

Bagi saya, marilah lebih menyayangi alam dengan tulus sebagai tanda terimakasih. Horas.