Tag Archives: Kristen

Ia yang Berdaulat dan Pegang Kendali

Beberapa hari ini saya merenungkan peristiwa Ahok. Dalam duka saya merenung dan terus berusaha supaya tidak benci pada yang menjadi aktor-aktor kunci di balik peristiwa ini (saya enggak tahu persisnya siapa) atau yang berteriak-teriak kalau Ahok itu penista agama.

Saya lalu mencoba fokus pada Ahok dan bukan pada para pemain yang memanas-manasi kasus penistaan agama ini. Di penjara tentu beliau merasa kesepian karena jauh dari keluarga, ruang gerak dibatasi, tidur pun konon hanya di dipan.

Lalu saya teringat Rasul Paulus yang dulu juga mengalami pengalaman di penjara di Roma karena memberitakan Firman Tuhan. Dari balik jeruji penjara, justru lahir surat kepada jemaat di Filipi yang menurut saya pribadi sangat powerful terutama dua ayat ini:

Janganlah hendaknya kamu kuatir akan apapun juga, tetapi nyatakanlah keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan memenuhi hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus. (Filipi 4:6-7).

Saya sebenarnya bukan tipe orang yang sedikit-sedikit posting ayat Alkitab, karena suka merasa, posting ayat tapi benar enggak saya sudah melakukan ayat tersebut, takutnya malah jadi omdo alias omong doang, tapi sungguh, hari ini saya merasakan urgensi untuk menuliskan perenungan saya selama beberapa hari ini, semoga sedikit menguatkan kita semua.

Damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan memenuhi hati dan pikiran Ahok dalam Kristus Yesus, dan memenuhi hati kita semua, sepanjang kita percaya, Ia yang berdaulat dan pegang kendali atas segala sesuatunya.

Selamat menyongsong akhir minggu dengan terus berdialog dengan Tuhan, diri sendiri, dan sesama. God bless us, everyone! (Berlaku untuk semua orang, tidak hanya nasrani saja)

“Tuhan Akan Menyelesaikannya Untukku!”

Surat buat Ahok.

Bisa jadi ini surat seperti sebuah ikut-ikutan karena lagi musim surat terbuka. Betul Pak Ahok, saya suka ikut-ikutan.

Kemarin waktu ramai di depan Balai Kota saya ikut-ikutan juga, terus pengen ikut-ikutan nyalain lilin, saya enggak ikut karena jam 9 malam saya sudah mengantuk. Entah kenapa Pak Ahok, beberapa waktu terakhir ini cuma Bapak aja nih yang seliweran di kepala saya. “Kok bisa gini dan kok bisa gitu ya”.

Kemarin waktu dengar soal batal banding, saya cuma melongo makin gagal paham sama cara pikir Bapak. Ini orang bodoh apa kepinteran sih?

Lalu seketika saya jadi lesu dan semangat untuk mengumandangkan “Silent Majority Speak Up!” sirna sudah dengan surat bapak yang dibacakan oleh ibu Vero. Iki piye Pak? Perjuangan belum selesai tapi kok diselesaikan sebelum berjuang, begitu saya pikir.

Paginya istri mengajak berdoa buat Pak Ahok, eh kita berdoa malah nangis. Entah karena sedih apa karena frustasi mau ngapain ya; kayaknya kok gak rela melihat ketidakadilan kayak gini.

Sedih tapi ya damai juga, bahagia melihat ada orang kayak Pak Ahok, dan bukan cuma sebuah bacaan di sebuah kisah alkisah, tapi beneran kejadian. Jadi nangisnya itu campur aduk antara bahagia, kagum, damai dan seketika saya merasa Oh, Tuhan itu beneran ada toh. Ya, karena melihat Pak Ahok itu.

Nah Pak Ahok, pagi ini saya merasa iri luar biasa. Pak Ahok keenakan dipakai Tuhan untuk pekerjaan yang luar biasa, lewat pak Ahok seluruh alam semesta mendengar “Tuhan akan menyelesaikannya untukku!” Mazmur 138:8 menjadi sebuah pujian yang indah banget dan semua menggumamkannya dalam hati.

Setiap orang yang putus harap dan frustasi, sejak kemarin menggumamkan kata iman yang sama “Tuhan akan menyelesaikannya untukku”. Ya ampun, Hok. Baru kali ini jutaan orang seketika menjadi punya iman dan harapan; bahwa Tuhan itu berdaulat dan sedang bekerja untuk menyelesaikan segala perkara kita (apa saja) untuk kebaikan kita.

Lilin langsung saya potek-potek, ini enggak penting. Pak Ahok sudah jadi lilin yang sejati yang mengajarkan teladan, soal menjadi terang dan garam. Saya mah masih cuma bisa nyalain lilin yang artifisial, sama ngutip-ngutip ayat Alkitab sambil merasa udah suci sembari hidung kembang kempis; ujung-ujungnya masih nyari kepuasan diri sendiri dan maksimal sampai ke keluarga biar senang.

Nah, Pak Ahok, you are not comparable to anyone of us ( yang saya kenal ya) makanya saya bilang saya iri setengah mati sama Bapak. Tuhan sepertinya sayang Pak Ahok 100 kali lipat dari pada ke saya.

Karena itu pak Ahok, saya enggak pantas mengucapkan “Stay Strong ya Pak!”. Bapak duluan sudah menunjukkan soal setrong dan lemah itu, saya yang perlu dikasih tahu, “Eh Cok, stay strong ya jangan lemah gitu dong baru juga disenggol Ojek udah sewot”.

Sesungguhnya Bapak sudah bebas, komplit bebas merdeka! Bahkan jeruji besi tidak sanggup memenjarakan sukacita pak Ahok. Pak Ahok, Tuhan bapak luar biasa sayangnya ya.

Pak Ahok, ajarin saya seperti bapak. Saya masih “terpenjara”.

Salam dari Panggang Ucok.

Ucok Gultom.

Penulis adalah pemerhati kesedihan, pecinta kopi yang tak pandai menabung, sekarang berkantor di Panggang Ucok, Jl Otista Raya no 149.

“Semoga Kamu Mendapatkan Hidayah”

Ini dia kalimat yang sering banget sekarang kita baca di media sosial. Sedikit-sedikit, jika perdebatan atau perang posting di akun media sosial makin tinggi tensinya, keluarlah kalimat sakti “semoga kamu mendapatkan hidayah”.

Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, hidayah artinya “petunjuk atau bimbingan dari Tuhan”. Merujuk dari “semoga dapat hidayah”, ini menyiratkan yang mengucapkan duluan sudah dapat hidayah dan lawan bicaranya belum dapat.

Apalagi sekarang, menjelang Pilkada DKI Jakarta, di mana isu Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA) “digoreng-goreng” dengan tujuan memenangkan pasangan calon tertentu yang menjadi peserta kontestan Pilkada.

Perang ide dan gagasan sudah bergeser jadi perang keimanan. Parahnya lagi ini justru SARA ini lebih menentukan daripada program apa yang terbaik dari masing-masing pasangan calon. Sampai Tuhan “diminta-minta” untuk memberikan hidayah ke pihak-pihak tertentu.

Tapi di kehidupan Kristen itu unik. Hidayah enggak bisa kita dapatkan serta-merta meski kita sudah mencari hidayah itu.

Di kekristenan yang terjadi adalah kita mesti PERCAYA dulu, baru kita bisa memperoleh dan merasakan hidayah. Petunjuk dari Tuhan sedahsyat apapun, senyata apapun–misalkan gunung tiba-tiba terbang dan pindah dari sisi kiri ke kanan–tak akan ada gunanya. Yang terjadi malah kita akan sibuk membahas “kenapa gunung itu bisa pindah? Bagaimana analisis tekstur tanahnya? Elevasinya?” dan segala analisis yang njelimet.

Namun, jika kita percaya terlebih dahulu bahwa Yesus mati, lalu hari ketiga Dia bangkit dari antara orang mati, mengalahkan maut dan kegelapan buat menebus dosa manusia, maka segala sesuatu akan menjadi lebih mudah dicerna. Bahkan hidayah sekecil apapun kadarnya, kita langsung bisa mensyukurinya.

1 Kor 15:17: Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu.

Menjadi Kristen memang tidak seperti yang biasa kita alami di kehidupan sehari-hari, dimana kita biasanya merasakan terlebih dahulu baru percaya.

Tunggu sampai kita sendiri yang di Danau Toba, baru kita yakin dan benar-benar percaya bahwa pemandangan Danau Toba memang indah, kalau enggak bisa juga kita hanya bilang “aaah ini permainan sudut pandang kamera saja”, “jangan-jangan sebenarnya nggak indah-indah amat”, “ini cuma karena dioprek-oprek di software foto,” dst.

Paling parah, saking siriknya dengan kehebatan seseorang mencapai sesuatu dan kita enggak percaya atas apa yang dicapai, lalu kita langsung memberi stempel “HOAX!”

Nah di kekristenan semua serba terbalik jadinya, kan. Hancurkan dulu ego, singkirkan perasaan penuh analitis dan dialektika, percayai sepenuhnya bahwa Kristus mati dan bangkit buat menebus dosa manusia, setelah itu barulah hidayah itu mendapat jalannya. Baru setelah itu, hidayah bisa kita rasakan.

Dan Paskah di tahun 2017 ini terasa pas, setelah kita merayakan kebangkitan Yesus Kristus dalam ibadah subuh penuh khidmat, bolehlah kita mengucapkan dengan takzim:

“Semoga kalian semua mendapatkan hidayah”.

 

Foto: pixabay.com

Betapa Simpel Ia Beragama

Misalkan ibuku masih ada, bila ditanya apa arti atau makna pohon natal dengan lampu-lampu kelap-kelip, gambar Santa Claus, lonceng mungil, bintang-bintang kertas dan pernak-pernik lain, aku yakin dia akan menggeleng dan sama sekali tak melihat korelasinya dengan keimanannya.

Dugaanku, dia akan mengatakan gambar atau wajah Santa Claus itu hanya “mikki-mikki” (kartun lucu) dan aksesoris natal lainnya hanya “gaba-gaba” atau “mire-mire” yang disukai orang-orang modern (terutama penganut Kristen). Tetapi, kuyakin pula, dia akan mengaku suka melihat aksesoris natal itu karena meriah, ada lampu-lampu kecil yang “bisa nyanyi” mengikuti kelap-kelip cahaya lampu.

Lalu, bila diminta kesannya, cukup menjawab seperti celetukan khasnya menanggapi perubahan zaman dan kemajuan sains-teknologi:  “Malo-maloni halak nuaeng, aha pe boi dibahen laho mambuat hepeng jala sonang rohani namanuhor.” (Pintarnya orang-orang sekarang, apapun bisa dilakukan untuk meraup uang dan yang membeli pun merasa senang).

Ibuku memang produk zaman yang masih terbelakang, bahkan tak bisa membaca Bible dan kidung pujian, namun rajin berdoa dalam Bahasa Batak.

Ia tak mengenal Allah, melainkan Debata Jahowa, dan meyakini Jesus Kristus anak spiritual Jahowa yg menyelamatkannya. Tetapi, seingatku, dia tak getol menyebut-nyebut “Debata,” “Jahowa,” atau “Tuhan,” walau kebiasaannya bersenandung dengan nada lirih nyanyian-nyanyian gerejani dari Buku Ende; saat menjahit-menambal pakaian, menyulam, membersihkan kamarnya, juga bila penyakitnya kambuh atau merasa  sedih dan kangen pada anak-anaknya yang jauh di perantauan. Ia memiliki beberapa kidung favorit dan dia minta kami nyanyikan saat kepergiannya menghadap Jahowa yang diyakininya.

Tetapi, dalam sehari-hari, yang dia tekankan pada anak-anak dan cucunya: agar menjadi ‘anakni raja, boruni raja,’ suatu tuntutan perilaku yang dianggap sopan, santun, etis, yang berasal dari norma-norma sosial turunan adat-istiadat Batak Samosir. (Dulu kami tak pernah menyebut diri kami: Batak Toba, melainkan “par Samosir”). Tak pernah dia berkata supaya kami jadi “anak Tuhan.” Barangkali, itu tuntutan yang kelewat berat menurut pikirannya yang sederhana.

Sebagaimana bapak, ia pun tidak pernah secara khusus meminta kami belajar agama, walau sebelum makan dan sebelum tidur, diingatkan supaya berdoa dan  selalu berdoa setiap bangun tidur, di kamarnya, tetapi tak kedengaran suaranya–sementara bapak seorang pembaca Bibel dan juga ikut koor bapak-bapak “Parari Sabtu.”

Ia terbilang rajin berkebaktian di gereja, meski sedang sakit; kadang minta diboncengkan tetangga yang punya sepeda motor. Selama kebaktian,  ia  tekun mendengar kotbah dan mengingat bagian-bagian inti yang menjadi pesan kotbah, biasanya ia bincangkan saat di rumah dan belakangan ini jadi teringatku kebiasaannya tersebut. Juga amat hormat pada pendeta, voorhanger, sintua, biblevroow. Namun, seingatku, ia begitu santai beragama.

Dan, yang ditekankan pada kami anak-anaknya, itu tadi: jangan berperilaku macam hatoban (budak, manusia bermoral rendah), tahu berterimakasih, unang manusai (jangan bikin susah), unang pailahon (jangan bikin malu), unang manguhumi halak pardosa (jangan menghakimi orang dengan mengatakan pendosa), haholongi donganmu jolma (sayangilah manusia).

Ia tak bisa membaca Bible, hanya mendengar kotbah pendeta atau voorhanger atau sintua atau biblevroow, selanjutnya dia renungkan di pikirannya yang amat simpel. Amat sederhana, tak memerlukan kajian, tafsir, dan mazhab.

Telah lama aku “memikirkan” caranya berkeyakinan, memaknai caranya berhubungan dengan Debata Jahowa. Sang Khalik langit dan bumi yang diyakininya–dan aku masih kerap bergumul mengenai pelbagai hal yang kadang menggugat: mengapa dunia dibiarkannya dipenuhi kuasa jahat dan derita.

Maria: Dapatkah Seorang Lewi menjadi Ibu Mesias?

Bukanlah hal yang aneh bahwa status Yesus Kristus sebagai Mesias kerap kali dipertanyakan—suatu hal yang sudah terjadi bahkan sejak hari-hari pertama pelayanan-Nya. Sayangnya, bahkan masalah kemesiasan Yesus sendiri sering kali, baik dari segi konteks asal-usul jasmaniah-Nya maupun arti kemesiasan itu sendiri, tidak diketahui oleh banyak orang yang menyebut diri sebagai orang Kristen!

Lazimnya, dari segi silsilah keturunan, orang Kristen hanya mengenal sosok Mesias sebagai Anak Daud: mengimani serta mengamini bahwa Yesus adalah keturunan Daud, pendiri Kerajaan Israel yang baru—sebuah Israel Surgawi.

Dasarnya sederhana saja: cukup merujuk Matius 1:1–16 dan Lukas 3:23–38. Keduanya jelas menunjukkan Daud dalam daftar silsilah Yesus.

Namun, yang sering kali dipermasalahkan para penggugat iman Kristen adalah kedua silsilah tersebut berakhir pada diri Yusuf, suami Maria. Padahal, demikian argumentasi mereka, sebagaimana dikatakan oleh Perjanjian Baru sendiri, Yusuf bukanlah ayah biologis Yesus.

Karena Yesus hanya anak angkat Yusuf, maka darah Daud tidak mengalir dalam darah-Nya. Jadi, menurut logika mereka, klaim Mesias sebagai Anak Daud tidak sah dan tidak dapat diterapkan pada diri Yesus.

Gereja sebenarnya telah menjawab pertanyaan seperti ini sejak awal, dengan menegaskan bahwa Maria pun adalah seorang keturunan Daud. Namun, dari mana sumbernya? Ada sementara orang Kristen yang menjawab bahwa karena kedua daftar silsilah Yesus dalam kitab Matius dan Lukas berlainan dalam merujuk keturunan Daud.

Matius merujuk anak Daud yang bernama Salomo sebagai awal cabang silsilah Daud-Nya sedangkan Lukas merujuk nama Natan sebagai cabang silsilah Daud Yesus, maka hal itu berarti bahwa sebenarnya hanya salah satu di antara kedua pohon silsilah itu yang merupakan pohon silsilah Yusuf sementara yang lainnya menunjukkan pohon silsilah Daud dari pihak Maria.

Tradisi Gereja sendiri, yang diwakili oleh kitab apokrifa Proto-Evangelium Yakobus, memberikan sebuah penjelasan lain mengenai silsilah Daud yang dimiliki oleh Maria. Tidak seperti keempat Injil, kitab ini bahkan mencantumkan nama orangtua Maria, yaitu Yoyakhim dan Anna.

Yoyakhim disebutkan sebagai seorang Yehuda kaya keturunan Daud sementara Anna sebagai seorang Lewi. Dari sini, akar Yehuda Maria disingkapkan sementara akar Lewinya semakin ditegaskan, sesuatu yang sebelumnya disebutkan secara tersirat mengenai hubungan darah antara Maria dengan Elisabet, istri Imam Zakaria dan ibunda Yohanes Pembaptis, dalam Lukas 1 ayat 36 dan seterusnya. Demikian pula dengan akar Yehudanya.

Jadi, jelas bahwa Maria memiliki darah Yehuda sekaligus Lewi. Masalahnya, bagaimana gelar kemesiasan dapat diterapkan kepada Yesus Kristus berdasarkan garis silsilah Maria ini? Jawabannya harus dilihat dari kacamata ajaran dan adat-istiadat Yahudi, budaya di mana Yesus dilahirkan dan hidup.

Orang Yahudi memiliki pemikiran yang menarik mengenai siapa orang yang disebut sebagai Yahudi. Secara garis darah, orang Israel selalu menekankan garis patrilineal. Karena itu, dalam Alkitab, ketika merujuk garis silsilahnya, hanya kaum prialah yang disebutkan namanya. Setiap orang Yehuda tulen otomatis tidak diragukan keyahudiannya.

Namun, ketika pernikahan campuran semakin lazim terjadi di tengah bangsa Yahudi (Judah/Yehuda), sebuah kodifikasi keagamaan disusun untuk menetapkan siapa yang disebut sebagai orang Yahudi dari hasil percampuran bangsa itu.

Kitab Ezra, yang dibuat beberapa abad sebelum kelahiran Yesus, menetapkan bahwa seseorang yang berasal dari orangtua campuran otomatis dianggap sebagai seorang Yahudi apabila ibunya seorang Yahudi. Sebaliknya, apabila ibunya seorang non-Yahudi, anak-anaknya tidak otomatis dianggap sebagai keturunan Yahudi. Kecuali jika mereka memeluk agama Yahudi (Judaism/Yudaisme).

Baik orang Yehuda maupun Lewi secara agama sebenarnya sama-sama disebut Yahudi dalam konteks bahwa mereka adalah keturunan Israel yang menganut Yudaisme. Adapun Yudaisme sendiri mengikat mereka dalam kepercayaan terhadap Tanakh (Taurat, Kitab Para Nabi, dan Tulisan Suci)—disebut Perjanjian Lama oleh orang Kristen.

Sebutan orang Yahudi juga mencakup suku-suku Israel lainnya (contohnya Paulus, seorang suku Benyamin) maupun orang bukan keturunan Israel jika mereka memeluk Yudaisme, yang disimbolkan oleh kepercayaannya terhadap Tanakh.

Sebagai catatan, di masa Yesus, dan sampai zaman kini, ada pula orang keturunan Israel yang tetap setia kepada Taurat tetapi tidak mengakui kitab para nabi dan tulisan suci setelah Taurat sebagaimana yang dilakukan orang Yahudi. Mereka ini dikenal dengan nama orang Samaria.

Dari sini jelas bahwa apakah Maria bisa disebut sebagai orang Yahudi atau tidak sudah terjawab. Dari segi darah dan iman, jelas Maria adalah orang Yahudi (baik sebagai penganut Yudaisme sekaligus berdarah Yehuda, asal dari suku Raja Daud). Jadi, gelar kemesiasan untuk Yesus, baik dari segi darah maupun keagamaan, bahkan sekalipun lewat silsilah Maria, tetaplah sah menurut hukum Yahudi.

Berkaitan dengan gelar Mesias untuk Yesus dan kaitan-Nya dengan silsilah keturunan-Nya, ada suatu hal yang terlupakan oleh kebanyakan orang Kristen dan tidak banyak diketahui oleh orang non-Kristen.

Pada masa Yesus, orang Yahudi bukan hanya mengharapkan seorang Mesias, tetapi memiliki suatu pemahaman mesianisme yang berpegang pada dua oknum mesianis, yakni sosok keturunan Daud yang menjadi mesias politis (raja), yang akan membebaskan bangsa Yahudi dari penjajahan Romawi dan membangun sebuah kerajaan Israel yang baru. Kemudian, sosok keturunan Harun dan Lewi yang menjadi mesias keimaman/nabi, yang akan membimbing kehidupan rohani bangsa Israel.

Dengan demikian, dari segi keturunan jasmaniah saja, belum lagi pengajaran dan keberadaan-Nya, Yesus Kristus memiliki dua kualitas Mesias yang memang dinantikan oleh orang Yahudi: sebagai seorang Yehuda (dari garis ayah Maria maupun Yusuf, ayah angkat-Nya) Dia berhak atas takhta Daud dan sebagai seorang Lewi (dari garis keturunan ibunda Maria) Dia berhak atas gelar imam besar.

Triplex munus Jesu Christi. Peranan yang dijabarkan panjang-lebar dalam Surat Ibrani 7–10 ini merupakan pengakuan iman kristiani bahwa Yesus telah menjalankan ketiga tugas kemesiasan-Nya sebagaimana tuntutan Perjanjian Lama: tugas kenabian (Ulangan 18:14–22), tugas keimaman (Mazmur 110:1–4), dan tugas kerajaan (Mazmur 2).

Itulah sebabnya Perjanjian Baru, yang diimani Gereja, menyebut Yesus Kristus dengan gelar “Nabi, Raja, Imam.”

 

Nino Oktorino

Penulis adalah pemerhati sejarah

 

Foto: Pixabay

Surat Terbuka Guru Besar Teologia kepada Komisi Fatwa MUI

Yang terhormat:

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Jalan Proklamasi 51, Jakarta Pusat 10320

Salam sejahtera dan dengan hormat,

Sehubungan dengan terbitnya Fatwa MUI nomor 56 Tahun 2016 tertanggal 14 Desember 2016, tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim, perkenankanlah saya menyampaikan beberapa catatan dan pertanyaan berikut:

1. Di dalam judul dan butir-butir keputusan fatwa tersebut tidak secara eksplisit dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah Non-Muslim adalah umat atau pemeluk agama Kristen (=Nasrani). Namun dari latar belakang dan konteks terbitnya fatwa ini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan istilah itu adalah umat Kristen.

2. Di dalam fatwa tersebut tidak secara rinci disebut apa-apa saja yang dimaksud dengan atribut ataupun simbol keagamaan non-muslim yang dinyatakan haram, kendati pada Keputusan, butir Ketentuan Umum, dinyatakan bahwa “dalam Fatwa ini yang dimaksud dengan atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.”

3. Kendati tidak disebut secara rinci, namun dapat diduga bahwa yang dimaksud adalah pernik-pernik hiasan yang digunakan banyak orang untuk merayakan Hari Natal, misalnya: pohon terang dengan berbagai hiasannya, bintang, lonceng, topi sinterklas, topi bertanduk rusa, kereta salju, lilin, dsb.

4. Sampai sekarang gereja Kristen (yang terdiri dari berbagai aliran dan organisasi) belum pernah membuat konsensus tentang atribut-atribut, simbol-simbol, atau hiasan-hiasan itu. Bahkan ada juga gereja yang tidak merayakan hari Natal dan tidak menggunakan simbol salib.

Atribut-atribut, simbol-simbol, atau hiasan-hiasan itu muncul dari tradisi sebagian gereja, terutama yang di Barat (Eropa dan Amerika), yang kemudian disebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.

5. Produksi, penyebaran, dan perdagangan benda-benda itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan iman Kristen, termasuk iman kepada Yesus Kristus, yang diimani umat Kristen sebagai Tuhan Allah yang menjelma menjadi manusia, serta sebagai Tuhan dan Juruselamat dunia.

Penyebaran, produksi, dan perdagangan benda-benda itu lebih dimotivasi oleh hasrat untuk mendapat keuntungan material; itulah sebabnya orang-orang yang terlibat di dalam aktivitas itu berasal dari berbagai penganut agama. Bahkan boleh jadi orang yang tak beragama pun ikut memproduksi dan memperdagangkannya.

Karena itu saya tidak mempersoalkan atau berkeberatan kalau Komisi Fatwa MUI menyatakan bahwa menggunakan, memproduksi, menyebarkan, dan memperdagangkan benda-benda atau atribut-itu adalah haram.

6. Di dalam fatwa itu, pada bagian konsiderans (Mengingat dan Memperhatikan), berulang kali dikutip ayat Kitab Suci Al Qur’an, Hadits Nabi Muhammad/Rasulullah SAW, dan pendapat sejumlah tokoh Islam, yang pada pokoknya menyatakan bahwa orang-orang non-muslim itu adalah kafir.

Perkenankan saya bertanya: apa/siapa yang dimaksud oleh Komisi Fatwa MUI dengan kafir? Apakah semua orang non-muslim adalah kafir, termasuk umat Kristen? Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memang dikatakan bahwa kafir adalah “orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya”. Bila inilah pengertiannya maka lebih dari 5 milyar penduduk dunia adalah kafir.

7. Sepengetahuan saya, Nabi Muhammad SAW bergaul dengan akrab dan bersahabat dengan banyak orang Kristen (Nasrani) dan tidak pernah menyebut mereka kafir. Di dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang dikutip pada konsiderans Fatwa MUI ini pun tidak ada hadits Nabi yang menyebut orang Kristen sebagai kafir.

8. Karena itu, bila Komisi Fatwa MUI, sehubungan dengan atribut keagamaan non-muslim, menyebut umat Kristen sebagai kafir, perlulah Komisi Fatwa MUI memberi penjelasan dan mengemukakan argumen yang kuat. Saya bersedia diundang untuk mendiskusikan hal ini dalam suasana persahabatan dan persaudaraan.

9. Dengan itu pula saya mengimbau Komisi Fatwa MUI agar tidak menerbitkan fatwa yang bisa ikut menambah panas suasana dan suhu kehidupan di negeri kita ini, sebaliknya menyampaikan fatwa ataupun pendapat yang mendatangkan kesejukan.

Izinkanlah umat Kristen di Indonesia merayakan hari Natal (kelahiran) Yesus Kristus, yang kami yakini sebagai Tuhan dan Juruselamat dunia, dalam suasana tenteram dan sejahtera.

Salam hormat teriring doa,
Pdt. Prof. Jan S. Aritonang, Ph.D.
Guru Besar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Jalan Proklamasi 27 Jakarta Pusat 10320

Catatan: Tulisan ini dibagikan atas seizin penulis.

Foto: pixabay

 

 

Awal Mula Christmas Carol, dari Nyanyian Malaikat hingga Tradisi Pagan di Eropa

Tahukah kamu Christmas Carol paling pertama dilakukan itu kapan?

“Dan tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah, katanya: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.” Lukas 2:13-14

Itulah dia Christmas Carol paling pertama. Kelahiran Yesus ditandai dan dirayakan pertama kali dengan puji-pijian sorgawi, di mana malaikat dan bala tentara sorga bernyanyi. Jemaat Kristen mula-mula pada abad pertama melanjutkan tradisi para malaikat, yaitu membawakan puji-pujian sukacita dari rumah penduduk satu ke rumah penduduk lain.

Sampai saat ini, kekristenan di seluruh dunia masih menjalani tradisi ini, pergi dari pintu ke pintu untuk menyanyikan lagu-lagu sukacita Natal.

Sejarah mencatat, pada tahun 129 Masehi, puji-pujian yang dinyanyikan dari pintu ke pintu ini ditulis dalam bahasa Latin dan berbentuk himne, belum berupa Carol yang artinya adalah lagu-lagu kegembiraan.

Jadi Christmas Carol sendiri artinya? Secara ringkas arti sesungguhnya lagu-lagu kegembiraan tentang kelahiran Yesus Kristus dan dinyanyikan pada masa perayaan Natal atau dalam tradisi barat disebut Noel. Noel adalah masa perayaan Natal yang mengambil kurun waktu 24 Desember-6 Januari.

Bentuk paduan suara dalam Christmas Carol sebenarnya adaptasi dari kebiasaan menyanyi di Eropa ribuan tahun lalu. Saat kekristenan belum tumbuh di Eropa, tradisi pagan telah melahirkan gaya menyanyi model paduan suara, namun orang-orang menyanyikannya dengan mengelilingi sebuah batu di lapangan luas pada musim dingin.

Berdasarkan tradisi lahirnya Christmas Carol mula-mula, lagu-lagu kegembiraan Natal atau Carol ini memang tidak untuk dinyanyikan di gereja, namun di rumah-rumah. Para penyanyi yang berkeliling dari pintu ke pintu membawakan Carol dan lama-kelamaan lagu-lagu himne Latin pun tergeser sehingga wujudnya seperti Christmas Carol sekarang dan kebiasaan ini tersebar ke seluruh dunia.

Uniknya lagi, sebelum lagu-lagu kegembiraan Natal atau Carol menjadi populer, para penyanyi yang bernyanyi pintu ke pintu ini disebut kelompok penyanyi “Waits”. Mereka disebut demikian karena mereka hanya bernyanyi pada malam Natal, sambil “menunggu” Hari Natal tiba.

Para penyanyi Carol mula-mula ini mengaggap diri mereka seperti para gembala di malam hari yang menyaksikan malaikat menampakkan diri dan memuji-muji tentang kelahiran Bayi Yesus.

Inilah sekelumit sejarah mula-mula Christmas Carol. Saat ini, Christmas Carol masih terus dijalankan umat kristiani, dan berkembang menjadi pembawa sukacita saat ada jemaat gereja yang membutuhkan penghiburan di rumah-rumah, contohnya karena ada jemaat yang sakit atau jemaat yang sedang berduka.

Sumber: boldsky.com

Foto: Pixabay

Merayakan Natal Jangan Parsial

Natal baru akan diperingati pada 25 Desember, tapi suasananya sudah terasa sejak akhir November ini di mana-mana.

Dan suasana Natal yang khas dan itu-itu saja saban tahun adalah suasana gembira mengarah hura-hura, pesta, hadiah, baju baru, pohon terang, Santa Claus, lagu-lagu Natal dan sebagainya.

Dari kecil juga saya larut dalam suasana seperti itu kok. Saya senang sekali kalau Natal tiba. Banyak kue, baju baru, pohon terang, orang-orang saling berkunjung, lagu Natal, acara-acara gerejawi, maupun natalan di komunitas.

Tapi di mana Yesusnya? Kalaupun membicarakan Yesus, cukup berhenti pada Yesus sebagai bayi saja.

Sudah lama saya menyadari bahwa jarang sekali yang memaketkan Natal dengan Paskah. Kotbah Bang Alex Nanlohy di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, pada Jumat pekan lalu, kembali menyegarkan kesadaran itu.

Bisa jadi karena jaraknya di kalender yang berjauhan juga. Atau, jangan-jangan kita ini memang cenderung ingin senang-senangnya saja dan itu dimanfaatkan dunia.

Apa hubungannya Natal dan Paskah? Iyalah ada hubungannya. Natal ada hubungannya dengan DOSA. Yesus lahir hanya untuk kemudian menuju bukit Golgota untuk menebus DOSA kita.

“Hadiah Natal sejati bukanlah yang bertumpuk di bawah pohon (terang), tapi yang tergantung di kayu salib,” kata Bang Alex.

Syair lagu berikut ini mungkin menarik untuk direnungkan:

Waktu kecil kita merindukan Natal
Hadiah yang indah dan menawan
Namun tak menyadari seorang bayi tlah lahir
Bawa keselamatan ‘tuk manusia

Waktu pun berlalu dan kita pun tahu
Anugerah yang ajaib dari Bapa
yang relakan AnakNya disiksa dan disalibkan
di bukit Kalvari kar’na kasih

Karena kita Dia menderita
Karena kita Dia disalibkan
Agar dunia yang hilang diselamatkan
Dari hukuman kekal

***

Tak apa kalau saat kecil kita tumbuh dengan pemahaman yang keliru. Belum terlambat untuk memiliki kesadaran yang baru.

Yes! Memikirkan Natal sekaligus harus memikirkan karya Tuhan sebagai satu kesatuan yang utuh. Jangan sepotong-potong. Jangan hanya mau senang-senangnya, tapi tak mau merasakan sakitNya.

Merasakan sakitNya pun bukanlah akhir (jangan kau kuatir itu). Ada kebangkitan dari kematian, yang mendatangkan pengharapan dan sukacita yang sejati.

Lalu dari kebangkitan, ada kenaikan ke surga yang memberikan kepastian akan tempat kita di sana. Dari kebangkitan, ada karya Roh Kudus yang mendampingi orang percaya sampai Yesus datang kembali kedua kali.

Beriman Kristen tak bisa parsial. Sebab yang parsial itu berbahaya.

Berpotensi dimanfaatkan industri untuk meraup keuntungan ekonomis dari kecenderungan kita menyukai hura-hura. Berpotensi melumpuhkan iman, kalau hanya berhenti pada penderitaan belaka.

===

Foto: Pixabay/Devanat

Pesta Bom pada Suasana Natal di Kakas, Minahasa 1941

Desa Talikuran, Kecamatan Kakas, 26 Desember 1941. Halaman muka gereja desa Talikuran, yang terletak di Kecamatan Kakas, Minahasa, sejak pagi-pagi sekali sudah penuh dengan anak-anak yang asyik bermain-main.

Mereka semua tengah menunggu dibukanya acara kebaktian Hari Kedua Natal yang tepat jatuh pada hari Jumat itu. Sementara di ruang dalam gereja, Pendeta Wim Wagay bersama koster (penjaga gereja) sibuk baku atur persiapan-persiapan kebaktian kudus yang dimulai pukul 08.00 pagi.

Menurut rencana, pada pagi hari itu, Pendeta Wagay akan membaptis lima puluh anak-anak muda, termasuk di antaranya seorang lekaki dewasa. Yang terakhir ini adalah Kepala Pengawas Listrik Kecamatan, Ir.Soedarjono. Pemuda Jawa ini akan di baptis, berhubung tak lama lagi bakal menikah dengan seorang gadis asal desa Talikuran, Tine Sumaiku.

Sebagai desa yang terletak di jantung wilayah Minahasa yang penduduknya mayoritas penganut Kristus, sudah barang tentu suasana Natal sangatlah semarak dan penuh pesta pora.

Lagu-lagu Natal bergema semalaman tanpa istirahat di tiap lorong dan relung kampung desa. Dan sampai pagi itupun, lagu-lagu pujian masih terbawa juga oleh kanak-kanak yang riuh di depan gereja.

Suara-suara mereka berbaur di dalam nada-nada yang berbeda, mereka nyanyikan lagu-lagu: Malam Kudus, Damai di Bumi, Yesus telah Lahir, dan lain-lainnya, dan tidak beraturan.

Tetapi apa yang terjadi kemudian? Gema suara yang menggembirakan itu tiba-tiba tersirap oleh suara-suara lain yang sebelumnya belum pernah mereka kenal. Semua mata terdongak ke angkasa raya dari mana sumber suara asing itu meraung-raung.

Maka terlihatlah di udara pada ketinggian tertentu semacam “burung-burung besi” yang membentuk formasi yang mencengangkan. Tampak sangat jelas di atas desa, para “burung besi” memecah dan menukik ke bawah seraya menyemburkan suara-suara ledakan merentet berkesinambungan.

Benda-benda itu sambil memain-mainkan keluasan udara dalam jarak rendah memuntahkan mesiu laksana siraman api yang meledak-ledak memekakan telinga. Baru sadar sekarang, bahwa benda-benda itu tak lain tak bukan adalah pesawat-pesawat tempur jenis “Zero” milik bala Tentara Dai Nippon.

Sasaran-sasaran mereka mengarah tepat di landasan militer Kalawiran, dan juga Pangkalan Udara Tasuka, yang terletak di tepi Danau Tondano.

Sebuah pesawat air jenis “Sikorski” milik KNILM (Koninklijk Nederlandsche Indisch Luchtvaart Maatschappij) yang tengah mengisi bahan bakar menjadi sasaran pertama, seketika itu juga meledak berkeping.

Tak terkecuali juga pesawat air yang lain milik Angkatan Laut Hindia-Belanda jenis “Dornier” yang sedang menanti giliran memperoleh bahan bakar, walaupun sudah berusaha menghalau “tamu-tamu” yang terdiri dari enam pesawat tempur dengan mitraliur ukuran 20 mm, namun agaknya sia-sia belaka.

Sersan No’e dan beberapa rekannya dari Angkatan Laut Hindia-Belanda memang sudah bekerja keras berusaha menyingkirkan pesawat pesawat Jepang itu. Tetapi nasib buruk tetap tak bisa dibendung, karena berondongan peluru dari udara lebih tangkas berperang.

Akibatnya, selain sang “Sikorski”, empat “Dornier” pun menjadi berantakan dalam tempo pendek dan lumat pelan-pelan ditelan air Danau Tondano.

Bom-bom bakar musuh yang menghujani sekitar lapangan terbang Tasuka mengakibatkan mandi darah yang dahsyat bagi anak-anak muda yang pada Malam Natal masih menyanyi lagu-lagu kelahiran kelahiran Kristus.

Seorang Kapten pilot KNILM yang berhasil melompat saat pesawatnya jatuh merenangi Danau Tondano melihat anggota-anggota KNIL di semak-semak yang tidak bergerak sedikit pun dan kembali dengan perahu ke pesawat untuk mengamankan sebanyak mungkin korban yang luka berat. Seorang diri dia berhasil membawa beberapa beberapa orang ke daratan.

Ketika dengan sangat letih sampai di dermaga dengan angkutannya terakhir, dia melihat seorang opsir berpakaian rapih, lengkap dengan tanda-tanda jasa, muncul dari rerumputan yang tinggi.

Si penerbang itu, perwira R, gemetar gemas karena amarah hingga ia berteriak: “Lakukan sesuatu! Tolong orang-orang ini.” Tetapi ia memperoleh jawaban dari opsir ini: “Maaf, tetapi saya tak boleh memberitahu posisi saya sebelum menyerang…”

Keadaan menakutkan yang hadir begitu tiba-tiba itu, menerbitkan kepanikan yang amat sangat bagi penduduk di desa-desa yang mengelilingi kedua lapangan terbang di wilayah Minahasa itu.

Acara suci gereja yang sedianya diusahakan dengan penuh kedamaian, menjelma dengan hiruk pikuk kekacauan. Wanita-wanita berteriak histeris mencari anak-anak mereka, demikian juga tangisan anak anak terdengar melengking-lengking memanggil ibu-ibunya. Masih disebut untung, karena pesawat-pesawat tempur sama sekali tidak mengarahkan sasaran bom-bomnya di pekarangan gereja di desa itu.

Arkian, setelah melakukan penyerangan sekitar tiga puluh menit, pesawat-pesawat tempur itu menghilang di balik pegunungan Lembean. Acara kebaktian batal.

Penduduk sibuk berkemas mengungsi ke kebun-kebun di luar desa, yang dianggap aman oleh mereka. Gerobak-gerobak kayu yang ditarik sapi atau kuda, dan sarat oleh perabotan rumah tangga tampak memenuhi jalan-jalan desa.

Pendeta Wagay pun telah berada di rumahnya. Ia berusaha membujuk puteranya, Johny yang belum berhenti menangis karena saking ketakutannya pada suara-suara ledakan memekakan telinga beberapa selang.

Begitu Johny Wagay berhenti menangis dan sudah terbujuk, Wim Wagay keluar rumah, ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi. Di luar rumahnya terlihat sebuah sepeda yang ditinggalkan pemiliknya. Tanpa pikir panjang, dikayuhnya sepeda itu dan langsung ke arah Tasuka yang letaknya sekitar 3 kilometer dari desa Talikuran.

Ketika itu, pintu masuk Tasuka dijaga oleh Sersan Daniel Timbongol, seorang prajurit pensiunan KNIL yang tergabung dalam korps cadangan. Ia bertugas jaga ketika serangan mendadak itu terjadi.

Begitu dari kejauhan ia melihat Pendeta Wagay datang dengan sepeda, seolah mendapat semangat, Timbongol memanggil rekan-rekan yang dalam suasana siaga bercampur panik.

Merekapun berkumpul mengelilingi Wagay saling memperbincangkan peristiwa yang baru saja terjadi. Sementara mereka saling berembuk, tiba-tiba terdengar lagi raungan suara mesin pesawat tempur.

Pesawat Jepang ternyata kembali lagi. Semuanya berlari berpencar mencari tempat lindung. Ledakan suara keras, seraya terlihat drum-drum minyak beterbangan di udara. Yang menjadi sasaran pesawat penyerang kali ini adalah gudang-gudang logistik bahan bakar.

Mereka hancurkan dengan hujan tembakan mitraliur dan bom. Sungguhpun pesawat itu dihalau juga dengan mitraliur, tetapi kiranya penerbang Nippon cukup lincah menghindar dari peluru-peluru dan langsung menghilang dibalik bukit-bukit.

Penyerangan hari itu berlangsung cukup singkat, tetapi berhasil menghancurkan sebagian dari kekuatan udara pemerintah Hindia-Belanda di wilayah Utara Sulawesi yang menjadi pintu gerbang belahan utara gugusan kepulauan Zamrut Khatulistiwa.

Dengan gebrakan singkat itu berarti invasi pihak Dai Nippon ke Selatan menjadi kenyataan. Pusat militer Hindia-Belanda yang berpusat di Bandung dalam waktu cepat menerima laporan mengenai bobolnya pertahanan di wilayah itu.

Sejak penyerbuan Jepang di Pearl Harbor pada tanggal 7 Desember 1941, usaha invasi berjalan begitu singkat untuk mengadakan perembesan ke wilayah selatan Asia-Timur.

Kekuatan-kekuatan koloni Amerika di Filipina, Prancis di Indo Cina, Inggris di Semenanjung Malaya dan Belanda di Indonesia tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari masing-masing pemerintah pusatnya.

Selain karena hancurnya sebagian besar kekuatan armada laut di kawasan Samudera Pasifik, ketika itu Amerika belum lagi memiliki suatu sikap yang jelas menghadapi Jepang dengan tindakan militernya.

Hal ini disebabkan masih kuatnya pengaruh politik isolasi (baca: Doktrin Monroe), hingga belum terlihat adanya ambisi untuk mengambil peranan di dalam percaturan politik global di bidang kekuatan militer, sedangkan di Eropa tengah dilanda peperangan.

 

Harry Kawilarang

Tulisan ini dimuat seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di halaman Facebook dari Harry Kawilarang

Penulis adalah wartawan senior yang pernah bekerja di Harian Sinar Harapan dan Suara Pembaruan | pemerhati sejarah Indonesia

Sumber Foto dan Bahan Tulisan dari buku Mengindonesiakan Indonesia oleh Harry Kawilarang

Belajar dari Cerita Tuhan pada Hari Natal

Cerita selalu bisa jadi pembelajaran, apalagi ceritanya Tuhan. Termasuk cerita Tuhan yang disiarkan melalui peristiwa Natal, cerita tentang kelahiran Yesus Kristus. Melalui Natal, Tuhan sebetulnya telah menuliskan cerita-Nya dalam hidup kita masing-masing.

Begitulah semangat yang ingin kami hadirkan pada perayaan Natal Persekutuan Oikumene Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia tahun lalu.

Perayaan Natal 2015 ini menjadi penting artinya, sebab sebelum 2015 tak ada perayaan itu, dengan alasan tertentu. Natal kami tahun kemarin bertemakan “HiStory“. Kami bermaksud menceritakan bagaimana cerita Dia dalam hidup kita.

Melalui Natal itu, jemaat diajak untuk semakin percaya bahwa Tuhan telah menuliskan cerita-Nya untuk dalam kehidupan pribadi masing-masing. Sekitar 90 jemaat hadir di natal PO FIB yang diadakan di Auditorium Gedung X.

Tahun ini jelas kami akan mengadakan kembali perayaan Natal itu. Rencananya diadakan pada Jumat, 9 Desember 2016. Total ada 22 orang panitia yang mempersiapkan dan mengadakan acara ini.

Panitia menggambarkan persekutuan yang erat dari para mahasiswa Kristen dari angkatan 2015, 2014, dan 2013. Panitia sudah dibentuk pertengahan Oktober 2016.

Tahun ini, Natal PO FIB akan mengupas soal pentingnya hubungan pribadi antara kita dengan Juru Selamat. Natal adalah penggenapan janji Allah di mana Kristus menjadi satu-satunya juru selamat untuk menebus dosa manusia.

Setelah percaya hal itu, jemaat akan diajak untuk memaknai Natal bukan sekadar perayaan tahunan, tapi momentum kelahiran baru mereka dan menjadi pribadi yang sesuai kehendak Tuhan dengan cara selalu memiliki relasi yang intim dengan Tuhan dan punya waktu pribadi denganNya.