Tag Archives: Inspirasi

Cara Birgaldo Mempolisikan Twit “Kafir”, Mencari Celah yang Melegakan

Bagi saya, tiap detik kehidupan berharga sangat, meskipun tak melakukan apa-apa atau ada problema yang tak diharap dan belum terselesaikan. Saya berupaya memaknainya, menikmatinya, walau kadang tak mudah karena diganggu hal-hal yang tak menyenangkan.

Saya tidak tahu apakah hari esok masih bisa saya rasakan, walau memikirkan dan menyiapkan kebutuhan masa depan yang entah kapan dan di tahun berapa berhenti. Energi untuk menyiapkan keperluan hari depan itulah yang sering melelahkan, maka sungguh keterlaluan bila saya harus menumpahkan sebagian untuk hal-hal di luar kemampuan menyelesaikan dan bukan pula akibat ulah atau perbuatan saya.

Sebisanya, saya tak mau mengusik manusia lain, tak melukai perasaan orang lain, tak merugikan masyarakat, tak jadi parasit di negara ini, bahkan berupaya tak jadi beban keluarga dan syukur-syukur bila bisa menjadi penolong bagi yang membutuhkan bantuan–meski tak selalu dapat saya lakukan karena ketidakmampuan.

Sungguh suatu kerugian–dan juga kebodohan–bagi saya bila membiarkan pikiran, emosi, menjadi terbeban sementara saya menyadari tak ada kuasa menghentikan pikiran orang lain, kendati pun itu suatu kebodohan atau kepicikan, menurut akal sehat saya. Bahkan kebencian yang ditebarkan orang-orang pun harus saya sikapi setenang mungkin dan tak menengkar karena suatu kesia-siaan.

Masa bodoh? Denial? Oh, tunggu dulu. Saya bisa menyampaikan aspirasi, protes, atau ketidaksenangan melalui cara atau metode yang implisit. Tidak harus vis a vis yang bisa terseret ke dalam frustrasi pikiran karena orang lain belum tentu bisa memahami yang kumaksud dan ditanggapi dengan pikiran intelek atau bermutu–walau berseberangan, misalnya.

Melibatkan diri ke suatu kancah percekcokan pikiran dan pendirian, selain bukan domain saya, pun berisiko menemukan tanggapan-tanggapan liar, out of context, ngawur, tak berstruktur dengan kerangka pikir yang dapat dipertanggungjawabkan. Bagi saya, selain melelahkan, juga menjadi penyebab kejengkelan–dan suatu kesia-siaan meladeni kebodohan yang dipertahankan sebagai “kebenaran.”

Saya lebih suka melihat atau menyetujui cara yan dilakukan Birgaldo Sinaga. Ia seorang netizen yang selain kritis, peduli, juga berani mengambil tindakan bagi yang menurutnya telah keterlaluan menyebarkan kebodohan dan fitnah yang berbahaya bagi akal sehat dan pembentukan opini maupun persepsi menyangkut kebernegaraan dan dalam upaya menahan gempuran para pelaku yang menghendaki keretakan nasional.

Birgaldo Sinaga yang juga Ketua Forum Komunikasi Anak Pejuang Republik Indonesia (Forkapri) mengadukan Dwi Estiningsih ke Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. Dwi Estiningsih dianggap menebar ujaran bernuansa kebencian lewat cuitannya di twitter:

“Luar biasa negeri yg mayoritas Islam ini. Dari ratusan pahlawan, terpilih 5 dari 11 adalah pahlawan kafir. #lelah”

“Iya sebagian kecil dari non muslim berjuang, mayoritas pengkhianat. Untung sy belajar #sejarah,”

Selain konsisten dan (sejauh ini) non partisan, Birgaldo Sinaga memiliki semangat untuk meng-counter para penganut ideologi kebencian yang melakukan segala cara utk menyebarkan kebohongan dan fitnah jahat melalui pikiran kritis.

Ia berani melaporkan ke kepolisan. Ia tempuh mekanisme hukum dalam kapasitasnya sebagai warga negara yang peduli, bukan hanya mengandalkan congor.

Cara Birgaldo merupakan alternatif yang elegan, selain berani. Ia saya dukung, terutama demi penghormatan akal sehat dan kepedulian masa depan negara yang amat rentan dari ancaman separasi atau perpecahan.

Dan saya orang yang mau jujur mengakui keterbatasan maupun kelemahan, pantang bagi saya jadi pretender dan menolak standar ganda. Keadilan itu, saya percaya, harus bersifat impersonal dan imparsial, tak memilih-milih karena alasan SARA atau kesamaan primordial.

Maka, siapapun yang diperlakukan sewenang-wenang, lalim, tak adil, patutlah dibela orang waras. Bukan karena alasan subjektif, dan memang itu sulit dimiliki kendati bisa bila mau. Caranya: membiasakan empati dalam diri; memindahkan diri sendiri pada diri orang lain yang mengalami, supaya bisa merasakan–walau sedikit–betapa sakit dan tak enak diperlakukan tak adil!

Itu baru keren. Berpihak pada siapapun yang diperlakukan tak adil. Bukan yang ikut reaktif bila menyangkut diri dan “kaum” sendiri. Sulit? Mungkin.

Namun bisa dilatih bila ada kesadaran sebagai manusia yang menghargai kehidupan dan percaya bahwa manusia adalah ciptaan “spesial,” karya agung Yang Maha Kuasa (bagi yang mempercai eksistensinya).

Setiap netizen berhak menyampaikan apa pun yang dikehendaki, termasuk kemarahan, kejengkelan, atau perlawanan atas suatu perbuatan. Saya memilih cara persuasi, mengajak sebanyak-banyaknya suporter penjaga Indonesia dengan cara saya.

Saya sesekali membagikan catatan-catatan personal yang sepele, kejadian biasa, seraya berharap: naluri sebagai makhluk sosial akan menautkan relasi dng siapapun yang tak sudi dilumuri darah kebencian.

Saya amat menyukai kehidupan, menganggap berharga tiap detik dan denyut nadi yang menandakan aktifnya organ tubuh. Banyak problema dan tantangan, terutama menyangkut masa depan, agar tak terlunta-lunta atau menjadi beban anak atau sanak-saudara.

Pula ada kenikmatan diberikan musik, seni, budaya, bacaan dan pengetahuan. Sayang sekali bila tak dimanfaatkan. Juga, pertemanan…. Itu sungguh mengasyikkan.

Mungkin, cara saya ini semacam mencari celah agar tak jadi korban himpitan kuasa-kuasa yang tak bisa saya kendalikan, sebagai warga biasa yang terjauh dari nikmatnya kekuasaan.

Museum Kata Andrea Hirata, Miniatur Kehidupan Pencipta “Laskar Pelangi”

Siapa yang tidak kenal Andrea Hirata? Penulis novel Laskar Pelangi yang sudah mendunia dan mendapat banyak penghargaan baik nasional maupun internasional.

 

Namanya bahkan diabadikan menjadi sebuah museum sastra pertama yang dikelola secara semi-privat, yaitu Museum Kata Andrea Hirata. Dengan biaya Rp 50.000, Anda akan mendapat buku saku berjudul “Ikal dan Lintang”, serta kesempatan “terbang” dalam alam pikiran Andrea Hirata.

 

Berlokasi di Kecamatan Gantung, Kota Manggar, Kabupaten Belitung Timur, museum tersebut memang merupakan rumah Andrea Hirata semasa kecil. Rumah tersebut kemudian disulap dengan berbagai warna, tulisan, foto, serta tak ketinggalan pernak-pernik kehidupan masyarakat Belitung masa lalu.

Bukan hanya tulisan yang dikutip dari seri novel Laskar Pelangi, tetapi juga berbagai kalimat dari buku-buku yang sangat menginspirasi, seperti The Adventure of Huckleberry Finn karya Mark Twain, Tuesday with Morrie karya Mitch Albom, dan sebagainya.

Maka tidak mengherankan saat membaca kata-kata tersebut kita seakan “bermain di atas awan” alam khayal Andrea Hirata. Bukan mustahil pula jika kata-kata tersebut mampu memberi inspirasi bagi kita yang menikmatinya.

Selain kata-kata, tentunya ditampilkan pula berbagai sampul buku Laskar Pelangi dalam berbagai terbitan luar negeri, baik Amerika Serikat, Kanada, Spanyol, hingga India (dalam Bahasa Inggris). Sampul buku lain karya Andrea Hirata juga ditampilkan menambah khazanah pengetahuan bagi yang belum mengenal jauh sang penulis.

Foto-foto yang terambil dari film Laskar Pelangi juga memberi penekanan tersendiri terhadap nuansa museum seakan memberi jati diri bagi keberadaan sang maestro. Demikian pula dengan pernak-pernik masa lalu seperti sepeda onthel dan radio 2 band di ruang tengah, serta mesin jahit manual hingga telepon umum koin dan kartu di bagian belakang rumah.

Di lokasi museum juga terdapat dapur yang disulap menjadi warung kopi kecil bernama “Kupi Kuli”, artinya kopi yang sering diminum para buruh pada masa lalu. Meskipun berbeda dengan rasa kopi di warung sekitar yang memang dijuluki Kota 1001 Warung Kopi.

Paling tidak rasa khas kopi ini memberi pemahaman kepada kita tentang kehidupan buruh Timah di Belitung pada masa yang lalu. Segelas kopi hitam dapat dibeli dengan harga Rp 6.000. Tak ketinggalan jajanan pasar yang dapat dinikmati bersama kopi.

Selain tempat penjualan suvenir, di bagian belakang museum juga terdapat tempat yang menarik. Andrea Hirata membangun replika kecil sekolahnya dulu yang ia gunakan juga untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak yang kurang mampu. Berdasarkan informasi dari keluarga yang mengelola museum, Andrea sesekali datang untuk mengajar di sekolah yang hanya terdiri dari dua kelas tersebut.

Siapa pun yang pernah berkunjung ke museum ini mungkin memiliki kesan yang sama. Tempat ini adalah miniatur kehidupan sang penulis Andrea Hirata.

Ia tidak hanya berbagi khayalan melalui berbagai kata, namun juga kenangan indah dalam bentuk memorabilia bernilai sejarah pribadi, serta obsesinya bagi sesama yang membutuhkan. Anda tertarik menikmatinya juga?

 

Foto: koleksi pribadi

Siam-Thailand dan Mitos-mitos Asal Mula Batak

Tak sedikit yang percaya, Suku Batak berasal dari tanah Siam (Thai), walau belum ada hasil riset yg sahih dan bisa membuktikan dng mematuhi syarat dan kaedah keilmuan atau ilmiah.

Konon, sekitar 3.000 tahun lalu, akibat perang suku di wilayah-wilayah pedalaman yg bergunung-gunung di wilayah Siam, satu kelompok suku kemudian bermigrasi dengan cara menyeberangi laut yang berdekatan dengan Selat Malaka, menggunakan rakit berbahan bambu.

Rombongan yang eksodus tersebut masih sesuku dengan Suku Karen yg berserak di wilayah Myanmar-Thailand kini. Mereka merupakan suku atau sub-etnis yg berposisi minoritas dan karenanya acap sasaran agresi suku-suku lain yang lebih besar dan kuat.

Karena bukan suku yang terbiasa dengan laut dan hanya mengandalkan rakit, para pencari “suaka” tersebut akhirnya berserak, terombang-ambing tanpa tujuan. Sebagian besar yg selamat–karena banyak yg tewas selama terombang-ambing di lautan luas yang diterjang ombak ganas serta serangan badai–akhirnya terdampar di beberapa tempat. Yang paling banyak, terdampar di Pantai Barus (kini masuk Kabupaten Tapanuli Tengah).

Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke wilayah pedalaman yg bergunung-gunung karena lebih suka dan memang dasarnya bukan masyarakat maritim. Berbulan-bulan menembus hutan lebat, naik turun bukit, menyeberangi sungai-sungai berarus kuat dng jeram-jeram yg mengerikan, membuat jumlah mereka berkurang perlahan-lahan. Saat itu, binatang buas seperti harimau, beruang, ular berbisa, buaya, masih banyak pula.

Para pengungsi yang telah berbulan-bulan kelelahan itu pun banyak jadi korban terkaman dan gigitan binatang buas saat menerabas hutan dan menyeberangi sungai.

Yang tersisa akhirnya tiba di satu wilayah yang kini disebut Sianjurmulamula, di kaki Gunung Pusuk Buhit, masuk Kabupaten Samosir. Pilihan tempat tersebut karena mereka terpesona melihat satu lembah yang indah dan ada satu gunung yang cocok dijadikan tempat pemujaan bagi dewa-dewa (debata) yang mereka percaya sejak turun-temurun.

Sianjurmulamula atau kini disebut juga Limbong-Sagala memang satu tempat yg mempesona, apalagi bila dipandang dari bukit-bukit yang mengitarinya. Lahannya relatif subur dan cocok untuk tumbuhan padi.

Lokasinya tak seberapa jauh dari satu danau yang luas (Danau Toba), namun para musafir yg tersisa itu lebih suka berdomisili di kaki-kaki bukit dan gunung ketimbang berdekatan dengan air (danau).

Disebabkan sulitnya mendapatkan sumber makanan sementara bibit padi (boni) yang mereka bawa dari Siam dan telah mulai ditanam di lahan-lahan setelah mencabuti semak belukar masih lama bisa dipanen, terjadilah masalah kelaparan.

Nyaris tewas semua, apalagi cuaca sering berhujan membuat kedinginan dan demam yg mengerikan.Di antara yg selamat, satu lelaki muda yang kuat dan berwibawa, yang sejak dari Siam telah didaulat sebagai pimpinan rombongan.

Suatu pagi dia pergi mendaki Pusuk Buhit dan di sana bersemedi, memohon belas-kasihan Sang Dewata agar mereka yang tersisa sedikit dan telah merana berbulan-bulan, diselamatkan dari ancaman kematian. Ketika ia turun dari puncak gunung, kondisi tubuhnya amat lemah hingga jatuh pingsan dan tak sadar berhari-hari.

Satu makhluk serupa manusia namun berbeda fisik dengan lelaki itu, entah dari mana muncul, kemudian menyelamatkan lelaki muda yang tergeletak dengan tubuh lunglai tersebut. Perempuan yang menolongnya adalah penghuni aseli yang disebut “halak bunian” yang populasinya amat sedikit dan sisa (survivor) letusan Gunung Toba.

Perempuan “bunian” tsb membopong lelaki muda itu ke Sianjurmulamula, dan ternyata semua pendatang, yakni sanak-saudara dan kerabat lelaki muda itu telah tewas karena kelaparan dan kedinginan yang menyebabkan demam hebat.

Ia kemudian merawat lelaki muda tersebut hingga pulih dan selanjutnya, seperti kisah Adam dan Hawa, mereka berdua mendiami wilayah yang indah permai.

Lelaki muda itulah yang kemudian disebut Si Raja Batak dan keturunannya–dari perempuan aseli atau “bunian”–menjadi para pemula, dan selanjutnya menjadi Suku Batak.

Oleh karena Si Raja Batak amat sedih kehilangan sanak-saudara dan kerabatnya, ia kemudian menurunkan ajaran dan petuah pada keturunannya agar saling menjaga, saling terikat, sampai kapan pun. Keinginannya itu melekat kuat pada semua keturunannya yang kemudian–dengan local genius–menciptakan tata aturan, norma-norma, yang mutlak dipatuhi.

Kepatuhan pada petuah yang dipesankan sang pemula, yang kemudian mereka sebut: Ompunta Si Raja Batak, melahirkan aturan-aturan yang menekankan pentingnya identitas agar harmoni dan pranata sosial terjaga baik. Perlahan-lahan melembaga, menjadi pegangan, walau berkali-kali mengalami perbaikan demi penyempurnaan dan dianggap paling ideal.

Aturan, kaedah-kaedah, dan pengidentifikasian setiap individu (anggota komunitas) itulah yang kemudian melahirkan adat dan marga. Pesan dan spirit yang ditiupkan Si Raja Batak pulalah yang menyebabkan mengapa etnis Batak patuh pada adat, aturan sosial, dan mengingat trah (tarombo) atau silsilah dan diwariskan pada keturunan mereka hingga kini.

Meskipun tak sedikit yang tak peduli, menyangkal, atau menganggap dongeng belaka.

Catatan spontan ini merupakan paduan dongeng, mitos, legenda, hasil pendengaran dan pembacaan, dikembangkan dalam ruang imajinasi namun mengaitkannya dng fakta dan realitas, yakni: sampai sekarang, mayoritas orang Batak masih setia pada adat dan marga, juga meyakini “tarombo” mereka. Dari situlah pula lahir penamaan, istilah, terms, menyangkut status tiap person.

Ada yang dipanggil: ompung, tulang-nantulang, amangtua-inangtua, amanguda-inanguda, amangboru-namboru, lae-eda, amangbao-inangbao, ampara, anggi, iboto, sesuai hubungan darah dan marga.

Dari aturan maupun kaedah yang tercipta itu pula lahir konfigurasi adat yang berpengaruh kuat pada relasi sosial dan hubungan antarindividu yang kemudian dilambangkan macam “tiga tungku” atau “dalihan natolu”. Ada tiga unsur dalam relasi sosial yang amat penting, yakni: Hulahula, Dongan Tubu, Boru.

Kembali ke paragraf awal, fisik dan wajah orang Batak termasuk beragam, pula warna kulit. Ada yang mirip orang Siam, India, Melayu, Cina, dll. Ada yang berkulit legam (macam penulis), ada yang terang atau putih, ada yang kayak orang Cina.

Ada yg berambut ikal, lurus, pun yang keriting macam orang Afrika. Ada yang bermuka oval, ada yang lonjong dan ada pula yang disebut “bersegi lima.” Ada yang berhidung mancung kayak India atau Arab, ada pula yang pesek.

Ada yang beralis tebal, ada pula yang ala kadar. Ada yang berkumis, berjenggot, ada pula yang klimis seperti bayi. Ada yang tampan dan cantik bukan main, ada yang jeleknya minta ampun (penulis tak termasuk).

Namun, lingua franca Siam-Thai-Myanmar, tak ada miripnya dengan Bahasa Batak. Walau sama-sama memiiki aksara, Batak punya, lebih pendek dan “tegas,” tak keriting seperti aksara Siam.

DNA kedua suku-bangsa tersebut pun mungkin juga tak mirip, entahlah bila dilakukan riset secara acak (random). Kebudayaan mereka pun begitu, juga kepercayaan aseli. Siam condong ke Budhisme, sementara Batak aseli ke Hinduisme.

Tetapi, siapa tahu “tutu” suku dari Siam yang mengungsi pada zaman baheula itu merupakan suku minoritas dan hampir semua eksodus akibat pertikaian tiada putus antarsuku sehingga yang tersisa di Siam, kini menjadi “prototipe” Batak yang langka, namun ada.

Bagi penulis, dongeng ini merupakan suatu kegemaran menelusuri asal-mula manusia Batak dikaitkan dengan mitos-mitos yang menyebar dalam bentuk verbal maupun literal, meski tak banyak. Ada keasyikan tersendiri membiarkan penjelajahan imajinasi dengan mempertimbangkan berbagai hal atau aspek.

Namun, sampai kini masih terus penasaran: Dari manakah sesungguhnya asal manusia Batak? Apakah dasarnya penghuni aseli atau orang-orang yang bermigrasi dari wilayah lain di luar wilayah yg kemudian disebut Tano Batak?

Semua tak bisa dijawab lewat dongeng, mitos, legenda, apalagi dengan bertanya pada “orang pintar,” dukun, paranormal, melainkan hanya melalui studi, riset, dng mengindahkan kaedah atau syarat ilmiah–dan itu pun tetap terbuka diuji, namun setidaknya memiliki dasar dan kerangka pikir yg mengandalkan rasio, ilmu pengetahuan-sains, bukan kepercayaan buta yang diterima tanpa memfungsikan otak, dan itulah guna penting pendidikan formal.

Itu dulu dongengku. Namanya imajinasi, santai saja menanggapi. Jangan terlalu serius. Capek nanti berpolemik, tak ada pula hasilnya. Keunikan adat-budaya Batak itu saja kita nikmati bagi yang masih tertarik.

Horas. 🙂

 

Foto: petraonline.net

Belajar dari Orat-oret Anak-anak

Sadar atau tidak, kita, orang dewasa, suka sekali meremehkan anak kecil. Padahal kalau mau jujur, kitalah yang sering berlaku kekanak – kanakan.

Untuk itu, kita perlu belajar banyak dari cara berpikir kanak – kanak dengan ide – ide berani, kreativitas liar dan sikap optimis yang mereka miliki.

Hal ini disampaikan oleh seorang anak kecil bernama Adora Svitak yang kala itu berusia 12 tahun saat memberikan paparan “What Adults Can Learn from Kids” pada TED Conference, Februari 2010 lalu di depan orang – orang dewasa.

Adora tak main – main, dia bahkan memberi contoh dampak dari tindakan dan pengambilan sikap orang dewasa pada dunia dengan apa yang dilakukan oleh anak – anak seperti pengalaman inspiratif Anne Frank di kamp konsentrasi NAZI.

Juga keberanian Ruby Bridges melangkah ke sekolah kulit putih semasa kanak – kanak meski mendapat tekanan dari sana – sini demi mendapatkan persamaan hak dalam pendidikan tanpa membandingkan warna kulit.

Ada juga kegiatan sederhana Charlie Simpson mengumpulkan dana untuk korban gempa Haiti dengan bersepeda di taman – taman dekat rumah (tentang siapa anak – anak ini, kapan – kapan saya ceritakan atau silakan tanya mbah Google bila tak sabar menanti ceritanya).

Ketika diminta untuk mengisi kegiatan berbagi di Rumah Ilmu (Rumil) pertengahan Oktober lalu, nama Adoralah yang langsung terlintas di kepala. Dia, salah satu blogger cilik (sekarang sudah gede tentu saja) inspiratif yang isi blognya menyenangkan.

Dia anak ajaib yang mendapat julukan The Genius Kid on Earth pada 2010 karena kecerdasan dan pola pikirnya yang melampaui anak seusianya bahkan orang dewasa yang umurnya terpaut jauuuuuh dari usianya.

Adora menjadi sumber inspirasi Nicklodeon Jr dalam menciptakan tokoh kartun Dora The Explorer yang mendunia.

Saya sudah berbagi sedikit cerita keriaan sewaktu memberi tugas menulis pada anak – anak Rumil, ada yang berani menolak karena lebih suka menggambar yang bisa dibaca di SINI.

Lucunya nih, salah seorang anak yang ingin menggambar itu kemudian bingung hendak menggambar apa. Namanya belajar dan bermain, saya gangguin saja anaknya. Namanya Nina, saya biasa memanggilnya Ninoy, teman bercerita yang menyenangkan dan ‘ngangenin.

“Bingung mau gambar apa, nggak usah ya tante. Habisnya ‘ndak tauuuu,” ini kebiasaan dirinya bila mulai merajuk, memonyongkan bibirnya yang lucuuu demi mencari alasan agar tak mengerjakan apa yang harusnya dia kerjakan.

“Hmm … tadi yang minta gambar siapa ya?”

“Ninoy.”

“Gimana kalau Ninoy gambar cerita kemarin jalan – jalan ke Kidzania? atau waktu jalan ke Schmutzer minggu lalu?”

“Nggak aah ..”

Karena setahun ini kami cukup sering bersua, saya jadi hapal kebiasannya. Dan karena iman saya gampang goyah dengan rajukan anak – anak, sebelum benar – benar runtuh, saya tinggalkan dirinya yang menikmati bersandar di pilar dengan pesan,”waktunya dua puluh menit lho Noy, gambar ya,” lalu diam – diam mengamatinya dari jauh.

Hal berbeda ditunjukkan oleh Rafa. Dia sangat bersemangat menjelaskan apa yang sedang digambarnya, berulang pula ia menyebut maynekeref yang terdengar asing di kuping.

Biar nggak digangguin terus, saya main jawab,”iya .. iya, bagus” saja tapi lantas berpikir, ini anak sebenarnya mau gambar apa ya? Kebiasaan orang dewasa yang ingin selalu terlihat pintar di depan anak – anak, sok tahu kan? hahaha.

Obrolan singkat dan kejadian – kejadian menggelikan selama berada di dekat mereka serasa diputar kembali di depan mata saat menikmati Es Sanger Ulee Kareng yang sejuk sembari membolak – balik kertas tugas mereka di Fakultas Kopi beberapa hari yang lalu.

Saya ingat telah berjanji akan membagikan 3 (tiga) tulisan terbaik yang mereka kerjakan di pendopo pada Minggu itu. Tapi ternyata butuh waktu khusus dengan menghabiskan 2 (dua) gelas es sanger ditambah semangkuk Gule Bebek dari Aceh yang sedap di lidah (dan seporsi nasi) di sebuah ruang khusus yang tertutup dan berpendingin untuk memeriksa tugas – tugas itu.

Hahaha .. awalnya, saya pun berpikir begitu. Tapi setelah ditimbang – timbang, anak – anak ini serius kok saat mengerjakan tugas yang diberikan.

Kenapa tidak meluangkan waktu untuk melihat, memeriksa, mengoreksi yang perlu dibenahi, membantu serta memberi semangat dan kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan bakat, minat dan kreatifitasnya?

 

Apa yang bisa kita pelajari dari anak kecil?

Anak – anak memiliki semangat yang menggebu, bila kita keliru merespon dan mengarahkannya akan menjadi bumerang dan menjadikan mereka patah arang. Harapan mereka membubung tinggi, jangan salah memberi janji karena mereka akan menuntut.

Tunjukkan kalau kita peduli tanpa sikap berpura – pura.

Kalau kata orang bijak, jadilah anak kecil saat bermain dan belajar bersama anak – anak, belajarlah dari cara pandang mereka yang polos dan menyenangkan, serta nikmati masa – masa bersama mereka karena engkau akan merindukan masa itu ketika mereka telah bertumbuh dewasa

Jadi, apa yang berhasil mereka gambar setelah menolak tugas menulis? Nggak salah kan Lip? Koq, malah mau mengulas gambar bukannya tulisan? Karena gambar mereka sangat menarik dan membuat saya iri ingin bisa menggambar (lagi).

Nina akhirnya menggambar cerita perjalanannya ke Kidzania bersama kakak dan abangnya dalam bentuk komik, saya biasa menyebutnya storyboard. Dia menuangkan apa yang dia lihat dan nikmati selama berada di Kidzania lewat sketsa gambar.

Dengan semangat dia pun menceritakan kembali apa yang dituangkan di gambar, tentang pengalamannya yang menyenangkan bisa bermain seperti layaknya menjalani keseharian di kehidupan nyata bisa belanja ke supermarket, bisa bekerja dan menjadi tamu di hotel, bisa jalan – jalan dan lain – lain. Tak lupa ia pun memamerkan kartu SIM dan selembar uang dari dompet yang didapatnya di Kidzania.

Apa kabar dengan Rafa? Gambar maynekeref-nya selesai, diberi warna, dan diberi judul Maynekeref vs Zombi-zombi, Perang Pedang dan Tembakan. Melihat hasil gambarnya, saya baru sadar, ternyata maynekeref yang dia maksudkan adalah minecraft; permainan anak generasi milenium semacam lego virtual.

Demi melihat ada gambar menyerupai makam di kertas tugasnya, spontan saya bertanya itu gambar apa? Katanya,”Kakak, itu kuburan. Kan zombie – zombienya kalah dan mati lalu jadi pocong.”

Lalu apa hubungannya laba – laba dengan semua yang ada di gambar ini? Dengan santai dia pun kembali menjawab,”laba – laba itu gigit – gigit pocong, kak!”

Saat berbincang dengan ibunya, beliau mengatakan Rafa agak susah fokus. Sang ibu ingin anaknya konsentrasi untuk belajar menulis, tapi anaknya lebih senang menggambar. Pada ibunya saya menyarankan untuk tidak memaksa keinginan kepada sang anak, biarkan mereka memilih kesukaannya. Sebagai orang tua, kita wajib mengarahkan dan membimbing.

Rupanya, ada tiga anak yang lebih mengutamakan menggambar. Seorang lagi bernama Zahran. Dia juga menggambar minecraft disertai dua gundukan makam dan diberi judul Serangan Zombie.

Ohh maaak! Memori dua anak ini sepertinya merekam dengan baik video singkat #TanteKuburan yang mereka tonton saat presentasi. Hasilnya, serial minecraft zombie dan minta diajak main ke kuburan 🙂

Hati – hati menyampaikan sesuatu dan jagalah setiap tutur yang keluar dari bibir di hadapan anak – anak karena generasi mereka sangat pintar dan kreatif. Beri mereka penjelasan sederhana yang gampang dicerna oleh nalarnya, tak perlu mengemas jawaban berbumbu yang malah tak masuk akal.

 

Olive Bendon

Catatan: Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di:

Penulis adalah Travel Blogger | Old Grave Lover |  Citizen Journalism | Volunteer for The War Graves Photographic Project

Foto: obendon.com

Cerita Natalku di Kampung yang (Dulu) Selalu Diselimuti Kabut

Kalau kalian punya kampung halaman. Aku juga. Tapi kampung ini bukan tempat kelahiranku, melainkan tempat kedua orangtuaku tumbuh besar dan di sana juga mereka bertemu dan menjalin kasih. Sedari kecil kami sering diajak ke sana, bertemu Ompung dan keluarga besar kami dari kedua pihak. Perayaan Natal di kampung ini dulu sangat mengesankan.

O iya, kuperkenalkan dulu nama kampung itu. Hinalang namanya. Tapi ada juga yang menyebutnya Kinalang. Letaknya di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, bersisian dengan Kabupaten Karo.

Kalau senja turun, kampung ini akan diselimuti kabut. Sejuk sekali. Kampung ini memang berada di dataran tinggi Simalungun. Kalau kau berjalan jauh ke selatan tanpa henti, kau akan menemukan Danau Toba.

Kampung ini agak ke pedalaman letaknya. Sekitar 2 kilometer jauhnya dari Jalan Lintas Kabupaten. Perkampungan bak dibentengi pohon-pohon besar. Banyak cerita-cerita ‘ajaib’ mengenai pohon-pohon besar ini, seperti diceritakan orang-orang di sana.

Tapi bukan itu yang mau kuceritakan di sini. Melainkan bagaimana kampung ini merayakan Natal pada saat aku kecil. Kenapa saat kecil? Karena saat itulah yang sangat berkesan bagiku.

O iya, penduduk kampung ini waktu itu 100 persen Kristen. Kampung ini punya gereja sendiri, di mana jemaatnya 100 persen warga kampung itu sendiri. Dulu gereja ini dibangun dengan dinding kayu tebal yang sangat kuat. Tak ada jejak rayap ataupun keropos.

Rumah-rumah di kampung juga dulu hampir seluruhnya berarsitektur panggung, terbuat dari kayu dan atap ijuk tebal. Kalau malam yang sangat sejuk, di dalam rumah jadi tak terlalu dingin. Sedang kalau siang yang terik, di dalam rumah justru terasa lumayan sejuk. Kalau hujan, nyaris tak ada bunyi rintik hujan memukul atap karena atapnya dari ijuk itu.

Berbeda dengan sekarang, hampir semua rumah terbuat tembok semen dan atap dari seng. Sehingga rumah terasa dingin, lembab, dan kalau hujan berisik sekali. Kupikir, semakin maju zamannya, semakin tak arif orang-orangnya. Orang-orang zaman dulu sangat tahu bagaimana beradaptasi dengan iklim yang sejuk di kampung itu.

Kembali ke cerita Natal. Kalau Natal tiba, kampung ini sangat meriah. Sebab warganya yang merantau ke kota akan pulang. Ramai sekali di setiap rumah. Begitu pun di rumah Ompung kami. Kerabat papa dan mama dari berbagai kota akan mudik dan rumah Ompung akan semarak selama berhari-hari.

Pada malam Natal 24 Desember dan pagi 25 Desember, keramaian ini akan berpindah ke gereja kampung itu. Gereja akan sangat penuh. Nyanyian Natal akan diiringi organ unik, yang untuk membunyikannya, kamu harus menekan tuts sambil memompa udara dengan kakimu. Syahdu sekali.

Kenapa tak pakai organ listrik? Sebab dulu kampung itu belum terjangkau listrik. Pada malam Natal, warga akan berduyun-duyun ke gereja sambil membawa lampu petromaks dan obor. Lalu lampu-lampu petromaks itu akan digantungkan di gereja sebagai penerang.

Pohon terang tentu ada. Tapi pemuda gereja membuatnya dari pohon pinus yang ditebang dari hutan. Lampu-lampu yang biasanya ada di pohon terang, waktu itu dibuat dengan lilin yang ditaruh di dalam potongan-potongan bambu.

Kebaktian malam Natal berbahasa Batak Simalungun akan berlangsung dengan suasana yang sangat khidmat. Keesokan harinya akan lebih meriah lagi. Semua akan hadir dengan pakaian terbaiknya. Senyum dan ucapan Natal bertebaran di sana-sini.

Sebagai kanak-kanak, kami akan berkeliling ke rumah-rumah kerabat. Menikmati penganan kecil berupa kue atau gula-gula, atau tak jarang diajak makan besar. Rasanya akan selalu kenyang dan senang.

Yang tak kalah mengesankan adalah ketika kami berkesempatan duduk bergantian di pangkuan Ompung, mendapat banyak duit dari kerabat-kerabat yang datang ke rumah. Tak hanya kenyang, senang, kantung pun tak kurang-kurang isinya.

Apakah suasana Natal sekarang masih seperti itu? Entahlah. Sejak merantau ke Jakarta, aku belum pernah lagi pulang kampung pada saat Natal. Yang pasti, gereja kecil yang dibangun dari kayu itu sudah berganti gereja megah dari semen dan bata. Listrik tentu saja sudah masuk ke sana sejak belasan tahun lalu.

Kerabat-kerabat yang dulu pernah datang ke rumah Ompung, sudah banyak yang berpulang. Termasuk Ompung-Ompung kami. Pun ayahku sendiri. Mungkin kalau pun aku suatu saat kembali ke sana, rasanya akan sendu. Sebab di seberang gereja itulah komplek penguburan orang-orang terkasih itu.

Foto ilustrasi saja: Pixabay/Chrysda

Tulisan ini dikutip dari tulisan sendiri di blog pribadi penulis: http://bangdeds.com

Tentang Respek pada Hak Azasi Manusia

Hari ini dunia merayakan hari Hak Azasi Manusia (HAM). Suatu deklarasi yang bersifat universal untuk melindungi setiap insan agar hak-hak dasar-dan azasi terjamin, tak boleh dirampas oleh siapapun. Suatu karya anak-anak manusia yang amat cemerlang untuk membebaskan manusia di belahan mana pun di dunia ini dari ancaman dan tindasan; memberi kebebasan menganut dan melakukan hak-hak yang amat fundamental dan kesamaan status maupun perlakuan tanpa mengenal gender, usia, strata sosial, suku bangsa. Siapapun dia harus dihormati dan dilindungi hak-hak dasarnya.

Prinsip dan moral HAM, secara substansial mengatur:

1. Hak untuk hidup
2. Terbebas dari penganiayaan
3. Terbebas dari perbudakan
4. Berhak mendapatkan peradilan yang adil dan fair
5. Bebas menyuarakan pendapat-pikiran
6. Bebas menganut suatu keyakinan atau agama

Dan hak-hak lain, termasuk orientasi seksual.

Pergumulan untuk melindungi manusia dari hak-hak dasarnya telah dimulai sejak abad 16, ketika kesadaran (sekali lagi kesadaran) mengenai harkat dan kebebasan azasi manusia dianggap amat signifikan.

Filsuf Jhon Locke, salah satu penggagas penting. Pikiran-pikiran manusia yang luarbiasa ini kemudian menjadi bahan perenungan para kaum cendekia di Eropa dan Amerika.

Banyak tantangan dan penolakan, tentu. Terutama dari pihak-pihak yang merasa terganggu, baik karena alasan ekonomi, kepercayaan, budaya, dsb. Naluri dasar manusia memang tak semua menyangkut hal yang baik, pun yang buruk, egoistis, dan kejam. Karena itulah proses dan perjuangan untuk menghormati HAM terasa lama, beradab-abad, sebab banyak tantangan dan ketidaksepakatan.

PBB (United Nations) akhirnya menyepakati dan mendeklarasikan pada 12 Desember 1948. Urgensinya sudah sedemikian krusial, mendesak, karena di berbagai tempat terus terjadi penistaan manusia, baik karena alasan kekuasaan-politik, gender, keyakinan-agama, sosial-ekonomi, budaya. Maka, bagi negara yang menjadi anggota PBB, wajib mematuhi; menerjemahkan prinsip-prinsip dasar HAM tsb ke dalam regulasi, hukum, di negara masing-masing–dan harus dipatuhi. Bila tidak, PBB akan mengambil keputusan dan menjatuhkan sanksi.

Tetapi, mestinya, tanpa ancaman sanksi dari PBB pun sewajarnyalah setiap insan yang beradab (apalagi beragama pula) menghormati HAM. Menghormatinya, berarti pula menghormati diri sendiri.

Deklarasi menyangkut pengakuan dan penjaminan atas HAM pun merupakan karya besar dan luhur. Perlahan-lahan, tindak kebiadaban terkikis, dan gagasan menyebarkan prinsip-prinsip keadilan, fairness, demi kemanusiaan, menjadi pegangan bermilyar warga dunia.

Namun hingga kini, isu dan persoalan HAM masih terus menjadi keresahan bersama dan jadi keprihatinan PBB serta para cerdik-cendekia dan aktivis yang peduli. Masih banyak perlakuan dan terus terjadi pelanggaran HAM di berbagai negara. Pelakunya bisa negara, institusi, kelompok, pun person.

Minimnya pengetahuan mengenai HAM, ditengarai salah satu penyebab mengapa masih terus terjadi pelanggaran–apalagi bila perspektif agama dan budaya yang dipakai saat menilai segala sesuatu menyangkut manusia. Seharusnya, sejak dini dan dalam materi pendidikan dasar sekolah formal, prinsip dan moralitas HAM menjadi materi penting dan tak terputus hingga level pendidikan selanjutnya.

Pengetahuan dan kesadaran mengenai (pentingnya) HAM pulalah menjadi modal utama untuk menciptakan relasi sosial, hubungan antarindividu, dan relasi serta tanggungjawab pengelola negara dengan rakyat. Dasar tuntutan pun dibekali oleh pemahaman yang memadai menyangkut hak-hak dasar tiap manusia, tak hanya warganegara.

Negaralah memang yang paling bertanggungjawab menjamin dan melindungi HAM setiap orang yang berada di wilayahnya. Maka, sungguh mengherankan, hingga kini, upaya untuk menyebarkan dan mengingatkan serta yang terutama menjamin HAM setiap warga, belum menjadi concern utama penyelenggara negara.

Kritik saya pada pemerintahan Jokowi, setuju atau tidak dengan yang saya sampaikan ini, menteri-menteri dan departemen pemerintah yang membidangi semua aspek HAM, belum berbuat maksimal. Sama saja dengan rezim yang digantikan. Apa saja upaya yang dilakukan Menteri Hukum & HAM selama ini, misalnya, sila Anda “renungi dan evaluasi.”

Negara tidak boleh kalah pada pelanggar HAM, dan para cerdik-pandai, orang terdidik, para terpelajar, seharusnya ikut peduli dan tidak berstandar ganda. HAM menerobos sekat-sekat yang memisahkan dan membedakan manusia, menolak segala bentuk diskriminasi dan perlakuan tak adil, menjunjung fairness dan keadilan yang substansial–tanpa memandang gender, strata sosial, etnisitas, seagama atau tidak, dll. Prinsip kesetaraan, equality, menjadi pegangan dasar.

Negara memang harus terus mendidik warga mengenai HAM, namun bila abai, tak sepatutnyalah orang-orang terdidik seperti Anda, ikut-ikutan tak menghormati. Sayang sekali pengetahuan dan ijazah yang dikoleksi.

Salam damai, mari respek HAM demi humanisme tanpa membedakan siapa dia: apakah seiman-seagama, pribumi, turunan Arab, China, India, Eropa, Afrika, dan lain-lain.

Foto: Pixabay/Geralt

Nasihat bagi Ketiga Anak

Hari ini, esok, lusa, dan seterusnya, akan muncul lagi “berita” atau info yang macam-macam. Apakah akan terus menjadikannya sesuatu yang penting dan kemudian menyampaikan di laman media sosialmu?

Sebetulnya, orang-orang pun telah tahu dari media-media yang mereka klik atau baca. Namun, karena merasa tak berguna, menggelikan, atau hanya repetisi orkestrasi kebodohan, lantas diabaikan.

Tak semua pula perlu disampaikan dan digunjingkan, adakalanya cukup diolah di pikiran, lalu bila tertarik: membuat kesimpulan (sementara) untuk menambah pemahaman. Atau langsung membuangnya ke keranjang sampah karena memang tak berfaedah.

Itulah salah satu faedah pendidikan, menjadikan otak berfungsi menyaring informasi, ajaran, agar tak jadi gumpalan kesia-siaan.

Pertemuan yang Mengubah Hidup

Kita bertemu banyak orang di dalam perjalanan hidup ini. Beberapa orang mempengaruhi pola pikir kita, membawa kita menuju kedewasaan, membuat kita menjadi orang yang lebih baik dari hari ke hari.

Beberapa orang menginspirasi kita, membuat kita belajar banyak mengenai keberanian, semangat juang, kerja keras, pantang menyerah, sabar, bertahan, dan menanti dalam pengharapan.

Salah seorang perempuan yang mempengaruhi pola pikir saya selama hampir 7 tahun terakhir ini adalah Enchi Fumiko, salah seorang pengarang perempuan Jepang. Saya menghabiskan waktu 6 tahun untuk mempelajari karya-karya dan kehidupan beliau selama saya studi di Jepang.

Karya-karyanya sering membuat saya menangis kesal karena untuk membacanya saja butuh usaha dan kerja keras, tetapi juga sekaligus membuat saya menangis sedih, karena membayangkan nasib tokoh-tokoh perempuan di dalam karya-karyanya yang terjebak dalam kungkungan masyarakat patriarki.

Sekaligus membuat saya menangis haru, ketika akhirnya, setelah perjuangan dan penantian panjang selama hampir 30 tahun, beliau berhasil meraih impiannya menjadi seorang penulis yang diakui di dalam dunia kesusastraan Jepang modern.

Beliau melewati masa-masa suram tidak dapat menulis karena masalah rumah tangganya, masa-masa pahit melihat satu persatu pengarang perempuan lainnya beranjak naik karirnya, sedang beliau hanya diam di rumah karena sakit dan selama beberapa tahun. Sekalipun beliau menulis, tidak ada yang mau menerima tulisannya untuk dipublikasikan.

Satu gaya hidup yang beliau wariskan untuk saya adalah “shifuku” (terus berkarya dan mempersiapkan diri sampai suatu hari tiba waktunya untuk mekar sempurna).

Memang akhirnya di usia nyaris 50 tahun, beliau sukses menjadi penulis, tetapi bagaimana perasaannya saat beliau menjalani usia 20an, 30an, 40an? Tentu kegalauan, kekhawatiran, putus asa terus berkecamuk, tetapi beliau tidak menyerah. Beliau tetap menulis.

Apapun itu, beliau tidak berhenti. Tidak ada jaminan kesuksesan di masa depan, tapi beliau terus berkarya.

Setelah usia 50an, memang karir beliau akhirnya menanjak dan sampai usia 80an, sampai akhir hidupnya, beliau tetap menulis. Sesuatu, yang dibangun di atas dasar yang kuat dan disemai dengan persiapan yang matang dan lama, pada saatnya yang tepat, pasti akan mekar sempurna.

Mungkin memang ada maksud dari Yang Maha Kuasa, “mempertemukan” saya dengan Enchi Fumiko. Mengapa saya tidak “bertemu” dengan Ariyoshi Sawako, Miyamoto Yuriko, Hayashi Fumiko yang lebih mudah rejeki untuk cepat sukses dan terkenal? Padahal kalau soal kerja keras, Enchi Fumiko tidak kalah dengan rekan-rekan sesama pengarang perempuan lainnya.

Dalam dimensi yang berbeda, kehidupan Enchi Fumiko mengajarkan satu hal penting kepada saya. Bahwa, untuk segala sesuatu ada waktunya, untuk setiap hal, ada masanya, dan waktu setiap orang tidak sama, semua berbeda-beda, tinggal kita pelaku-pelaku kehidupan ini, kuat atau tidak untuk bertahan, bersabar, dan terus berjuang.

*Sebuah renungan saat sedang membuat resume presentasi*

 

Rouli Esther Pasaribu

Penulis adalah pengajar paruh waktu di Program Pascasarja Kajian Wilayah Jepang UI.

Foto: meexia.com

Gempa Aceh dan Dekatnya Bayangan Kematian Mengikutiku

Gempa Aceh kemarin mengingatkanku 11 tahun yang lalu. Ya, gempa Nias 28 Maret 2005, yang berkunjung hanya dalam hitungan menit saja, telah mengubah sebagian besar hidupku dan juga teman-temanku.

Mereka yang baru saja bercanda denganku di hari yang sama, tiba-tiba sudah tidak ada lagi, ditelan reruntuhan bangunan megah buatan tangan manusia. Masih jelas tergambar di benakku kehancuran hebat saat itu.

Rumah-rumah rubuh, jalan-jalan terbelah, kebakaran menghanguskan sisa-sisa harta yang tertinggal, bau mayat di mana-mana. Aku sampai tidak mengenali lagi kota Gunungsitoli, kota kelahiranku.

Aku ingat teriak mereka yang berlumuran darah. Aku ingat tangis mereka yang memekakkan telinga.

Aku ingat ketakutan yang tergambar di setiap wajah. Bahkan aku ingat boneka berbentuk hati yang kubawa lari ke pengungsian malam itu.

Rasanya bayangan kematian begitu nyata mengejarku. Tidak ada pengungsian yang cukup aman bagiku untuk berlindung dari kematian. Aku tidak pernah tahu entah kapan kematian itu datang. Entah saat aku tidur, entah saat aku bermain, entah saat aku mandi, entah saat aku sama sekali tidak memikirkan tentang kematian.

Sesungguhnya, tanpa harus gempa pun, bayang-bayang kematian memang selalu mengikuti. Hanya mungkin sedang tidak sadar saja. Pertanyaannya, sudah siapkah apabila waktunya tiba menjemput? Sudah siapkah kita berhadapan dengan ajal?

Moi, je suis prête.

Foto: Pixabay/Angelo_Giordano

Imagine

Di masa kecil, di kampung saya yang ketika itu minim edukasi, minim pengetahuan tentang Tuhan dan agama, hanya sejumlah kecil orang yang berkesempatan mengenyam pendidikan, juga hanya sebagian kecil orang yang benar-benar menjadi pemeluk agama (kebanyakan hanya sekadar formalitas di KTP), saya justru menikmati banyak hal yang indah….

Di bulan Ramadhan, saya ikut berkeliling, dari rumah ke rumah, mengincar kue-kue lebaran. Saya ikut menunggu bedug, membunyikan petasan bambu, bahkan ikut merayakan lebaran di sekolah dan di masjid yang letaknya tidak jauh dari rumah. Saya bahkan masih ingat beberapa lirik dan lagu yang dulu kami nyanyikan sambil bermain rebana di sekolah.

Teman-teman saya yang muslim juga tidak menolak ketika di sekolah ditawarkan ikut tarian “Malam Kudus” dan ikut bersukacita merayakan Natal.

Kami memang tidak pernah merayakan hari raya agama lain selain yang dua itu karena memang penganutnya juga tidak ada di sekolah atau di lingkungan tempat tinggal kami. Di sisi lain, kami juga tidak memahami bagaimana merayakannya. Kalaupun pernah ada siswa beragama Hindu atau Budha, hanya satu atau dua orang saja di satu sekolah.

Di masa-masa itu, kami tidak pernah tahu, satu dengan yang lain beragama apa, kecuali bertanya langsung ke yang bersangkutan. Pokoknya, kami sama-sama berburu kue-kue Natal dan Lebaran. Kami sama-sama menikmati perayaannya, lagu-lagunya, dan sukacitanya.

Saat ini, ketika 95 persen orang Indonesia sudah mengenyam pendidikan dan semakin paham tentang Tuhan dan agama, begitu juga di kampungku, semua jadi terasa berbeda…

Saya jadi teringat lirik sebuah lagu tahun 70-an, “Imagine” karya John Lennon.

“Imagine there’s no heaven
It’s easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today… Aha-ah…

Imagine there’s no countries
It isn’t hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion, too
Imagine all the people
Living life in peace… You…

You may say I’m a dreamer
But I’m not the only one
I hope someday you’ll join us
And the world will be as one

Imagine no possessions
I wonder if you can
No need for greed or hunger
A brotherhood of man
Imagine all the people
Sharing all the world… You…

You may say I’m a dreamer
But I’m not the only one
I hope someday you’ll join us
And the world will live as one”

Terlepas dari iman saya pada Tuhan dan agama yang saya anut, saya mulai berpikir dan berkhayal… mungkin seperti khayalan John Lennon ketika ia menuliskan lagu itu.

Alangkah indahnya jika kita bisa hidup tanpa dinding-dinding pembatas bernama agama, suku, bangsa, ras atau apapun itu.

Alangkah indahnya jika kita bisa mengulurkan tangan tanpa harus memikirkan apakah tangan yang saya raih itu berwarna putih atau hitam, najis atau halal, kawan atau lawan.

Alangkah indahnya….

Foto: Pixabay/Alexas_Fotos