Category Archives: Inspirasi

Film “The Greatest Showman”; Ketika Kau Bersinar, Ada Saja yang Silau!

Ketika kau bersinar, ada saja yang silau!

Itulah salah satu hikmah yang saya petik setelah menonton film The Greatest Showman.

Film drama musikal sebenarnya bukan genre favorit saya, tapi saya penasaran dengan film ini karena menang penghargaan Gloden Globe Award untuk best motion picture dan untuk aktor terbaik (Hugh Jackman).

Karena Hugh Jackman sudah terlanjur memiliki imej mutan X-men sebagai Wolverine sebagai di mata saya, saya penasaran bagaimana aktingnya di film musikal ini.

Melihat dia bernyanyi dan menari di dalam film ini, di balik perannya yang sangar di film X-men, terasa kontras, dalam film ini dia terlihat luwes dan ‘manis’.

Film ini terinspirasi dari kisah hidup tokoh bisnis pertunjukan abad ke-19, P.T. Barnum.

Konon Barnum yang anak orang miskin menikahi Charity putri orang kaya. Sayang sekali tempatnya bekerja pailit, sehingga dia harus memakai siasat untuk menghidupi keluarga. Dia mulai berwiraswasta membuat musium, tapi tidak laku. Putri kecilnya memberi ide, hingga Barnum merintis sebuah bisnis pertunjukan. Uniknya, Barnum merekrut orang-orang yang kurang diterima di masyarakat.

Tak disangka tempat pertunjukan Barnum sukses meraih banyak penonton. Seorang kritikus dengan tajam menyebut pertunjukannya sirkus. Barnum malah menerima kritikan itu sebagai masukan, dan malah menjadikan nama musiumnya menjadi sirkus. Hal ini patut kita catat. Siaplah menerima kritikan.

Tepat pada saat anda mulai terlihat, apalagi bersinar (baca: sukses) pasti banyak yang akan silau; melihat dengan iri dengki. Dan, akan banyak datang kritikan, kecaman, hambatan, bahkan mungkin juga ancaman, sikutan, dan usaha penghancuran.

Apapun yang anda lakukan, apalagi jika terlihat ‘stunning’ atau ‘oustanding’, bagai di bawah lampu sorot, selain reaksi yang positif, pasti mengundang banyak yang akan berkomentar negatif. Banyak manusia mungkin tidak suka melihat orang lain sukses.

Iri hati dan dengki memang sudah jadi satu dari dosa maut manusia. Seperti kata seorang pakar, jika tak ingin mendapat kritikan atau halangan, jangan melakukan apa-apa.

Padahal kesuksesan itu lahir dari usaha keras dan perjuangan, seperti Barnum. Dalam hidup ini tak ada yang mudah. Manusia memang diciptakan untuk berusaha, berjuang (‘mengusahakan dan memelihara dan menaklukkan bumi’), dan bekerja keras.

Hikmah lain dari film ini, adalah tentang kesetaraan hak azasi manusia. Dalam film ini, mereka yang memiliki kekurangan dalam bentuk fisik bawaan lahir, juga warna kulit/ras yang berbeda, mendapat kecaman dan penolakan, dianggap tak layak masuk dalam hidup manusia (yang merasa) ‘normal’ lainnya. Sayangnya hal ini juga masih terjadi di jaman modern dan millenial ini.

Barangkali kita ini memang makhluk penghujat, kadang merasa derajat kita lebih tinggi daripada orang lain, dan salah menganggap bahwa perbedaan adalah sebuah kesalahan.

Satu kalimat yang saya suka dari film ini adalah ucapan Charity pada Barnum:

You dont need everyone to love you, just a few good people.”

Memang kadang kita ingin menyenangkan dan disukai banyak orang tanpa sadar bahwa itu adalah usaha yang sia-sia dan hanya akan merugikan diri kita sendiri.

Lalu kekuatan cinta, sangat terlihat dalam film ini. Karena cintalah, Charity yang anak orang kaya rela menikah dengan Barnum yang miskin. Karena cintalah juga Barnum berjuang keras memberikan hidup yang layak bagi Charity dan kedua putri mereka, hingga sukses menjadi orang kaya. Karena cinta jugalah Philip dan Anne berani menerjang perbedaan kelas sosial dan ras. Philip dari kalangan atas, sedangkan Anne hanya seorang penari akrobat berkulit hitam (yang saat itu dianggap ras budak). Karena cinta dan kesetiaan kepada istrinya jugalah Barnum menolak ketika Jenny Lind, bintang andalan show-nya yang cantik dan bersuara merdu, jatuh cinta padanya. Hal-hal tersebut ada dalam film ini terlepas faktanya demikian atau tidak.

Hikmah lainnya, seperti sebuah lagu dalam film ini, untuk sukses, kita semua harus berani bermimpi.
‘Cause every night I lie in bed
The brightest colors fill my head
A million dreams are keeping me awake
I think of what the world could be
A vision of the one I see
A million dreams is all it’s gonna take
A million dreams for the world we’re gonna make

Jadi,
bermimpilah, dan berusaha keraslah menggapainya!

-*-

Film “Coco”; Tentang Impian yang Dikekang

Mendengar judulnya, saya pikir film ini ada hubungannya dengan coklat. Coco. Cocolate, saya pikir. Ternyata bukan. Film kartun ini bercerita tentang impian, petualangan dan penyibakan rahasia masa lalu keluarga.

Tokoh utama film ini, Miguel, anak berusia 12 tahun diam-diam bercita-cita jadi musisi terkenal. Tak satupun keluarganya yang tahu bahwa dia menyimpan bakat musik.

Masalahnya, sang nenek buyut Miguel, yang konon trauma ditinggal pergi oleh kakek buyutnya yang musisi terkenal, melarang musik di rumahnya.

Padahal,

impian yang dikekang potensial akan mencetuskan pemberontakan.

Miguel, yang masih belia, tentu tak mudah dilarang. Dia mencari cara untuk mewujudkan impiannya, yang tentu saja jadi sikap yang menentang keluarga besarnya.

Hal ini tentu mengingatkan pada sejarah, kejadian kakek buyutnya, yang dulu kala, ingin go international, hingga meninggalkan keluarga, dan meninggalkan luka yang dalam di hati nenek buyutnya.

Film ini terinspirasi dari sebuah tradisi budaya Meksiko, yaitu sebuah hari khusus untuk mengenang para arwah. Foto arwah dipajang oleh keluarganya dan didoakan, sebab itulah yang konon menjadi ‘tiket’ agar mereka bisa berkunjung ke dunia orang hidup. Bagi arwah yang tak ada dipajang fotonya, tak bisa mengunjungi dunia orang hidup, dan arwahnya akan menghilang secara permanen dari dunia orang mati, dan sedihnya, itu adalah pertanda bahwa tak ada lagi yang mengingat atau mendoakan mereka.

Di rumah keluarga Miguel, foto wajah sang kakek buyut sengaja disobek di foto keluarga. Demikianlah cara sang nenek buyut untuk menyatakan bahwa sang kakek buyut bukanlah lagi bagian dari keluarga.

Betapa menyedihkan bila tak ada yang peduli pada kita, tak ada yang mengenang atau mendoakan kita.

Keluarga harusnya menjadi wadah pertama dan utama untuk berbagi kasih sayang, menerapkan kepedulian, menemukan dan mendukung potensi/bakat, dan tempat saling mendoakan.

Miguel yang tak lagi memiliki gitar (karena gitarnya dirusak oleh neneknya), tetap ingin mengikuti kontes, sehingga berniat mencuri gitar musisi terkenal idolanya, Ernesto De La Cruz, yang dia kira adalah kakek buyutnya. Saat itulah dia tanpa sengaja terpindah ke dunia arwah. Di sanalah dia bertemu dengan keluarga buyutnya, tanpa sengaja.

Supaya Miguel bisa kembali ke dunia orang hidup, dia harus mendapatkan restu dari keluarganya dari dunia orang mati. Nenek buyutnya memberi restu, tapi dengan syarat bahwa Miguel tak boleh lagi menyentuh musik.

Tentu saja Miguel tidak mau.

Apalah artinya hidup tanpa sesuatu yang kau cintai.

Musik adalah hal yang sangat dicintai Miguel. Hal ini menunjukkan bahwa

‘passion’ kitalah, yang membuat kita bisa lebih menikmati hidup. Hidup terasa hambar tanpa cita-cita.

Miguel mencari De La Cruz untuk meminta restu, dan menemukannya. Tapi rupanya, dia tidak seperti yang dikira Miguel. Pada pertemuan itulah akhirnya ketahuan kejadian yang sebenarnya mengapa kakek buyutnya tak pernah kembali ke keluarga. Bukan karena tak ingin kembali, tapi karena dibunuh, oleh musisi idola Miguel, De La Cruz, yang mencuri karya-karya kakek buyut Miguel.

Betapa seringnya kita salah mengidolakan seseorang. Kita tak tahu aslinya bagaimana, sebab yang terlihat hanya sisi baiknya yang kebetulan kita sukai. Kita hanya tahu segelintir saja.

Di pihak lain, kakek buyut Miguel sudah kritis, nyaris musnah dari dunia orang mati, karena sudah lama tak lagi ada orang hidup yang memajang fotonya. Miguel harus menyelamatkannya. Tapi De La Cruz tentu tak akan membiarkan hal itu terjadi sebab akan mengakibatkan aibnya terbongkar.

Secara umum, film ini sungguh menghibur. Selain membuat tertawa, film ini juga potensial menguras airmata penonton, seperti pada adegan ketika sang nenek Coco, yang sudah tua dan pikun, nyaris melupakan kakek buyut Miguel, yang bisa membuat sang buyut musnah selamanya dari alam baka, karena tak ada lagi yang mengingatnya. Saat itu, hanya lagu dari Miguel yang bisa mengembalikan memori sang nenek. Rupanya, memang musik bisa membantu menyegarkan memori.

Banyak juga adegan yang jenaka. Salah satu adegan yang membuat terpingkal-pingkal, salah satunya adalah ketika Miguel bernyanyi pada sebuah kontes. Teks lagunya pun sudah lucu.

What color is the sky
You tell me that it’s red
Where should I put my shoes
Ay, mi amor! Ay, mi amor!
You say put them on your head
Ay, mi amor! Ay, mi amor!
You make me Un poco loco (You make me a little bit crazy)

Lagu bernuansa Mexico, ditambah dengan suara Miguel yang empuk dan masih terdengar belia, sungguh merdu dengan aksen khas Mexico di telinga.

Apa yang paling berkesan setelah menonton film ini?

Keluarga adalah tetap yang terutama. Kita tak boleh melupakan keluarga, terutama orangtua kita.

Luka masa lalu bisa membutakan kita akan potensi kita di masa depan. Kita tak bisa berkubang pada masa lalu, sebab memaafkan adalah cara untuk membebaskan diri kita dari luka dendam. Dendam itu tidak baik untuk kesehatan mental dan fisik kita.

Miguel tentu bukannya tak menomorsatukan keluarga dibandingkan cita-citanya, sama seperti kakek buyutnya. Cita-cita yang terbendung, kadang bisa terlihat membuat kita mengorbankan hal yang terutama dalam hidup ini, yaitu keluarga. Padahal mungkin saja itu karena kadang kita berharap, kalau bukan keluarga sendiri, siapa lagi yang paling bisa mengerti dan menerima impian dan cita-cita kita. Tapi memang sering kesalahpahaman terjadi dalam keluarga kita sendiri.

Pada akhirnya, hanya cinta yang bisa membuat kita memaafkan diri kita dan orang lain.

*-*

Banjir Jakarta: Anies Salahkan Proyek sampai Jokowi yang “Ingkar” Janji

Banjir yang melanda ruas-ruas jalan utama dan beberapa titik permukiman di Jakarta yang terjadi Senin (11/12) seketika membuat pembicaraan menjadi melebar ke ranah politik.

Banjir di bulan Desember memang biasanya bukan merupakan puncaknya, namun ini menjadi alarm yang bagus buat pemerintah sekarang. Semacam try out menjelang puncak turun hujan yang biasanya sekitar Februari.

Rasanya tidak adil jika harus menyalahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakilnya Sandiaga Uno atas genangan air yang menyusahkan warga ini. Keduanya baru menjabat dua bulan.

Namun, publik malah disuguhkan “akrobat kata-kata” yang cenderung salah-menyalahkan yang sayangnya malah bersumber dari Gubernur Anies sendiri dan tentu saja para pendukungnya.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut pembangunan proyek infrastruktur yang berada di ruas jalan protokol telah menghambat aliran air di beberapa kawasan, seperti dilaporkan CNN.

Terhambatnya aliran ini pun mengakibatkan munculnya genangan air yang cukup tinggi di daerah Selatan, seperti di Jalan Gatot Subroto, Kuningan, Rasuna Said dan beberapa titik lainnya saat hujan lebat mengguyur Jakarta sejak siang hari kemarin.

Anies pun mengaku, pihak Pemprov sebenarnya sudah berulang kali mengingatkan pelaku pembangunan tersebut untuk memperhatikan tali air agar tak ada yang tersumbat meskipun proyek sedang berjalan.

“Kita akan panggil semua jajaran yang terlibat hari ini, akan berikan instruksi dengan tegas, karena apa, ini masyarakat yang dirugikan. Proyek memang harus berjalan tapi warga juga tidak boleh disengsarakan,” kata dia.

Namun, proyek LRT dan MRT bukan baru muncul dua bulan lalu, tetapi sudah berjalan beberapa tahun. Alasan untuk menjadikan proyek LRT dan berbagai proyek yang berjalan di Jakarta menjadi sulit dimengerti karena tidak ada presedennya.

Gubernur Anies Baswedan saat meninjau kondisi pompa air di Dukuh Atas, Jakarta. (Kompas.com)

Kecekatan mengawasi dan memelihara pintu air sebagai kunci mengurangi banjir pun teruji di sini. Gubernur Anies sempat mengecek kondisi pintu air di underpass Dukuh Atas, dan mendapat laporan dari operator pompa penyedot air bahwa ada kerusakan.

“Di sini ada 6 pompa, tapi yang berfungsi baik cuma dua. Langsung akan segera kita tindaklanjuti, kita pastikan tidak ada masalah,” kata Anies.

Masalahnya, salah satu operator pompa bernama Mulyadi mengatakan, sudah melaporkan kerusakan pompa tersebut sejak 22 Oktober 2017 lalu. Namun, hingga kini laporannya belum ditindaklanjuti, katanya kepada Kompas.com.

 

Ahok Awasi Pompa Air

Keadaan seperti ini sulit terjadi di zaman Gubernur DKI terdahulu, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Ahok diketahui publik ketika banjir terjadi benar-benar mengawasi kinerja pompa air di seluruh titik di Jakarta.

Ahok menginstruksikan lurah-lurah untuk mengawasi kondisi pompa antisipasi banjir di lingkungannya masing-masing.

“Saya instruksikan seluruh lurah harus tahu persis seluruh kondisi pompa di wilayahnya, harus ditungguin itu pompa, masih ada minyaknya enggak, hidup jam berapa, mati jam berapa,” kata Basuki saat menjabat gubernur di gedung DPRD DKI Jakarta, Sabtu (19/12/2015).

Basuki Tjahaja Purnama saat peresmian RPTRA Sunter. (Kompas.com)

Basuki juga mengatakan dengan demikian genangan di Jakarat bisa cepat surut, seperti direkam secara tertulis oleh detik.com.

Laporan terbaru dari mantan stafnya pun memberi gambaran tentang ketatnya Ahok mengawasi pompa air. Ismail Al Anshori yang mengaku mantan staf eks Gubernur DKI Ahok berkicau melalui Twitternya.

Pemilik akun @thedufresne itu, menuturkan perbedaan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Ahok ketika merespon banjir. Berikut cuitannya:

“19 bln kerja brg Ahok, gw ga pernah lihat dia berpose foto di ruangan ini. Kl banjir, Ahok sibuk d grup whatsapp penjaga pintu air & lurah.”

“Dan dia tau detail daerah mana aja yg kena, kepala dinas/lurah mana yg ga kerja, pintu air mana yg ga berfungsi optimal, dsb,” cuitnya di akun @thedufresne.

Jadi, semoga saja kasus pompa air rusak yang telat dikerjakan perbaikannya itu menjadi masukan buat Anies agar memperbaiki metode pengawasannya.

 

Janji Jokowi Atasi Banjir Jakarta

Satu lagi, menggema juga di publik tentang janji Jokowi jika dia menjadi presiden akan lebih mudah untuk mengatasi banjir. Uniknya, yang menyorongkan ingatan ini ke publik tak lain adalah para pendukung Gubernur Anies sendiri.

Semisal Hidayat Nur Wahid yang juga salah satu Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), partai pendukung saat Anies maju Pilkada DKI.

Seperti dilaporkan Tribunnews, Hidayat mengingatkan, saat menjabat Gubernur DKI Jakarta, Jokowi pernah menyatakan bahwa persoalan banjir di Ibu Kota akan lebih mudah diselesaikan apabila ia terpilih sebagai presiden.

“Sekarang sudah 3 tahun Beliau menjadi Presiden, mestinya itu bisa dilakukan maksimal. Apa yang Beliau katakan dulu harusnya bisa dilaksanakan,” kata Hidayat, Selasa (12/12/2017).

Namun, Hidayat menilai, selama 3 tahun menjabat sebagai Presiden, upaya maksimal untuk menanggulangi banjir di Jakarta itu belum dilakukan. Nyatanya, kata dia, banjir masih terus terjadi di Ibu Kota.

Joko Widodo saat menjabat sebagai gubernur memang mengeluarkan pernyataan tersebut, tentu saja saat dia akan running menuju RI-1.

“Seharusnya lebih mudah (mengatasi kemacetan) karena kebijakan transportasi itu harusnya tidak hanya Jakarta, tapi juga Jabodetabek. Itu seperti halnya dengan masalah banjir. Banjir tidak hanya masalah Jakarta karena 90 persen air yang menggenangi Jakarta itu justru berasal dari atas (Bogor). Semua pengelolaan 13 sungai besar yang ada di Jakarta juga semuanya kewenangan pemerintah pusat,” papar Jokowi di Balaikota Jakarta, Senin (24/3/2014).

Jokowi menjamin, seluruh perencanaan transportasi yang telah dicanangkannya selama menjabat sebagai DKI-1 tidak akan terbengkalai jika nantinya ia menjabat sebagai RI-1. Ke depannya, Jokowi ingin agar Jakarta memiliki banyak moda transportasi, seperti terekam di Kompas.com.

Detail untuk mengelola air kiriman dari daerah penyanggah Jakarta, seperti Bogor, pun dibuatkan masterplannya.

Merdeka.com mengulas bahwa Denny Iskandar salah satu timses Jokowi saat maju untuk RI-1 menegaskan,” Gampang kok tinggal cari menteri yang mau bekerja. Anggaran penanganan juga bisa dipercepat. Waduk Ciawi, Cisadane, tidak bisa ditunda lagi dan akan mudah direalisasikan.”

Presiden Joko Widodo meninjau proyek Waduk Ciawi. (detik.com)

Nah, ternyata Jokowi tidak mengingkari ucapannya, seperti yang dituduhkan Hidayat Nur Wahid. Pengerjaan Waduk Ciawi, plus Waduk Sukamahi, telah berjalan. Kedua waduk ini berfungsi menampung air dari Bogor agar tidak langsung membanjiri Jakarta.

Dilaporkan detik.com, Proyek Waduk Ciawi dan Sukamahi di Kabupaten Bogor digulirkan untuk mencegah banjir kiriman masuk ke Ibu Kota. Proyek ini juga dibicarakan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.

“Berkaitan dengan Waduk Ciawi dan Sukamahi, itu juga. Tapi itu pemerintah pusat,” kata Jokowi di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (26/10/2017).

Proyek dua waduk itu semula hendak dikerjakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun, sejak Mei lalu, diketahui proyek itu diambil alih pemerintah pusat. Proyek akan segera digarap.

“Akan segera kita kerjakan, sehingga air yang berasal dari atas itu bisa kita cegat dulu di waduk itu,” kata Jokowi.

Seperti biasa, dan sering sudah didengar publik soal proyek yang tertunda-tunda. Pembangunan Waduk Sukamahi pun sejatinya sudah direncanakan sejak dulu, pada 1990-an.

Namun rencana pembangunannya saat itu terkendala pembebasan lahan. Warga yang rumahnya direncanakan terkena proyek waduk tersebut menolak ganti rugi yang ditawarkan pemerintah. Sekarang, sudah beres semua, proyek pun berjalan.

Warga memperoleh sertifikat pembebasan lahan untuk Waduk Ciawi. (Tribun Bogor)

“Pembebasan tahun 2017 ini diharapkan tuntas. untuk pembangunan kita lanjutkan tahun 2017 jadi ketika dibebaskan sebagian, sebagian dilakukan konstruksi, paralel,” kata Sekda Provinsi Jawa Barat, Iwa Karniwa kepada Tribun Bogor.

Berikut data pembebasan tahap I dan II.
– Bendungan Ciawi (Cipayung)
Total luas: 89,42 Ha / 899 bidang.
Pembayaran tahap I: Desa Cipayung, 25 bidang, luas 0,30 Ha, Rp 8,575 milyar.
Pembayaran tahap II: Desa Cipayung, 78 bidang, luas 5,72 Ha, Rp 71,912 miliar.

– Bendungan Sukamahi
Total luas: 46,56 Ha / 620 bidang.
Pembayaran tahap I: Desa Sukakarya, 75 bidang, luas 4,5 Ha, Rp 22,164 miliar.
Pembayaran tahap II: Desa Sukakarua, 31 bidang, luas 1,04 Ha, Rp 8, 023 miliar.

Kesempulannya, banjir di Jakarta memang masih akan sulit ditiadakan siapapun pemimpinnya. Namun, cara menyikapi bencana inilah yang menjadi pembeda.

 

Tulisan ini juga dimuat di Sinarharapan.id

Ananda yang “Bertelur”, Traveloka yang “Mengerami”

Aksi walk out (WO) pianis Ananda Sukarlan saat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berpidato dalam acara peringatan 90 tahun berdirinya Kolese Kanisius pada Sabtu (11/11), di Hall D JIExpo Kemayoran, ternyata berbuntut panjang dan cenderung menjurus ke fitnah yang aneh.

Aksi Ananda ini diikuti dengan aksi ajakan ramai-ramai mencopot aplikasi Traveloka. Apa yang menyebabkan aksi walk out ini diikuti dengan ajakan bertagar #uninstallTraveloka?

Ananda berdiri dari kursi VIP-nya dan walk out saat Anies memberikan sambutan. Aksinya diikuti sejumlah alumni lainnya.

Kebetulan dalam acara ini akan diserah Penghargaan Kanisius kepada 5 alumni dari berbagai generasi. Sebanyak 5 alumni ini tersaring dari 95 finalis yang menjadi kandidat.

Mereka adalah Ananda Sukarlan (komponis & pianis), Derianto Kusuma (pendiri Traveloka), Romo Magnis Suseno (tokoh Jesuit), Irwan Ismaun Soenggono (tokoh pembina Pramuka) dan Dr. Boenjamin Setiawan (pendiri Kalbe Farma).

Berdasarkan kabar yang beredar di linimasa, pendiri sekaligus CTO Traveloka Derianto Kusuma menyalami dan memberikan ucapan selamat ke Ananda setelah aksi walk out dan pidato Anies, yang dianggap sebagai dukungan terhadap aksi Ananda.

Informasi ini kemudian memancing sebagian netizen untuk melakukan aksi boikot Traveloka. Hashtag #BoikotTraveloka bertengger menjadi salah satu trending topic Twitter Indonesia.

Traveloka kepada detikinet menanggapi ramai pemberitaan mengenai ajakan memboikot layanannya. Aplikasi pemesanan hotel dan tiket perjalanan ini sekaligus memberikan klarifikasi terkait kejadian di acara Kolese Kanisius.

PR Manager Traveloka Busyra Oryza membenarkan bahwa pendiri sekaligus CTO Traveloka Derianto Kusuma adalah salah satu penerima penghargaan di acara tersebut. Namun dia berhalangan hadir.

“Sebenarnya pak Deri (Derianto) tidak hadir. Beliau sedang melakukan perjalanan dinas di hari itu. Jadi kalau dibilang ada pak Deri di sana dan disebut memberikan dukungan (kepada Ananda), beliau tidak ada di situ,” ujar Busyra.

 

Pengamatan Tribunnews pun, setelah turun dari panggung, Ananda disalami dan mendapat pujian dari para nominator penerima penghargaan, antara lain mantan menteri Ir. Sarwono Kusumaatmaja dan Pater E. Baskoro Poedjinoegroho S.J., Kepala SMA Kanisius. Tak ada tertulis, CTO Traveloka Derianto Kusuma hadir dan memberi selamat.

Saat menerima penghargaan, Ananda juga berkesempatan menyampaikan pidato selama 10 menit.

“Anda telah mengundang seseorang dengan nilai-nilai serta integritas yang bertentangan dengan apa yang telah diajarkan kepada kami. Walaupun anda mungkin harus mengundangnya karena jabatannya, tapi next time kita harus melihat juga orangnya. Ia mendapatkan jabatannya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Kanisius. Ini saya tidak ngomong politik, ini soal hati nurani dan nilai kemanusiaan,”katanya.

Sikap dan pernyataan Ananda Sukarlan bisa jadi memang memicu perdebatan, pro-kontra. Masalahnya, kenapa pula ada kabar bos Traveloka menyalami segala, wong datang aja nggak si Deriyanto itu.

Jika kita mengikuti tagar soal Traveloka ini, malah ada yang sampai memasukkan ke ranah jihad. Waduh!

“Ini jihad paling mudah, cukup gunakan jempolmu untuk uninstall Traveloka”.

Begitu kira-kira cuitan di twitter.

Sepertinya memang kita mesti belajar bijak, jangan terlalu menikmati emosi yang melingkupi pikiran. Jika seperti ini, saya malah jadi ingat dengan pepatah Madura:

Itik se atellor, ajam se ngeremme’

itik yang bertelur, ayam yang mengerami.

Ananda yang WO, Traveloka yang mesti pegel mengatasi masalah.

 

Penutupan Alexis dan Komoditas Politik

Penutupan tempat hiburan dan hotel Alexis ditanggapi oleh Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Mereka mengapresiasi langkah pemerintah provinsi DKI Jakarta. “Namun kami tetap kritis melihat penutupan ini jangan hanya menjadi komoditi politik saja,” tutur Steffi Graf Gaby, Sekretaris Fungsi Penguatan Kapasitas Perempuan PP GMKI, dalam keterangannya, Rabu (8/11).

Seharusnya, Pemprov DKI tak boleh tebang pilih. Tempat hiburan lain yang diduga berisi praktik-praktik prostitusi juga tak diperpanjang izin ya. Pemprov DKI, kata Steffi, didesak untuk menindaklanjuti hal tersebut.

Menurut Steffi, prostitusi merupakan salah satu bentuk eksploitasi terhadap perempuan. Eksploitasi terjadi karena laki-laki menganggap posisi perempuan tidak setaranya dan menjadikan perempuan sebagai objek pemuas libido. Prostitusi juga berdampak pada perempuan yakni mendapatkan penularan penyakit dari laki-laki.

“Sayangnya, mantan pekerja Alexis belum diberikan solusi pekerjaan yang baik dan tepat. Kami mendapat informasi ada yang tetap bekerja di tempat lain, bahkan pindah ke provinsi lainnya,” ungkap Steffi.

Steffi meminta pemerintah untuk memberi ruang kepada pekerja hiburan agar dapat meningkatkan kapasitas dirinya. Pemerintah harus mengurangi angka pengangguran dengan membuka lapangan pekerjaan. “Karena banyak faktor yang menyebabkan perempuan-perempuan ini menjual dirinya, salah satunya adalah faktor ekonomi,” ujar Steffi.

Steffi menambahkan, praktik prostitusi juga tetap terjadi di kos-kosan dan rumah sehingga sulit diidentifikasi, terkhusus dalam mencegah penularan penyakit seksual. Masalah itu juga harus dicari solusinya, bukan sekadar memenuhi janji politik dan desakan kelompok tertentu. Steffi mengingatkan bahwa para pekerja hiburan tidak boleh dihakimi dan dianggap sebagai pekerja rendahan. Sehingga mereka tetap punya kepercayaan diri untuk alih profesi di tempat pekerjaan lainnya.

Steffi mencontohkan dalam ajaran Kristen, hal demikian juga pernah dihadapi oleh Yesus. Yesus diperhadapkan kejadian ketika ada seorang perempuan yang akan dilempari batu oleh sekelompok orang karena ketahuan menjual diri. Namun Yesus mengatakan, “Barangsiapa yang merasa tidak berdosa sejak lahir, silakan melempari perempuan ini”. Dan ternyata tidak ada satupun orang yang kemudian melempari perempuan tersebut. Ini menunjukkan bahwa setiap orang punya dosa, tidak ada yang bersih dari kesalahan dan kekhilafan.

“Dalam mendukung perjuangan hak perempuan Indonesia, GMKI telah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan yang bertugas melakukan advokasi dan penguatan kapasitas terhadap perempuan. Pokja ini tersebar ke seluruh cabang di Indonesia dan berupaya untuk mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan bagi kaum perempuan,” tutup Steffi.

Kebanggaan yang Diporakporandakan

Lima belas tahun saya memiliki Asisten Rumah Tangga (ART) yang setia. Nyaman. Aman. Itulah yang saya rasakan.

Mulai dari bangun pagi hingga pagi berikutnya menjelang, dia selalu melayani kami sekeluarga dengan begitu baik. Makanan kami selalu enak dan bergizi. Rumah selalu bersih dan tertata rapi. Persediaan air mineral, Sembilan bahan pokok dan bahan makanan juga selalu ada.

Segala masalah bisa diselesaikannya. Mulai dari rok sekolah anak saya yang sobek, bisa dijahitnya, sampai urusan yang lebih berat, bisa tertangani dengan baik.

Saya pun diperlakukannya bagaikan putri. Sepulang kantor, jus buah segar selalu tersedia di atas meja. Karena sudah belasan tahun dia meladeni kami sedemikian rupa, kami menjadi biasa.

Sering lupa berterima kasih. Sering tidak peka terhadap kebutuhannya. Semua menjadi take it for granted. Memang seperti itulah, dia seharusnya, begitu kata kami.

Saya dan suami bekerja dari pagi hingga terkadang malam hari. Anak satu-satunya bersekolah dan mengikuti beberapa les dari pagi hingga terkadang sore hari. Si asisten yang lebih sering di rumah, bertemu dengan tukang pos, tukang listrik, tukang sayur dan bahkan beberapa orang yang mencoba menipu hanya untuk bisa masuk ke rumah.

Dia menjaga rumah kami bagaikan malaikat Tuhan. Saya tidak pernah mengunci kamar. Lima belas tahun terbukti, dia sangat jujur.

Saya, suami dan anak saya sangat sayang padanya. Tentu dengan cara kami masing-masing.

Tapi sekali lagi, karena sudah belasan tahun dia melakukan seperti ini kepada kami, kami jadi sering lupa berterimakasih, sering tidak peka terhadap kebutuhannya.

Hingga suatu ketika, kenyamanan kami terusik. ART yang baik hati dan sangat rajin ini pulang kampung karena ayahnya meninggal.

Atas usulan keluarganya, dia diminta tidak kembali lagi kepada saya. Sudah terlalu lama.

Dia meminta maaf. Dia ingin mencoba hal baru, demikian kata keluarganya.

Saya meradang. Menangis berhari-hari. Saya tidak menyiapkan rencana cadangan.

Sudah terlalu percaya diri, bahkan terkesan bangga memiliki ART yang setia. Ketika musim Lebaran tiba, saya selalu pamerkan ART saya yang tidak pulang kampung. Ketika ART teman-teman saya banyak yang gonta-ganti, saya selalu katakan bahwa hal itu tidak pernah terjadi pada saya. Saya terlalu bangga.

Akhirnya kami mendapatkan seorang ART baru sebagai penggantinya. Semua dimulai lagi dari awal. Pelan-pelan dan berproses.

Secara karakter dan kualitas pekerjaan, ART baru jauh berbeda dari ART lama. ART yang baru ini padahal usianya jauh lebih tua dari ART lama.

Hati saya menjadi semakin tak karuan. Kalau mengikuti ego dan kata hati, rasanya ingin mengambil ART lama kembali ke rumah saya.

Segala kebaikan ART lama selalu terbayang di pelupuk mata, sambil air mata saya mengalir. Saya menyesal kenapa saya tidak memikirkan masa depannya waktu itu. Seharusnya dia saya sekolahkan berbagai hal sebagai persiapan masa depannya.

Sampai hari ini, rasa sesak di dada saya tidak kunjung hilang karena penyesalan saya. Kebanggaan saya diporak-porandakan. Kebanggaan yang sudah menjadi berhala. Kebanggaan yang tidak lagi mengandalkan Tuhan.

Semoga ART saya yang lama sukses meraih masa depannya. Dengan tulus, saya mendoakannya. Maafkan kami yang tidak peka dengan kebutuhanmu.

 

Luciana Siahaan

Penulis adalah Ketua Dewan Teruna Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)

Foto: Pixabay.com

Yang Lebih Penting daripada isu Pribumi dan Non-pribumi

Dua pekan lalu, saya diminta sekelompok ‘ibu-ibu muda’ penghuni BSD dan sekitar bicara hukum yang relevan diketahui. Mereka para ibu yang biasa antar-jemput anak di sekolah Penabur dan satu keponakan perempuan ikut penggagas; perkumpulan sosial dengan kegiatan rohani dengan berbagai agenda rutin, melakukan aksi sosial ke masyarakat yang membutuhkan tanpa memandang agama dan etnisitas, tak membedakan orang pribumi atau golongan Timur asing macam aturan pemerintah kolonial. Pokoknya wujud kepedulian, menyumbang tanpa motif lain, berupa sembako, pengobatan, dan lain-lain.

Ternyata, tak hanya topik hukum yang jadi bahan omongan, melebar ke persoalan-persoalan masyarakat perkotaan di zaman sekarang, mulai dari “budaya” gadgets, kecenderungan digitalisasi, perilaku dan minat anak dan orang dewasa yang semua akhirnya harus mengakui: terjadi perobahan yang begitu cepat, nyata, dan tak terbendung. Mindset, behavior, orientasi dan minat orang-orang (terutama anak), seperti kian tegas jarak atau gap dengan orang tua.

Saya pun menambahkan pandangan dan pengetahuan atau informasi yang saya tahu, termasuk yang terjadi di berbagai negara. Trend globalisasi dan dunia yang semakin datar atau flat (bukan bumi datar maksudnya) akibat kemajuan teknologi dan sains, perekonomian dunia yang semakin terbuka namun sebenarnya kian kompetitif dan mengukuhkan hegemoni negara-negara berekonomi kuat karena unggul industri dan teknologi yang berdampak pada penerimaan negara dari hasil ekspor (perdagangan luar negeri), akan semakin nyata menimbulkan disparitas atau kesenjangan sosial-ekonomi pada masyarakat di negara-negara yang kalah bersaing.

Kesempatan kerja bagi generasi penerus (murid SD-SMP sekarang) akan semakin berat dan hanya yang benar-benar unggul yang berjaya; teknologi digital dan berbasis online, perlahan atau cepat, akan menggusur SDM.

Para ibu-ibu yang lebih banyak dari etnis Tionghoa itu seperti telah paham dan karenanya memprioritaskan pendidikan anak, menyiapkan yang dibutuhkan anak (antara lain belajar beberapa bahasa asing).

Sepanjang perjalanan menuju rumah dan jarak cukup jauh dari kawasan Serpong, saya bayangkan situasi negara ini, sekarang dan nanti. Lalu, teringat ketiga anak saya yang ketiganya menuju tahap dewasa secara usia dan menurut aturan hukum perdata. Mereka akan menghadapi kompetisi yang lebih keras itu, anak mereka (bila mereka memilih menikah dan punya anak karena saya tengah berupaya menjadi ayah yang moderat, tak mau memaksa anak married meskipun saya inginkan) bukan lagi generasi milenial dan entah seperti apa dampak kemajuan teknologi-sains dan cyber yang mempengaruhi berbagai hal.

Saya sedikit nervous manakala bayangan tersebut muncul, khawatir ketiga putra-putri dan anak mereka tak mampu berebut kesempatan kerja atau menyiapkan sumber penghasilan yang menjamin kebutuhan mereka di masa depan–dan suatu sikap yang bodoh bila saya hanya mengandalkan “melihat nanti saja” atau “Tuhan akan membantu mereka.” Otak saya harus digunakan memikirkan dan membagikan pada mereka (mumpung masih bisa bicara dan berbuat), terutama mengantisipasi yang akan datang, terlepas dari mereka concern atau cuek bebek (kuharap betul tak begitu).

Namun, jujur dan legawa saya akui, di antara beberapa keunggulan orang Tionghoa atau China (terutama diaspora), memang mereka lebih siap menghadapi situasi seperti apapun. Suka atau tidak, semangat, etos, elan, dan kegigihan mereka belajar dan “making money” serta melakukan saving maupun investasi, memang lebih baik sejak dulu.
Dan, itulah salah satu penyebab munculnya kecemburuan –dan bahkan antipati– bagi orang-orang yang tak bisa mengakui keunggulan orang (etnis) lain seraya bangkit karena mau menyadari kelemahan sendiri.

Para

ibu-ibu muda yang mengundang saya itu begitu antusias bertanya: apa lagi yang seharusnya mereka lakukan untuk melindungi anak dari persoalan hukum, dan meminta advis saya untuk menambah kesiapan putra-putri mereka berkompetisi di level internasional, kelak. Mereka begitu peduli dan mencatat saran-saran yang saya sampaikan walau yang saya katakan bukan ujaran seorang pakar, cuma berdasarkan info dan bacaan dan sebagian hasil pengamatan di beberapa perusahaan yang melakukan likuidasi dan rasionalisasi pekerja akibat situasi perekonomian nasional dan global.

Terus terang, kesadaran seperti itu sangat saya inginkan sebenarnya dimiliki orang tua atau masyarakat berusia dewasa di negara ini. Tak lagi tertarik menyoal atau mengusung isu: pribumi-non pri, agama itu-agama anu.

Tetapi, kayak orang Medan, “Apalah yang mau awak bilang. Patron dan tokoh-tokoh yang didukung orang-orang dan bahkan kalangan pendidik pun masih banyak mengandalkan isu-isu murahan macam itu.”

Kecemburuan pada satu etnis itu pun tak menjadi tantangan yang menciptakan perubahan demi perbaikan. Sementara, keterbelengguan tersebut amat penting dan masih tetap menarik bagi para pemburu kekuasaan yang mengatasnamakan “suara rakyat banyak” untuk dieksploitasi.

-*-

Pribumi dan Non Pribumi, Warisan Kolonial Yang Masih Membelenggu

Pada pidato perdana setelah dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, Dr. Anies Baswedan menyampaikan pernyataan-pernyataan yang dalam pandangan penulis patut untuk dicermati.

Sebagaimana diberitakan oleh beberapa media, dalam pernyataan-pernyataan tersebut Pak Gubernur menggunakan istilah “pribumi” untuk merujuk pada komponen bangsa yang dalam pandangan beliau pernah ditindas dan dikalahkan pada masa lalu. Oleh karena itu, setelah merdeka, kini saatnya komponen bangsa tersebut menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Pernyataan Dr. Baswedan di atas berpotensi memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Siapakah yang beliau maksud sebagai “pribumi” itu? Bagaimana hubungan komponen bangsa yang disebut “pribumi” tersebut dengan komponen lain yang dapat menjadi pembanding, yaitu “non-pribumi”?

Sejak kapan kategorisasi pribumi dan non-pribumi digunakan dalam masyarakat Indonesia? Apakah penggunaan istilah tersebut masih relevan di era reformasi ini? Tulisan singkat ini mencoba mendiskusikan pertanyaan petanyaan di atas.

Bila pendefinisian seeorang atau sekelompok orang sebagai “pribumi” atau “non-pribumi” didasarkan pada asal usul nenek moyang dari orang atau kelompok tersebut, maka sebagian besar – bila bukan seluruh – bangsa Indonesia tak dapat dikategorikan sebagai pribumi.

Betapa tidak? Sebagian besar antropolog sepakat bahwa asal usul manusia modern dapat ditelusuri hingga benua Afrika, antara 80 ribu hinga 100 ribu yang lalu. Ini berarti bahwa seluruh penghuni nusantara pada dasarnya adalah keturunan dari para imigran yang datang di kepulauan Asia Tenggara ini puluhan ribu tahun yang lalu.

Arus kedatangan rumpun Austronesia bahkan lebih lambat lagi. “Penduduk asli” pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Semenanjung Malaka itu meninggalkan “tanah leluhur mereka”, yaitu pulau Taiwan sekitar 1000 tahun atau lebih sebelum masehi.

Bila para penduduk asli itu sebenarnya adalah “pendatang”, mengapa saat ini kita mengenal pembedaan antara “pribumi” dan “non pribumi”? Siapakah yang pribumi dan siapakah yang bukan?

Pembedaan antara “pribumi” dan “non pribumi” sebenarnya merupakan sebuah fenomena yang tergolong baru, bila dibandingkan dengan sejarah nusantara yang telah mencapai ribuan tahun. Pembedaan ini baru mulai dikenal pada sekitar abad ke sembilan belas, seiring dengan stratifikasi masyarakat berdasarkan ras, yang menurut Professor Wertheim, sangat berbeda dari sistem lama di Indonesia, yang tidak mengenal pembedaan semacam itu.

Stratifikasi sosial baru yang diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial ini menempatkan orang orang Belanda dan golongan Eropa lainnya pada lapisan teratas dari masyarakat pada saat itu.

Orang orang Eropa ini memiliki status hukum yang sangat berbeda dari golongan lain, yaitu mereka yang disebut sebagai bumiputera, yang justru menempati lapisan masyarakat terbawah. Sementara itu, dalam wilayah koloni Belanda saat itu, terdapat pula orang-orang Asia yang berasal dari negara negara di luar nusantara.

Mereka adalah para pendatang (atau keturunan pendatang) dari Tiongkok, Jepang, Arab, India.  Sebagaimana dituliskan oleh Charles A. Coppel, orang-orang ini (dengan pengecualian pendatang dari Jepang yang pada akhir abad Sembilan belas disamakan dengan golongan Eropa) dikategorikan sebagai “mereka yang disamakan dengan pribumi”.

Namun meski disamakan secara status, mereka dibedakan sebagai golongan tersendiri, yaitu “Timur Asing”.  Menurut Coppel, istilah “Timur Asing” ini seolah melanggengkan pandangan bahwa mereka pada hakikatnya adalah ‘orang orang asing.

Meski penggolongan penduduk berdasakan ras di atas merupakan peninggalan kebijakan kolonial, keberadaannya nampaknya diterima oleh para aktivis pergerakan nasional pada awal abad ke-dua puluh. Sebagian besar dari organisasi yang memupuk kebangsaan Indonesia pada periode itu memandang bahwa hanya masyarakat pribumi lah yang dapat disebut sebagai bangsa Indonesia.

Orang-orang Timur Asing tidak dapat dianggap sebagai bangsa Indonesia meski mereka telah hadir di wilayah jajahan Belanda itu selama beberapa generasi. Sebagaimana ditulis oleh Mobini-Kheseh, setidaknya selama beberapa waktu, orang-orang keturunan Arab tidak dapat menjadi anggota penuh dari Syarikat Islam (SI), sebuah organisasi yang menjadikan agama Islam sebagai salah satu pemersatu.

Hanya beberapa dari para tokoh kebangsaan saat itu – teruatama para pendiri Indische Partij – yang berpandangan bahwa Indonesia (saat itu disebut sebagai Hindia) adalah tanah air dari mereka yang tinggal di Indonesia, tanpa memandang ras, etnisitas, ataupun agama.

Sayang, Indische Partij sendiri tak berumur panjang karena segera diberangus oleh pemerintah kolonial. Seiring pudarnya Indische Partij, ide pembangunan bangsa Indonesia yang berdasarkan pada status kepribumian menjadi wacana yang paling dominan dalam pergerakan kebangsaan di waktu itu.

Lebih dari dua abad telah berlalu sejak penggolongan masyarakat berdasarkan ras diperkenalkan oleh pemerintah Kolonial. Indonesia pun telah lebih dari tujuh puluh tahun berada dalam alam kemerdekaan. Namun istilah pribumi dan non-pribumi masih seringkali didengungkan, tanpa memberi klarifikasi mengenai konteks di mana istilah tersebut pertama kali dicipta.

Sebagai bangsa merdeka, bukankah seyogyanya kita pun membebaskan diri dari belenggu mental yang pernah dikenakan kepada kita oleh pemerintahan kolonial di masa lalu?

Dalam hemat penulis, salah satu dari belenggu tersebut adalah pembedaan terhadap saudara sebangsa berdasarkan penggolongan pribumi dan non pribumi. Hancurnya belenggu tersebut akan membawa kita kembali kepada cita-cita lama yang selalu mulia, yaitu membangun bangsa Indonesia yang mencakup seluruh anak negeri, termasuk mereka yang pada masa kolonial dikategorikan sebagai “pribumi” dan “non pribumi.”

 

Johanes Herlijanto

Penulis adalah antropolog dan dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UPH, Karawaci.

Tulisan pernah muncul di Petraonline.net 5 Juni 2017, namun telah diedit sesuai konteks saat ini.

 

Foto Pixabay

Apakah Kita Tawanan Sejarah?

Masyarakat Indonesia mungkin akan terus menjadi tawanan sejarah yang kelam karena belum dicoba buka secara terang-benderang dengan memaparkan fakta dan pengakuan apa adanya, meskipun ada perbedaan pendapat yang tajam di antara pemenang dan yang kalah, antara yang mendukung dengan yang menentang.

Tetapi memang, menyampaikan kebenaran sejarah suatu negara-bangsa yang penuh potensi konflik, apalagi pada masyarakat yang majemuk, rentan menuai perselisihan karena masing-masing (akan) menyodor “kebenaran” yang bisa bergeser ke kemarahan.

Dalam kasus PKI yang dilikuidasi Rezim Orde Baru secara paksa pasca Gestok/G 30 S, 1965, warganegara dari kedua kubu (yang antipati dan korban; yang sesungguhnya kedua kubu pun bisa mengklaim “representasi” korban) menjadikan masyarakat lain ikut jadi tawanan. Orang-orang yang tidak memiliki tautan dan imbas akibat perseteruan politik masa silam. Perseteruan yang berdarah-darah yang mengubur ratusan ribu korban (ada yang menyebut angka tiga juta malah).

Kebenaran masing-masing memang muskil menemukan kesepakatan, dendam dan kepentingan pun akan tetap menjadi “warisan” yang memperpanjang masyarakat negeri yang heterogen dan sarat persoalan sebagai tawanan.

***

Tetapi, nampaknya, ada yang tidak diperhitungkan atau dijadikan pertimbangan (oleh) orang-orang yang getol menjadikan tragedi kemanusiaan terburuk dalam sejarah Indonesia modern itu sebagai modal politik: keturunan maupun simpatisan parpol berlambang palu dan arit tersebut.

Sebelum dibangkrutkan dan dilarang, PKI disebut memiliki pendukung sekitar 30 juta orang. Asumsikan keturunan korban pembantaian dan penyintas maupun yang sekedar ikut-ikutan memberi suara atau dukungan pada PKI dulu, sekitar 40-50 juta orang, walau mereka tidak otomatis berideologikan Komunisme dan boleh jadi membenci.

Mereka yang kemudian (memilih) menjadi agamis atau seolah-olah, demi memutuskan “keterkaitan” dengan PKI, selain untuk menghapus cap yang mengerikan dan distempelkan penguasa negara pada diri mereka; cap yang tidak saja membuat ‘kematian perdata’ dengan pelarangan kerja atau berprofesi di beberapa bidang yang ditentukan pemerintah (yang tengah berkuasa), juga menanggung dampak stigma yang mengasingkan relasi sosial mereka selama 30 tahun lebih –bahkan sampai kini.

***

Estimasi jumlah tersebut malah lebih banyak menurut seorang pensiunan petinggi serdadu, taksirannya 60 juta (walau metode kalkulasi tidak dia sertakan dengan analisa yang meyakinkan).

Mari kita bayangkan power 60 juta warga, setidaknya kontribusi suara saat Pilpres. Ditambah suara puluhan juta masyarakat pemilih yang lebih mengedepankan akal sehat, orang-orang yang menghendaki kedamaian, warga muda atau generasi milenial yang sejak bangun hingga mau tidur mengakrabi gadgets dan mudah mengakses informasi; generasi yang lebih rasional, berdecak kagum dan mengikuti kemajuan sains-teknologi; orang-orang yang tak gampang lagi diindoktrinasi –apalagi dikibuli– karena daya kritis dan pola pikir, paradigma, serta orientasi yang lebih pragmatis, yang menghendaki sukses dengan ukuran pengumpulan materi agar bisa memenuhi keinginan menyenangkan diri –tak hanya shopping, hang out, party, traveling, juga memenuhi keinginan snobisme.

Plus, masyarakat yang apatis karena sudah muak dengan perilaku koruptif para pejabat dan politisi, tak percaya lagi janji-janji sebab hampir semua tak menepati; warga yang “hanya” mendambakan kepastian sumber nafkah, jaminan pengobatan bila sakit, keberlangsungan pendidikan dan ketersediaan lapangan kerja.. Orang-orang yang jumlahnya signifikan dan seperti ‘massa mengambang,’ cair, tak terikat secara ideologis dengan suatu parpol.

***

Andai para aktor politik dan yang masih berambisi tinggi menguasai singgasana kekuasaan berpikiran cerdas, pikiran dan imajinasi mereka akan mempertimbangkan yang disinggung di atas selain membaca realitas sosial-politik dan budaya masyarakat dengan pendekatan intelektual untuk dijadikan tambahan modal politik –lalu menyiapkan strategi politik yang trengginas.

Maka, saya masih ragu mereka akan mampu menggeser Jokowi dalam Pilpres 2019 karena nampaknya tetap mengandalkan pola, isu, dan cara-cara vulgar yang terkesan naif, sementara Jokowi tetap selow dan berupaya merangkul semua lapisan dan unsur masyarakat.

Lha, para fans berat Jeng Raisa saja sampai mengadukan “patah hati” mereka pada Jokowi karena perkawinan wanita pujaan cowok-cowok galau itu.
Hehehe…

***

Bunuh Diri dalam Kekristenan dan Menurut Alkitab

Akhir-akhir ini kasus bunuh diri sepertinya sedang marak. Malah, baik di luar negeri maupun di dalam negeri, sedang ramai orang yang mengakhiri hidupnya lalu menyiarkannya ke seluruh dunia melalui media sosial. Gile bin konyol.

Bunuh diri biasanya berkaitan dengan masalah tekanan psikis atau depresi. Akal sehat jelas tak bisa menerima tindakan bunuh diri, apapun alasannya. Tapi depresi biasanya membuat akal sehat entah ke mana.

Bagaimana bunuh diri dalam sudut pandang kekristenan dan Alkitab? Setidaknya ada tujuh orang yang disebut membunuh dirinya, seperti disebut dalam Alkitab.

Mereka adalah Simson (Hak 16:26-31), Abimelek (Hak 9:54), Saul (1 Samuel 31:4), pembawa senjata Saul (1 Samuel 31:4-6), Ahitofel (2 Samuel 17: 23), Zimri (1 Raja-Raja 16:18), dan Yudas (Matius 27:5). Berikut ini kisah mereka:

Abimelek
Abimelek adalah putra Gideon dari gundiknya di Sikhem. Selama beberapa waktu dia menjadi raja kota di Sikhem dan tercatat berbuat kejahatan dengan membunuh 70 saudara tirinya. Tapi dia mati saat hendak memperluas kekuasaannya ke Tebes. Seorang perempuan menimpakan batu ke kepala Abimelek sampai pecah. Agar tak malu karena dibunuh perempuan, Abimelek meminta bujang pembawa senjatanya untuk menikamnya sampai mati.

Simson
Setelah kekuatannya pulih, Simson membalas dendam pada orang-orang Filistin. Dia merubuhkan kuil tempatnya ditawan, sehingga ia juga ikut tewas. Tapi para ahli memperdebatkan apakah kematian Simson termasuk bunuh diri atau bukan. Sebab, dia punya tujuan dengan kematiannya, yaitu menumpas orang-orang Filistin yang telah memperdayanya.

Saul
Raja pertama Israel ini terjepit setelah pertempuran sengit di pegunungan Gilboa. Orang Filistin terus mengejar bangsa Israel dan bahkan membunuh anak-anak Saul: Yonatan, Abinadab, dan Malkisua. Saul kepergok pemanah dan dilukai sampai parah. Kalah dalam pertempuran, kehilangan seluruh anggota keluarga sangat memberatkan jiwa Saul. Dia pun meminta pembawa senjata pribadinya untuk membunuhnya. Tapi si pembawa senjata segan, sehingga Saul sendiri yang menjatuhkan dirinya ke pedang lalu tewas.

Pembawa pedang Saul
Demi melihat junjungannya tewas, pembawa pedang ini pun menjatuhkan dirinya ke atas pedangnya sendiri. Dia pun tewas. Tak ada lagi cerita mengenai sosok ini sehingga tak jelas alasannya ikut bunuh diri.

Ahitofel
Sosok ini adalah seorang penasihat Raja Daud yang disegani, berasal dari Gilo dan merupakan kakek dari Betsyeba. Tapi dalam revolusi Absalom melawan Daud, Ahitofel bersekongkol dengan putra Daud itu. Daud pun berdoa supaya nasihat Ahitofel tak berguna. Ahitofel pernah mengusulkan supaya Absalom memamerkan kekuasaan dengan mengambil semua gundik ayahnya. Dia juga mengusulkan agar menyerang Daud sebelum dia menghimpun pasukan. Tapi nasihat terakhir ini digagalkan oleh sahabat Daud, Husai. Karena nasihatnya ditolak, Ahitofel pulang ke kotanya dan gantung diri.

Zimri
Dia adalah raja kelima di kerajaan utara dan hanya memerintah selama tujuh hari. Semula dia adalah panglima pasukan kereta kerajaan Israel yang saat itu dipimpin oleh Raja Ela, anak Baesa. Dia mengadakan kudeta dan membunuh raja serta keluarganya. Tapi rakyat menolaknya dan menobatkan Omri sebagai raja. Mereka pun mengepung Zimri di Tirza. Ketakutan dan putus asa menjelang kejatuhannya, Zimri membakar istana dan ikut mati di dalamnya.

Yudas
Salah seorang dari 12 murid Yesus Kristus ini dilanda penyesalan amat sangat karena telah mengkhianati Yesus dengan imbalan uang 30 perak. Karena perbuatannya, gurunya kemudian ditangkap dan dihukum mati. Yudas melemparkan uang itu ke Bait Suci lalu pergi untuk gantung diri.

***

Kita melihat, alasan para tokoh ini bunuh diri umumnya karena kejahatannya, atau mereka dilanda penyesalan yang amat dalam dan rasa bersalah, rasa malu luar biasa, serta putus asa yang hebat.

Tapi tindakan bunuh diri, yakni sebuah tindakan yang dipilih sendiri oleh si pelaku dan dimaksudkan untuk mengakhiri hidup, adalah perbuatan yang salah dan tak seharusnya dilakukan orang Kristen.

Dalam sejarah gereja, ada perdebatan apakah bunuh diri termasuk dosa yang sangat besar dan tak terampuni atau tidak sama sekali. Dan pertanyaan yang jadi perdebatan adalah, apakah orang bunuh diri masuk surga?

Saya tak punya kapasitas untuk mengulik perdebatan itu. Tapi menurut pendapat saya pribadi, membunuh diri sama terlarangnya dengan melakukan pembunuhan, seperti pada hukum Taurat. Sebab ada unsur kesengajaan untuk menghilangkan nyawa, meski itu adalah nyawanya sendiri.

Membunuh diri sendiri juga sama artinya tak menghargai hidup kita sebagai maha karya Tuhan, yang diciptakan menurut rupaNya sendiri dan diberikan nafas kehidupan olehNya.  Jelas, Tuhan ingin kita hidup. Saat kita memilih mati, sudah pasti, perbuatan ini tak disukai Tuhan.

Ini semacam pemberontakan pada Tuhan, yang telah mengaruniakan kehidupan pada kita. Bukankah masa hidup kita ini sebetulnya Tuhan yang tentukan? Seperti dikatakan di Mazmur 31:15 “Masa hidupku ada dalam tangan-Mu..”

Agar bunuh diri ini tak sampai terjadi pada orang-orang terdekat kita, atau orang yang kita kenal, kita perlu memasang mata dan telinga. Jangan abai terhadap seseorang yang mungkin sedang mengalami tekanan hidup yang hebat, diliputi rasa bersalah, atau sedang berputus asa luar biasa.

Pedulilah dengan menyediakan telinga untuk mendengar curahan hati mereka. Tapi jangan menghakimi.

Pada Kisah Para Rasul 16, ketika gempa bumi yang hebat membuat belenggu dan pintu penjara yang dihuni rasul Paulus dan Silas terbuka, kepala penjara stres bukan main, ketakutan, dan hendak bunuh diri. Paulus tak tinggal diam dan berseru mencegah perbuatan itu.

“Bagaimana supaya aku selamat?” ujar si kepala penjara. Itulah kesempatan Paulus bercerita tentang keselamatan dan Injil Yesus Kristus. Puji Tuhan, dari tadinya ingin bunuh diri, si kepala penjara dan seisi rumahnya malah menerima Tuhan Yesus sebagai juruselamat mereka.

Kalau kamu termasuk yang berada dalam tekanan hebat dan depresi, bahkan mungkin sempat berpikir hendak bunuh diri, urungkanlah niatmu. Berserulah pada Tuhan, seperti pesan Rasul Paulus di Roma 10:13. “Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan.”

Allah peduli pada kita, sehingga Dia mengaruniakan AnakNya yang Tunggal sebagai jalan keselamatan kita. Yesus peduli pada kita, sehingga Dia rela menanggung dosa-dosa kita sampai Dia mati di kayu salib. Masakan kita tak peduli pada diri sendiri yang sudah dihargai begitu rupa?

Ilustrasi Foto: Johnhain/Pixabay