Benyamin S, Muni Cader, dan Pola Pikir yang Belum Beranjak

Akhir pekan lalu saya beserta keluarga, istri dan dua anak tercinta, menikmati family time di sebuah area yang sangat unik di Bekasi. Bukan, bukan karena Bekasi-nya sehingga saya menggunakan kata “unik”. Jargon “Bekasi itu di planet luar Bumi” sepertinya sudah diterima dengan lapang dada oleh warga Bekasi sendiri.

Tingkat “unik”-nya adalah karena kami menikmati malam yang diselingi rintik hujan datang dan pergi di sebuah area bernama Festival Kuliner Bekasi di Summarecon Mall. Bagi kami, ini jelas kesempatan tiada dua untuk mencoba berbagai cita rasa masakan tradisional dan jajanan jadoel, seperti mengarungi waktu lalu. Anak-anak pun bersemangat menerima informasi dari kedua orang tuanya tentang berbagai jenis masakan yang sekarang susah banget ditemui.

Sang adik sangat tertarik dengan cara pedangang Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih menyajikan dagangan. Wajan ukuran jumbo diletakkan di kompor dan sangat mencolok bagi pelanggan yang lewat, di wajan besar itu telah ada nasi goreng yang menggunung. Kami beli dua porsi, dan si penjual langsung beratraksi dengan mengongseng-ongseng nasi segunung di wajan jumbo. Plok, plok, langsung tersaji dua piring nasi goreng.

Sang kakak memilih ngantre beli Harum Manis, gulali yang berbentuk kapas yang secara membuatnya saja sudah menarik perhatian dengan mesin bundar yang berputar cepat sambil digenjot di bawah seperti mesin jahit.

Sayang, antrean buat beli produk ini cenderung liar, enggak berderet rapih ke belakang, tapi lebih ke “adu-aduan” lemak tubuh. Ya kakak mundur teratur dan enggak jadi beli.

Namun ternyata bukan sekadar makanan yang disajikan, Festival Kuliner Bekasi juga mengadakan layar tancep. Saat kami memilih tempat duduk, kami tak sadar sama sekali kalau di depan kami ada layar putih besar. Ketika proyektor di dekat kami duduk menyala dan menyorot ke layar barulah kami “ngeh” bagaimana pas-nya tempat duduk kami, karena berada paling depan.

Film yang diputar “Koboi Ngungsi” yang dibintangi almarhum Benyamin S dan peran pembantu Edi Gombloh. “Peran pembantu” di sini benar-benar berperan sebagai pembantunya si Benyamin.

Kapan lagi coba nonton Benyamin S beraksi. “Ini komedian paling top zaman dulu nak”, begitulah saya coba menerangkan. Kemudian dua anak saya tertawa terpingkal-pingkal pada beberapa adegan yang ditampilkan di film itu. Adegan-adegannya berupa kekocakan yang kasar menjurus ke slapstick , celaannya pun buat zaman sekarang ini terasa cukup menyengat. Bayangkan, nama si Edi Gombloh saja “Charles Dongok”, lalu setiap dipanggil oleh si Benyamin,”Eh elu Dongok!” Busyet dah.

“Emang dongok artinya apa Pa?”, “Kurang pandai, kak. Berbuat kesalahan yang enggak perlu terus.” Begitulah dialog kami.

Lalu muncullah Muni Cader sang antagonis legendaris kelas wahid. Predikat “legendaris” ini penting, karena ternyata gaya antagonis Muni Cader sangat-sangat tidak ada perubahan dengan gaya antagonis bin jahat dari yang kita sering lihat di sinetron-sinetron yang berseliweran saat ini.

Seperti sebuah pakem, Muni Cader bergaya dengan omongan yang mencibir, lalu mata mendelik-mendelik lebar, alis hampir melewati jidat, dan ujung bibir kiri dan kanan bergantian tertarik-tarik ke atas. Nyaris tak ada yang berubah gaya antagonis ini dengan antagonis-antagonis di sinetron sekarang, contoh saja antagonis di sinetron “Cinta yang Tertukar”.

Ya pembantu rumah tangga saya sangat menggemari sinetron ini, sekelebat saya dan anggota keluarga lain juga menyaksikan adegan-adegannya. Karena Minggu adalah hari senang-senang bagi dia, jadilah kami membiarkan dia menguasai remote televisi di ruang tengah, dan kami berempat beraktivitas lain di luar rumah.

Gaya akting Muni Cader dan beberapa artis legendaris seperti Grace Simon, Conny Sutedja dan Nani Widjaja, di film ini benar-benar terasa masih banyak kesamaannya dengan gaya-gaya akting dan bertutur para artis Indonesia masa kini saat berperan.

“Dasar Koboi sarap!” Nah loh. Itu salah satu contoh makian Conny Sutedja.

Pantas saja anak-anak saya yang masih duduk di bangku SD dan TK ini bisa tertawa terpingkal-pingkal melihat akting mereka, apalagi akting Benyamin S yang berperan sebagai Billy Ball. Rupanya mereka masih “konek” dengan kelucuan tahun 70-an itu.

Narasi lucu-lucuan dari zaman film itu dibuat tahun 1975 sampai sekarang enggak banyak berubah. Ternyata…

Anak-anak masih menemukan kelucuan yang sama yang mereka lihat di komedi-komedi masa kini. Mereka juga masih melihat akting stereotipe penjahat yang masih juga enggak berubah saat ini.

 

Pola Pikir

Jadi, lengkap sudah. Kami ke sebuah festival makanan jadoel yang tak lekang sampai sekarang masih diminati. Plus, kami juga melihat film yang ternyata gerak aktingnya juga “tak lekang” alias enggak bergeser jauh dari yang ada sekarang ini.

Untuk yang pertama, tentu sangat menyenangkan mengetahui dan merasakan masakan Nusantara yang jadi kenangan di masa kecil masih sangat diminati. Untuk yang kedua, terasa menyedihkan, bagaimana pola pikir yang disuguhkan kepada kita seperti belum beranjak jauh dari stereotipe yang diberikan pada zaman baheula.

Ini belum lagi pelajaran berharga buat generasi mendatang, bahwa budaya antre masih minim berlaku di masyarakat, sepertinya sesuatu yang dilakukan rebutan dan cenderung chaos itu mengasyikkan. “Menang” dalam rebutan–datang belakangan tapi dapat duluan–bagi banyak orang terasa sangat memuaskan.

Malam makin larut di mal itu, sambil terpingkal-pingkal nonton Benyamin S, kue ape gurih garing juga terus dikunyah. Ibunya anak-anak rela bolak-balik beli kue ape yang gerobaknya berjarak sekitar 50 meter dari kami duduk. Ah untuk yang satu ini pasti polanya sama, namanya emak-emak selalu jadi seksi sibuk. Takkan (boleh) berubah.

JOB PALAR

Foto: Koboi Ngungsi, dirilis pada tahun 1975 oleh Jiung Production

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *