Ironi Sebuah Pilihan

Pilihan itu adalah sebuah kemewahan. Pilihan itu adalah sesuatu yang menarik. Pilihan itu memberi rasa kemerdekaan, kedewasaan, dan kemanusiaan.

Tapi di sisi lain, pilihan juga bisa menakutkan, sebab kita tidak tahu mana yang benar pada akhirnya.

Pilihan itu pun disertai dengan resiko. Jika pilihan tepat, semua berjalan baik. Jika pilihan salah, siap-siap menanggung resikonya.

Seorang teman pernah curhat. “Kayaknya gue salah pilih suami deh,” katanya. Saya hanya diam mendengarkan. Sejujurnya saya pernah menduga hal ini sejak awal. Tak seorangpun dari pihak keluarganya yang merestui rencana pernikahan mereka sejak semula. Saya sendiri sebagai teman pun bisa melihat bahwa lelaki itu bukan tipe suami yang tepat untuknya.

Tapi nasi sudah jadi bubur. Yang perlu dia lakukan sekarang adalah memberi bumbu dan ‘aksesoris’ pelengkap agar bubur itu bisa tetap dinikmati.

Rekan saya dulu juga pernah menyesal telah salah pilih dalam merekrut karyawan untuk jadi anak buahnya. Program dan kondite tim-nya memburuk karena karyawan ini. Untungnya karyawan tersebut masih dalam masa kontrak, sehingga bisa diterminasi tanpa masalah.

Salah pilih pembantu rumah tangga pun, bisa sangat merugikan kita. Seorang teman lama saya, pernah mengalami kejadian buruk, babysitter yang dipilihnya dari yayasan ternama, mencoba membawa kabur anaknya yang yang masih bayi tapi berhasil digagalkan, dan itu sempat membuatnya trauma.

Seorang sepupu saya, salah memilih jurusan waktu kuliah. Dia tidak suka jurusan itu dan dia tidak bisa mengikutinya. Akibatnya, dia drop out. Dia telah menghabiskan beberapa tahun dengan percuma, rugi waktu, uang, energi dan korban perasaan diri sendiri dan kekecewaan orangtua, hanya karena kesalahpilihan itu.

Saya suka alpukat. Tapi sampai kini, saya paling tidak bisa memilih alpukat yang bagus. Kadang saya dapat yang bagus, tapi lebih sering dapat yang tidak bagus. Dan itu kadang membuat saya jadi agak malas membeli alpukat. Saya menyebut hal ini sebagai resiko pilihan. Betapa pilihan itu kadang tidak mudah, memusingkan dan bikin frustasi.

Ironi sebuah pilihan adalah ketika kita sudah tahu sesuatu hal itu tidak baik, tapi tetap kita pilih juga.
Saya pernah salah pilih teman gaul. Untungnya saya segera sadar karena ibu saya mengingatkan. Kalau tidak, saya mungkin akan sama nasib dengannya sekarang, luntang-lantung tanpa pekerjaan yang jelas.

Seorang teman saya di kampus dulu, pernah mengakui bahwa dia buruk sekali dalam hal pilihan pacar. Dia sudah tahu lelaki itu buaya, tapi karena dia ganteng, dia suka pada lelaki itu, dia akan memilihnya jadi pacar. Dan tak lama kemudian mereka akan putus, dia akan kecewa dan patah hati, dan menangis mengadu pada saya.

Seorang rekan kantor yang sedang diet, tahu bahwa gorengan tidak bagus untuknya, tapi jika disodorkan pilihan gorengan atau buah segar, dia akan tak tahan untuk tidak memilih gorengan. Bagaimana bisa sukses dietnya kalau begitu? Sudah tahu lemak harus dikurangi, tapi masih dimakan.

Masa kita sudah tahu dia koruptor tapi kita suka karena ganteng, kita memilih dia jadi pemimpin, misalnya? Sudah tahu dia punya istri, masa kita mau memilihnya jadi suami, mau menjadi istri simpanan? Sudah tahu dia mata keranjang, tapi kita masih mau jadi pacarnya?

Ketika kita sudah tahu bahwa sesuatu itu tidak baik, walau kita menyukainya, beranikah kita, sanggupkah kita, kuatkah kita, untuk tidak memilihnya?

Sesungguhnya, pilihan kita menunjukkan siapa kita. Jika kita memilih pemimpin koruptor, jangan protes nanti jika pembangunan tidak berjalan, dan masa depan negara dan anak-cucu kita suram.
Hidupmu pilihanmu. Pilihan ada di tanganmu. Jangan karena alasan sentimental karena subjektifitas sekedar rasa suka saja, karena ganteng, karena kenalan atau kerabat, sesuku atau seagama, menjadi alasan untuk tidak memilih kandidat yang sebenarnya paling bagus untuk jadi pemimpin.

Saya tidak suka sayur dan air putih. Tapi saya memilih untuk memaksa diri makan sayur dan minum air putih secukupnya setiap hari, sebab saya ingin tetap sehat, segar dan awet muda.

Demikian saya coba aplikasikan dalam bidang kehidupan lainnya. Sekalipun misalnya guru anak saya galak, kalau memang dia bagus membuat anak saya disiplin, saya akan memilihnya.

Jika harus memilih, saya akan memilih pemimpin yang walaupun berbeda dengan saya, tapi memiliki integritas untuk mengabdi pada bangsa dan negara, bukan yang diam-diam menggerogoti uang negara untuk kepentingan pribadi dan membiarkan ketidakadilan terjadi.

‘Salah pilih’. Kata yang sangat mengerikan. Betapa fatalnya jika kita salah pilih. Salah pilih suami, rumah tangga hancur. Salah pilih karyawan, perusahaan hancur. Salah pilih pembantu, menimbulkan masalah besar. Salah pilih pekerjaan, tidak bahagia.

Salah pilih pemimpin?

-*-

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *