Pelita dalam Gulita

Guru. Entah mengapa, ada nada sendu di hati saya jika menyebut kata ini. Guru.

Apa yang paling berkesan bagi anda tentang guru?

Kalau saya, yang pertama kali teringat di benak saya adalah bapak guru bahasa Inggris waktu SMP. Saya kira beliaulah yang membuat saya menyukai pelajaran itu. Dia begitu bersemangat mengajar, tak pernah mengeluh, walau jauh dari keluarganya yang hanya bisa dia temui tiap akhir pekan di daerah lain. Dia menularkan semangat itu pada muridnya.

Yang kedua teringat adalah ibu guru bahasa Indonesia saya waktu SMA. Beliau saya suka karena cerdas, tegas dan kreatif, juga sederhana. Tak bisa saya lupa ekspresinya ketika beliau tahu cerpen pertama saya dimuat di surat kabar lokal. Waktu itu saya masih kelas dua SMA. Kau membuat mimpiku jadi kenyataan, kata beliau. Saya sangat tersentuh. Rupanya diam-diam beliau sangat ingin menjadi seorang penulis. Dia menitipkan mimpi itu pada siswanya.

Yang ketiga (lho?) adalah ibu saya. Bukan ibu saya saja sih tepatnya. Kebetulan ibu saya guru matematika saya waktu kelas 3 SD. Waktu itu ada teman sekelas yang pintar matematika, dan ibu saya sengaja membuat saya semeja dengan anak itu. Mungkin karena teman ini jugalah saya makin menyukai pelajaran matematika. Saya berutang budi pada teman itu. Dia adalah guru matematika kedua saya.

Jika diingat, guru saya ada bermacam-macam tipenya. Ada guru geografi saya SMP, yang mungkin saking jeniusnya, sampai botak karena stress, karena murid-muridnya tak bisa mengerti apa yang beliau terangkan. Demikian juga guru elektronika, selalu stress karena muridnya tak bisa mengikuti yang beliau ajarkan (hahaha).

Ibu saya pernah bercerita, bahwa dulu gaji guru sangat kecil. Syukur atas kebijakan pemerintah saat ini yang telah menaikkan taraf hidup mereka. Dulu, kadang kasihan melihat para guru. Bahkan sampai-sampai ada guru SMA saya yang menjual copyan contoh soal-soal ulangan untuk menambah modal pernikahan. Sungguh memprihatinkan.

Bagi seorang teman saya bernama Sabam, guru yang paling berjasa baginya adalah Bu Sahara, yang sungguh sabar mengajarinya dari nol, hingga bisa membaca dan menulis, tak pernah marah, dan intonasi cadelnya terdengar sangat enak di telinga. Tapi yang paling tak terlupa baginya adalah ibu guru yang cantik, yang sering pakai baju pink dan rok merah, berambut panjang, lembut dan ramah, sampai tangan dan kaki beliau yang berbulu pun masih diingat sampai sekarang, hahaha

Lain lagi teman saya bernama Dedi, yang paling tak terlupakan baginya adalah kepala sekolah SMP, yang suka memukul pakai lidi. Jaman itu, masih ‘lazim’ dengan kekerasan seperti itu. Kebalikannya, jaman sekarang sudah berbeda, malah ada berita tentang kekerasan dari murid pada guru.

Pada acara perpisahan sekolah SD anak saya, (bukan karena anak saya yang dipilih untuk menyanyikan lagu ini), tapi saya ikut terharu dan susah payah menahan untuk tidak menitikkan airmata mendengar liriknya:

Terima Kasihku Kuucapkan
Pada Guruku Yang Tulus
Ilmu Yang Berguna Slalu Di Limpahkan
Untuk Bekalku Nanti

Setiap Hariku Dibimbingnya
Agar Tumbuhlah Bakatku
Kan Ku Ingat Slalu Nasihat Guruku
Trima Kasihku Guruku

Selain guru yang berkesan baik, pernah juga ada guru yang berkesan buruk. Tapi guru hanyalah manusia, sama seperti kita, para murid yang juga beranekaragam permasalahannya. Saya percaya mereka tak bermaksud buruk atau kejam. Bagaimanapun mereka sudah bersusah-payah mencerdaskan bangsa. Para guru hanya berusaha yang terbaik untuk mengabdi pada negara dan memberikan yang terbaik bagi murid-muridnya. Kita bisa pintar karena dididik para guru. Apa jadinya kita tanpa para pendidik itu.

Maka benarlah kata lagu:
Guru bag pelita penerang dalam gulita, jasamu tiada tara.

-*-

Foto: Pixabay

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *