Category Archives: Renungan

Jangan Asal Bapak Senang, Kecewa Nanti

Pagi itu, saat aku tiba di kantor, tampak office boy (OB) sibuk mengelap kaca. Toilet pun dibersihkan sedemikian rupa. Jadi wangi sekali.

Semua sibuk. Ini gara-gara menjelang siang, sang owner alias Pak Bos Besar, akan datang ke kantor dan mengumumkan sesuatu yang sangat penting.

Bukan berarti sehari-hari kaca depan itu buram atau kotor penuh noda ya. Atau toilet berbau pesing, dan sebagainya.

Sehari-hari bersih kok. Hanya saja, hari ini jauhhhh lebih bersih dan jauh lebih wangi.

“Tumben,” kataku.

“Iya pak, kan pak bos akan datang,” kata salah satu dari OB itu.

Baiklah, jadi ketika pak bos datang, semua harus tampak sempurna. Sebuah pekerjaan dilakukan sungguh-sungguh hanya ketika bos besar akan datang.

Aku ingat ketika masih kecil tinggal di perkebunan sawit tempat papa bekerja. Ada masa-masa di mana Administrateur (ADM) berkunjung ke pemukiman karyawannya.

Saat itu, segala sesuatu harus tampak sempurna. Pekarangan tak boleh ada sampah. Pagar hidup harus dipercantik. Kalau bisa, dinding rumah sudah dicat. Pokoknya, bapak ADM itu harus melihat segala sesuatu baik adanya.

Dalam hal menyambut pejabat juga sering begitu, bukan? Kalau seorang pejabat negara akan datang, maka semua harus tampak baik. Bahkan, lokasi pengungsian yang bakal dilewati sang pejabat pun harus bersih. Para pengungsi harus sudah mandi, bersih, wangi, padahal mereka sedang susah hati.

Seberapa banyak dari kita masih sering berperilaku begitu? Yang penting bapak/ibu bos senang, yang penting di mata bapak/ibu bos semua baik. Padahal, kadang seperti mangga yang cantik kulitnya tapi busuk penuh ulat di dalam dagingnya.

Hal yang baik dan terpuji mestinya harus dilakukan setiap saat, ada tak ada bos, atau ada tak ada pejabat, atau siapapun yang ingin kita hormati. Ia harus jadi perilaku, dilakukan bukan karena kita ingin dinilai orang lain, tetapi karena seharusnya begitulah kita melakoni hidup setiap saat.

Aku teringat bagian Firman Tuhan di Kolose 3:23 yang berkata: “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”

Lakukanlah segala sesuatu seperti untuk Tuhan, sebab Dia itu Maha Tahu. Dia tahu hati kita, apakah yang kita lakukan itu kepura-puraan belaka atau tulus dan jujur adanya. Jadi percuma berbuat baik, tapi di hati ada borok menganga, sebab itu takkan tersembunyi dari Dia.

Seperti Yesaya 29: 15 yang berkata, “Celakalah orang yang menyembunyikan dalam-dalam rancangannya terhadap TUHAN, yang pekerjaan-pekerjaannya terjadi dalam gelap sambil berkata: ‘Siapakah yang melihat kita dan siapakah yang mengenal kita?'”

Lagi pula, melakukan yang baik itu janganlah semata-mata untuk mendapatkan pujian atau penilaian baik manusia. Sebab belum tentu manusia menghargai usahamu, bukan? Nanti kamu kecewa. Celaka!

Tapi Tuhan tahu memberi ganjaran terbaik. Dia tahu apa yang kita kerjakan setiap detailnya, setiap waktunya. Berapa banyak air mata, kesusahan yang kita alami untuk melakukan hal-hal baik. Percayalah, untuk segala sesuatu yang baik, jerih payah kita tidak akan sia-sia.

Foto: Skeeze/Pixabay

Ketika SATU Tak Pernah Cukup

Tempo hari, saya mengajak anak saya yang bungsu liburan singkat sekalian menemani neneknya berkunjung ke rumah kerabat di kampung halaman. Karena ayah dan kakaknya tidak bisa ikut, awalnya dia kurang semangat ikut, tapi karena ingat di depan rumah nenek yang di kampung bisa menangkap ikan, dia jadi bersemangat sekali.

Tiket pesawat pun kami pesan di hari Senin untuk keberangkatan Jumat. Sepanjang minggu itu yang dia bicarakan hanya soal menangkap ikan di kampung nanti. Dia ingin menangkap ikan sebanyak-banyaknya untuk mengisi akuarium di rumah yang ikannya tinggal satu ekor. Selainnya sudah pada mati.

Sebelum berangkat, bahkan sepanjang jalan, soal menangkap ikan itu saja yang dia bicarakan. Bahkan ketika pesawat mendarat di Silangit, dia sudah tak sabar ingin cepat-cepat menuju danau. Padahal kami harus berkunjung dulu ke rumah kerabat di dekat Tarutung. Saya sampai bertanya apakah masih ada kolam ikan di belakang rumah kerabat tersebut, yang ternyata sudah kering. Anak saya mulai kecewa.

Setelah dari rumah kerabat, kami ke rumah kerabat lainnya di Balige. Di depan rumahnya juga persis tepi Danau Toba. Anak saya dibawa kesana, tapi karena hari sudah gelap, tak mungkin menangkap ikan lagi.

Kami tiba di Tomok sudah malam hari. Besok paginya, air danau sedang keruh. Tak ada ikan yang terlihat di tepi air. Saya bahkan sudah sampai teriak minta tolong pada nelayan kapal kecil yang sedang lewat, minta ikan kecil, tapi dia bilang sedang tidak ada. Anak saya mulai kesal. Setelah itu kami berbelanja ke pasar dan seharian jalan-jalan keliling pesisir Danau Toba dan sekitarnya. Sore hari, kami pulang ke rumah nenek, hujan turun hingga kami tak lagi ke pantai. Anak saya pun marah. Saya merasa telah merusak kebahagiaannya.

Besoknya, bangun pagi saya langsung ke pantai. Saya lihat airnya jernih. Saya sudah siapkan jaring. Terlihatlah beberapa ikan-ikan kecil. Begitu saya coba tangkap, semua kabur. Semakin lama saya makin jauh masuk ke dalam air mengejar ikan, tapi makin cepat juga ikannya kabur, dan sudah tak terlihat.

Nyaris tiga puluh menit saya mencoba mencari ikan, tak ada lagi, dan saya tak mungkin masuk makin dalam ke tengah danau. Tinggi air sudah nyaris melewati pinggang saya. Dan saya pun berdoa. Tuhan, tolonglah. Satu ikan kecil saja buat anak saya, biar dia puas dengan liburannya. Sebab hari ini kami akan kembali ke Jakarta.

Lalu saya melangkah kembali ke arah luar pantai, nyaris tanpa harapan. Tanpa sengaja tiba-tiba terlihatlah seekor ikan kecil ini di tepi pantai, dan langsung saya tangkap dengan jaring. Dapat! Saya bahagia bukan main! Terima kasih, Tuhan. Doa saya terkabul!

Sempat juga muncul rasa serakah. Satu ikan lagi deh Tuhan, please… Tapi nyaris setengah jam lagi saya di tepi danau mencari ikan, tak ada lagi. Lewatlah seorang nelayan kecil, dan saya minta ikan, tapi dia hanya bisa memberikan ikan mujahir yang paling kecil dan itu pun masih terlalu besar (dan itu bukan jenis ikan yang anak saya mau).

Saya kembali ke rumah dan membangunkan anak, sambil memperlihatkan ikan kecil itu. Anak saya senang, dan memasukkan ikan itu ke dalam botol aqua. Dia tidak tertarik pada mujahir tadi. Tapi tidak lebih dari setengah jam, ikan kecil itu mati! Anak saya marah-marah. Tapi saya tidak galau lagi. Setidaknya, doa saya sudah dikabulkan. Ikan sudah ditangkap. Tujuan awal sudah tercapai. Proses berikutnya kan, resiko lain.

Saya biarkan anak saya marah-marah sampai dia bosan. Setelah itu, untungnya anak saya bisa dibuat mengerti. Dia membuat saya berjanji akan membeli ikan di Jakarta saja. Seratus ekor! Katanya. Saya hanya menahan senyum.

Yang saya ingat, tadi waktu berdoa minta ikan, saya sempat berpikir, masa saya mau ngerepotin Tuhan hanya untuk urusan ikan kecil ini? Masa Tuhan mau direpotin untuk hal-hal sepele begitu? Lalu saya ingat, pendeta saya bilang, kenapa tidak! Hal seremeh apapun doakan saja pada Tuhan.

Merenungi kejadian ini, saya merefleksikan diri dengan membandingkan diri pada anak saya. Ada dua hal yang saya simpulkan.

Pertama.

Mungkin dalam pergumulan hidup, saya sering hanya fokus pada pergumulan, atau tujuan, atau rencana-rencana saya saja. Seperti anak saya, yang hanya memikirkan tujuan menangkap ikan, dia jadi tak lagi menikmati sisi lainnya, seperti indahnya pemandangan danau Toba dari atas pesawat, nikmatnya jajanan pasar yang hanya ada di Tomok, teduhnya pemandangan bukit hijau Kebun Raya yang baru diresmikan Jokowi di Samosir, lezatnya waffle yang coklatnya lumer di ruang tunggu bandara, serunya mencari durian jatuh di belakang rumah nenek, asyiknya bermain air danau, uniknya pengalaman mencari telur bebek peliharaan tante di sekitar tepi pantai, dan maknyosnya makan ikan bakar segar yang baru ditangkap nelayan dan langsung dimasak.

Kedua.

Ketika kita sudah mendapatkan apa yang kita doakan, kadang mungkin kita tak puas dan masih lebih serakah lagi ingin semakin mendapatkan lebih banyak, lagi dan lagi. Kita lupa bersyukur dan lupa mencukupkan diri dengan apa yang sudah kita miliki.

Kita mungkin pernah seperti itu. Kita sibuk dengan segala pergumulan dan rencana serta tujuan kita, dan tidak bisa mengalihkan perhatian sejenak pada hal-hal di sekitar kita (apa yang sudah kita miliki) yang bisa membuat mata kita terbuka dan lebih tenang serta bersyukur pada Tuhan. Padahal, pada akhirnya, apapun yang kita lakukan takkan bisa menyelesaikan pergumulan kita, apapun tujuan kita hanya tercapai jika kita sudah meminta tolong pada Tuhan, apapun masalah kita kalau dengan kekuatan kita sendiri takkan terpecahkan. Intinya, semua usaha dan rencana kita kembali hanya pada pertolongan Tuhan.

Sesekali, mungkin kita perlu berhenti sejenak, menghitung semua yang kita miliki. Seperti kata lagu, hitunglah berkat sepanjang hidupmu, kau niscaya kagum oleh kasihNya.

-*-

 

Foto: Pixabay

 

DOA YANG DITOLAK

Mengapa doa ditolak? Mungkinkah itu salah satu cara yang walau menyakitkan, bisa membuat kita semakin dewasa?

Waktu sekolah dulu, teman-teman saya suka iseng mencomot makanan ketika temannya sedang berdoa. Jadi, belajar dari pengalaman, kalau mau makan, sambil berdoa, ada teman saya yang akan menutupi makanan dengan kedua telapak tangan untuk menghindari para ‘maling’ jahil itu. Tentu saja doanya jadi kurang konsentrasi. Itu memori lucu saya tentang doa yang masih berkesan.

Apa yang paling berkesan bagi anda, tentang doa? Ada teman saya yang usil yang menjawab demikian: Doa saya paling sering ditolak!

Wah. Pernahkah doa anda ditolak? Teman saya itu pasti menjawab: Pernah banget! Sering, malah!! (Hahaha).

Jaman mahasiswa, saya pernah mendoakan sesuatu, cukup lama. Akhirnya saya sedih sekali karena ternyata doa itu ditolak. Tapi rupanya, doa itu bukan ditolak, hanya diundur waktunya. Pada akhirnya, kisahnya adalah happy ending. Sampai kini hal tersebut adalah sebuah pengingat bagi saya untuk berusaha bersabar, menunggu waktu jawaban Tuhan.

Jangan salah. Seperti teman saya yang usil tadi, doa saya yang betul-betul ditolak juga banyak, dan ada yang hingga kini masih berbekas. Tapi kembali saya ingat kejadian ‘pengingat’ tadi, dan walau masih belajar iklas, tetap saja terasa berat. Mungkin memang perlu waktu.

Seorang sahabat, sejak beberapa tahun belakangan ini memiliki pergumulan berat. Akhir-akhir ini dia, jika dia kirim pesan WA ke saya, keluhannya adalah, seolah doanya tak terjawab. Atau doanya mungkin ditolak. Dia hampir menyerah. Karena sama-sama sibuk, saya dan dia hanya bisa komunikasi aktif dengan chatting. Membaca ceritanya, kadang saya ikut menangis selama chatting. Sejujurnya, saya juga ikut letih pada pergumulannya. Seolah tak ada jawaban, seolah tak ada jalan keluar. Dan itu sungguh menyesakkan dan melelahkan. Saya hanya bisa menghiburnya dengan mendorongnya bersabar dan percaya, walau mungkin saya juga tak bisa sekuat itu.

Bicara soal ditolak, memang tak ada enaknya. Ditolak itu sakit. Ya ditolak cintanya, ya ditolak lamaran kerjanya, ditolak masuk suatu kumpulan, atau ditolak proposal kenaikan gaji, dan lainnya. Ditolak itu menyakitkan. Jangankan yang ditolak jika kita yang meminta, bahkan jika yang ditolak pemberian atau sumbangan kita pun bisa bikin sakit hati.

Bagaimana dengan doa yang ditolak tadi? Teman saya bertanya: Apa yang membuat Tuhan sebegitu ‘pelit’ atau ‘kejam’ menolak doa umat ciptaanNya?

Saya ingat sekali kala masih muda dulu pernah curhat dalam doa pada Tuhan. Saya dengan jujur berdoa dan bilang padaNya: Tuhan saya benci sama itu orang, jahat banget dia sama saya, Tuhan pasti tahu. Tuhan pasti tahu juga saya saat ini nggak mau maafin dia dan saya berharap dia mendapat balasan setimpal atau lebih buruk. Saya berharap segala yang terburuk terjadi menimpanya. Tuhan, Engkau tahu isi hati saya dan itulah keinginan jujur saya. Timpakanlah segala cilaka padanya! Tapi Kau Tuhan pengasih. Kau pasti mengampuni dia. Tapi dia jahat banget, Tuhan!

Habis berdoa, saya bengong. Hah! Doa macam apa tuh! Beberapa waktu setelah itu, jika saya teringat, saya menertawakan diri sendiri. Betapa silly doa itu walaupun betapa jujurnya. Tapi Tuhan kan tidak menolak doa macam apapun. Tidak ada doa yang ditolak dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Intinya adalah pada kalimat penutup: Tapi kehendakMulah yang jadi. Amin.

Pada akhirnya saya sadar, jawaban Tuhan atas doa yang tadi itu adalah: Tugasmu adalah mengampuni. TugasKu, membalaskan dengan caraKu dan waktuKu, dan itu bukan urusanmu.

Tentang doa, analogi saya kemudian menjadi sederhana. Seperti ini. Anak saya boleh meminta apa saja. Tapi sayalah orangtua. Saya lebih tahu yang terbaik untuknya. Dia bisa minta dibelikan iphone terbaru, tapi saya bisa memberikannya hanya ponsel biasa, sebab saya tahu yang penting buat dia adalah komunikasi, bukan gaya keren-kerenan yang akan membuat dia sombong dan dibenci teman-temannya.

Pernah juga, dulu ada doa yang dikabulkan Tuhan yang kemudian membuat saya menyesal. Ada sebuah cita-cita impian saya dan Tuhan mengabulkan doa saya untuk hal itu. Tapi ternyata impian itu tidak seperti yang saya harapkan. Apa maksud Tuhan di situ? Apa mau bilang: ‘Nih rasain permintaan lu nih!’?
Bukan. Mungkin Tuhan ingin saya belajar sesuatu dari situ. Dan betul. Saya jadi belajar, tidak semua impian atau keinginan kita baik bagi kita. Atau mungkin memang baik, walau dengan cara yang menyakitkan, yang bisa membuat kita semakin dewasa. Itu mungkin berlaku bagi pergumulan sahabat saya tadi.

Lalu seorang teman bertanya: Jadi apa resep doa yang manjur? (Manjur? Lu kira jamu! jawab teman usil tadi.) Tapi betul. Memang ada. Ada resep doa yang manjur. Doa yang pasti dikabulkan. Apa itu?

Mau doa manjur? Tinggallah di dalam Aku. Apa pun yang kau minta akan Kuberikan.

Itu tertulis dalam kitab Yohanes 15:7. Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya.

Apa itu artinya tinggal dalam Tuhan? Pendeta saya menjabarkannya seperti berikut ini.

Artinya, ketahuilah hati Tuhan. Kenalilah Tuhan. Lakukanlah perintah Tuhan. Bertingkahlakulah sebagai anak Tuhan.

Anak Tuhan?

Ya. Kalau kita tinggal di dalam Tuhan, dan melakukan firman Tuhan, tak mungkin lagi kita meminta/mendoakan hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.

Contohnya?

Tuhan tidak suka kesombongan, jadi percuma kita berdoa minta jadi millioner sebab itu mungkin akan membuat kita jadi sombong, berbuat dosa dan jadi batu sandungan. Anak Tuhan takkan minta sesuatu yang akan membuatnya tidak menaati Tuhan.
Masih bingung?

Misalnya kau anak pendeta. Kalau sudah tahu ayahmu enggak bakalan kasih kau pergi ke diskotik, untuk apa menghabiskan waktu untuk bolak-balik minta ijin ke diskotik? Sudah pasti ditolak. Tapi jika kau minta ijin pergi ke gereja, pasti dikasih langsung, malah disuruh cepat-cepat berangkat, dan mungkin diberi ongkos lebih dan uang jajan (hahaha).

Teman usil tadi pun menyimpulkan dengan asal. Kalau begitu, percuma dong berdoa minta jadi milioner, doanya bakal ditolak! Lalu saya bolehnya minta apa dong?

Kata pendeta, mintalah hikmat, kesabaran, kasih. Itu pasti manjur, pasti dikabulkan! Seratus persen manjur! Mintalah hikmat untuk bisa hidup saleh walau tak jadi milioner. Sebab tujuan hidup kita adalah untuk memuliakan Tuhan, bukan untuk menjadi milioner.

Anak saya pernah bingung karena jika dia minta uang sumbangan untuk murid yang berduka di sekolah, pasti saya kasih, dan jumlahnya pasti lebih besar dari pada uang jajannya. Kalau dia minta uang untuk beli mainan pasti saya interogasinya lama dan belum tentu dikabulkan. Dia sempat kesal.

Begitulah kadang saya melihat diri saya dalam hal jawaban doa. Apa yang kita inginkan bukan selalu yang kita butuhkan. Memang menyakitkan ketika doa kita tidak dikabulkan. Tapi Tuhan tahu yang terbaik bagi anak-anakNya. Dan seperti kata pendeta, apapun isi hati kita, tak ada salahnya menceritakan pada Tuhan. Segala curhat, ‘aib’ dan rahasia kita aman di tanganNya, tak bakalan disebarkan ke orang lain. Yakinlah! Jaman sekarang serba terbuka. Kita curhat lewat telepon bisa direkam/disadap. Curhat lewat email/surat/chatting, bisa disimpan atau di-captured dan disebar. Tak ada lagi privasi. Lalu mengapa tak kembali kepada doa, privasi tertinggi, terpercaya dan tersejahtera?

Lalu kata pendeta saya: Tapi, jangan berdoa hanya jika sedang ada permintaan lho, ya. Itu namanya egois. Memangnya kau suka jika temanmu muncul pada saat ada maunya saja? Memangnya enak kalau teman hanya telepon kalau mau minta tolong, tetangga hanya datang kalau mau pinjam uang? Memangnya enak diperlakukan begitu?

-*-

Foto: Pixabay

 

Kapal Tanpa Kemudi

Pernahkah Anda memperhatikan bahwa ketika Tuhan memerintah nabi Nuh supaya membangun bahtera, Tuhan tidak memberikan perintah untuk membuat kemudi? Setiap kapal, terutama yang berukuran besar, biasanya memiliki kemudi. Namun untuk bahtera ini, tidak.

Bayangkan Nuh bertanya demikian, “Mmmm, Tuhan…saya mau tanya sedikit, nih. Mengapa tidak ada kemudinya?” Tapi Nuh tidak menanyakan itu. Tanggapan Nuh kira-kira seperti ini, “Baiklah Tuhan. Saya akan keluar dari wilayah kenyamanan saya untuk melakukan kehendak-Mu.”

Nuh tidak memusingkan persoalan kemudi karena dia memiliki keyakinan bahwa kemana pun dia dan keluarganya berada, mereka berada di bawah naungan Allah yang Mahakuasa. Yang dilakukan Nuh adalah melakukan perintah Tuhan dan menunggu perintah berikutnya dengan tekun.

Apakah Tuhan memanggil Anda untuk keluar dari sarang kenyamanan Anda, untuk melakukan pekerjaan yang besar? Saya percaya hal ini menimbulkan pergumulan yang berat. Saya pernah mengalaminya. Rasanya lebih berada pada situasi yang mapan dengan penghasilan yang pasti.

Nuh pun mungkin saja enggan masuk ke dalam bahtera bersama sekumpulan binatang selama sebulan lebih. Bayangkan betapa bau bahtera itu karena kotoran hewan! Akan tetapi Nuh bersedia meninggalkan daerah kenyamanan untuk menyambut rencana Tuhan atas hidupnya dan keluarganya.

“Karena iman, maka Nuh-dengan petunjuk Allah tentang sesuatu yang belum kelihatan- dengan taat mempersiapkan bahtera untuk menyelamatkan keluarganya” – (Ibrani 11:7)

Dari keteladanan Nuh, kita bisa belajar untuk berani mengambil keputusan keluar dari daerah kenyamanan untuk mengikuti perintah Tuhan. Setelah itu menunggu perintah selanjutnya dengan taat.

Serahkanlah kemudi kehidupan Anda pada Tuhan. Dia yang berada di atas memiliki pandangan yang lebih luas dan mengetahui arah tujuan kehidupan kita.

PURNAWAN KRISTANTO

Catatan: Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di: http://renungan.purnawan.web.id/?p=777

*Penulis adalah writer | trainer | humanitarian volunteer | video & photo hobyist | jazz & classic lover | husband of priest | father of two daughters |

#stillstanding

Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu. (1 Korintus 3:16-17 ITB)

Pagi-pagi buta saya dikejutkan oleh teriakan seorang jemaat gereja yang menggedor-gedor pintu rumah kami. Rupanya dia terpaksa melompati pagar karena telah beberapa lama memanggil-manggil dari luar tanpa mendapat jawaban dari kami yang sedang tertidur lelap. Dia datang untuk mengabari bahwa gedung gereja kami sedang terbakar.

Kami pun bergegas menuju ke gereja yang berjarak kurang dari 1 km dari rumah. Sampai di sana kami hanya bisa menyaksikan api yang telah memakan habis ruang ibadah utama kami beserta semua yang ada di dalamnya. Alat musik, sound sistem, lampu, kursi-kursi yang sudah ditata rapi untuk ibadah pagi ini, semuanya dilalap api. Tidak ada yang bisa kami lakukan.

Pemuda-pemuda yang sudah ada di sana kemudian sedikit bercerita bagaimana mereka susah payah memanggil bantuan pemadam kebakaran. Lokasi kami berjarak hanya sepelemparan batu dari Akademi Angkatan Udara dan Bandara Adisucipto, namun pihak AAU tidak dapat membantu pemadaman karena terkendala prosedur “chain of command” mereka, yang katanya sungkan untuk membangunkan komandan di pagi-pagi buta seperti itu. Lokasi kami juga berjarak lebih dekat dengan wilayah kotamadya Yogyakarta daripada pusat pemerintahan kabupaten Sleman, walaupun secara administrasi kami berada di kabupaten Sleman. Ketika menghubungi pemadam kebakaran Kodya, jawabannya juga sama, kami merupakan tanggung jawab kabupaten Sleman. Akhirnya memang kami harus pasrah menunggu kedatangan pemadam kebakaran kabupaten Sleman yang markasnya berjarak dua kali lebih jauh daripada pemadam kebakaran Kodya. Beberapa jemaat yang tiba dengan segera ke lokasi pun menunggu cukup lama sambil menangis memandangi api yang merembet dan membesar membakari tempat ibadah kami. Puji Tuhan ada bapak-bapak polisi yang menemani mereka dalam ratapan mereka.

Ah sudahlah. Kami tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Kami menerima kejadian ini sebagai musibah yang diizinkan Tuhan terjadi. Penyebab kebakaran yang katanya masih mau diselidiki, apakah benar karena arus pendek (korslet) atau penyebab lain, tidak lagi terlalu kami hiraukan. Kami mau belajar menerima dan memaknai bahwa Tuhan sanggup mendatangkan kebaikan yang lebih besar bagi kami melalui peristiwa ini.

Tempat ibadah kami ini belum lama kami tempati . Kira-kira satu setengah tahun yang lalu kami pindah ke tempat ini. Sedikit demi sedikit kami mendandani tempat itu, yang aslinya adalah rumah tua yang sudah lama kosong, sampai menjadi salah satu gereja kecil dengan interior paling cantik di Jogja. Mungkin itu yang akan kami rindukan. Ada banyak spot untuk berfoto selfie di dalam gereja kami yang terbakar itu.

Ah sudahlah. Saat ini kami mau mulai berdoa dan beriman bahwa Tuhan akan mencukupkan kami untuk merenovasi kembali tempat ibadah dan menyewa tempat ibadah sementara selama renovasi berlangsung. Anggota jemaat kami, yang datang dari berbagai kalangan seperti wirausahawan, mahasiswa, mantan narapidana, ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), mantan anak jalanan, keluarga-keluarga prasejahtera, semua percaya Tuhan kami adalah Bapa kami yang sempurna, yang mengasihi kami dan sanggup menolong kami. Tulisan ini saya buat bukan untuk meraih simpati atau menunjukkan bahwa kami patut dikasihani. Yang terbakar hanya tempat ibadah, sesungguhnya gereja tidak terbakar, karena gereja adalah kami, setiap orang yang percaya kepada kasih karunia dalam Kristus Yesus.

Don’t cry with me, because I don’t.
Smile with me, stand by me.
For I know whom I have believed
He who is good, and He is able

 

Foto : Shine Jogja

My First Funeral

Kematian adalah sesuatu yang tidak dirayakan. Kesedihan yang mendalam karena ditinggalkan oleh orang yang dikasihi, ketidakpastian yang menyeruak, akan hari esok yang harus dijalani tanpa orang yang dikasihi, dan berbagai macam emosi yang lain, bercampur aduk di dalam dada ketika kematian itu datang menjemput orang yang kita kasihi.

Sebagai pendeta yang menggembalakan jemaat, kematian juga bukan peristiwa yang saya rayakan. Melayani kebaktian tutup peti, kebaktian pemakaman, ataupun kebaktian penghiburan kepada keluarga yang ditinggalkan, adalah pelayanan yang paling sulit saya lakukan. Saya selalu merasa, siapakah saya, sehingga bisa mengucapkan kata-kata penghiburan kepada mereka yang sedang dirundung kesedihan yang begitu hebat? Yang saya bisa sampaikan hanyalah kata-kata Tuhan yang tercatat di dalam kitab suci, karena saya yakin, Tuhan-lah yang paling bisa memberikan penghiburan, karena Tuhan jualah yang paling tahu apa yang dibutuhkan mereka yang sedang dirundung kesedihan.

Saya memang belum banyak melayani kebaktian-kebaktian seperti di atas, karena jemaat yang saya gembalakan baru seumur jagung, dan usia kebanyakan anggota jemaat relatif muda sampai paruh baya. Akan tetapi, saya tidak dapat melupakan kebaktian pemakaman yang pertama saya pimpin, beberapa tahun silam.

Kebaktian itu adalah kebaktian pemakaman seorang pria yang wafat di akhir usia 50-an tahun. Kami biasa memanggil dia dengan sebutan Pak Toni. Beliau datang ke gereja kami pada bulan Januari dan beliau wafat di bulan Juni. Ketika beliau pertama kali datang ke gereja, tidak ada yang istimewa dengan dirinya. Beliau duduk di belakang dan mengikuti ibadah. Ketika menyampaikan kotbah, saya langsung bisa mengenali bila ada orang yang baru di dalam ibadah, karena jumlah anggota jemaat ketika itu tidak lebih dari 30 orang. Ketika saya melihat beliau, di dalam hati saya terdengar suara lembut berbisik, yang saya yakini adalah suara Roh Kudus, “Itu anak-Ku. Aku mengasihi dia. Berikan pelukan hangat kepadanya karena dia sudah datang ke gereja hari ini.” Ketika ibadah selesai, seperti biasa saya menyalami semua jemaat yang hadir, dan kepada Pak Toni saya menaati bisikan yang saya dengar, saya meminta izin untuk dapat memberikan pelukan hangat selamat datang. Dia mengizinkan, dan kami berpelukan.

Pak Toni kemudian selalu datang ke ibadah dengan setia setiap Minggu. Dia juga mengikuti persekutuan kelompok sel (komsel) yang diadakan di tengah minggu. Saya kemudian mendapatkan informasi bahwa Pak Toni ternyata sudah 30 tahun meninggalkan imannya kepada Yesus, dan hari Minggu di mana saya memeluknya, adalah hari pertama dia kembali ke gereja. Bukan hanya itu, saya juga menemukan bahwa beliau ternyata mempunyai masalah kesehatan. Ternyata beliau adalah seorang pengidap HIV positif, dan sebagai komplikasi dari itu, beliau mengidap pneumonia. Meskipun demikian beliau tetap setia datang setiap Minggu, dan mengikuti komsel. Padahal beliau tinggal cukup jauh, sekitar 20 km dari gereja kami. Terkadang ketika mengikuti komsel beliau harus meminta izin untuk berbaring di sofa, karena kondisi kesehatan beliau.

Suatu hari kondisi kesehatan Pak Toni memburuk. Hari Senin kami membawa beliau ke rumah sakit. Hari Selasa saya mengunjunginya untuk mendoakannya. Hari Rabu pagi beliau pergi. Beliau telah mengakhiri perjuangannya di dunia. Saya menangis ketika memimpin pemakaman beliau. Saya menangis karena saya kembali mendengar suara lembut berbisik di hati saya, “terima kasih karena telah memeluknya enam bulan yang lalu. Dia ada dalam pelukan-Ku sekarang.” Saya menangis karena diizinkan bertemu dengan seorang anak yang hilang yang kembali kepada Tuhan, menemaninya selama sisa hidupnya di dunia, dan mengantarkannya pulang ke pelukan Bapa yang kekal.

Kematian memang tidak dirayakan, tetapi kematian bagi kita yang percaya, juga tetap membawa damai.

Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?” (Yohanes 11:25-26)

 

Foto: Koleksi Pribadi

Kamu Egois, Aku Egois

Salah satu masa paling menyenangkan selama bergelut di dunia kerja ini adalah ketika suami saya pindah ke kantor di sebelah gedung kantor tempat saya bekerja. Kami bisa berangkat dan pulang kerja bersama dan sesekali janjian makan siang berdua, atau makan malam berdua sepulang kerja sebelum pulang ke rumah. Semacet apapun Jakarta rasanya tak terlalu mengganggu sebab saya tinggal duduk dan suami yang menyetir. Kami bisa mengobrol sambil ngemil dan mendengarkan radio/musik.

Tapi itu tak lama. Setelah beberapa tahun, dia ditugaskan lagi ke kantor cabang perusahaan yang lain yang berada di pinggiran Jakarta. Tak mungkin lagi dia antar atau jemput saya, sebab berbeda arah. Pernah terpikir untuk mengemudi sendiri atau mencari pengemudi pribadi, tapi pada akhirnya memutuskan lebih praktis kembali ke pangkuan angkutan umum, yang sebelum dan sesudahnya dan kapan saja seolah setia mendampingi saya (hahaha).

Apa yang terjadi dengan warga angkutan umum sekarang? Begitu saya bertanya dalam hati ketika baru kembali lagi ke ‘alam bebas’ itu. Rasanya seperti dulu ketika baru pulang dari Jepang yang serba rapi dan kagok ketika melihat semrawutnya Jakarta.

Satu kata yang lantas terbersit dari pikiran saya adalah: Egois.

Seperti kemarin pagi, di angkot, dengan cueknya seorang bapak berpakaian rapi merokok seenaknya padahal semua isi angkot yang mayoritas wanita sudah menutup hidung dan mengibas-ibas sebagai isyarat supaya beliau mematikan rokok. Egois sekali bapak ini! pikir saya. Teringat di Jepang ada inovasi untuk perokok, namanya Smoking Bells (bentuknya seperti bell/lonceng). Alat ini didesain untuk membuat perokok menikmati asap rokoknya sendiri di tempat umum, hingga tidak akan mengenai orang di sekitarnya.

Lalu soal tempat duduk di angkutan umum. Jika saya bandingkan, bila pagi hari saya naik patas AC, kemungkinan besar tidak akan dapat tempat duduk. Yang duduk sambil tidur adalah (selain wanita) para pria berpenampilan kantoran rapi yang seolah takkan peduli sekalipun ada nenek atau ibu hamil berdiri di dalam bus.

Jika saya naik kopaja, yang kebetulan isinya kebanyakan para buruh, kemungkinan besar mereka akan memberikan saya (atau wanita lainnya) tempat duduk mereka. Di situ saya kadang merasa sedih (ini bukan bercanda). Membandingkan kedua hal ini membuat saya miris. Kembali satu kata itu terbersit. Egois sekali para pria kantoran ini!

Lalu bukan hanya itu. Ada saja penumpang yang tidak mau menggeser tempat duduk untuk orang di sampingnya. Jika karena ukuran badan jadi tidak muat, mungkin bisa dimaklumi. Tapi jika karena ogah rugi, misalnya harusnya bisa berlima tapi yang duduk masih empat orang, aduh! Penumpang egois! (Makan tuh tempat duduk! Begitu teman saya pernah memaki).

Lalu kemarin lusa, seorang berpenampilan mahasiswi duduk di sebelah saya di kopaja. Di Sudirman, dia turun lebih dulu. Anehnya, tak ada ucapan permisi atau ngomong apa kek supaya saya memberi jalan, nyelonong saja dengan kasar. Untung saya sudah antisipasi, segera bangkit berdiri agar dia bisa keluar dengan lega, padahal saya cuma geser kaki juga sebenarnya dia masih bisa lewat. Bahkan saya sampai berdiri mundur memberi jalan, hingga saya berdiri di selasar kopaja. Yang tak saya duga, masih sempat-sempatnya sepatu kets-nya mundur dan menginjak sepatu saya. Saya hanya berdecak dan mengusap sepatu. Sakitnya nggak seberapa, kesalnya itu lho. Lalu, ketika saya turun, saya baru sadar suatu hal.

Astaga, saudara-saudara, rupanya sudah copotlah aksesori blink-blink sepatu lama favorit saya yang modelnya sudah tidak diproduksi itu lagi! (Ini bagian lebaynya, hahaha).

Dengan sedih dan geram saya pungut si Blink-blink yang oleh rekan kantor yang jahil disebut swarovski. Lalu saya melangkah dengan gaya sok cool walau diam-diam berharap tak ada yang memerhatikan perbedaan di antara kedua sepatu saya! (Tengsin, tahu!). Tiap kali ada orang berpapasan dengan saya dan melirik ke bawah, saya langsung mempercepat langkah, bagai selebiriti menghindari paparazzi (cuiiii…).

Tiba di pintu masuk gedung, satpam juga melirik sepatu saya walau tak berkata apa-apa. Masuk kantor, rekan-rekan saya terpingkal-pingkal mendengar cerita saya. Kasihan, untung swarovski mahalnya nggak hilang pas copot tadi, goda mereka. Lalu seorang teman sepakat dan berkata, memang anak muda jaman sekarang egois banget dan kadang nggak punya manner. Tentu saja itu hiperbola dan tak bermaksud menggeneralisasi. (Lalu saya mengelem kembali sang swarovski palsu, dan sepatu favorit saya kembali ke penampilan semula).

Belum selesai sampai di situ. Ketika saya turun lift dan mau keluar di lobi, ada orang yang berada di lantai itu segera menerobos masuk. Padahal sudah jelas ada aturan, biarkan yang mau keluar terlebih dahulu. Kayak mau naik angkot aja takut nggak keangkut ya, Neng? Dan itu sering terjadi. Memangnya dia nggak bisa bedain apa, ini lift Neng, bukan kopaja yang orang berebutan naik! Kalau di perkantoran pusat bisnis sudirman saja masih begini gaya orang kerja, apa kata dunia?! Egois amat sih, Mbak? Harusnya dia lihat kebiasaan di Jepang, jika naik eskalator, orang-orang berjajar rapih di sebelah kiri, dan jika ada yang buru-buru silakan berjalan di sebelah kanan.

Tapi mungkin bukan hanya dia, dia, dan dia tadi yang egois. Mungkin saya juga pernah melakukan keegoisan yang kurang-lebih sama.

Pernah saya (dan semua penumpang) membiarkan seorang nenek berdiri di kopaja. Waktu itu saya memang kurang sehat. Ini bukan ngeles. Dalam hati saya berkata: Maaf ya, Nek. Bukannya saya egois, tapi tekanan darah saya sedang turun jadi saya nggak kuat berdiri lama-lama. Untungnya nenek itu tidak jauh tujuannya, beberapa menit segera turun.

Saya juga pernah duduk di kopaja dan tidak mau geser. Kenapa? Karena tempat duduk di sebelah saya basah bekas hujan. Si Nona manja yang baru naik tidak mau masuk untuk duduk dan saya juga tidak mau pindah ke sebelah. Si kenek mengomel dan saya balas: Saya sudah naik dari terminal dan duduk di sini duluan, kenapa harus saya yang pindah? Dan itu kursinya basah! (Kenek yang malang, ibu-ibu loe lawan berdebat, hahaha). Si kenek pun diam dan melap kursi tapi si Nona manja yang terlanjur mengambek tidak mau duduk lagi. Silakan berdiri sendiri di belakang, Non! Biar tinggi sendiri. Atau jadi model pendamping pengamen (ini ucapan teman saya ketika saya ceritakan kisah ini).

Lalu ketika malamnya saya bercerita pada suami, dan karena tahu anak-anak menguping, saya sengaja berkata: Dunia luar sana itu keras! (Anak sulung saya langsung menyahut: Ih, mama lebay!)

Pernah juga saya naik kopaja (lama-lama kopaja jadi favorit gue deh ini, hahaha) yang ternyata lagi dicharter oleh guru-guru madrasah yang akan training di Senayan. Mereka kaget pas saya naik. Lalu mereka bilang: Ini kopaja lagi nggak narik.

Pikir saya: Lha kok berhenti pas saya setop? Ternyata berhenti karena ada mobil berhenti di depannya. Hahaha. Dengan malu saya nyaris turun. Tapi tiba-tiba saja ide itu muncul. Mungkin karena saya kepepet takut terlambat (Ide memang sering muncul dalam keadaan kepepet). Saya tanya, mereka lewat mana, boleh ikut nggak? Ternyata searah kantor saya dan mereka langsung menerima saya ikut. Tempat duduk memang hanya sekitar separuh saja yang terisi. Berhati mulia sekali sekali, pikir saya. Saya jadi penumpang gratis. Ibu-ibu guru itu mengajak saya mengobrol, ada yang mengajak saya bercanda, ada juga bu guru yang ngegodain seorang pak guru yang mendadak pindah tempat duduk (katanya biar dekat saya, hahaha). Mereka bahkan mengajak saya ikut berfoto wefie.

Betapa beruntung saya, kali ini bertemu orang-orang yang sama sekali tidak egois. Keneknya pun tidak mau terima ketika saya mau turun saya coba selipkan selembar uang. Semua guru itu langsung berteriak: Jangan diterima. Full service gratis ini, Mbak!

Ini salah satu contoh kisah toleransi khas orang Indonesia yang legendaris itu, yang sama sekali jauh dari keegoisan. Guru memang luar biasa, jasamu memang tiada tara!

Kembali ke masalah egois-egoisan tadi. Mungkin memang masih baru sampai di situ progres kita. Kita memang masih dalam proses perubahan. Semoga semakin cepat perubahan ini, dan semakin baik. Kebalikan dari lagu Kemesraan, keegoisan ini semoga cepat berlalu. 🙂

-*-

Foto: Pixabay

Kamu Garam atau Vetsin?

Seorang kenalan yang bekerja di bagian HRD, pernah membuat istilah sendiri untuk mengklasifikasi dua jenis karyawan di perusahaannya. Satu, garam. Satu lagi,vetsin. Apa maksudnya?

Kita akan bahas setelah yang ini.

Apakah panggilan hidup anda? Menjadi pebisnis, politikus, pengacara, atau pemusik? Atau lainnya. Sesungguhnya, panggilan hidup kita ditentukan oleh jati diri kita.

Sebagai orang Kristen, jati diri kita adalah gereja.  Kata Gereja mengacu pada istilah Yunani: ekklesia yang berarti orang-orang yang dikumpulkan/dipisahkan oleh panggilan Allah. Dalam keberadaannya di dunia, gereja memiliki dwi kewargaan (jati diri ganda) yaitu:

  1. Warga Kerajaan Allah: Gereja adalah suatu umat yang kudus yang dipanggil dari dunia untuk menjadi milik Allah.
  2. Warga dunia: Gereja adalah umat yang diutus ke dalam dunia untuk bersaksi dan melayani.

Bonhoeffer menyebut hal ini dengan istilah panggilan hidup ‘keduniawian yang saleh’. Orang Kristen harus bisa hidup di dunia ini dengan cara surgawi.

Sejarah gereja mencatat bahwa gereja kesulitan dalam mempertahankan jati diri gandanya tersebut. Kadang-kadang akibat keinginan yang sejati untuk menitikberatkan kekudusannya, gereja undur dari dunia di satu sisi ekstrim (ada yang menyebutnya fanatik atau terlalu rohani). Tetapi di sisi ekstrim yang lain, dalam menonjolkan keduniawiannya, gereja secara keliru menyesuaikan diri dalam tolak ukur dan nilai-nilai yang dianut dunia (ada yang memberinya istilah: terlalu duniawi).

Tanpa memelihara ke dua sisi dari jati diri gereja, gereja (baca: kita) tak kunjung dapat terlibat dalam misi. Misi muncul dari ajaran alkitabiah tentang keberadaan gereja dalam masyarakat.

Yesus sendiri yang mengajarkan kebenaran ini dalam metafora yang terkenal yaitu Garam Dunia dan Terang Dunia (Matius 5:13-16)

John Stott, seorang teolog Inggris menyimpulkan empat hal yang terkandung dalam metafora ini, yaitu :

  1. Orang Kristen berbeda secara asasi dari non Kristen.

Dunia ini gelap, demikianlah dinyatakan Yesus secara tidak langsung, tapi kamulah yang harus menjadi terangnya. Dunia sedang membusuk, tapi kamulah yang menjadi garamnya dan melindunginya dari kebusukan.

  1. Orang Kristen harus masuk ke dalam masyarakat non Kristen.

Kendati orang Kristen berbeda secara moral dan spiritual, tetapi secara sosial mereka sekali-kali tidak boleh memisahkan diri dari masyarakat sekitarnya. Sebaliknya terang harus menyinari kegelapan itu dan garam harus meresap kedalam daging yang sedang membusuk itu.

  1. Orang Kristen dapat memengaruhi masyarakat non Kristen.

Sebelum penemuan lemari pendingin, garam adalah bahan pengawet yang paling dikenal oleh masyarakat. Pembusukan daging dan ikan dapat diperlambat dengan merendamnya pada air garam. Terang lebih mencolok lagi, jika lampu dinyalakan maka kondisi gelap berubah menjadi terang. Demikian juga orang Kristen mempengaruhi masyarakat dengan mencegah pembusukan dan kegelapan, dan menjadi terang dalam masyarakat sekitarnya.

  1. Orang Kristen harus mempertahankan keunikan Kristiani mereka.

Jika garam tidak mempertahankan keasinannya (menjadi tawar), maka garam itu menjadi tidak ada gunanya. (Roma 12:2)

Kembalipada klasifikasi teman HRD tadi.

Yang dia sebut Garam itu adalah karyawan yang original, tulus hati, bekerja dengan integritas, dan sumbangsihnya nyata bagi perusahaan.

Yang disebutnya Vetsin adalah mereka yang terlihat ramah, manis dan pintar berbasa-basi, pintar mengambil hati orang, tapi kinerjanya minus. Biasanya mereka adalah penjilat. Manis di luar, busuk di dalam, dan potensial berbahaya bagi perusahaan.

Tahukah anda, manfaat garam sungguh banyak, baik dalam bidang kesehatan, kecantikan, industri, keamanan dan pertanian. Tanpa garam tentu kita tidak akan bisa bertahan hidup. Sebagai contoh, fungsi garam antara lain, memperkuat sistem kekebalan tubuh, membantu menurunkan kadar kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi, serta dapat membantu mengatur detak jantung agar lebih teratur, mengontrol gula darah dan meningkatkan sensitivitas insulin yang membantu mempertahankan kadar gula yang tepat dalam tubuh, dan membantu menjaga kekuatan tulang.

Dalam bidang keamanan, di negara-negara yang memiliki empat musim, garam  digunakan untuk pemeliharaan jalan dengan tujuan untuk menjaga mobil, truk, dan bus sekolah sehingga aman di jalan ketika musim dingin bersalju.

Bagaimana dengan vetsin? Vetsin atau istilah lainnya Monosodium Glutamate (MSG) masih sering digunakan sebagai bahan penyedap masakan. Di balik rasa gurih yang ditimbulkan oleh vetsin, ada banyak penyakit mengintai. Contoh efek samping dalam jangka panjang, bisa menjadi penyebab jantung tidak sehat, kanker (MSG dibuat dalam proses pemanasan pada suhu tinggi dan waktu lama sehingga dapat membentuk pirolisis yang bersifat karsinogenik, senyawa berbahaya yang dapat memicu kanker), dan kerusakan sistem syaraf. Konsumsi penyedap rasa dalam jangka panjang terhadap sistem syaraf seperti depresi, migrain, insomnia, juga disorientasi.

Sekarang kembali pada kita, untuk direnungkan. Apakah jati diri anda? Apakah panggilan hidup anda?

Apakah anda adalah garam atau vetsin bagi lingkungan anda?

-*-

 

Martua H. Sianipar

Penulis adalah Alumni UI dan UPH/Karyawan swasta/Majelis HKBP Cinere

 

Daftar Pustaka :

  1. John Stott (GMA Nainggolan), Isu-isu global menantang kepemimpinan Kristen, YKBK,  2000
  2. John Stott (GMA Nainggolan), Khotbah di Bukit, YKBK, 2008
  3. Bruce Milne (Connie Item-Corputty), Mengenali kebenaran, BPK, 1993
  4. Donald Guthrie (Lisda T Gamadhi), Theologi Perjanjian Baru 3, BPK, 1993
  5. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, YKBK, 1998
  6. http://manfaat.co.id/39-manfaat-garam-dalam-berbagai-bidang
  7. http://tradisioanal-obat.blogspot.co.id/2015/05/efek-bahaya-msg-bagi-kesehatan.html

Foto: Pixabay

Kuasa Kata

Tahukah Anda bahwa “kata” mempunyai kuasa? Sebuah kata memiliki kuasa, tergantung kepada siapa yang mengucapkan kata itu. Seorang perwira Romawi yang datang kepada Yesus dalam cerita Injil Matius (Mat 8:5-13), mengetahui betul hal itu.

Dia meminta Yesus menyembuhkan hambanya, namun Yesus tidak perlu datang ke rumahnya. Yesus cukup mengucapkan “sepatah kata” saja, dan hambanya akan sembuh. Perwira Romawi ini yakin siapa Yesus, yaitu Dia yang berkuasa menjadikan segala sesuatu dengan sepatah kata (kata=word=firman).

Lalu bagaimana dengan “kata-kata” kita? Yesus mengatakan Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! asal tidak bimbang hatinya, tetapi percaya, bahwa apa yang dikatakannya itu akan terjadi, maka hal itu akan terjadi baginya. (Markus 11:23).

Wow. Jika kita percaya, “kata-kata” kita pun memiliki kuasa yang dahsyat. Persoalannya adalah apakah kita sudah mencobanya? (Atau, apakah kita benar-benar percaya?)

Banyak orang sesungguhnya mempraktekkan “kata-kata” yang penuh kuasa pada dirinya, namun kebanyakan dengan negatif. Kita sering berkata “sial benar aku hari ini”, “bodoh sekali apa yang kulakukan”, dan seterusnya. Jika kita sungguh percaya kepada Allah sebagai Bapa yang maha kasih, yang rancangannya adalah kebaikan dan damai sejahtera bagi kita, seharusnya itu tercermin dalam kata-kata yang kita ucapkan juga.

Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semua itu (Filipi 4:8), dan jika itu ada di dalam hati kita, tentu akan terlihat melalui kata-kata kita.

Sang Pengkhotbah juga menulis begini “Perkataan orang arif itu seperti tongkat tajam seorang gembala, tongkat yang dipakainya untuk melindungi dombanya. Kumpulan amsal dan nasihat, seperti paku yang tertancap kuat. Semua itu pemberian Allah juga, gembala kita yang satu-satunya.” (Pengkhotbah 12:11 BIS).

Kata-kata yang keluar dari mulut orang yang memiliki otoritas dalam kasih karunia Allah, akan mendatangkan damai sejahtera, yang menginspirasi, membangkitkan semangat yang patah, dan mengobarkan api yang hampir padam.

Ah, saya mau mengucapkan “kata-kata” yang keluar dari iman saya kepada Allah, sang Bapa yang baik itu. Saya mau menikmati “memindahkan gunung” dalam hidup saya bersama-Nya. Mau mencoba? Ayo!

Masih Seperti yang Dulu

Reuni. Sebuah kata yang bagai mesin waktu, yang bisa menerbangkan kita dengan instan ke masa lalu.

Orang-orang seolah tak pernah bosan reuni. Padahal apa yang kita kenang di masa lalu mungkin sudah tidak relevan.  Mungkin karena banyak hal konyol yang bisa dikenang kembali. Dalam sebuah reuni terkadang ada momen kejujuran. Yaitu momen di mana sesuatu yang dulu dirahasiakan sekarang diungkap (seperti tax amnesty dong, hehe). Saya sungguh tidak menyangka ketika seorang teman rupanya masih menyimpan rasa kesal sama seorang teman lain, hanya karena dulu tidak ikut ditraktir makan. Lalu ada juga yang masih musuhan padahal sudah lupa dulu akar masalahnya apa.

Lalu, “Astaga, kamu nggak berubah ya!” kata seorang teman, A, kepada teman lainnya, B. Menurut A, si B masih galak dan berjiwa provokator. Dan si C, katanya, masih sama, kalem dan sensitif. Dan tentang saya, katanya terlihat banyak berubah, sekarang lebih tenang dan bijak (hahaha), mungkin karena tuntutan karir, ya, tambahnya. Kami hanya tertawa-tawa. Mungkin di memorinya masih tertinggal kenangan dulu ketika remaja kami enggak bisa diam, di mana-mana mengobrol dan ngakak-ngakak. Lalu pada saya dia berbisik: “Si D kok masih sama aja kayak dulu ya, egois, pelit, perhitungan, sirikan, nggak mau kalah, banyak membual dan gengsinya tinggi.”

Pada akhirnya acara reunian itu memang jadi momen yang membuat kami menertawakan masa lalu, sambil introspeksi, membandingkan dengan diri kami yang sekarang, dan pulang dengan pertanyaan, apa iya saya belum berubah? Atau, apa iya saya sudah berubah? Apakah saya masih sama saja seperti dulu (seperti lagu lawas milik Dian Pisesha yang sering diputar kakak saya di masa saya kecil)?

Aku masih seperti yang dulu?

Saya kagum pada seorang teman, si Q, yang rajin mengevaluasi dirinya. Dia penganut ajaran orang bijak yang mengatakan: Jangan bandingkan diri anda dengan orang lain, tapi bandingkanlah dengan diri anda sendiri. Dia membuat resolusi dan menjadi parameter untuk membandingkan dirinya yang sekarang dengan dirinya tahun lalu, dan seterusnya.

Dalam sharingnya, pernah dia menemukan pola pikirnya masih ada yang sama dengan pola pikir dirinya waktu remaja. Dan dia berjuang keras mengubah hal itu. Misalnya, sikap mementingkan diri sendiri, pamer atau membual untuk mendapatkan pengakuan, dan suka memberontak pada peraturan. Itu kan sikap remaja puber kita banget, masa masih sama saja sekarang? Katanya.

Sikapnya itu membuat saya berpikir, apakah tanpa kita sadari, masih samakah pola pikir kita sekarang dengan masa dulu? Seperti seseorang yang saya kenal, umur 45 tapi pola pikirnya sama saja dengan anaknya yang berumur 15 (ukuran bodi saja yang lebih besar dari anaknya).

Bicara tentang perubahan, menarik bila mengamati metamorfosis kupu-kupu. Prosesnya terjadi cukup panjang dan lama namum sederhana. Daur hidup kupu-kupu dimulai dari telur menjadi ulat  lalu menjadi kepompong. Jika telah sempurna, kupu-kupu keluar dari kepompong tersebut,dan menjadi kupu-kupu dewasa.

Fase pupa atau kepompong berlangsung dengan waktu yang bervariasi, ada yang berkisar beberapa minggu, bulan, bahkan ada yang sampai tahunan. Fase pupa merupakan fase yang amat penting karena pada fase inilah dipersiapkan perubahan yang besar. Sel-sel larva akan berubah membentuk sayap, kaki, mata, dan bagian-bagian tubuh lainnya. Pada fase ini memerlukan energi yang sangat besar, sebelum masuk fase dewasa. Pada fase dewasa ini bertanggung jawab atas kelangsungan jenisnya dan menentukan dimana individu-individu baru akan berkembang.

Jika dianalogikan dengan perubahan pada kupu-kupu, hidup kita juga dibentuk terus, diubahkan dari sifat kanak, menjadi dewasa, prosesnya lama, berkali-kali, berulang-ulang ditempa, dimurnikan, dibentuk, hingga hasil akhirnya sempurna, seindah kupu-kupu dewasa.

Seperti pada fase pupa/kepompong, mungkin sama dengan fase menuju kedewasaan bagi manusia, kedewasaan memang perlu energi besar, untuk mengendalikan diri dan memikul salib. Dan pada usia dewasa kita memikirkan untuk menjadi pribadi yang menjadi teladan bagi generasi berikutnya, bukan malah sama saja dengan pola pikir generasi yang jauh lebih muda daripada kita.

Kembali ke reuni tadi, ada satu hal yang paling saya sesalkan, yaitu seorang yang teman yang, dulu adalah orang yang sangat toleran, entah mengapa kini terlihat sangat rasis, baik dalam ucapan dan status-status di media sosial, yang sering meresahkan dan potensial mempropagandakan perselisihan dan perpecahan. Padahal kami sama-sama pernah duduk di bangku universitas terbaik di negeri ini dan juga kuliah di salah satu kampus terbaik di negara orang (dia bahkan lebih lama tinggal di luar negeri). Rupanya kita tak bisa berharap orang lain akan lebih terbuka matanya karena sudah melihat dunia luar, atau akan membuat wawasan dan pola pikirnya berubah lebih mengglobal karena sudah melihat lebih banyak keanekaragaman. Kalau begitu, lantas apa yang bisa kita harapkan dari mereka yang level pendidikannya lebih rendah dengan wawasan yang lebih sedikit? Lalu masihkah berlaku pepatah: Katak di bawah tempurung? Atau harus diganti menjadi : Katak leyeh-leyeh di atas tempurung berjemur pakai kacamata hitam?

Saya menghibur diri dengan membaca tulisan di jurnal resolusi teman si Q tadi:

Jika anda belum berubah, tidak apa-apa, belum terlambat, berubahlah sekarang juga. Hidup adalah perubahan dan pelajaran yang berkesinambungan. Long life learning. Jangan jadi orang lain. Jadilah diri sendiri, dengan versi yang lebih baik. Be you, but better. Jangan sama lagilah pola pikir kita di masa lalu dengan sekarang. Seperti metamorfosis kupu-kupu, janganlah berlama-lama menjadi kepompong yang terbungkus buruk rupa, marilah segera berubah, bertransformasi menjadi lebih cantik setiap hari.

Amin.

(Dan saya masih senyum-senyum teringat seorang teman membuat lelucon: Dalam sebuah reuni, seorang teman yang sudah keluar dari rumah sakit jiwa menyanyikan sebuah lagu, yang membuat semua orang kabur dari tempat reunian. Lagu apakah itu? :))

(Daftar pustaka/kutipan dari : http://www.kelasipa.com/2015/04/penjelasan-proses-metamorfosis-kupu-lengkap.html)

-*-