Yang Palsu Takkan Bertahan Lama

Saya sering naik kenderaan berbasis online ke kantor. Terkadang ada tipikal pengemudi yang membuat perjalanan terasa lebih menyenangkan. Kadang sebaliknya.

Hari ini saya dapat yang tipe yang pertama. Kebetulan pengemudinya seorang bapak pensiunan yang tetap mencari rejeki karena tidak mau merepotkan anak-anaknya, dan terlihat sangat menikmati pekerjaannya saat ini, karena menurut beliau itu membuat beliau banyak mendapat kenalan baru, teman berbincang dari segala kalangan dan membuat beliau tetap enerjik, sehat dan kreatif.

Dengan usianya sekarang, beliau bersyukur memorinya tetap terjaga dan malah makin terlatih, karena misalnya, beliau harus kreatif menghadapi jam macet, mencari jalan tikus, mencari strategi lain untuk mendapat penumpang, dan semua itu untuk satu tujuan, agar penumpang puas dengan pelayanan beliau.

Ternyata, kebetulan anaknya beliau bekerja di gedung kantor yang sama dengan saya, walau beda perusahaan. Kata si Bapak pengemudi, anaknya itu berniat bekerja setahun lagi untuk mengumpulkan uang ingin melanjutkan kuliah S2 ke Inggris, dan mengincar lowongan kerja di sebuah perusahaan berlabel internasional. Saya agak kaget dan kagum mendengar bahwa anaknya itu sudah punya visi dan target sejelas itu. Anaknya itu lulusan salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di negeri ini.

(Nantinya, setelah saya berbincang agak lama dengan bapak ini, dalam hati saya baru mengerti mengapa anaknya bisa secerdas dan sejelas itu visi dan target hidupnya. Dugaan saya, tentu hal itu menurun dari bapaknya ini.)

Lalu bapak itu bercerita bahwa selama beberapa tahun menjadi pengemudi kenderaan berbasis online, dari percakapan dengan penumpang, banyak kisah hidup orang yang membuatnya sedih sekaligus sadar bahwa kita harus banyak bersyukur pada Tuhan. Sering, katanya beliau, terutama di pagi hari, membawa penumpang pasien ke RS Fatmawati. Kebetulan rumah bapak itu di daerah Tangerang. Dan banyak di antara mereka yang sakitnya sudah parah.

Pagi ini beliau membawa pasien yang sudah pernah dioperasi kista di RS lain tapi gagal dan akhirnya dibawa lagi ke RS Fatmawati. Konon suami si penumpang itu tinggal kos karena bekerja di Tangerang, yang tadinya mereka tinggal di Bogor, dengan penghasilan pas-pasan. Karena kasihan dengan penumpang ini, bapak pengemudi yang berniat menolong (tapi tak berdaya banyak) hanya bisa memberikan diskon ongkos. Dari Tangerang ke Fatmawati, beserta tol, jumlahnya memang lumayan.

Bahkan bapak ini rela sekalipun tak dibayar.

Sungguh ketulusan yang mungkin sudah jarang ada di jaman sekarang.

Beberapa bulan lalu Bapak ini pernah membawa penumpang pasutri ke RS Fatmawati. Sang suami, pasien yang sudah agak parah penyakitnya, rutin kontrol ke sana. Lalu minggu lalu, beliau mendapat order dari orang yang sama, tapi kali ini hanya ada si ibu sebagai penumpang, karena rupanya bapak yang sudah sakit itu, sudah berpulang. Sedih mendengarnya.
Minggu lalu Bapak ini mendapat penumpang seorang pemuda yang juga akan berobat ke RS, dan sudah diberi selang dari tenggorokannya karena pola hidup yang kurang sehat, padahal masih bujangan dan usianya masih relatif muda. Pemuda ini suka mengonsumsi minuman instant tertentu.

Betapa mahalnya kesehatan.

Kami masih membahas segala macam. Tentang perusahaan tempat anaknya bekerja dan lowongan kerja saat ini, tentang kecelakaan pesawat dan para komentator negatif yang menjadikannya propaganda politik, tentang berbagai isu sosial, bahkan termasuk proyek Meikarta.

Yang paling saya suka adalah ketulusan dan semangat hidup bapak tua itu, juga rasa empatinya pada manusia di sekitarnya. Dia memang tak memiliki banyak uang tapi dia sungguh tinggi jiwa sosial dan kepedulian kepada sesama. Mungkin karena dia sudah mengerti bagaimana rasanya hidup berkekurangan, jadi dia lebih prihatin pada kondisi orang lain? Entahlah. Dia hanya sangat tulus. Tulus.

Kepekaan untuk membantu orang lain dengan tanpa pamrih, patut diacungi jempol, bukan seperti orang lain yang mungkin motivasinya supaya terkenal, mendapat sorotan atau dukungan publik, atau agenda tersembunyi lainnya. Mungkin seperti seseorang yang kita kenal, figur yang tak pernah hidup susah, tapi hanya demi pencitraan, sampai turun ke pasar dan berpura-pura mengerti hidup rakyat kecil, padahal ada agenda tersembunyi, untuk mendapat simpati masyarakat dalam kepentingan politik, demi meraih kekuasaan. Kontras sekali dengan bapak pengemudi tadi. Alih-alih tulus, hidupnya sungguh palsu.

Ketulusan, mungkin sudah jarang ada di jaman sekarang. Yang banyak terlihat adalah kepalsuan. Pertolongan yang palsu, dengan motivasi palsu.

Palsu.
Tapi, sudahlah.

Yang pasti, yang palsu takkan pernah bertahan lama.

Kita tunggu saja.

Apakah Korban Kecelakaan atau Bencana Alam Karena Tidak Disayang Tuhan?

Bila tiap bencana atau musibah lantas membawa-bawa Tuhan, baik karena kehendak atau amarah dan azabnya, penganut paham atheisme akan kembali tertawa dan menyebut betapa tolol orang beragama. Tuhan (yang dikonstruksikan dan dipersepsikan sesuai kepercayaan dan iman tiap orang) pun kembali digugat, dianggap tak adil, pula dimarahi orang-orang yang tertimpa musibah atau yang merasakan kemalangan.

Tetapi dukacita merupakan bagian dari kefanaan, tak kenal usia, agama, gender, kasta, status sosial. Bahkan seorang Vichai yang disebut salah satu orang terkaya Thailand dan pemilik klub sepakbola Leicester City, Sabtu kemarin tewas bersama crew dan penumpang lain helikopter pribadinya akibat jatuh di halaman stadion King Power seusai menyaksikan pertandingan Liga Primer Inggris antara Leicester vs West Ham United.

Helikopter pribadinya itu tentu berharga mahal dan dirawat telaten, dikemudikan pilot pilihan yang dibayar mahal. Vichai bisa mengeluarkan uangnya yang amat banyak itu untuk memproteksi dirinya, tetapi ternyata ada yang disebut ajal; sesuatu yang tak terpahami dan masih dikurung misteri.

Human error, ketidaktelitian, kesalahan teknologi, pelanggaran SOP, cuaca buruk, dan lain-lain, bisa menyebabkan kecelakaan. Bencana akibat fenomena atau peristiwa alam macam gempa dan tsunami atau serangan topan, bisa dijelaskan sains dan ilmu pengetahuan yang kian maju, namun bagaimana menghentikan belum bisa diupayakan manusia–kecuali memberi peringatan dini dan menyiapkan upaya penyelamatan.

Musibah dan bencana yang menghasilkan dukacita dan derita, seperti membayangi tiap insan di belahan mana pun di dunia ini. Tak memilih hanya di negara atau masyarakat yang bertuhan atau pada yang mengandalkan akal; tak memilah di negara agamis atau condong atheis. Tak memilih di negara kaya raya atau di wilayah miskin seperti Banglades.

Penemu sains-teknologi dan ilmuan terus berupaya menemukan teknologi terbaik dan memutakhirkan upaya penyelamatan. Pemerintah-pemerintah dan pihak yang berotoritas (terutama di negara maju) pun terus memperbarui standar keselamatan di berbagai bidang untuk menghindari celaka dan bencana. Nyatanya selalu terjadi dan dari kejadian atau peristiwalah dipikirkan perbaikan, begitu seterusnya.

Lalu, apakah setiap korban kecelakaan atau bencana alam karena tidak disayang Tuhan (seperti apapun Tuhan dikonstruksikan atau dipersepsikan tiap yang percaya) dan sebaliknya yang selamat karena Tuhan (masih) sayang?

Bagi yang membuka pikiran selebarnya, hal-hal di atas menjadi bagian dari eksplorasi atau pergumulan pikiran–yang tak berkesudahan. Namun, bagi yang mengurung pikiran dengan ayat-ayat suci maupun ujaran agamawan, jawaban hanya berakhir di frasa “Tuhan masih sayang” atau sebaliknya, “Tuhan telah memanggil”, atau “Tuhan murka.”

Galibnya, lantas terjadi atau muncullah aneka gugatan pada Tuhan, terutama karena dianggap tak adil, atau kejam. Gugatan-gugatan yang menambah tawa para penganut atheisme atau yang mengutamakan akal pikiran.

Sebagai insan berjiwa dan berpikir, saya mengajari diri memiliki empati saja. Mau merasakan sebagaimana yang dirasakan orang-orang yang dihajar bencana alam atau yang ikut dalam suatu peristiwa celaka. Mau memindahkan perasaan sebagaimana yang dirasakan atau dialami atau diderita orang-orang yang amat tersiksa akibat suatu penyakit.

Bila ingin mendoakan, cukup kulafalkan dari mulut–walau seperti bisik. Bukan melalui jari-jari atau ajakan namun tak melafalkan karena itu seperti pemanis saja. Sementara dukacita dan derita tak memerlukan kata-kata pemanis, bahkan lebih melegakan melalui raung tangis.

“Molo dung tingkina, dang tarambatan,” kata orang tua-orang tua dulu di kampung saya. Artinya: Bila saatnya tiba, tak ada yang bisa menghambat.

Terus terang, tak mudah dan masih kesulitan saya menerima. Bisa jadi karena kadar iman saya masih rendah, atau semata karena sulitnya memahami pergumulan manusia.

Apakah Anda adalah Pasangan yang Dewasa?

Biasanya pada jam makan siang di kantor, kami akan membahas segala macam, kami menyebutnya topik yang tak jelas. Kadang kami membahas politik, film, gosip artis, tentang shopping dan sale, lalu kisah tentang rumah tangga masing-masing. Jam ini adalah saat yang paling menyenangkan karena kami pasti akan membahasnya dengan konyol lalu tertawa-tawa bersama.

Kali ini topik bahasan kami adalah soal kedewasaan pasangan. Kedewasaan karakter, bukan sekedar usia.
Di kantor, kebetulan ada rekan X yang sedang bertunangan dan akan segera menikah.

Rekan saya, si A, mengatakan, dia merasa rekan bernama si X belum cukup dewasa untuk menikah.
Rekan B menyahut, tidak apa-apa, umurnya sudah cukup, nanti juga akan dewasa kalau sudah menikah.
Rekan C menimpali, pernikahan tidak akan membuat laki-laki jadi dewasa, tapi perempuanlah yang menjadi dewasa.
Rekan D berkata, betul, setelah menikah yang berubah itu adalah wanita, pria takkan pernah berubah.

Bisa ditebak jika rekan A sampai D ini semua adalah wanita. Lalu rekan E yang adalah pria muncul, dan memberi komentar: Jangan curhat dong, C dan D. Itu mungkin kisah hidupmu saja.

Dan kami mulai tertawa. Pembahasan mulai memanas tapi makin kocak, sebab kita selain serius memberi pendapat juga diselipkan bercandaan.

Seperti ketika rekan C berkata: Suami saya, dari menikah sampai sekarang, baju kotornya selalu ditaruh di balik pintu kamar, tak pernah berubah biarpun sampai berbusa mulut saya setiap hari mengingatkan dia.

Rekan E menyahut: Istri saya sejak menikah sampai sekarang tidak bisa memasak, saya tidak masalah. Saya tak ingin dia harus berubah.

Lalu rekan C berkata lagi: Salah mungkin kalau kita berharap pasangan berubah. Jadi nyesal dulu saya putusin mantan saya, Tom Cruise. Hahaha…

Tentu saja C bercanda. Dan ada banyak celutukan lainnya yang mengeluhkan sifat pasangan masing-masing.
Tapi pembicaraan kami ini, mengingatkan saya akan kotbah pendeta kami minggu lalu. Jika bapak Pendeta pas ada juga di meja makan kami siang itu, mungkin beliau akan menimpali demikian:

Syarat untuk sebuah pernikahan adalah calon pasangan yang dewasa karakter

. Salah satu lambang kedewasaan adalah kemandirian. Itulah mengapa di kitab suci disebutkan, seorang pria akan meninggalkan orang tua dan bersatu dengan istrinya. Hanya pria yang sudah dewasa yang meninggalkan rumah. Pria dewasa yang siap mandiri, baru boleh menikah.

Hal ini mengingatkan saya pada kebudayaan Jepang. Pada umur 20 tahun pemuda-pemudi di Jepang akan mengikuti upacara Seijin Shiki, semacam perayaan kedewasaan. Dengan demikian, secara resmi mereka menjadi orang dewasa dalam tatanan masyarakat Jepang, memiliki tanggung jawab serta kebebasan, dan tidak lagi tinggal dengan orangtua.

Pendeta juga berkata, bahwa,

syarat pernikahan adalah kedewasaan. Bukan pernikahan yang membuat dewasa

. Dewasa dulu baru menikah. Kalau masih anak-anak tidak boleh menikah. Mengapa?

Apa yang membedakan ciri-ciri sifat anak-anak dengan orang dewasa? Ada beberapa contohnya. Kita beri nomor agar mudah mengingatnya.

1. Orang dewasa, sadar tugasnya mengurus. Anak-anak, perlu diurus dan minta diurus.
2. Orang dewasa, melayani, sedangkan anak-anak minta dilayani.
3.

Orang dewasa bisa hidup rukun, anak-anak cenderung bertengkar melulu.

4. Orang dewasa itu sabar. Anak-anak itu, tidak sabaran.
5. Orang dewasa bisa mengerti orang lain, sedangkan anak-anak minta dimengerti.
6. Orang dewasa bisa menahan keinginan, anak-anak maunya keinginannya dituruti terus.
7. Orang dewasa bisa mengendalikan diri, anak-anak itu kurang terkendali dan ingin mengendalikan orang lain.

Kata Pendeta, pernikahan berisikan dua orang dewasa, akan terasalah bahwa pernikahan itu indah bagai sorga. Tapi ketika pasangan ‘anak-anak’ yang menikah, pernikahan akan menjadi neraka. Neraka itu adalah tempat di mana konflik selalu terjadi, hilanglah kedamaian dan sukacita. Jika dua orang ‘anak-anak’ yang menikah, maka bisa dipastikan akan segera berakhir dengan buruk.

Pendeta juga mengatakan, bahwa dewasa itu adalah proses. Yang belum dewasa, setelah menikah juga masih bisa belajar menjadi dewasa asal mau berubah. Itulah yang disebut dengan proses pertumbuhan.

Kalau teman-teman saya mendengar paparan Pendeta tersebut di atas, saya yakin mereka akan jadi terdiam trenyuh, seperti saya. Mungkin ada yang akan merenung dan jadi merefleksikan pada dirinya: Wah, berarti saya masih anak-anak dong, sebab saya sering bertengkar dengan suami.
Mungkin si D akan berpikir ulang, bahwa dia belum dewasa sebab dia mengharapkan suaminya berubah tapi dia sendiri tak mau mengerti.
Mungkin si C akan merasa tidak dewasa sebab dia sering tidak sabar dan ingin dimengerti. Dan seterusnya.

Sesungguhnya, setelah melihat dan merefleksikan ketujuh ciri orang dewasa di atas, inti dari topik pembahasan makan siang kami, kembali ke sebuah pertanyaan: Sebenarnya, apakah kita semua sudah dewasa?

Jadi, jika kita maunya selalu minta diurusin, ingin dilayani, suka bertengkar, tidak sabaran, tidak mau mengerti, maunya dituruti terus, maunya mengendalikan pasangan, apakah kita adalah pasangan yang dewasa?
Atau masih anak-anak?

Mental Apa yang Kita Miliki?

Mungkin sering kita mendengar orang nyinyir dengan istilah Revolusi Mental yang digaungkan oleh bapak Presiden Joko Widodo. Konon, gagasan revolusi mental ini pertama kali dilontarkan oleh Presiden Soekarno belasan tahun setelah Indonesia merdeka. Revolusi itu adalah upaya membangun jiwa yang merdeka, mengubah pola pikir dan perilaku ke arah yang positif untuk mencapai kemajuan.

Saat ini pemerintah sedang sibuk membangun infrastruktur, dan bersamaan dengan itu juga sungguh tak kalah penting membangun mental bangsa, yang adalah modal utama dalam membangun jiwa bangsa, dengan tujuan akhir agar Indonesia menjadi bangsa yang mampu berkompetisi di kancah internasional.

Tapi rasanya, itu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Boro-boro revolusi mental, menerima saran saja kita sulit. Seperti pengalaman saya hampir tiap hari.

Karena kondisi yang menuntut, akhir-akhir ini saya ‘terpaksa’ menggunakan jasa kendaraan bermotor online. Banyak kisahnya rupanya. Setiap hari selalu berbeda.

Di suatu kali, saya dapat pengendara yang pintar, menemukan jalan pintas yang membuat waktu tempuh menjadi lebih cepat. Saya sangat bersyukur mendapat pengemudi yang kelihatannya sudah berpengalaman itu.

Di kali lainnya, saya mendapat pengemudi yang tidak becus. Lamban, tidak tahu kapan harus menyalip, kapan harus minggir, dan melulu mengambil jalan sekenanya tanpa strategi, asal bergerak, dan kami terus stuck dengan kenderaan di depan kami, hingga kami terus terjebak di tengah dalam himpitan mobil-mobil. Padahal kan harusnya motor bisa lebih cepat dari mobil karena itulah bedanya yang membuat orang memilih naik motor.

Kesempatan lainnya, saya mendapat pengemudi yang ‘grasa-grusu’. Setiap di depan kami ada space sedikit saja, langsung menyeruduk, hingga saya hampir menjerit-jerit takut terjepit motor dan mobil di kiri dan kanan kami. Dia sepertinya bermasalah dengan cara mengemudi, suka mendadak mengerem, dan pernah membuat saya hampir terlonjak ke belakang.

Itu belum seberapa. Sering, saya dapat pengemudi yang keras kepala. Saya sudah setiap hari melintas rute perjalanan kami sehingga saya sudah tahu baiknya lewat jalur mana supaya cepat, tapi mereka ini sungguh tidak mau mendengarkan saran saya. Mereka merasa jalur yang mereka tahu itu lebih baik. Misalnya jalur di lampu merah Fatmawati, itu baiknya kita susuri lewat kiri terus dan membelok ke kanan setelah dekat lampu merah, tapi mereka mengotot terus memotong lewat tengah di antara mobil-mobil yang tidak mau memberi space. Jadilah kami stuck dan itu memperlambat waktu tempuh. Saya dirugikan dalam hal waktu. Padahal tujuan saya naik ojek adalah untuk menghemat waktu.

Saya heran. Mengapa mereka ini susah sekali mendengar saran. Saya sudah bilang, “Lewat kiri saja terus Pak, nanti di depan baru ke kanan,”, tapi mereka tetap saja mencoba masuk ke jalur tengah. Bahkan pernah, pengemudinya membantah: “Saya tahu kok jalan ini, Bu.”
Saking saya kesal, saya ingin bilang: “Tiap hari saya lewat sini lho, Pak, jadi saya tahu. Benar kan, lebih cepat jalur yang saya bilang, kan?!”

Tapi kan tidak sehat jika tiap pagi harus marah-marah ke pengemudi. Para pengemudi yang mau belajar, yang mengikuti saran dari saya, mereka malah senang dan mengucapkan terima kasih karena menemukan jalur baru, wawasan baru, pengalaman baru. Mereka bisa menerapkannya ke penumpang lainnya. Penumpang lain pun akan senang. Begitu seterusnya.

Yang saya tak habis pikir adalah, alasan pengemudi-pengemudi yang seenak hati dan tidak mau mendengarkan saran itu. Mengapa? Saya kan penumpang, saya nasabah. Nasabah kan, adalah raja. Dalam hati saya pernah geli membayangkan, jika pengemudi keras kepala tersebut misalnya adalah karyawan di kantor kami, dan bos saya menyuruhnya sesuatu dan dia melawan, maka sekejap saja dia pasti akan dipecat!

Pernah juga ada pengemudi yang licik. Saya pesan ojek dan ada yang menerima orderan saya. Di peta saya lihat posisinya ada di depan gedung kantor saya. Tapi dia mengirim pesan dan mengatakan dia ada di gedung seberang kantor saya dan minta di-cancell saja sebab akan memutar jauh dan menghabiskan waktu. Saya curiga, sebab saya lihat di depan gedung kantor saya banyak ojek dengan label yang sama, tapi mengapa saya diberikan driver yang berada di seberang jalan.

Saya cancell dan memesan lagi. Di depan gedung ketika menunggu ojek datang, saya mendengar beberapa pengemudi sedang mengobrol.
Seorang pengemudi agak keras berkata: “Kalau nggak mau ambil, ngaku-ngaku aja posisi kita ada di seberang biar di-cancell. Kalau saya mah nggak mau ambil orderan ke daerah itu, kan itu daerah macet, ntar susah lagi baliknya.”

Pas saya menoleh, saya curiga dia adalah driver yang tadi minta cancell ke saya, sebab dia menyebut daerah tujuan saya, dan kalau tidak salah, plat kenderaannya sama, dan wajahnya mirip di foto aplikasi.
Saya sempat merasa kesal tapi lalu saya abaikan. Saya pikir, itu rejeki anda yang tolak, anda yang rugi. Dia tidak tahu di daerah tujuan saya itu jalannya sudah bagus karena tol sudah jadi, jalanan pun sangat lancar dan mulus. Itu adalah salah satu bukti kemajuan pembangunan infrastruktur yang sedang giat dilakukan oleh pemerintah.

Orang dengan kesoktahuan yang tak berdasar ditambah kebodohan alias kurang wawasan, dan potensi licik tukang tipu, malas dan tak mau repot, takkan membuat seseorang mendapat banyak rejeki, pikir saya.

Saya jadi ingat hasil riset teman saya yang ekspatriat, bahwa orang Indonesia cenderung bermental instan, berpikir pendek, kurang daya juang, suka mengutang dan tukang kredit.

Saya selalu tak suka mendengarkan hal itu, tapi kini setelah makin banyak mengalami interaksi dengan orang lain, saya dengan sedih menyadari bahwa mungkin itu ada benarnya. Riset itu memang tidak mengatakan semua orang Indonesia begitu, tapi kemudian saya jadi bercermin diri saya sendiri. Mental saya mental apa?

Saya mungkin juga malas melakukan perubahan, jika bukan karena terpaksa. Contohnya adalah naik kenderaan ojek online ini. Saya dulu tidak mau naik ojek, karena takut panas, bau asap, takut kesenggol, tidak nyaman alias pegal apalagi kalau pakai rok, sehingga saya memilih resiko menghabiskan waktu dan uang lebih banyak dengan naik kenderaan roda empat.

Hingga pada akhirnya saya terpaksa, mau tidak mau, harus naik ojek. Keadaan yang memaksa saya meninggalkan zona nyaman saya. Dan awalnya itu terasa sangat menyiksa. Sampai sekarang pun walau sudah mulai terbiasa, tetap saja masih kurang nyaman. Tapi saya memaksa diri untuk beradaptasi dengan perubahan itu. Sebab tak bisa disangkal, hal itu membuat hidup saya lebih berkembang karena lebih mendukung pekerjaan dan kehidupan pribadi saya.

Hal itu yang kemudian membuat saya refleksi dengan diri saya sendiri. Mungkin dalam hidup saya juga pernah atau sering seperti para pengemudi tadi.

Karena kemalasan atau kebodohan atau ego, kita tidak mau berubah, tidak mau menerima saran, tidak mau belajar, lebih nyaman dengan cara lama dan kondisi saat ini. Kita tak mau repot-repot berubah, tak sudi diusik dengan revolusi mental.

Tapi jika tanpa keinginan untuk berubah, maju, berkembang, berkreasi, apa yang bisa kita harapkan dalam hidup ini? Bisakah mental instan dan hidup konstan tanpa perubahan membuat kita lebih baik? Lebih maju? Lebih sejahtera? Lebih makmur? Lebih bahagia? Bisa bersaing di dunia internasional?

Jika kita tak ada perubahan cara, pola pikir, strategi dan kemauan meninggalkan zona nyaman dan kemalasan serta kepicikan, apa bisa kita mengalami kemajuan serta meraih impian dan masa depan yang lebih baik?

Mengapa Anda Harus Bahagia?

Dalam sebuah seri dalam film Little House on the Prairie, ada sebuah dialog, percakapan kecil yang menarik buat saya.

Little House on the Prairie adalah sebuah tayangan serial drama televisi Amerika, tentang keluarga Ingalls yang tinggal di sebuah pertanian di Minnesota, pada tahun 1870an.

Salah satu pemeran dalam film itu, Tuan Oleson, adalah orang terpandang secara sosial di daerah itu. mereka memiliki toko serba ada. Anaknya ada dua orang, Nellie dan Willie. Istri Tuan Oleson adalah seorang yang cerewet dan pelit. Dia sering tidak sependapat dengan suaminya.

Suatu kali, pasangan itu bertengkar. Kala itu mereka sedang melayani pelanggan, Nyonya Ingalls, ibunya Laura. Pertengkaran yang sudah berakar lama, terpicu kembali karena hal kecil.

Pertengkaran itu ternyata berkepanjangan, hingga semua orang tahu. Sebab itu hanya kota kecil. Ibarat hoax jaman sekarang, gossip pun cepat menyebar.

Ibu Laura, Caroline Ingalls, yang bijaksana, memiliki ide untuk menolong mereka, dan menyampaikannya pada suaminya. ‘Bagaimana jika Nellie dan Willie sementara tinggal di rumah mereka, supaya Tuan dan Nyonya Oleson memiliki waktu berdua untuk berbaikan.’

Ayah Laura, Charles Ingalls, setuju. Tapi rupanya Tuan dan Nyonya Oleson terlalu gengsi, tidak mau menerima saran itu.

Keadaan orangtua yang bermasalah ternyata juga berpengaruh pada anak-anak. Anak-anak Oleson, Nellie dan Willie, ikut menjadi pribadi yang kurang menyenangkan dalam pergaulan.

Seperti keluhan Laura suatu kali, pada kakaknya, Mary Ingalls, tentang sikap Willie, yang satu sekolah dengannya.

Keluhan Laura dijawab oleh Mary demikian, “Kita harus baik pada mereka, karena keluarga mereka sedang ada masalah.”

Jawab Laura, “Saya sudah mencoba bersikap baik, tapi Willie selalu jahat pada saya.”

Mary pun berkata pada Laura:

“Jika orang bersikap buruk pada orang lain, itu karena dia tidak bahagia.”

Saya agak tertegun dengan kata-kata Mary itu. Sikap buruk itu, rupanya dilandasi oleh ketidakbahagiaan.

Hal ini mengingatkan saya, dalam sebuah kotbah, pendeta kami pernah berkata, bahwa

salah satu penyebab ketidakbahagiaan adalah hubungan yang tidak beres

. Hubungan yang tidak beres bisa menjadi konflik. Ketika hubungan tidak beres, hilanglah sukacita. Hubungan yang tak harmonis membuat tidak bahagia. Konflik adalah pembunuh sukacita. Ibarat lampu yang korslet, bisa menyebabkan kebakaran atau padam, demikianlah hubungan dengan konflik bisa membuat suasana tidak nyaman atau berakibat fatal.

Orang yang suka menciptakan konflik, mencari keributan, menyebar kebencian, mungkin adalah orang yang paling tidak bahagia di dunia ini.

Dia ingin ketidakbahagiaannya menyebar, supaya kepahitan yang dia rasakan juga dirasakan orang lain, sebab dia tak ingin tidak bahagia sendirian. Ibarat virus, dia ingin semua tertular virus jahat yang dia idap.

Saya pun berpikir. Adakah kita pernah menjadi Willie kecil itu dalam hidup keseharian kita? Kita bersikap buruk pada orang lain karena kita sedang ada masalah pribadi. Ketika kita tidak bahagia, sedang ada masalah, kita jadi jutek, jahat, ketus atau bahkan melampiaskan kemarahan pada orang lain?

Adakah anda pernah bersikap buruk pada orang lain, ketika suasana hati anda sedang buruk? Jika pernah, mungkin ini bisa menjadi bahan refleksi, bisa saja orang lain pun sedang mengalami hal buruk sehingga tidak bisa memperlakukan kita dengan baik, bukan?

Apakah kita sedang mengalami hari yang buruk?
Jika demikian, ada baiknya segera tenangkan diri, supaya orang lain tidak menjadi korban, dan sikap kita tak menjadi bumerang untuk diri sendiri.

Dan hikmah sekaligus sentilan dari film ini, bagi saya, sebagai orangtua adalah, apakah saya sudah memberi teladan yang baik, demi menjaga pertumbuhan kepribadian anak-anak, dengan cara menjaga hubungan harmonis dengan pasangan atau dengan orang lain? Sebab jika orangtua harmonis/bahagia, semoga anak pun tertular bahagia (sebab terkadang, dengan orangtua yang harmonis pun, belum tentu anaknya bahagia, bukan?).

Akan tetapi, jika kita orangtua saja tidak bisa harmonis, bagaimana mungkin kita bisa membentuk anak-anak yang bahagia, dan berharap anak-anak kita akan menjadi anak-anak yang penuh sukacita dan pembawa damai bagi dunia yang penuh dengan berita hoax, penyebar ketakutan, isu perpecahan dan kebencian ini?

-*-

Ratna Sarumpaet, Hoax, dan Duri Dalam Daging

Apa yang terjadi dengan Ratna Sarumpaet hanyalah puncak gunung es dari perilaku warga dunia maya di Indonesia. Kebetulan dia seorang aktivis yang dekat dengan seorang tokoh nasional. Kebetulan dia seorang seniman. Tapi apa yang dilakukannya, terlepas dari motifnya sendiri, bisa dilakukan oleh siapa saja.

Peredaran hoax masih merajalela di ranah maya kita. Payung hukum untuk memberantas tindakan kejahatan berupa pembuatan dan penyebaran hoax sebenarnya sudah ada. Tapi penegakannya yang masih tanda tanya. Bahkan terkesan tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Coba kita lihat kasus Ratna Sarumpaet ini. Saya cenderung agak pesimistis bahwa kasus ini akan menjerat lebih banyak tokoh yang diduga ikut menyebarkan hoax tersebut. Dan kalau hal seperti ini terus terjadi, maka sampai kapanpun kasus macam ini akan terus terjadi bahkan bisa jadi makin menjadi.

Penegakan hukum tanpa pandang bulu adalah kuntji. Kalau tidak, kita akan terus merasakan kegelisahan. Seperti duri dalam daging. Seperti duri yang nyangkut di tenggorokan kita. Sangat tak nyaman dan terus menerus mengganggu.

Saya jadi ingat dengan Kitab Hakim-Hakim di Perjanjian Lama. Kalau mau diringkas, kitab ini sebetulnya mengisahkan pergumulan umat Israel di Kanaan yang terus menerus diganggu oleh orang-orang di sekitarnya, tetangganya.

Apa pasalnya? Sebetulnya sederhana, menurut saya. Sebab sejak semula umat Israel tidak patuh pada perintah Allah setelah mereka mendapat tanah pusaka menurut suku mereka masing-masing. Alih-alih menghalau dan membersihkan musuh dari tanah pusaka mereka, sebagian besar suku Israel memilih berdiam bersama mereka.

Kelak, para tetangganya inilah yang menjadi duri dalam daging mereka. Peperangan demi peperangan harus mereka hadapi dengan berkorban harta benda dan nyawa. Bahkan, mereka harus berperang dengan sesamanya. Coba kalau dari semula mereka patuh sebagaimana suku Yehuda dan Simeon, mungkin ceritanya berbeda.

Kembali ke masalah hoax dan penegakan hukum. Saya kira, segalanya sudah jelas. Payung hukum ada. Penegak hukumnya ada. Pelanggar hukumnya juga banyak. Tapi penegakan hukum tanpa pandang bulunya yang kurang. Sehingga, sebagaimana tetangga orang Israel, ada duri dalam daging kita.

Pada hemat saya, siapapun dia, latar belakang politiknya, bahkan jabatannya, tak boleh lepas dari keadilan hukum. Kepolisian dan penegak hukum yang lain harus berani bertindak.

Bukan Lidah Aruna

Bicara tentang kuliner, memang tak ada habisnya. Sekarang trend-nya bukan hanya menyantap kuliner, tapi juga memamerkannya di media sosial. Piknik dan wisata kuliner seolah jadi lifestyle orang akhir-akhir ini, baik muda maupun tua.

Bulan lalu, kami sekeluarga menikmati wisata kuliner ke pinggir luar kota Jakarta. Entah makanan mana yang menyebabkan hingga saya diare, dan makin memburuk hingga ambruk esok harinya, sampai harus masuk UGD dan diopname di rumah sakit. Saya tidak menyalahkan kuliner di tempat tersebut. Bisa saja memang kondisi saya yang kurang fit atau tidak cocok dengan jenis makanan yang saya santap di sana. Mungkin bumbunya yang terlalu banyak atau perut dan lidah saya yang tidak tahan.

Berkaitan tentang kuliner, teman saya, WS, baru saja menonton film “ARUNA DAN LIDAHNYA”. Aruna diperankan oleh Dian Sastro, idolanya. Film ini berkisah tentang Aruna, ahli wabah, wanita lajang berumur pertengahan 30 tahun, pecinta kuliner, dari kecil hobi makan, tapi sedang kebingungan karena sekarang dia sulit menikmati makanan.

Ketika saya tanya bagaimana filmnya, dia merespon dengan sangat berenergi. Dia terlihat sangat bersemangat berkata, film itu sama sekali tidak menggurui, tapi membuat kita merenungkan banyak hal. Buat dia pribadi, bukan karena dia masih jomblo (alasannya) film itu sangat menyenangkan ditonton sendirian (dan saya sengaja menggoda dia dengan mengatakan bahwa saya yakin dia suka film itu karena film itu bagai refleksi kehidupan pergaulan jomblo yang seru, seperti dirinya sendiri, hahaha…). Dia tertawa dan tak menampik. Kami sudah akrab hingga biasa saling mencela.

Katanya, sepanjang film, dia tersenyum-senyum sendiri menyaksikan adegan-adegan dalam film, yang menyadarkannya bahwa begitu banyak hal-hal sederhana dalam hidup ini yang justru sebenarnya sungguh indah tapi sering kita abaikan.

Film itu membuatnya menyadari bahwa hidup ini terlalu indah untuk dihabiskan dengan menyimpan rasa benci atau menghabiskan waktu dengan orang-orang yang tidak kita sukai

(Saya sela lagi dia: “Tuh kan, alasan jomblo lagi kan,” goda saya.). WS bercerita lagi dan saya setuju dengan pesan moral film itu.

Tapi, kata WS, yang paling menarik dari film itu ternyata bukan soal makanan atau hubungan asmara para pelakonnya. Dia malah membahas hal lain yang masih dalam koridor filmnya, yaitu tentang flu burung.

Ketika Aruna berbicara perihal kasus drama flu burung yang dibuat demi mengucurkan dana project Alkes yang memang begitu besar dananya pada saat itu, teman saya si WS jadi teringat, pernah terjadi juga persis pada negara kita pada satu kondisi dimana salah satu menteri kesehatan dulu juga kena kasus yang sama. Kasus drama flu burung ini menyentak si WS pada satu hal, apa yang terjadi dengan project HAM, LSM dan kegiatan yang berkedok sosial lainnya di negera kita? Dia bertanya. Apakah ada dana yang sedang mereka kejar? Atau ada projek yang mereka kerjakan dengan bermain disekitar drama pelanggaran HAM dan sebagainya? Teman saya si jomblo WS ini, sungguh berapi-api, hingga saya tidak berani merespon. Saya kuatir itu bukan koridor saya.

Lalu dia menyambung ke isu sosial yang sedang hangat baru-baru ini, tentang sesosok figur yang dulu begitu vokal sebagai aktifis pelanggaran HAM, tiba-tiba bermutasi menjadi pembuat drama hoax dan menciptakan kegaduhan yang begitu besar, sampai-sampai melibatkan orang-orang besar dan hal ini menjadi senjata empuk bagi pihak-pihak yang bertujuan memperburuk citra pemerintah. Dengan mudahnya orang itu menciptakan kisah penganiayaan dirinya, yang setelah diusut rupanya hanya kebohongan. Mudah sekali menciptakan kebohongan, semudah dia berkata maaf. Lucu sekali.

Teman saya WS dengan gaya lucu berkata:
“Hati saya jadi bertanya-tanya, ‘ADA APAAA YAH SEBENARNYA??’” (Dia mencoba menirukan Aruna, walau dia sadar, pasti tidak seimut Aruna jika dia yang ngomong).

Lanjutnya: “Ada apa dengan lidahnya? Apakah dulu vokal karena mengejar budget untuk project LSM? Apakah sekarang budget untuk LSM sudah begitu mengering sehingga dibutuhkan sebuah drama besar untuk mengembalikan dana itu kembali mengucur? Yang pasti, dalam film, ketika proses investigasi Aruna berhasil memasukkan Priya kedalam sel, saya berharap, di dunia nyata, Nenek pembuat drama yang ini juga bisa merasakan buah drama yang dia ciptakan sendiri!”

Sekali lagi saya tidak berani berkomentar. Saya merasa lidah saya tidak ingin menciptakan kata-kata. Mungkin karena saya sedang lapar dan sudah mulai berhati-hati memilih konsumsi makanan, karena takut diare lagi.

Walaupun saya tidak berkomentar, tapi saya merasa agak setuju dengan teman saya yang kocak, si WS itu.

Saya berpikir, mungkinkah dalam hidup kita pernah mengalami, sedikit seperti Aruna. Walau hidup Aruna meriah dan penuh rasa, tapi masih saja dia merasa hambar. Dia tak bisa menikmati rasa yang dia inginkan. Kita pernah merasa hambar dan mencari sesuatu untuk mengobatinya.

Terkait dengan tokoh yang membuat kabar kebohongan kemarin, mungkinkah dia juga pernah merasa lebih parah daripada Aruna, hidupnya mungkin sangat kurang rasa, hingga dia berusaha mencari sensasi, yang justru berlebihan hingga menjadi bumerang buat dirinya sendiri? Mungkinkah dia mencari sensasi rasa dengan konsumsi yang terlalu banyak bumbu, hingga jadi overdosis? Sebab bukankah makanan terlalu berbumbu bisa membuat muak, mual, sakit bahkan kemungkinan terburuk lainnya?

Apapun itu, kita memang benar-benar harus bisa menjaga lidah kita sendiri. Seperti tertulis di wikipedia, lidah adalah kumpulan otot rangka yang dapat membantu pencernaan makanan dan sebagai indra pengecap. Lidah juga turut membantu dalam tindakan bicara. Ini adalah dua hal penting dari fungsi lidah yang sungguh vital dalam hidup kita.

Sebab seperti tertulis dalam kitab suci, ‘

Orang jahat terjerat oleh pelanggaran bibirnya, tetapi orang benar dapat keluar dari kesukaran

(Amsal 12:13), dan:

“Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu”

(1 Petrus 3:10).

Buka Dulu Topengmu

“No one cared who I was until I put on the mask”

Kalimat diatas tak sengaja kubaca di salah satu Instastory temanku kemarin. Segera aku reply instastory-nya,

“Kenapaa?”

Tak lama, dia membalas.

“Ya begitulah hidup,” katanya. Dia adalah seorang teman pria yang dulu tak lama ku kenal. Aku tau dia adalah seorang teman yang cukup aktif di media sosial dan nggak jarang upload foto-foto kegiatannya seperti orang-orang yang punya media sosial lainnya.

Aku tahu dia kurang mau terbuka saat itu. Wajar, karna aku teman wanita yang hampir 6 tahun tidak bertemu, hanya kadang sapa-menyapa di media sosial.

Saat itu, aku membenarkan apa yang dia katakan. Aku setuju dengan pendapatnya dan bilang memang banyak sekali orang fake.

Ku bawa diriku dalam kata-kata itu supaya dia pun tidak sungkan jujur tentang apa yang dia rasakan.

Contohnya aku,kataku. “Kalau aku sedih, kadang aku tersenyum saja di depan orang. Kalau aku marah aku diam. Karna kalaupun aku cerita nggak ada yang bisa ngerti. Yang peduli aja mungkin sedikit, apalagi yang mengerti.”

Setelah berkata begitu, lambat laun dia mulai bercerita tentang kekesalannya. Tentang apa yang dia rasakan. Tentang bagaimana pergumulannya saat itu tanpa aku memintanya untuk bercerita.

“Tentang keluarga?” kataku di sela-sela dia mulai menceritakan bahwa dia kesal.

Aku mencoba untuk tetap membuat keberadaan ku disana bukan sekadar mau menginterogasi dia tentang masalahnya. dan di akhir berkata,”Ah aku juga pernah begitu. Jangan terlalu lebay, nanti juga akan ada solusinya.. masalahku juga lebih pelik dari itu, tapi aku bisa kok melewatinya.”

Ini adalah salah satu kesalahan yang paling sering kita lakukan ketika kita mendengarkan orang lain yang sedang dalam masalah. Mungkin kita merasa sedang memberi energi positif yang akan membantu dia tetap semangat.

HEY. THIS IS NOT HOW YOU DO IT!!!

Kubiarkan dia berkata apa saja, mengeluarkan apa saja yang dia ingin keluarkan. Dan kubalas dengan, “Aku tahu aku nggak bisa ngerti sepenuhnya dengan apa yang sedang kau rasakan, tapi aku merasa kau sangat diberkati untuk kuat menghadapi itu semua”.

Itu membuatnya semakin terbuka dan terbuka lagi. Dan aku mengikuti alur pembicaraannya, kutanya sesekali tentang apa yang sedang dia ceritakan, yang menandakan bahwa aku sedang mencoba untuk mengerti akan apa yang sedang terjadi sekarang.

Sejak saya kuliah di UI, sudah berapa kasus yang aku temui orang bunuh diri karena frustasi, orang meninggal sakit nggak ada yang tahu di kamar kosnya sendiri, orang yang lari dari rumah.

Semuanya itu nyata dan ketika mengetahui hal itu, yang kita lakukan apa? Ngomongin? Sebar medsos dengan tulisan REST IN PEACE dan emoticon yang sedih dan bilang “nggak nyangka”?

Jujur, pertama kali aku dengar ada anak FE UI beberapa tahun silam meninggal gantung diri di kamar kos yang diduga karena skripsi nggak kelar-kelar, aku benar-benar berduka dan sangat sedih.

Aku nggak kenal dia. Tapi hal yang kusesalkan adalah, kenapa Tuhan nggak izinkan aku kenal sama dia dan dengerin dia di saat dia nggak ada teman yang bisa diajak mengobrol, sampai dia frustrasi dan putuskan untuk bunuh diri?

Tapi akhirnya, aku menyalahkan diriku lagi. Aku menangis dan bilang sama Tuhan,“Tuhan ampuni aku karena aku nggak kenal dia. Tolong aku biar lebih peka sama sekelilingku kalau mereka lagi dalam keterpurukan, keputusasaan. Tolong aku siap Tuhan buat dengar mereka, serumit dan sepribadi apapun itu. Aku mau hancur hati bersama dengan dia. Aku mau beri telinga untuk dengar dia.”

Sejak saat itu aku benar-benar mencoba untuk peka dengan keadaan orang lain.

Dan sekarang Tuhan kasih karunia itu bagiku. Mereka memang sedang tertawa, tapi aku tau di dalam hati mereka sedang menggumulkan suatu masalah besar. Dan ada kepekaan dan jalan tersendiri yang buat orang-orang voluntarily cerita ke aku.

Nggak jarang teman-temanku mempercayaiku akan sebuah masalah besar dan paling memalukan dalam hidup mereka. Sebenarnya itu bukan lah poinnya, Poinnya adalah, kapan kita terakhir kali memberi waktu buat orang lain, bahkan orang-orang yang kita sayangi?

Yakinlah, ada yang sedang mereka tutupi.

Ada topeng yang kadang harus mereka pakai supaya diterima oleh orang lain. Pernahkah kita berusaha untuk siap melihat dan menerima apa dibalik topeng mereka?

Ya, emangnya aku siapa? Setelah mereka cerita, terus apa? Nggak ada juga gunanya toh aku nggak kasih solusi apa-apa ke mereka? Emang masalahnya jadi selesai?

Ya benar, masalahnya belum selesai. Tapi hey, ketika kita lakukan itu, kita sedang menyelamatkan satu jiwa. Hati mereka yang sedang sedih dan hancur akan perlahan tenang karena dia sudah mengungkapkan dan mengeluarkan semua itu tanpa di-judge oleh pendengarnya.

Dengar dia, diam lah. Coba memahami sudut pandang dia. Lihat kedalaman hatinya. hancur hatilah bersamanya. ITU LEBIH DARI CUKUP.

Keberadaan kita lebih berharga daripada saran-saran bijak yang kita dapat dari GOOGLE, atau renungan-renungan harian.

Singkat cerita, setelah temanku bercerita tentang kondisi keluarganya dan pergumulan hatinya itu. pembicaraan membawa kami ke hal apa yang menjadi keinginan hatinya yang kurasa dia pun mungkin tak pernah bilang ke orang lain.

Mungkin dia sudah mulai merasa diterima, sehingga tidak lagi sulit baginya untuk menceritakan keinginan hatinya. Dia bilang dia merasa menyesal dulu berkuliah dan ambil jurusan Kesehatan Masyarakat, karena dia merasa passion-nya di fotografi, perfilman, dan menulis novel.

Dengan bersemangat aku bilang,”HEY THAT’S NICE THO!  Ga ada yang perlu disesali, itu bisa jadi suatu nilai tambah bagimu. It’s ok kalau itu bukan jadi pekerjaanmu sekarang, tapi kan sedikit demi sedikit bisa ditekuni.”

“Namanya suka pasti kita pengen terus melakukannya. Kalau itu kau tekuni siapa yang tahu nanti itu bisa jadi sumber kepuasan hidupmu dan bahkan sumber uang juga. Kita nggak tahu apa ynag mungkin terjadi di depan.”

“JANGAN QUIT. Lanjutkan saja sebagai hobi. Hitung-hitung, menulis sebagai pengisi waktu kosong dan obat pelipur lara.”

Hey, you know that’s Brilliant, I said. Aku bisa merasakan energi positif nya juga keluar setelah dia balas,“Iya ya,siapa yang tahu apa yang terjadi di masa yang akan datang.”

Dan tanpa disadari, yang tadinya kata-kata yang dia lontarkan kebanyakan negatif, penyesalan dan kegundahan, diakhir cerita, aku meihat aura optimis dalam dirinya.

Aku mendengar mulutku berkata Puji Tuhan. hatiku senang sekali kalau dia bisa menjadi semangat seperti itu setelah 3 jam berbincang mengenai kerasnya hidup dan orang-orang yang ada di dalam hidup. Tuhan, terima kasih, kataku berulang kali dalam hati.

“Terima kasih ya atas waktumu. Ini sangat berarti buatku. Karena tidak banyak orang yang peduli denganku. Ya wajar karna mereka pun sudah sibuk dengan masalah mereka masing-masing,” katanya.

“Aku nggak merasa itu cukup besar. Aku cuma punya telinga dan punya waktu untuk mendengar orang lain. Aku nggak bisa selalu bantu. Nggak bisa kasih kerjaan kalau orang butuh kerjaan. Nggak bisa pecahkan masalah kalo mereka lagi ada masalah,” kataku.

“Tapi, selagi aku dibutuhkan buat dengar apapun, serumit apapun, aku yang akan pertama kali datang. jadi jangan sungkan. Aku nggak akan pernah nolak buat dengarkan orang”, kataku menutup.

 

Welen Friade Sinaga

Tulisan ini dimuat sudah seizin penulis.

Penulis adalah Pengurus Persekutuan Oikumene Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (PO FIB UI) tahun 2016-2017

 

Foto: Pixabay.com

Kesaksian Capt Pilot Mafella, Selamatkan 140 Penumpang Batik Air dari Gempa Palu

Pilot Batik Air, Capt Ricosetta Mafella, mendapat sorotan setelah ia menerbangkan pesawatnya tiga menit lebih cepat dari Palu menuju Jakarta.

Atas keputusannya ini, ia berhasil menyelamatkan penumpang Batik Air dari Tsunami Palu, Jumat (28/9/2018).

Ia lantas memberikan kesaksian di sebuah Gereja Duta Injil BIP, Jakarta.

Capt Mafella meluapkan semua apa yang ia lihat dari udara saat tsunami menerjang Kota Palu.

Dalam Ibadah Minggu di Duta Injil BIP, Capt Mafella Pilot Batik Air,  memberikan kesaksian kenapa dia mempercepat penerbangannya 3 menit dari jadwal yang sudah ditentukan di Bandara Palu.

Sepanjang hari hatinya saya merasakan kegelisahan yang saya sendiri tidak tahu kenapa. Untuk mengusir rasa kegundahan hati saya,  sepanjang perjalanan dari Ujung Pandang ke Palu, saya menyanyi lagu-lagu rohani dengan nada keras (biasanya saya hanya bersenandung saja, tapi hari itu saya ingin memuji Tuhan sebaik-baiknya). Sampai Co-Pilot yang muslim menyarankan saya sambil bercanda supaya saya membuat CD lagu rohani.

Ketika hendak mendarat di bandara Palu, udara terlihat cerah tapi angin terlalu kencang dan Saya mendengar suara dalam hati untuk memutar sekali di udara sebelum landing.

Letak Bandara Palu diapit oleh 2 pegunungan dan itu mengingatkan Saya degan ayat Mazmur 23:4:

“Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya sebab Engkau besertaku: gadaMu dan tongkatMu, itulah yang menghibur aku”.
“I may walk through valleys as dark as death but I wont be afraid. You are with me and your shepherd’s rod makes me feel safe”.

Bandara yang terletak diapit pegunungan bagi seorang pilot disebut lembah kematian karena mereka harus ekstra hati-hati ketika landing dan ayat Mazmur 23:4 (sebutannya Mazmur DjiSamSoe adalah pegangan para Pilot yang Kristiani).

Sesaat setelah pesawat sukses landing, Saya mendengar suara di hati Saya untuk lekas pergi dari bandara itu. Oleh karena itu, Saya menginstruksikan crew agar beristirahat 20 menit saja sebelum pesawat kembali pulang ke Jakarta via Ujung Pandang.

Saya bahkan tidak turun dari cockpit pesawat dan meminta ijin kepada Menara Control Air Traffic Center (ATC) untuk mempercepat lepas landas 3 menit dari jadwal yang sudah ditentukan.

Setelah Saya mendapat izin take off dari Alm. Agung (Anthonius Gunawan Agung, petugas air traffic control (ATC) Airnav Indonesia), mereka bersiap lepas landas.

Saat itu, saya melanggar prosedur penerbangan karena saya mengambil alih tugas Co-Pilot dengan menambah kecepatan pesawat saat prosesi take off. Saya sendiri tidak tahu kenapa tapi tangan Saya terus memegang tuas agar kecepatan lebih besar supaya badan pesawat lebih cepat merangkak naik (istilah mobil di-gas poll).

Saat itu, Saya tidak tahu kalau gempa sudah melanda Palu tapi Saya merasa pesawat sedikit oleng ke kiri dan kanan. Kalau saja Saya terlambat 3 menit, Saya tidak bisa menyelamatkan 140 penumpang karena aspal pacuan landas bandara bergelombang seperti kain ditiup angin!

Beberapa menit selepas take off, Saya mencoba menghubungi pihak menara namun sudah tidak dijawab lagi oleh almarhum Agung.

Saya menengok kebawah dan melihat fenomena alam yang aneh. Air laut di pinggir pantai membentuk lubang yang sangat besar sehingga dasar laut terlihat.

Ketika pesawat tiba di Ujung Pandang, barulah Saya diberitahu bahwa telah terjadi gempa dan tsunami di Palu dan pegawai menara control yang memandu pesawat Saya take off telah gugur sesaat setelah memastikan pesawatnya lepas landas.

Sebelum bertolak terbang ke KL, saya menegaskan pentingnya kita harus peka mendengar suara Tuhan. Dan dalam situasi apapun harus tetap tenang jangan panik supaya bisa jelas mendengar suara Tuhan yang disampaikan melalui Roh Kudus karena dia menambahkan bahwa ketika ia mengambil alih tugas Co-pilot utk menambah kecepatan, sang Co-pilot terlihat ketakutan melihat badan pesawat oleng ke kiri dan ke kanan.

Kesaksian ini saya bagi supaya kita bisa memetik pesan moral dan mendapatkan berkat. Amin…Amin..Amin.

Kloning Manusia: Kontroversinya dan Pandangan Alkitab

Zhong Zhong dan Hua Hua, sepasang monyet makaka yang kembar identik, lahir pada 5 Desember 2017 lalu. Kehadiran mereka mengguncang dunia ilmu pengetahuan. Keduanya adalah primata pertama yang tercipta melalui kloning.

Teknik kloning yang dipakai untuk menciptakan monyet kembar itu sama dengan yang dipakai untuk menciptakan Dolly, si domba kloning, yang lahir pada 1996. Mereka tercipta melalui teknik somatic cell nuclear transfer (SCNT).

Kehadiran Zhong Zhong dan Hua Hua memanaskan kembali kontroversi mengenai kloning, khususnya kloning manusia.  Sejumlah negara sudah terang-terangan menolak dan melarang upaya atau penelitian apapun mengenai kloning manusia.

Penentang kloning manusia terutama adalah kaum rohaniawan yang menganggap kloning manusia itu bertentangan dengan Firman Tuhan. Selebihnya menganggap kloning tak etis sebab akan mengambil sel yang berasal dari embrio manusia dan itu sama saja dengan aborsi.

Tapi pemikiran ‘liar’ manusia tak bisa dicegah. Setidaknya dalam berbagai budaya populer, kloning pada manusia menjadi topik yang banyak menarik perhatian dan menginspirasi para pekerja seni. Mulai dari yang sekadar humor sampai yang serius di film layar lebar, serial televisi, sampai novel macam novel Chromosome 6 karya Robin Cook dan The Island, karya Michael Bay.

Kloning dalam Garis Waktu dan Sejarah
Kloning manusia berkembang sejalan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang biologi perkembangan, genetika, teknologi reproduksi, pembuahan binatang, dan kini: stem cell embrionik yang kontroversial itu. Manusia sukses membuat teknik reproduksi macam bayi tabung, di mana pembuahan sel telur manusia dilakukan di luar tubuh manusia, kemudian pada tahap embrio, ditanam ke dalam kandungan si ibu untuk kemudian bertumbuh sampai lahir dengan selamat. Di dunia penelitian hewan, teknik macam bayi tabung tadi dikembangkan dan diperbaiki untuk menghasilkan genom di laboratorium.

Menurut catatan sejarah, eksperimen kloning terawal dilakukan oleh ahli embriologi Jerman, Hans Spemann, pada akhir 1920-an. Lalu pada 1962, ahli biologi perkembangan Inggris, John Gurdon, mengklaim telah menghasilkan kodok dewasa dengan mentransfer nukleus dari sel kecebong ke sel telur kodok yang enucleated, meski dengan angka keberhasilan yang sangat rendah. Setelah tahap ini, peneliti mulai memikirkan untuk mengeksplorasi kemungkinan transfer sel itu di dalam dunia mamalia.

Sedangkan topik kloning manusia mulai hangat dibicarakan sejak1960-an ketika ahli genetika pemenang Nobel, Joshua Lederberg, mendorong ide mengenai kloning dan genetic engineering dalam tulisannya di The American Naturalist pada 1966. Dia terinspirasi oleh penelitian yang dilakukan sejak masa Hans Spemann sampai John Gurdon.

Sejak tulisan itu, perdebatan soal kloning manusia mengemuka, bahkan sampai berpuluh-puluh tahun kemudian. Di sisi lain, penelitian terhadap hal-hal yang terkait dengan kloning pada manusia terus berlanjut. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh peneliti di Advanced Cell Technology di Worcester, Massachusetts. Mereka mengklaim bahwa mereka sukses menumbuhkan embrio manusia untuk memanen stem cell embrionik. Stem cell atau sel punca adalah sel yang bertugas membuat aneka sel dalam tubuh manusia untuk menjaga kelangsungan hidupnya, seperti membuat jantung kita berdetak, otak kita berpikir, ginjal membersihkan darah kita, mengganti kulit yang terkelupas, dan seterusnya. Stem cell adalah sumber untuk sel-sel baru.

Stem cell itu macam-macam. Salah satunya terdapat pada pada tahap awal perkembangan manusia, yakni saat embrio. Itulah sebabnya, stem cell ini disebut stem cell embrionik. Ilmuwan tertarik pada stem cell jenis ini sebab tugas alaminya adalah untuk membangun setiap organ dan jaringan di tubuh kita. Ia bisa berubah menjadi hampir semua jenis sel manusia. Sehingga, ia sangat cocok untuk memperbaiki organ kita yang sakit. Karena kemampuannya inilah, stem cell embrionik membuka jalan kepada kloning manusia.

Di sisi lain, perkembangan penelitian soal kloning di dunia hewan berkembang lebih pesat dan lebih jauh dari sekadar mentransfer sel amfibia. Paling populer adalah pengkloningan domba yang melahirkan Dolly. Dolly dikloning oleh Keith Campbell, Ian Wilmut, dan koleganya di Roslin Institute, University of Edinburgh, Skotlandia, serta perusahaan bioteknologi PPL Therapeutics dari Edinburgh. Domba betina ini lahir pada 5 Juli 1996 dan mati tujuh tahun kemudian karena penyakit paru-paru.

Dolly diciptakan dengan teknik somatic cell nuclear tranfer (SCNT), di mana nukleus dari sebuah sel dewasa ditransfer ke sel telur yang sedang berkembang (oosit) yang nukleusnya dikeluarkan. Sel hibrid ini kemudian distimulasi untuk melakukan pemisahan diri menggunakan kejutan listrik. Saat ia sudah berkembang jadi blastosit, sel ini ditanamkan ke seekor surrogate mother. Salah satu hal menarik dari Dolly adalah bahwa sel yang diambil dari mamalia dewasa ternyata bisa dikembangkan menjadi sel baru yang melahirkan individu baru.

Dengan teknik yang sama diciptakan monyet makaka dari China: Zhong Zhong dan Hua Hua, buah penelitian tim ilmuwan dari Institute of Neuroscience of the Chinese Academy of Sciences di Shanghai. Peneliti yang dipimpin oleh Qiang Sun dan Muming Poo itu juga memakai teknik SCNT. Menurut Muming Poo, pentingnya penelitian mereka adalah untuk menciptakan hewan-hewan identik secara genetik untuk keperluan eksperimen hewan. Makaka pemakan kepiting itu biasanya dipakai sebagai model untuk mempelajari atherosclerosis. Poo juga menyebut kemungkinan dampaknya pada penelitian ilmu saraf, seperti penanganan masalah parkinson dan alzheimer.

Tapi tak urung keberhasilan mereka menimbulkan pertanyaan lanjutan. Kalau pada primata sukses, bagaimana dengan manusia? Bukankah manusia juga bagian dari keluarga primata?

Dina Fine Maron, pada 24 January 2018 lalu, kemudian menulis artikel di Scientific American yang menyatakan bahwa kesuksesan kloning monyet hanya akan memantik perdebatan etika yang baru. Meski di sisi lain, itu akan banyak bermanfaat dalam riset medis.

Kloning, Pandangan Publik, dan Alkitab
Kloning pada manusia masih lebih banyak ditolaknya ketimbang didukung. Ian Wilmut sendiri, meski sukses mengkloning domba, tidak menyarankan kloning manusia. Sebab pada hewan saja tingkat kesuksesannya rendah dan mereka mesti memakai sel yang diambil dari hewan dewasa untuk mencapai tahap embrio, yang kemudian gagal berkali-kali.

Tapi sikap yang ada di luar sana masih terbelah. Publik Amerika Serikat sendiri ada yang menolak dan ada yang mendukung ide kloning manusia. Sebuah survei yang diadakan Gallup pada Mei 2002 menghasilkan pendapat, 90 persen orang menolak kloning untuk menciptakan seorang anak, 61 persen menolak kloning embrio manusia untuk riset medis. Sebanyak 52 persen setuju saja dengan riset medis yang menggunakan stem cell yang diambil dari embrio manusia. Sedang 51 persen setuju kloning sel manusia dewasa untuk kebutuhan riset medis.

Well, perdebatan dan kontroversi kloning manusia memang berputar di sekitar topik stem cell embrionik. Sebab stem cell diambil pada saat embrio manusia memasuki tahap blastocyst, atau sekitar 4-5 hari setelah pembuahan. Saat itu embrio sudah mengandung 50-150 sel. Saat stem cell diambil, itu akan menghancurkan blastocyst, yang sama saja dengan ‘membunuh’ embrio itu.

Kalau membandingkan upaya mengkloning hewan dan kloning manusia, kita melihat dua respons yang sama sekali berbeda. Kloning hewan masih bisa diterima oleh banyak orang, ketimbang kloning manusia.

Hal ini ada hubungannya dengan pernyataan di kitab Kejadian 1:28, yang menyebutkan bahwa manusia ditugaskan untuk berkuasa atas segala yang hidup, yang bergerak di Bumi. Jadi, jika kloning pada hewan akan menguntungkan manusia, sebagai contoh misalnya kloning pada sapi kemungkinan akan menghasilkan sapi yang memproduksi lebih banyak susu yang akan mencukup kebutuhan manusia, maka tidak ada hambatan dalam kasus ini.

Tapi ini berbeda dengan kloning pada manusia. Alkitab menggambarkan dengan sangat jelas bahwa penciptaan hewan dan manusia itu berbeda. Manusia diciptakan dengan cara yang khusus dan terpisah dari hewan. Pada Kejadian 2:6 dan Kejadian 2:8 disebutkan bahwa Tuhan berkuasa atas hewan, dan tak pernah disebutkan manusia berkuasa atas manusia lain.

Setiap pembuahan sel telur, termasuk dari hasil kloning, adalah individu yang baru. Untuk menyempurnakan teknik kloning dibutuhkan beberapa eksperimen dan banyak embrio akan hancur dalam proses itu. Menengok percobaan di Massachusetts, embrionya mati sebelum tumbuh cukup untuk menghasilkan stem cell.

Kloning manusia sangat dekat berkaitan dengan isu aborsi dan permulaan riil hidup manusia. Bila ada kerusakan dalam pertumbuhan klon, maka solusinya adalah aborsi. Lebih jauh lagi, tidak ada ahli biologi, bahkan yang akrab sekali dengan tubuh manusia, yang akan membantah fakta yang jelas bahwa semua pengkodean DNA yang diperlukan untuk membangun ciri fisik setiap individu, ada di dalam pembuahan sel telur. Tidak ada informasi genetik baru yang pernah ditambahkan pada sebuah embrio yang hidup dan bertumbuh. Embrio adalah manusia sejak semula. Dan menurut Alkitab (Keluaran 20:13) dan seluruh standar etika, sangat salah secara intensif membunuh kehidupan manusia tak berdosa.

Kloning juga bertentangan dengan institusi keluarga secara biblikal. Sebab memproduksi kloning manusia yang tak pernah punya dua orang tua, proses kloning hanya akan bertentangan dengan dotrin keluarga yang diperintahkan Tuhan di Kitab Kejadian.

Mungkin bagi mereka yang tak menerima otoritas Alkitab, mereka hanya menganggap Penciptaan sebagai suatu mitos, dan jelas menolak standar institusi yang agung seperti keluarga dan dominion manusia, sebagaimana juga kekudusan manusia yang serupa dan segambar dengan Allah (Kejadian 1:27).

Jangan lupakan juga fakta bahwa stem cell non-embrionik sudah terbukti secara laboratorium dan klinis sukses dan tak perlu mengorbankan nyawa manusia. Sebagai contoh, stem cell telah berhasil diekstraksi dari area hippocampal dan periventricular di otak, umbilical cord blood, pancreatic ducts, folikel rambut, biopsi kulit, dan liposuctioned fat.

PUSTAKA
Liu, Zhen; Cai, Yijun; Wang, Yan; Nie, Yanhong; Zhang, Chenchen; Xu, Yuting; Zhang, Xiaotong; Lu, Yong; Wang, Zhanyang; Poo, Muming; Sun, Qiang (24 January 2018). “Cloning of Macaque Monkeys by Somatic Cell Nuclear Transfer”

Lederberg Joshua (1966). “Experimental Genetics and Human Evolution”. The American Naturalist. 100 (915): 519–531

Maron, Dina Fine (24 January 2018). “First Primate Clones Produced Using the “Dolly” Method – The success with monkeys could ignite new ethical debates and medical research”. Scientific American.

Mark Looy and Ken Ham, The Scientific and Scriptural Case Against Human Cloning
A Preliminary Comment, Answersingenesis.org, November 27, 2001

Spemann, Hans Embryonic development and induction
New Haven : Yale University Press ; London : H. Milford, Oxford University Press, 1938

The President’s Council on Bioethics, Human Cloning and Human Dignity: An Ethical Inquiry
President’s Council on Bioethics, 2002