Sebenarnya Apa Sih Natal itu?

Sejak awal Desember, di mana-mana lagu-lagu Natal telah berkumandang. Di mana-mana, di berbagai mal dan pusat perbelanjaaan kita sudah bisa menemukan pernak-pernik perhiasan Natal dalam berbagai rupa dipajang. Tentu saja tidak ketinggalan gebyar-gebyar promosi belanja dengan iming-iming potongan harga, yang menggiurkan dan seolah memberi alasan mengapa kita begitu menanti-nantikan bonus tunjangan hari raya Natal kita.

Menarik sekali untuk memperhatikan bagaimana Natal telah menjadi sebuah peristiwa penting dalam kehidupan kita. Tidak mungkin kita melewatkan bulan Desember tanpa Natal. Namun lebih menarik lagi adalah ketika kita memperhatikan bagaimana peristiwa Natal di bulan Desember ini dimaknai dan dirayakan.

Sebenarnya apa sih Natal itu? Seorang anak kami bertanya kepada saya. Kenapa di hari Natal orang Kristen harus memasang pohon cemara di rumahnya, ada yang dari plastik, ada juga yang mencari pohon yang asli. Sampai-sampai teman saya di Jakarta yang tinggal di jalan cemara harus memasang plang di depan jalan, “tidak menyediakan pohon cemara”.

Secara etimologis kata Natal sendiri berarti “kelahiran”, saya mencoba menjawab anak kami dengan sedikit ilmiah. Tapi kemudian saya sadar, kelihatannya bukan jawaban seperti itu yang dia perlukan. Sebenarnya apa sih yang kita rayakan di hari Natal, dan mengapa harus begitu heboh? Mungkin itu pertanyaan yang lebih tepat, dan itulah yang saya ingin kita renungkan.

Sebagai orang Kristen, tentu kita harus merayakan Natal, hari kelahiran Yesus Kristus juruselamat kita. Tentu saja kita juga harus merayakannya dengan meriah, karena hari kelahiran adalah hari sukacita. Apalagi Natal adalah hari kelahiran juruselamat yang datang untuk membawa kemerdekaan bagi seluruh umat manusia, kemerdekaan dari belenggu dosa yang telah mengikat dan menyengsarakan manusia selama berabad-abad.

Kita bisa membaca di Lukas 2:8-14, bagaimana Tuhan ingin kita merayakan hari Natal yang luar biasa ini. 8 Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. 9 Tiba-tiba berdirilah seorang malaikat Tuhan di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka dan mereka sangat ketakutan.

10 Lalu kata malaikat itu kepada mereka: “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: 11 Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. 12 Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan.”

13 Dan tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah, katanya: 14 “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.”

Kita bisa membaca di sini, Hari Natal adalah hari yang istimewa.

Beberapa petunjuk tentang itu adalah yang pertama: berita Natal itu disampaikan oleh seorang malaikat Tuhan. Yang kedua: isi beritanya berbunyi “kesukaan besar untuk seluruh bangsa (all people): hari ini telah lahir bagimu jurusalamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud”. Yang ketiga: perayaan Natal pertama diisi oleh paduan suara agung para malaikat. Wow.

Berarti Natal memang harus heboh ya? Harus ramai, meriah, dengan lagu-lagu pujian Natal, pernak-pernik hiasan berwarna merah dan hijau, hadiah-hadiah yang berlimpah ruah, pakaian baru, sepatu baru, dandanan baru, makanan yang lezat, dan sebagainya? Ho ho ho.. tunggu dulu.

Terus terang saya senang melihat semangat anak-anak ketika menyambut Natal. Kegembiraan yang terpancar di wajah mereka terlihat begitu tulus, karena itu saya tidak mau buru-buru merusak sukacita mereka dengan mengatakan Natal tidak boleh ramai-ramaian seperti itu. Natal boleh saja ramai, Natal bahkan boleh saja heboh, namun kita perlu merenungkan dalam-dalam, mengapa keramaian dan kehebohan itu dilakukan?

Coba lihat lagi Lukas 2 tadi, namun kita mundur sedikit ke cerita kelahiran Yesus,  Lukas 2:6-7. Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.

Diceritakan di sini bahwa Yesus Kristus, juruselamat dunia itu dilahirkan di kota Daud yang bernama Betlehem. Namun yang menarik adalah bayi Yesus ini dibungkus dengan lampin dan dibaringkan di dalam palungan. Ada keterangan tambahan bahwa “tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan”.

In case ada yang belum tahu, lampin adalah sehelai kain yang biasa dipakai untuk lap, dan palungan adalah tempat minum ternak. Jadi bisa disimpulkan bahwa Yesus dilahirkan di kandang ternak, karena malam itu Yusuf dan Maria, kedua orangtuanya, tidak mendapat tempat di rumah penginapan.

Mengapa mereka tidak mendapat tempat? Ada yang bilang karena mereka terlambat melakukan reservasi, penginapannya sudah terlanjur penuh. Ada juga yang bilang itu karena diskriminasi, orang dari Nazaret susah diterima di penginapan. Tapi sudahlah, apapun alasannya, malam itu Yesus dilahirkan di kandang ternak, dibungkus dengan lampin dan dibaringkan di dalam palungan.

Kalau kita memperhatikan adegan ini, ini bukan adegan yang terlalu sedap untuk dipandang. Bayi di kandang ternak? Bagaimana dengan bau khas kambing domba di kandang? Tidakkah itu tidak terlalu sehat bagi sang bayi?

Dari sini saja kita sudah bisa merenungkan satu hal berharga. Ketika kita mau merayakan kelahiran Yesus, dan kita memikirkan kehebohan, keramaian, kemegahan atau kemewahan perayaannya, kita pertama-tama harus ingat dulu, bahwa Yesus tidak lahir dalam kehebohan, keramaian, kemegahan atau kemewahan seperti itu. Dia lahir dalam kesederhanaan, kalau tidak mau dikatakan: kekurangan.

Saya merasa dekorasi natal di berbagai acara belumlah seperti aslinya. Banyak yang berusaha menghadirkan gambaran kandang ternak, tempat kelahiran Yesus dengan semirip-miripnya, namun satu hal yang menjadi ciri khas kandang ternak justru tidak pernah dihadirkan dalam dekorasi Natal. Anda tahu apa itu? Itu adalah bau khas ternak. Katanya Yesus lahir di kandang hina, tapi kok malah wangi pengharum ruangan yang tercium? Kalau mau asli, harusnya “wanginya” juga disesuaikan seperti aslinya.

Yesus tidak lahir dalam kehebohan, keramaian, kemegahan atau kemewahan. Yesus lahir dalam kesederhanaan bahkan kekurangan.

Dia datang untuk membawa sukacita, damai sejahtera, kemenangan, kepada manusia yang sedang terpuruk. Manusia yang hidup dalam dosa-dosanya, yang terikat dan terbelenggu oleh persoalan-persoalan yang menindih dan menindasnya, yang tidak bisa melepaskan diri sendiri dari semua ikatan dan belenggu itu.

Manusia yang hidup dalam kegelapan yang gelap pekat, yang tersesat, tidak tahu harus melangkah ke mana, karena bahkan tidak bisa membedakan kaki kiri dan kaki kanannya. Kalau kita melihat seperti apa kehidupan keagamaan di Israel di saat Yesus hidup, kita bisa melihat hal itu nyata sekali.

Manusia hidup terikat dan terbelenggu, dan berjalan tanpa arah, karena mereka yang harusnya menjadi gembala malah mencari keuntungan untuk diri sendiri. Kepada manusia yang demikian, sesungguhnya bayi Yesus, juruselamat dunia, sang Kristus itu, hadir.

Kemudian kita bisa melihat juga, berita kelahiran Yesus ini diberitakan pertama kali oleh malaikat Tuhan. Tuhan secara khusus mengutus malaikat untuk datang ke dunia dan memberitahukan kabar sukacita ini kepada manusia.

Kira-kira di manakah berita ini diperdengarkan? Oh, ternyata bukan di tempat yang heboh, ramai, megah, atau mewah! Malaikat Tuhan datang ke padang penggembalaan, jauh di luar kota. Di sana sedang berkumpul gembala-gembala bersahaja, yang sedang beristirahat setelah seharian menjaga ternak-ternak mereka.

Kepada orang-orang yang tidak terlalu dianggap oleh masyarakat dalam kenyataan hidup sehari-hari inilah, Tuhan mengutus malaikat untuk memberitakan “Headline News”, “Kabar Terkini” bagi seluruh umat manusia: “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud.” Haleluya!

Lebih dahsyat lagi ketika melihat bagaimana para malaikat mengiringi berita yang disampaikan itu dengan paduan suara agung yang memenuhi langit, memberikan hiburan gratis kepada para gembala. Wah, saya hanya bisa membayangkan kesempatan untuk mendengarkan paduan suara kelas dunia, semacam London Philarmonic atau Vienna Boys Choir, namun para gembala sederhana ini disajikan paduan suara para malaikat! Luar biasa!

Lalu bagaimana dengan Natal kita? Anak-anak kami bertanya lagi. Nah, itu dia nak. Natal adalah kabar sukacita kepada mereka yang paling terpuruk, paling butuh keselamatan, kelepasan, dan kemerdekaan.

Natal adalah berita damai sejahtera kepada mereka yang paling butuh damai. Mereka yang hidup dalam kegelisahan, kekuatiran, ketakutan, kecemasan, karena tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena penindasan dan ketidakadilan. Natal adalah untuk mereka yang seperti itu.

Lalu bagaimana dengan kita? Ah, bukankah kita dulu sebelum ditemukan oleh kasih karunia Allah, adalah persis seperti itu? Kita hidup untuk memenuhi keinginan daging kita, hidup mementingkan diri sendiri, dengan tidak mempedulikan orang lain, namun karena begitu besar kasih Allah kepada kita, Dia datang dan menemukan kita, dan mengajarkan kita hidup yang berarti.

Jadi, mari rayakan Natal kita tahun ini dengan mensyukuri rahmat yang telah Tuhan berikan kepada kita. Mari rayakan Natal kita dengan mengingat bahwa Yesus Kristus lahir ke dunia ini dengan begitu bersahaja, bahkan dalam kekurangan, karena Allah ingin membebaskan kita yang dalam keterpurukan dan kegelapan yang paling gelap.

Mari rayakan Natal ini dengan membawa pesan sukacita ini kepada mereka yang masih dalam keterpurukan dan kegelapan itu. Natal bukan saatnya untuk hura-hura dan menghambur-hamburkan uang untuk memuaskan ego dan keinginan daging kita.

Natal bukan saatnya untuk pamer kekayaan dan kemewahan di sana-sini. Natal adalah saatnya untuk memamerkan solidaritas dan kasih Allah yang dinyatakan dengan tidak tanggung-tanggung oleh Yesus Kristus yang lahir di kandang ternak yang hina di kota kecil Betlehem.

Natal adalah saatnya untuk memberitakan dengan lantang, solidaritas dan kasih itu, dengan mendatangi tempat-tempat terpencil seperti padang penggembalaan Effata! Natal adalah saatnya untuk membuktikan bahwa kasih itu bukan hanya sekedar slogan atau pencitraan, tetapi kasih adalah tindakan nyata, yaitu kerelaan untuk dibungkus dengan kain lampin dan terbaring di dalam palungan.

Mari, jangan biarkan Natal Anda tahun ini kehilangan makna hanya oleh gebyar diskon di pusat perbelanjaan. Mari kembali kepada sang bayi Natal yang sederhana di Betlehem itu, dan mari bergabung dengan sukacita para gembala tak bernama di padang Effata.

Mari rayakan kasih karunia Allah, sukacita besar bagi seluruh bangsa itu, dengan cara yang sesungguhnya. Tuhan begitu mengasihi kita, mari kita belajar hidup di dalam kasih-Nya. Amin.

 

Foto : Dekorasi Natal (Koleksi Pribadi)

Tidak Semua Orang Makan Nasi

Tahun 2002, saya pertama kali tinggal di Jepang seorang diri, dalam jangka waktu cukup lama, yaitu satu tahun. Saya tinggal di Jepang, tepatnya di kota Kanazawa, prefektur Ishikawa, karena saya mengikuti program Japanese studies. Usia saya saat itu masih paruh pertama 20-an.

Saya tinggal di asrama internasional bersama-sama para mahasiswa asing lainnya dari berbagai negara, mulai dari negara-negara di Asia, Amerika, Eropa, Australia. Yang dari benua Afrika kebetulan enggak ada.

Masing-masing penghuni asrama diberi satu kamar yang meskipun sangat kecil, tapi ajaibnya bisa muat dapur, kulkas kecil, WC plus shower plus wastafel, tempat tidur, meja belajar, lemari, dan beranda untuk jemur baju. Pokoknya bisalah untuk melangsungkan aktivitas hidup sehari-hari di kamar sempit itu.

Terus terang saja, satu hal yang bikin galau ketika awal-awal datang ke Kanazawa adalah perihal saya tidak punya rice cooker. Maklumin deh, dasar orang Indonesia, sekalipun roti, pasta, mie itu secara teori bisa menggantikan nasi, tapi kalau belum makan nasi, rasanya saya belum makan beneran.

Persoalannya, mau beli rice cooker baru itu lumayan mahal juga, dan mikir “hanya” dipakai setahun, sayang uangnya. Selama dua minggu pertama, saya numpang masak nasi di tempat teman Indonesia yang punya rice cooker atau saya makan nasi di kantin kampus.

Saat makan bersama beberapa teman Indonesia, salah seorang di antara teman-teman ini, punya “hobby” suka menelusuri tempat pembuangan sampah di sekitar kampus untuk cari barang-barang elektronik layak pakai.

Akhirnya saya “nitip” rice cooker ke teman saya ini (eh buseeet, di Jepang kok nyari rice cooker bukan di toko tapi di tempat sampah?).

Beberapa hari kemudian, saya ingat banget, pukul 7 pagi, bel kamar saya berbunyi. Masih setengah tidur (sebelum punya anak, saya itu afternoon person, jam 7 masih nyenyak, baru bangun itu paling cepat jam 8 pagi, tapi setelah punya anak, hidup saya sekarang dimulai dari jam 4 pagi) saya berjalan menuju pintu dan membukanya.

Di depan pintu berdiri teman Indonesia, tersenyum lebar dan membawa rice cooker. “Ini!” Ujarnya sambil menyodorkan benda yang saya nanti-nantikan itu.

Saya sangat senang menerima rice cooker dari tempat sampah itu, karena tidak menduga akan mendapatkannya secepat itu. Berulang kali saya mengucapkan terima kasih dan sepanjang hari itu saya sangat senang.

Hari itu saya ingin berbagi kebahagiaan, jadi saya menceritakan kegembiraan saya pada salah seorang teman saya yang berasal dari Polandia. Di akhir cerita, ia menanggapi,

“Kayaknya untuk Rouli, rice cooker itu penting banget ya. Rouli makan nasi tiap hari ya.”

Saya jawab,”Iya, emang Gosha (nama teman saya) enggak?”

Ia menanggapi,”Enggak.”

Saya tanya lagi, “Jadi Gosha makan apa tiap hari?” (Dalam bayangan saya saat itu, semua orang itu pasti butuh makan nasi).

Teman saya menjawab, “Terutama sih roti. Kadang jagung. Tapi kita (maksudnya orang Polandia) jarang makan nasi. Nasi kita jadikan sebagai salah satu bahan salad.” (beneran, ada ini salad nasi. Untuk kita “aneh”, tapi itulah salah satu budaya kuliner Polandia).

Hari itu, pertama kalinya saya sadar, bahwa tidak setiap orang di dunia ini makan nasi sebagai makanan pokok. Dan ngga ada yang salah dengan itu. Teman saya sehat-sehat aja tuh tanpa nasi. Dan saya juga baik-baik aja tanpa salad nasi.

Saya rasa kita semua harus terbuka menerima keberagaman.

Keberagaman SARA, keberagaman budaya, keberagaman pola pikir. Jauh-jauh deh dari fanatisme berlebihan, dari merasa diri paling benar sendiri.

Bukannya apa-apa, kita ini tidak hidup hanya dengan orang-orang yang sama dengan kita aja. Justru kalau dilihat dari perspektif global, yang tidak sama SARA, budaya, pemikiran dengan kita itu malah lebih banyak. Jadi ya sudah tugas setiap makhluklahhhhh untuk mengusahakan perdamaian dengan setiap orang di muka bumi ini.

Tidak semua orang makan nasi. Tidak semua orang makan roti. Dan sungguh, berbeda-beda itu tidak apa-apa, asal selalu ada sikap saling menghormati perbedaan itu.

Rouli Esther Pasaribu

Penulis adalah pengajar paruh waktu di Program Pascasarja Kajian Wilayah Jepang UI.

Foto: Pixabay

Gempa Aceh dan Dekatnya Bayangan Kematian Mengikutiku

Gempa Aceh kemarin mengingatkanku 11 tahun yang lalu. Ya, gempa Nias 28 Maret 2005, yang berkunjung hanya dalam hitungan menit saja, telah mengubah sebagian besar hidupku dan juga teman-temanku.

Mereka yang baru saja bercanda denganku di hari yang sama, tiba-tiba sudah tidak ada lagi, ditelan reruntuhan bangunan megah buatan tangan manusia. Masih jelas tergambar di benakku kehancuran hebat saat itu.

Rumah-rumah rubuh, jalan-jalan terbelah, kebakaran menghanguskan sisa-sisa harta yang tertinggal, bau mayat di mana-mana. Aku sampai tidak mengenali lagi kota Gunungsitoli, kota kelahiranku.

Aku ingat teriak mereka yang berlumuran darah. Aku ingat tangis mereka yang memekakkan telinga.

Aku ingat ketakutan yang tergambar di setiap wajah. Bahkan aku ingat boneka berbentuk hati yang kubawa lari ke pengungsian malam itu.

Rasanya bayangan kematian begitu nyata mengejarku. Tidak ada pengungsian yang cukup aman bagiku untuk berlindung dari kematian. Aku tidak pernah tahu entah kapan kematian itu datang. Entah saat aku tidur, entah saat aku bermain, entah saat aku mandi, entah saat aku sama sekali tidak memikirkan tentang kematian.

Sesungguhnya, tanpa harus gempa pun, bayang-bayang kematian memang selalu mengikuti. Hanya mungkin sedang tidak sadar saja. Pertanyaannya, sudah siapkah apabila waktunya tiba menjemput? Sudah siapkah kita berhadapan dengan ajal?

Moi, je suis prête.

Foto: Pixabay/Angelo_Giordano

KKR di Bandung Serta Kisah Keteladanan

“KKR Pdt Dr Stephen Tong di Bandung dibubarkan ormas”, demikian terbaca di WhatsApp group yang saya ikuti. Lalu, penulis lincah dan indah Dennis Siregar menulis artikel memberitahukan bahwa ormas itu adalah “ormas abal-abal”. Jadi, bukan oleh ormas bermutu seperti NU atau Muhammadiyah.

Mengapa harus dibubarkan? Mengapa? Apakah yang membubarkan itu masih waras? Apakah mereka masih memiliki hormat kepada orang tua, kakek lemah, yang sudah berusia lebih dari 76 tahun? Apakah kita sudah kehilangan budaya Timur?

Pdt. Dr. Stephen Tong, yang saya anggap sebagai orang tua, bukan saja tua, lemah, tapi juga sakit-sakitan! Entah berapa banyak alat-alat medis, seperti cincin dimasukkan dalam tubuhnya yang membuatnya bertahan hidup! Terakhir kali saya menyaksikannya berkhotbah, saya sangat kasihan.

Mengapa kasihan? Saya menyaksikan bahwa tubuhnya sudah sangat lemah untuk berdiri di mimbar cukup lama. Sebelum naik ke mimbar, saya menyaksikannya didorong pakai kereta dorong.

Ketika melangkah ke mimbar, beliau harus dituntun. Ketika mulai berbicara, dalam tempo lima menit beliau akan batuk batuk sambil–maaf–mengeluarkan dahak! Terlihat sekali beliau berjuang untuk berbicara, mengeluarkan kata demi kata.

Lalu mengapa masih terus berkhotbah? Haruskah itu dilakukannya? Haruskah? Apa tidak banyak orang lain menggantikannya? Jawabnya, ada dan banyak. Beliau telah meluluskan banyak hamba Tuhan yang setia dan rela membayar harga, termasuk menderita.

Di situlah kakek tua tersebut sangat layak diteladani, terutama oleh jutaan kaum muda yang telah mendengar khotbahnya.

Saya sangat yakin tidak ada orang yang memaksa kakek tua Stephen Tong untuk terus berkhotbah, juga bukan karena materi. Jika uang menjadi alasannya berkhotbah, sudah lama dia dapat istirahat.

Lalu apa yang mengharuskannya? Saya sangat yakin inilah jawabannya: beban dan kerinduannya terhadap jiwa-jiwa tersesat, yang ditipu dan disesatkan iblis sehingga hidup dalam dosa!

Dia tidak rela melihat jutaan pemuda, remaja yang dirusak dan dihancurkan oleh berbagai macam dosa seperti narkoba, pornografi, sex bebas dan sejenisnya. Itu sebabnya, dalam berbagai ibadah yang dilayaninya beliau juga mengadakan sesi khusus untuk remaja, siswa-siswi.

Kerinduannya yang sedemikian besar untuk melepaskan jiwa-jiwa dari perbudakan iblis, dosa dan hawa nafsu liar membuat kakek tua itu rela berkeliling ke berbagai pelosok di seluruh Nusantara.

Dalam kondisi demikian, tidak ada yang dapat merintanginya. Beliau bahkan siap berkhotbah di tengah guyuran hujan dan angin kencang, sebagaimana dilakukannya pada ibadah KKR di Tarutung, Sibolga dan Balige pada Mei yang lalu.

Jika hujan dan angin diterobosnya untuk memberitakan kabar baik, bagaimana dengan sakit penyakit? Juga tidak mampu menghadangnya. Dalam kondisinya yang parah, beberapa kali dokter melarangnya untuk naik mimbar, berbahaya, bisa berakibat fatal! Apa yang dilakukannya? Beliau tetap naik mimbar, siap untuk mati!

Lalu mengapa kakek tua yang berhati mulia itu harus dihentikan berkhotbah? Lalu mengapa beliau sendiri bisa diadang ormas?

Pasti bukan karena takut! Inilah jawaban kakek tua, hamba Tuhan itu: Natal bukan momen bermusuhan tapi menabur cinta kasih.

Betapa indahnya kalimat itu. Betapa indahnya dan agung pengorbanannya demi kemanusiaan.
Bersama kakek tua, Pdt. Stephen Tong yang mengikuti teladan Tuhan Yesus, mari kita berdoa: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yg mrk perbuat”.

Mari terus berdoa utk yang terkasih kakek tua, Pdt. Dr. Stephen Tong bersama tim STEMI.
May God bless you and your team our dear Rev. Dr. Stephen Tong. We love you…

 

Pdt. Dr. Ir. Mangapul Sagala, MTh.

Tulisan ini juga dimuat di:

http://www.kompasiana.com/www.mangapulsagala.com/keteladanan-pdt-dr-stephen-tong_5847b4cc2c7a61df06685afb

Penulis adalah Alumnus Fakultas Teknik UI Doctor Theology dari Trinity Theological College, Singapore, Cambrige, Roma.

 

FotoL Pixabay/Hailongli72

Rumah ‘Persinggahan’ Toleransi di Tepi Danau Toba

Tiap ada peristiwa atau kejadian macam kasus intoleransi ulah segerombolan orang di Gedung Sabuga, Bandung itu, aku tak hanya bertarung mengelola emosi yang sontak mendidih di dalam diri. Juga, harus menahan kejengkelan karena di antara yang merasa minoritas dan tertindas itu tak saja menyemburkan kegeraman –yang bisa dimaklumkan– namun sebenarnya hanya luapan kesia-siaan, sebab yang namanya kemarahan dan disampaikan dalam bentuk apapun, sebenarnya takkan pernah menginspirasi pikiran dan perbuatan baik yang bermanfaat bagi insan beradab.

Lebih sial lagi, akan ada yang menyindir-nyindir sikapku yang selama ini mencoba bertahan: mengedepankan akal sehat, mendukung harmoni sosial, penekanan agar tetap menghargai kehidupan dan humanisme di tengah ketertekanan–dan gelinjang emosi. Ia atau mereka, agaknya lebih menginginkan aku agar turut seperti mereka: meluapkan kemarahan, menyampaikan sindiran, yang sebenarnya sama-sama ekspresi kebencian.

Provokasi akhirnya melahirkan agitasi; kebencian dihadapi dengan kata-kata kemarahan. Itu bukan (lagi) “kelasku,” dan kau atau kalian boleh mencibir. Tak di tahap itu lagi aku. Tetapi, kepedulianmu (bila merasa begitu), belum tentu lebih tinggi kadarnya dibanding aku, namun caraku berbeda. Dalam pelbagai hal, perlu siasat. Siasat yang lebih cerdas, dan kupilih yang menurutku (menurutku lho) lebih beradab, intelek, hingga tak harus memancing keonaran baru.

Saya, lewat catatan-catatan ringan di medsos ini, ingin merangkul sebanyaknya agar lebih banyak orang menyukai humanisme dan harmoni sosial, mementingkan kedamaian, betapapun semua itu dianggap kemustahilan. Aku percaya, gerakan-gerakan serupa riak-riak di danau itu bermakna, dan aku memang pemburu makna. Itulah bedanya kita. Tanpa bermaksud merasa seorang yang istimewa.

Saya lahir dan besar di lingkungan (terutama didikan orangtua) yang amat toleran dan sedia membagi perhatian pada orang lain. Seperti yang pernah kutuliskan di beberapa catatan, rumah kami yang sederhana (di Pangururan), merupakan persinggahan dan penginapan bagi kerabat, kawan sekampung bapak, yang beragam keyakinan-agama. Rumah kami adalah tempat singgah dan menginap para “Parbaringin,” “Parmalim,” penganut Adventis, Saksi Yehova, Muslim, bahkan yang dituduh terlibat PKI.

Tak sedikit klan Situmorang yang merantau ke Sumatera Timur jadi Muslim, dan manakala pulang ke kampung halaman (Bonapasogit), mampir atau menginap di rumah kami sebelum ke kampung asal mereka karena harus menunggu bus (motor) P.O Pulo Samosir yang jarang itu, “motor” Sidikalang-Pangururan-Mogang-Nainggolan.

Sejak dini, aku sudah terbiasa dengan keberagaman, keperbedaan, dan… tak menjadi gangguan bagi kenyamanan bathin. Kawan-kawan bermainku, para anak tentara dan polisi yang berumah di Tajur, selalu ada Muslim (biasanya orang Jawa/Jadel, Melayu, Pakpak, atau Karo). Di dekat rumah, persisnya di samping Pesanggrahan Pemda, ada masjid kecil yang diurus marga Sihombing dari Harianboho, halamannya pun tempatku bermain bersama kawan-kawan bocah. Dulu ada pohon asam jawa dan mangga, aku dan kawan-kawan senang memanjat lalu mengunyahi buah yg asem dan manis itu sambil duduk di sisi mesjid sambil berceloteh khas bocah. Indah sekali bila itu kuingat, apalagi Danau Toba yang memesona, terhampar di depan.

Masa kecilku hingga menuju remaja memang indah, terbiasa dengan panorama nan elok dan besar di satu keluarga yang meskipun bersahaja, normal dan patuh norma-norma adat, ditopang hubungan perkerabatan serta pertetanggan yang hangat dan tulus. Aku tak biasa dengan lingkungan yang disebut “keras” atau “kasar.” Kecongkakan, kesinisan, merupakan pantangan bagi kami dan kawan-kawan, juga tetangga. Kami, khususnya dengan orang-orang Pangururan, terbiasa dengan toleransi sejak dahulu kala –entahlah kini.

Aku lahir dan besar di tengah alam yang “penuh puisi,” disuguhi panorama yang tak ada bosannya ditatap, pula lingkungan yang mengindahkan sopan-santun dan norma-norma yang memantangkan pemisah-misahan manusia, siapapun dia, bahkan “bonggali” pun seperti saudara.

Barangkali, itulah yang berperan penting membekaliku dan berfaedah hingga kini: membuatku terpesona harmoni sosial dan perdamaian.

*-*

Foto: Pixabay

Kejutan di Balik Nikmatnya Daging Panggang

Pertama kali saya mengetahui Panggang Ucok dari seorang teman gereja yang merekomendasikannya. Lalu saya pergi ke restoran itu bersama teman, pas ulang tahunnya.

Kami disambut dengan ramah oleh para karyawan di sana, bahkan teman saya diberi surprise, martabak ulang tahun lengkap dengan lilinnya. Semua karyawan berkumpul untuk menyanyikan lagu selamat ulang tahun dan memberi selamat.

Suasana restoran yang beralamat di Jalan Otista Raya No. 149 Jakarta ini terasa nyaman. Seperti di rumah. Selain karena rasa kekeluargaan yang dihadirkan oleh para karyawan, layout restoran juga bikin betah. Ada buku-buku yang dipajang dan bisa kita baca, sehingga memberi kesan rileks dan intelek.

Mengenai makanan, saya menikmati daging panggangnya yang segar dan renyah, seolah baru dipotong dan langsung dipanggang. Saya paling suka bumbu riasnya, yang mengingatkan saya akan masakan khas ompung saya di kampung Toba sana.

Bumbu andalimannya juga enak sekali, seolah tanpa makan dengan daging pun bumbu itu saja sudah sangat enak.

Saya juga suka nasi gorengnya. Ada banyak bumbu yang khas yang bisa membuat lidah bergoyang, dan memberi sensasi yang tak biasa.

Martabak ulang tahun tadi, juga sungguh kaya rasa. Campuran bawang dan bahan/rempah lainnya seolah terpadu dengan seimbang. Teman saya yang ulang tahun itu sungguh menyukai dan ingin memesannya lagi.

Yang paling saya favoritkan adalah kopi botolnya (Cold ice coffee). Rasanya saya ingin meminumnya setiap hari. Ada rasa pahit kopi yang khas di dalamnya yang memberi rasa nikmat yang langka dan luar biasa. Saya bisa ketagihan meminumnya. Itu adalah kopi terenak yang saya minum, dan tak saya temukan di restoran manapun.

Yang berbeda dan khas dari restoran Panggang Ucok, adalah kerinduan pemiliknya untuk membangun hubungan emosional dengan pelanggan. Itulah yang sangat saya rasakan dan sangat saya hargai.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai menu maupun promo, kamu bisa mengunjungi akun Instagram Panggang Ucok di alamat: https://www.instagram.com/panggangucok/.

 

Bagaimana Melaporkan Hate Speech di Medsos?

Hate speech alias ujaran kebencian, hoax, dan sejenisnya, makin memprihatinkan saja akhir-akhir ini. Sebagai pengguna medsos, ada baiknya kita tak diam saja.

Jangan kuatir kamu dianggap melanggar hak kebebasan bicara. Saya sependapat dengan Karen White, Head of Public Policy Twitter untuk Eropa. Dia mengatakan: “Ada perbedaan yang jelas antara kebebasan berekspresi dan perilaku yang menghasut kekerasan dan kebencian.”

Masalahnya, tak semua tahu cara melaporkannya. Oleh sebab itu, saya mencoba mengkompilasi berbagai fitur pelaporan (report abuse) di beberapa medsos yang banyak penggunanya di Indonesia.

TWITTER
Kamu bisa melakukannya langsung melalui tweet yang bernada kebencian, atau lewat akunnya.

Di postingan:
Klik icon ••• di desktop atau ikon ^ di aplikasi iOS dan Android. Pilih “Report Tweet”. Pilih “Its abusive of harmful” lalu “Next”.

Twitter akan memintamu menambahkan informasi tentang laporanmu. Kamu juga akan diminta menambahkan cuitan lain untuk memberikan konteks lebih baik pada Twitter dalam mengevaluasi postingan itu.

Melaporkan sebuah akun:

Bukalah akunnya dan klik ikon gear (desktop dan iOS) atau ikon overflow (android). Pilih “Report”

Kemudian pilih “They’re being abusive or harmful”. Lalu klik “Next”.

Lalu hal yang sama akan ditanyakan Twitter, tentang tambahan informasi dan cuitan dari akun itu untuk memberikan konteks yang lebih baik dalam mengevaluasi permintaan kita.

FACEBOOK
Di Facebook, kamu bisa melaporkan akun, postingan, maupun page.

Akun:
Di sebelah nama pemilik akun ada kolom-kolom, pilih ikon ••• lalu “Report”. Lalu pilih “Report this profile”. Klik “Continue”. Ikuti langkah-langkah berikutnya.

Postingan:
Klik ikon “v” dan klik “Report post”. Pilih “I think it shouldn’t be on Facebook”. Lalu “Continue”. Nanti ada pilihan, apakah postingan itu vulgar (menggunakan bahasa yang kotor), bernada seksual, hate speech, mengancam atau bernada kekerasan dan bunuh diri, atau sesuatu yang lain. Pilih “It’s harassment or hate speech”. Lalu “Continue” dan ikuti langkah selanjutnya.

Page:
Untuk melaporkan Page, buka Page yang diinginkan, lalu arahkan kursor ke ikon “••• More“ Pilih Report Page. Pilih alasanmu melaporkannya. Ikuti langkah selanjutnya.

GOOGLE PLUS

Di platform ini, kamu bisa melaporkan setiap postingan, profil, atau foto, dengan mengklik ikon tiga titik berbaris vertikal. Lalu klik “Report abuse”

YOUTUBE

Di YouTube kamu bisa melaporkan channel dan video.

Channel:
Login dulu ke YouTube dengan akun Google-mu. Kemudian klik channel. Setelah itu pilih “About”.

Nanti akan ada ikon Flag (bendera) dengan tanda panah ke bawah. Klik, dan akan muncul pilihan: report user, report channel art, report channel icon, report user.
Ikuti langkah selanjutnya.

Video:
Untuk melaporkan video pilih ikon “••• More“ lalu klik “Report”. Ikuti langkah selanjutnya.

Foto: Pixabay/LoboStudioHamburg

Maaf Dariku Bukan Untuk Kau Ulang

Lagu ini memang bukanlah lagu yang lucu, tapi saya selalu menahan senyum jika mendengarnya:
Maaf dariku bukan untuk kau ulang
Sabar di dada batasnya sudah hilang

Bicara soal ‘maaf’, entah mengapa, yang pertama terlintas adalah lagu dangdut miliknya Hana Pertiwi, walau penggalan yang saya ingat hanya bagian di atas itu tadi.

Lalu, kata maaf kedua yang akan saya ingat, adalah ucapan kejam di telepon:
Maaf, sisa pulsa anda tidak mencukupi untuk panggilan ini.
Maaf, nomor yang anda tuju sedang sibuk atau berada di luar jangkauan.

Ketiga, tulisan di mesin ATM, ucapan maaf yang sangat menyakitkan ini:
Maaf, saldo tabungan anda sudah mencapai batas minimum.

Lalu, yang kemudian paling saya ingat, adalah Mpok Minah, tokoh film Bajaj Bajuri. Beliau, setiap kali mau bicara selalu diawali kata maaf.

Mpok Minah, karakter yang ikut populer dalam sinetron komedi betawi Bajaj Bajuri, perannya merupakan gambaran sosok seseorang yang takut menyinggung perasaan orang lain, dan juga takut melakukan kesalahan. Itu sebabnya dia selalu mengucapkan kata maaf. Maaf walau tak salah.

Walau sebenarnya, kata maaf itu tidak lucu, tapi kata maaf yang selalu diucapkan berulang-ulang oleh Mpok Minah pernah menjadi tren lelucon dalam pergaulan jaman itu.

Sebenarnya, seperti tertulis di buku SD anak saya, meminta maaf adalah sebuah tindakan yang sangat terpuji. Sebab, sering kali kata ini juga sulit untuk kita ucapkan, kebalikan dari Mpok Minah. Lebih sering orang yang sebenarnya bersalah tapi enggan berucap maaf. Sehingga menjadi agal lebih langka jika orang berkata maaf, walau tidak melakukan sesuatu yang salah.

Tapi saya suka karakter Mpok Minah ini. Menurut saya, Mpok Minah sering berkata maaf karena hanya ingin keadaan tidak berubah buruk karena apa yang akan dia ucapkan. Dia ingin, orang yang dia ajak bicara tetap bisa saling menerima dan mengerti, tidak berbantahan, dan menghindari masalah.

Terkadang, orang berkata maaf walau belum tentu salah. Penerima maaf pun bisa jadi adalah pihak yang salah, walau tidak menyadari atau tidak mau mengakuinya. Dunia ini memang kadang terbalik.

Dalam sebuah komunitas yang saya ikuti, hal ini pernah terjadi. Kami sedang membahas sebuah topik. Awalnya itu hanya sebuah topik ringan. Lalu, setelah banyak yang menanggapi, ada anggota yang kemudian menganggap topik ini sensitif. Hal ini memang subjektif, sebab yang lain tak merasa itu sensitif. Tapi anggota komunitas yang merasa itu sensitif itu kemudian mendesak bahwa hal seperti itu terlalu sensitif untuk dibahas. Terjadilah pro dan kontra. Demi menghindari perselisihan, si X yang mengangkat topik tadi pun segera minta maaf. Yang lainnya tak setuju jika si X minta maaf.

“Kenapa minta maaf? Kan kamu nggak salah? Itu kan pilihan,” bantah yang lain.
Tapi si X merasa itu adalah jalan keluar terbaik untuk menyelesaikan perdebatan.

Dengan bisik-bisik, Si X menjawab; Ada yang bilang, lebih baik menjadi orang baik daripada menjadi orang benar.

Untuk menghindari konflik, dia mengalah sekalipun tak salah.
Orang waras mengalah, kata orang.
Tapi si X lebih suka dengan kalimat berikut: Orang yang lebih dewasa mengalah. Sebab ‘kanak-kanak’ masih kurang bijaksana. Kita berbuat baik bukan karena orang lain baik, tapi karena kita baik. Kita melakukan kebajikan itu bukan karena orang lain juga baik pada kita, tapi sebagai hakekat diri kita sendiri. Treat people kindly not because they are kind, but because you are.

Mungkin seperti Mpok Minah, kadang orang meminta maaf duluan untuk menjaga perasaan orang lain, menghindari masalah, menjaga perdamaian, menghindari pertikaian. Akhir-akhir ini ‘dunia’ terasa semakin sensitif, dibutuhkan lebih banyak Mpok Minah-mpok Minah, yaitu orang yang mau mengalah, berucap maaf walau tak salah, demi menghidari perang dunia ketiga, hehehe.

Maka, kebalikan dari lagu Hana Pertiwi, Mpok Minah jika bernyanyi mungkin liriknya akan begini:
Maaf dariku boleh terus kau ulang.
Sabar di dada tiada batasnya.
🙂

-*-
Foto: Pixabay

Anak Sekarang Terlalu Cepat Dewasa?

Seorang anak kelas 2 SD Angkasa IX Halim Perdanakusumah menceritakan kisah “Bang Maman dari Kali Pasir” dengan detail. Kisah ini termuat dalam Lembar Kerja Siswa (LKS).

Dalam kisah itu diceritakan bang Maman meminta seorang perempuan bernama Patme untuk mengaku-aku sebagai istri simpanan Salim. Tindakan itu dilakukan agar putri bang Maman yang bernama Ijah mau menceraikan Salim. Bang Maman ingin Ijah cerai dari Salim karena sang menantu sudah jatuh miskin.

Apen, sang orangtua dari murid kelas 2 ini, terkejut dan khawatir anaknya dewasa terlalu cepat. “Saya khawatir ya khawatir. Takutnya anak saya berpikir lebih dewasa dari sebelum waktunya,” ujar Apen.

Apen membandingkan dirinya saat bersekolah dulu. Istilah-istilah seperti “istri simpanan” itu adalah tabu saat itu.

“Dulu waktu zaman saya sekolah, istilah istri simpanan itu tabu untuk dibahas, tapi sekarang saya enggak tahu ya. Ya saya sih belum tahu ceritanya kaya apa,” jelas Apen.

Peristiwa ini mencerminkan kekhawatiran para orangtua terhadap gejala anak-anak terlalu cepat menjadi dewasa pada usia muda.

Karena asupan gizi yang lebih baik dan fasilitas pelayanan kesehatan yang semakin mudah dijangkai kita menjumpai anak-anak mengalami pertumbuhan badan yang lebih cepat dibandingkan zaman kita. Tubuh mereka lebih tinggi dan lebih besar dibandingkan dengan tubuh kita saat seusia itu.

Selain itu ada juga kecenderungan anak-anak sekarang lebih dini dalam memasuki masa puber. Saat ini anak-anak perempuan usia kelas 6 SD sudah mendapat menstruasi yang pertama. Anak laki-laki juga mulai memproduksi hormon progesteron lebih cepat dari zaman kita.

Secara sosial, anak-anak juga cenderung mengalami percepatan menjadi dewasa. Karena kemajuan teknologi komunikasi maka anak-anak sekarang mudah sekali mengakses informasi yang berkaitan dengan orang dewasa. Dalam pergaulan, mereka juga mulai tertarik pada lawan jenis sejak usia muda.

Ada juga anak yang terlalu cepat menjadi dewasa karena dipaksa oleh keadaan. Misalnya karena ayah meninggal, anak sulung harus mengambil alih peran ayah dalam keluarga itu. Dia tidak sempat menikmati masa anak-anak karena harus memikirkan kebutuhan keluarga agar bisa bertahan hidup.

Di sisi lain, ada anak yang dipaksa menjadi dewasa lebih cepat karena ambisi orangtua. Mereka mengikutkan anak kepada berbagai macam kegiatan agar talenta anak mengalami perkembangan secara maksimal. Misalnya, mengikutkan anak untuk mengikuti audisi bintang sinetron, kemudian anak ditekan dengan jadwal shooting yang padat.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Apabila anak kita lebih cepat memasuki masa puber karena faktor gizi, tentunya kita perlu mensyukurinya. Yang perlu kita lakukan adalah memberi pendidikan seks yang benar.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Universitas London pada tahun 2003 menunjukkan bahwa 68 persen anak-anak mencari informasi seks dari media, 66 persen bertanya kepada ibu mereka, dan hanya 34 persen anak-anak berkonsultasi dengan ayah mereka tentang hal-hal yang berbau seksual.

Berdasarkan penelitian ini, kaum ibu perlu membekali diri dengan belajar tentang seks. Banyaklah membaca buku tentang pendidikan seks.

Orangtua memang perlu memberi bekal pendidikan dan keterampilan pada anak sehingga anak kelak bisa menjadi orang yang sukses. Namun demikian hendaknya diberikan dengan takaran yang wajar. Jangan sampai masa kecil yang menyenangkan itu justru terampas oleh ambisi orangtua.

Saat ini sudah ada Undang-Undang Perlindungan Anak. Di dalamnya terdapat aturan yang mencegah agar anak-anak tidak dieksploitasi. Kita perlu mempelajari dan menyebarluaskan undang-undang ini sehingga semakin banyak orang dewasa yang menghormati hak-hak anak.

Purnawan Kristanto

Catatan: Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis.

Laman asli tulisan ini lihat di: http://renungan.purnawan.web.id/?p=541

Penulis adalah writer | trainer | humanitarian volunteer | video & photo hobyist | jazz & classic lover | husband of priest | father of two daughters |

Santa Claus Datang ke Bekasi

You better watch out
You better not cry
You better not pout
I’m telling you why
Santa Claus is coming to town

Syair pembuka dari lagu “Santa Claus Is Coming To Town” ini terdengar jelas dari tengah Metropolitan Mall Bekasi di mana telah berdiri panggung bernuansa Natal. Saat itu sedang beraksi di “laga pembuka” para penyanyi remaja dari kelompok vokal Voice of Indonesia.

Sebanyak 12 penyanyi remaja beraksi di panggung dengan membentuk dua barisan. Mereka terdiri dari dua remaja pria yang berdiri di tengah barisan, dan sepuluh remaja putri dengan berpakaian atasan putih dengan rok merah.

Semuanya memakai topi ala Santa Claus. Waaah, Santa Claus datang ke Bekasi, setidaknya lewat syair lagu dan topi yang dikenakan para penyanyi remaja.

Mendengar lagu ini dinyanyikan dengan pengeras suara, kami sekeluarga langsung menonton dengan mencari tempat berdiri di bagian yang berhadap-hadapan dengan panggung. Kedua anakku malah langsung duduk manis di lantai.

Pengunjung mal pun mulai ramai mengerubungi di depan panggung. Keadaan mulai berdesakan karena kerumunan ini juga harus memberi jalan kepada orang yang lalu-lalang.

“Pak permisi, boleh tukar posisi berdiri enggak?”

Tiba-tiba seorang ibu dengan hijab cokelat muda mencolek bahu saya. Rupanya si ibu sedang berusaha mencari posisi terbaik untuk merekam kelompok vokal yang sedang beraksi di panggung itu.

Saya pun bergeser, mempersilakan si ibu merekam gambar. “Ini ibu tahu apa tidak ya kalau kelompok vokal ini sedang menyanyi lagu-lagu bertema Natal?” Begitulah saya membatin.

“Sebentar kak, Mama lagi merekam ini buat tantemu. Mama mau kasih tahu tante … (tak terdengar jelas) pertunjukan Natal-nya sudah mulai,” kata si ibu itu ke anak perempuannya.

Hoho, saya ngaco. Ternyata si ibu tahu ini pertunjukan Natal. Dan setelah diperhatikan, kerumunan orang yang menonton panggung yang melantunkan lagu-lagu Natal itu banyak juga yang dari tampilannya bisa diduga warga muslim.

Yang sudah pasti ya para ibu berhijab. Mereka tidak beranjak dan terlihat senang-senang saja menyaksikan tembang Natal dilantunkan.

Saya tak mendengar ada nada-nada keberatan yang keluar dari pengunjung atas aksi pertunjukan Natal di tengah mal di Kota Bekasi ini. Kita tahu, Kota Bekasi beberapa kali mencuat namanya karena ribut-ribut soal pendirian gereja. Baru-baru ini, Gereja Santa Clara diprotes massa yang keberatan dengan pembangunan gereja.

Saya pribadi masih sangat meyakini bahwa toleransi umat beragama di tingkat akar rumput–baik di Kota Bekasi atau di seluruh Indonesia bahkan–sebenarnya didominasi oleh suasana baik-baik saja, tidak ada saling curiga atau benci pada yang agama berbeda.

Namun sepertinya ada sekelompok orang yang sangat ingin kita saling membenci, saling curiga, dan berusaha membuat renggang hubungan antarumat beragama. Di media sosial pun serupa. Ada segolongan orang yang memproduksi berita-berita berbumbu kecurigaan dalam hidup beragama.

Masalahnya, kalau kita ikut mengomentari–meski dengan nada kesal tingkat dewa dengan dengan berita-berita atau tulisan-tulisan hoax yang menebar kebencian itu–artinya kita pun sedang ikut “menari di gendang yang ditabuh” sekelompok orang tersebut.

Jadi, saran saya: cukup Anda cegah tampil di wall medsos Anda–Facebook memiliki opsi “tidak ingin melihat” yang sewaktu-waktu bisa diaktifkan–, disetop dengan jangan dibagikan, atau Anda abaikan saja. Jangan dikomentar-komentari, karena baik atau buruk komentar kita, tetap saja yang sedang dibicarakan konten kelas “penebar kebencian” ini.

Jadi, seperti juga kisah Santa Claus yang dinyanyikan di tengah panggung mal di Bekasi dan yang selalu menjadi simbol keceriaan dalam perayaan Natal. Semoga kita bisa melawan “virus saling curiga” dengan suka cita Natal.

Karena bagaimana pun, kehadiran bayi Yesus adalah membawa damai di Bumi. Jika damai Natal telah menyelubungi kita, tak akan ada satu berita hoax pun yang akan sanggup mengganggu kita.

 

Foto: dok pribadi