Serasa Mimpi

Rasanya bagai mimpi.

Tahun lalu, bersama dua sahabat, kami bertiga sudah merencanakan perjalanan ke luar negeri, yang akhirnya kami tunda dan diganti menjadi tahun ini, dan batal lagi.

Masih terasa seperti kemarin, di akhir tahun, bersama keluarga merencanakan wisata ke benua di seberang samudera, tapi harus diundur entah sampai kapan.

Serasa bagai lelucon, ketika di awal tahun kita mendengar berita tentang virus Corona di Wuhan, dan banyak gurauan yang mengatakan bahwa virus itu takkan mampu bertahan di Indonesia karena di Indonesia sudah banyak saingannya.

Kami masih ngopi di café, makan di restoran, menonton film di bioskop, membeli barang online dari luar negeri, ke pusat kebugaran, jalan-jalan ke mall, bahkan ke luar kota.

Baru di bulan Maret, secara resmi dinyatakan virus Corona sudah masuk Indonesia.

Ada sedikit rasa kuatir. Masih sedikit.

Tapi kita semua seolah masih menganggap itu seperti virus lain yang pernah ada dan akan hilang dalam beberapa minggu, dan rasanya virus itu jauh dari kita.

Lalu jumlah korban mulai diberitakan. Alamat korban diberitakan. Korban meninggal pun masuk berita. Ternyata sang korban adalah tetangga, rekan, saudara, selebriti, dan si Corona pun terasa makin dekat di depan kita!   

Dan sekolah pun resmi di’rumah’kan. Anak sekolah belajar di rumah. Orangtua mulai resah. Jika sekolah sudah diliburkan, tentu virus ini tidak main-main. Lalu perusahaan mulai ikut. Karyawan pun dialihkan bekerja dari rumah. Masyarakat makin gusar. Angkutan umum mulai dibatasi. Fasilitas umum dikurangi. Aktivitas umum diminimalisasi. Tembok dibangun. Jarak diperluas.

Kemudian negara lain mengumumkan ribuan korban. Mata kita makin terbuka. Itu bukan film. Itu bukan hoax. Itu bukan sekedar berita. Itu realitas. Kejadian itu tidak hanya di televisi. Ada di depan mata kita! Korbannya adalah saudara kita, rekan, tetangga, orang yang kita hormati, kasihi, kagumi. Orang-orang yang ada di sekitar kita! Selama sakit tak boleh dibesuk, ketika meninggal pun tak boleh dilihat. Menyedihkan.

Dan kita tertampar realita pahit. Ini bukan mimpi!

Virus Corona ada di depan hidung kita. Hidung kita perlu ditutupi masker agar tidak dirasuki si virus. Kita dihimbau tetap di dalam rumah. Kita ketakutan jika keluar rumah. Bahkan ketakutan menyentuh apapun. Kita bolak-balik mencuci tangan. Apakah pintu mall ini ada virusnya, apakah tombol lift ini terpapar virus, apakah helm si Bang Ojek kena virus dari penumpang sebelumnya, apakah kopi yang kita minum diseduh oleh orang yang terinfeksi virus, apakah rekan kantor kita diam-diam sudah terinfeksi virus, apakah anak-anak di rumah bergaul dengan teman yang terkena virus, apakah mobil kita harus disemprot disinfektan tiap hari, apakah barang belanjaan kita bebas dari infeksi virus, apakah tangan kita bersih dari virus sehabis memencet tombol mesin ATM, apakah uang kembalian tukang sayur sudah kena virus? Dan seterusnya.

Tak diduga kita menjadi paranoid. Virus yang tak bisa dilihat mata normal itu menjadi momok yang menghantui siang dan malam. Saya pribadi, sejak pemberlakuan Working From Home (WFH), jam tidur saya jadi mundur lebih larut. Tidak ada rasa kantuk, bahkan kadang memaksa diri untuk tidur di malam hari. Tidur siang pun tak lagi bisa. Apakah saya diam-diam sudah paranoid?

Kita tak lagi dianjurkan bersosialisasi dalam jarak dekat. Physical distancing. Kita terpaksa mencurigai apapun, siapapun, di manapun. Tak ada lagi pesta. Tak ada kebaktian di gereja. Tak ada yang datang di pusat kebugaran. Tak lagi ada janjian ngopi bareng sahabat. Tak ada acara arisan. Semua pertemuan yang melibatkan kerumunan dilarang.

Tak ada lagi jalan-jalan ke luar kota atau ke luar negeri. Ke mall pun sudah sepi. Semua diisolasi. Kita di rumah hanya mengenakan kaus dan celana pendek. Bagi yang memiliki tas dan baju bermerk mahal dan segala perhiasan pun, kini teronggok tak terpakai. Kita makin tertampar pertanyaan hakiki tentang kehidupan. Apa yang terpenting dalam hidup rupanya bukan harta yang kita miliki.

Masih saja banyak yang membuat lelucon. Ada yang lucu, ada yang garing, bahkan sarkastis. Sekalipun terasa sarkastis, lelucon itu masih jauh lebih ringan daripada manusia berjiwa hater yang hanya bisa menyebar hoax, menyebar kabar buruk, memaki-maki pemerintah, juga manusia egois yang menumpuk bahan makanan dan memonopoli masker.

Dalam keadaan genting, ada saja manusia yang mencari kesempatan dalam kesempitan, memancing di air keruh. Ada lagikah makhluk yang lebih jahat daripada itu?

Dalam pandemi Covid-19 ini, tak harus bertemu orang lain masih bisa saya terima. Tak harus ke luar rumah masih bisa saya atasi. Harus menahan bosan, lelah dan kuatir, masih bisa saya kendalikan. Yang tak tertahankan adalah tidak mengetahui kapan ini akan berakhir. Kapan semua kembali ke normal. Ketidaktahuan bagaikan racun yang menggerogoti jiwa, mengguncang iman dan merampas kebahagiaan.

Ketidaktahuan bisa membuat kita menderita, tak tahan, tak sabar, tak yakin, tak bahagia, curiga dan penuh prasangka. Mungkin itu yang menyebabkan banyak manusia berjiwa hater yang menebarkan kebencian dan berita busuk, sebab dia tak ingin mengalami penderitaan jiwanya sendirian.  

Namun, apa lagi yang bisa kita lakukan dalam kejadian ini?

Khotbah pendeta kami, memberikan sisi pandang lain. Dalam penderitaan, manusia potensial bertumbuh. Penderitaan membuat kita makin dekat pada Tuhan. Kita makin berharap dan berserah dan bersyukur pada Tuhan. Tuhan punya rencana baik dalam setiap peristiwa. Penderitaan juga membuat kita lebih peka akan sesama. Seperti saat ini, gerakan saling membantu sesama dengan menyumbang kebutuhan pokok sudah mulai digerakkan. Daripada kita galau tiap kali membaca postingan berita di media sosial, lebih baik berfokus pada hal positif yang bisa kita lakukan.

Seperti tertulis di Galatia 6:2. Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu. Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.

Kehilangan Kekasih Hati

Corona Virus-19 telah menghantui kita sejak awal tahun 2020 ini. Tercatat di awal April, mulai terdengar berita gembira tentang perkembangan angka kesembuhan pasien penderita positif Covid-19. Hal ini tentu menimbulkan optimisme masyarakat dengan harapan virus yang menjengkelkan itu akan segera berakhir.

Namun berita sukacita itu tentu tidak mampu menyembuhkan kesedihan dan luka di hati mereka yang ditinggal oleh kekasih hatinya yang jadi korban virus ini. Demikian juga dengan saya pribadi. Sahabat saya, seorang Ibu pendeta muda, telah pergi karena terinfeksi Covid-19.

Secara khusus di kalangan umat Kristen, duka berkepanjangan masih terasa. Bagaimana tidak, hamba-hamba Tuhan juga ada yang harus pergi mendahului kita dikarenakan Covid-19. Mereka, para Hamba Tuhan yang senantiasa tekun melayani jemaatNya, para Hamba Tuhan yang dirasakan banyak menyentuh relung kehidupan para jemaatnNya. Gereja berduka. Rohani jemaat menangis, bahkan ada yang merasa Tuhan meninggalkan kita.

Ada yang jadi mempertanyakan kekuatan Tuhan. Mengapa covid-19 harus seganas ini. Di mana kekuasaan Tuhan yang maha kuasa. Ada yang merasa tidak didengarkan Tuhan. Di mana Tuhan ketika malapetaka ini menimpa umat.
Berbagai macam pertanyaan yang mengguncang iman pun masuk ke dalam kotak pesan pribadi, media sosial dan menyebar luas. Saya, termasuk pribadi yang ikut dilanda kecemasan, dan psikosomatik menyerang seluruh persedian tubuh, hingga saya tidak mampu menjelaskan atau menenangkan orang lain.

Saudara, kematian adalah hal yang paling menyakitkan. Apalagi kematian mereka yang semasa dalam keadaan sakit tidak dapat dikunjungi, bahkan di akhir hayatnya pun teman atau kerabat, atau jemaat tidak bisa mengantarkan mereka ke tempat peristirahatan yang terakhir. Sungguh menyesakkan, jeritan tangisan penyesalan pun berderai. Saya adalah salah satu yang mengalaminya.

Namun, di balik kejadian ini, adakah sisi lainnya yang bisa kita lihat, selain bermuram durja dan mempertanyakan Tuhan atau menyalahkan pemerintah? Kita bisa merenungkan hal ini dan mencari hikmah. Mereka yang telah pergi mendahului kita, selesai sudah masa pelayanan mereka. Lalu, kita yang masih eksis hingga sekarang, apa bagian kita?

Tentu kita bersyukur bahwa hingga saat ini kita dijauhkan dari virus yang mematikan itu. Lalu? Mungkin ini adalah momen yang baik bagi kita untuk mempersiapkan diri ketika waktunya tiba. Adakah kita mengetahui kapan tanggal ‘bersejarah’ itu akan datang menjemput kita? Karena tidak satupun dari kita dapat mengetahui kapankah Tuhan akan memanggil kita.

Saya memang kehilangan pendeta yang telah membuat saya makin dekat kepada Tuhan. Tapi saya tidak kehilangan kotbah dan pesan-pesan beliau, yang masih terngiang di telinga saya: Sudahkah kita menjadi cerminan gambar Allah dalam kehidupan sehari-hari, sudahkah kita hadir bagi mereka yang membutuhkan, jadi telinga untuk mendengar, sudahkah kita mengasihi sesama seperti Kristus mengasihi kita semua? Sudahkah kita lakukan, agar ketika waktunya tiba kita sudah siap, karena hidup kita sudah menjadi saluran berkat bagi sesama.

Terakhir, saya mengucapkan: Selamat jalan, para Hamba Tuhan terkasih. Selamat berjumpa di surga dengan Allah Bapa.

“Berharga di mata Tuhan kematian orang yang dikasihiNya.” (Mazmur 116:15)

Tio Sinaga
Konselor

Kurang Memelas

Suatu hari beberapa perwakilan dari sebuah BUMN datang ke kantor Yayasan kami. Mereka mengutarakan rencana mereka untuk melakukan kunjungan ke asrama anak-anak dampingan kami. Yang akan datang berkunjung adalah paguyuban pensiunan BUMN tersebut. Kami tentu saja menyambut rencana itu dengan gembira. Dengan antusias kami menceritakan tentang apa yang dilakukan oleh Yayasan kami, dan kemudian membawa mereka melihat-lihat kondisi kantor dan asrama, serta bertemu dengan anak-anak
yang kebetulan baru kembali dari sekolah

Setelah berkeliling dan bercakap-cakap dengan beberapa relawan dan beberapa anak yang tinggal di asrama, mereka pun meminta diri. “Kami akan hubungi lagi ya, mas,” ujar seorang wanita yang kelihatannya adalah pemimpin perwakilan itu. “Nanti kami akan memutuskan apakah kami jadi berkunjung atau tidak,” demikian ujarnya dan mereka pun pergi.

Beberapa hari kemudian saya mendapat kabar dari teman-teman di kantor bahwa rombongan paguyuban pensiunan BUMN tersebut tidak jadi berkunjung. Mereka memutuskan untuk mencari tempat yang lain. Saya heran dan menanyakan alasannya, dan jawaban yang diberikan mengejutkan saya, “Alasannya karena anak-anak di tempat kita kurang memelas pak.”

Sejenak saya terkejut, namun kemudian kami semua tertawa terbahak-bahak. Frasa “kurang memelas” adalah penghiburan yang menyenangkan untuk memulai hari itu. Akan tetapi setelah pulang ke rumah hari itu, saya berpikir cerita ini harus direnungkan lebih mendalam, dan dibagikan di sini.

Visi Yayasan Rumah Impian Indonesia adalah transformasi anak jalanan dan anak beresiko menjadi pribadi- pribadi yang mandiri dan berdampak bagi sesama. Kami bekerja keras menjangkau anak-anak yang bekerja di jalanan, yang putus sekolah dan anak-anak yang beresiko putus sekolah, karena kami ingin semua anak dapat memiliki impian dan meraih impiannya melalui proses yang layak. Setelah menjangkau anak-anak seperti itu, kami juga mendampingi keluarga-keluarga mereka. Kami menyediakan pendampingan pola
asuh bagi keluarga-keluarga dan pendampingan belajar bagi anak-anak. Dalam proses menolong anak-anak meraih impian, kami menyediakan fasilitas pengasuhan di asrama yang kami beri nama “Hope Shelter”.

Asrama ini adalah tempat bagi anak-anak yang membutuhkan pengasuhan karena orang tua mereka tidak dapat memberikan pengasuhan yang layak bagi mereka. Anak-anak yang mengalami eksploitasi atau anak-anak yang beresiko tinggi mengalami eksploitasi, adalah anak-anak yang diterima di asrama kami. Memang “wajah memelas” tidak termasuk dalam kriteria yang kami pakai untuk menilai apakah seorang anak bisa diterima atau tidak, namun kondisi anak-anak yang diterima itu tentu saja lebih buruk daripada sekedar
“memelas”.

Di Hope Shelter, anak-anak ini akan diajak untuk menemukan impian mereka kembali. Mereka diasuh dalam suasana yang bersahabat dan penuh kasih sayang. Bukan saja para pengasuh yang bersama mereka, tetapi seluruh pengurus Yayasan terlibat, dan menjadikan mereka sebagai bagian dari sebuah keluarga besar Yayasan Rumah Impian Indonesia. Oleh karena itu, akan sulit untuk menemukan wajah-wajah memelas di antara anak-anak yang tinggal di asrama. Yang akan ditemui adalah anak-anak yang ceria,
positif, dan penuh gairah mengejar impian-impiannya.

Sejak 2006 hingga sekarang, kami telah menyaksikan anak-anak yang tadinya “memelas” karena kehilangan impian, kembali bangkit mengejar dan meraih impian mereka. Ada yang kini bekerja sebagai chef, bidan, dan hotelier. Ada juga anak-anak yang sedang berjuang menyelesaikan studi di perguruan tinggi. Kami menyebut mereka para pejuang impian, atau the dream troopers.

Jadi, memang Anda tidak akan menemukan wajah memelas di Yayasan kami. Akan tetapi, Anda bisa menjadi bagian dari impian kami untuk menolong anak-anak yang masih “memelas” di sudut-sudut Yogyakarta, untuk menemukan kembali impian mereka dan menjadi dream troopers. Anda bisa menyebut saya pemimpi, tapi saya percaya saya tidak sendirian. Saya berharap suatu hari Anda bergabung dengan kami, dan menjadi saksi bagi sebuah dunia impian yang menjadi kenyataan.

Tak Mampu Beli Sisir

Tadi pagi, (bukannya ingin menyalahkan cuaca), karena hujan, saya agak kesulitan mendapatkan kendaraan pesanan online. Akhirnya saya dapat juga, bukan mobil, tapi ojek online, karena waktu yang sudah mepet, walau masih agak gerimis, saya ambil saja.

Saya tiba di stasiun  MRT sambil berlari-lari mengejar waktu, agar tidak terlambat.

Di bagian dalam dinding lift, kebetulan ada cermin, jadi saya merapikan rambut dengan jari-jari. Rambut saya kusut karena gerimis hujan dan karena helm ojek. Di dalam lift ada dua orang lain yang tak saya kenal, dua-duanya wanita. Yang lebih tua, diam saja. Yang lebih muda, dengan tatapan mencela, berdesis: “Sisir mahal sih, ya…”

Saya nyaris tak percaya dengan apa yang saya dengar. Apakah dia sedang mengejek saya yang tengah menyisir rambut dengan jari? Apakah dia tengah menyindir saya tidak mampu membeli sisir?

Tapi saya tidak menghiraukan. Sebab segera setelah itu saya sudah keluar lift, dengan terburu-buru.

Tapi ucapan orang itu masih terngiang di telinga saya. Dan saya masih ingat rambut orang itu juga bukan seindah iklan shampoo. Sesama rambut kusut kok merasa punya hak mencela? Nyinyir sekali dia.

Kalau posisi saya tadi adalah teman saya si D yang tukang berdebat, dia akan segera membalas orang itu: Siapa sih lu? Memang kenapa kalau gue nggak pakai sisir? Apa urusan lu? Masalah buat lu?

Kalau itu adalah teman saya si P yang centil tapi menyentil, dia akan membalas: Idih, nggak pakai sisir juga nggak masalah, Sis, rambut saya lembut dan mudah diatur, seperti habis direbonding, cuma pakai jari aja cukup kok!

Kalau tadi itu teman saya si Y yang tak suka basa-basi, dia akan membalas: Berisik lo, urus aja rambut lo sendiri, sisir rambut lo tuh kusut kayak cacing pita! Ngaca sebelum ngomong!

Ada rasa greget tertahan yang kemudian saya tertawakan mengingat kejadian pagi itu. Seperti kata teman saya. Lucu benar manusia jaman sekarang, suka sekali mengomentari orang lain, suka sekali mencampuri urusan yang bukan urusannya.

Kalau saja tadi pagi saya tidak buru-buru, atau mungkin jika dalam keadaan mood sedang emosi, saya bisa saja membalas ejekan orang di lift berambut kusut yang tak saya kenal itu. Rambutnya lebih kusut daripada saya tapi kok beraninya menyindir saya tidak mampu membeli sisir?

Yang membuat saya ingin terbahak adalah, apa iya tampang saya sebegitu miskinnya hingga dia – orang yang tak kenal saya- berani mengatai saya kemahalan beli sisir?

Saya sama sekali tidak tersinggung. Saya hanya takjub keheranan. Kok bisa ya, ada orang, tak dikenal, seenak jidat berkomentar, mengurusi orang lain, mengejek, menghakimi orang yang tak dia kenal?

Andai dia tahu di rumah kami kebetulan banyak sisir (karena anak-anak sering asal menaruh, jadi saya beli banyak sekalian), dan tadi itu saya hanya merasa tidak sopan jika menyisir rambut di dalam lift (fasilitas umum terbuka, bukan ruang rias toilet), jadi saya pikir lebih sopan pakai jari-jari saja…

Tapi memang kita tak bisa mengatur pikiran dan mulut orang lain. Kita hanya bisa mengendalikan diri kita saja.

Saya berusaha menertawakan kejadian itu dengan mengingat lagu Iwan Fals. Temanya sama, sama-sama tak mampu. Kalau di lagu itu, masalahnya tak mampu beli susu, kalau saya, tak mampu beli sisir. Hahaha.

Dia beruntung sifat saya bukan seperti teman saya si D, P atau Y, yang pasti akan balas mendampratnya. Saya memang tipe yang menarik diri, memilih menjauhi orang yang potensial menimbulkan konflik atau masalah.

Atau mungkin saya harusnya menjadi seperti teman saya si S, yang suka bercanda, yang jika diejek tak mampu beli sisir, akan menjawab: “Iya nih, tanggal tua, belum gajian. Boleh pinjam sisirnya Mbak? Tapi Mbak nggak kutuan, ketombean, atau pitak, kan?”

Hidup memang harus diakali. Jangan terlalu serius. Banyakin humor saja. Diejek juga, bawa ketawa saja. Mungkin orang itu yang punya masalah. Seperti kata lagu Iwan Fals: Hidup sudah susah, jangan dibikin susah.  

Saya pun teringat pendeta saya yang selalu menggaungkan prinsip: Gunakan kata-kata yang lembut!

Seperti di buku suci:

Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang (Kolose 4:6).

Bagai Bangkai Tikus di Tengah Jalan

Sabtu pagi, ketika saya berjalan kaki melewati komplek dekat rumah, saya melihat ada bangkai tikus ukuran jumbo di tengah jalan. Maksud hati saya ingin olahraga dan menghirup udara pagi yang segar, apa daya malah ‘kesamprok’ bangkai tikus!

Spontan saya menutup hidung dan dan membuang muka setelah melihat bangkai tikus yang berauran dan menyebarkan aroma busuk itu. Pemandangan yang tak terhindarkan, sebab tepat berada di depan mata, di tengah jalan. Seketika saya merasa mual dan cepat-cepat melangkah menjauh. Rasanya ingin muntah. Selain merasa mual, saya juga merasa kesal.

Sebenarnya saya sudah sering melihat hal seperti ini. Bangkai tikus di tengah jalan. Tapi kali ini karena langsung di depan mata dan baunya langsung tercium, rasanya lebih kesal (biasanya hanya melihat dari dalam mobil).

Dan pertanyaan saya masih sama.

Mengapa bangkai tikus itu harus dilempar ke tengah jalan?

Selain merusak pemandangan, juga merusak penciuman. Padahal di tepi jalan sudah bagus. Banyak bunga di tepi jalan. Seperti judul sebuah film.

Mengapa tidak dibuang ke tempat sampah, atau dikubur ke tanah, supaya baunya tidak menyebar?  Bukankah tikus itu sudah mati?

Sekali lagi, mengapa, bangkai tikus itu harus ada di tengah jalan?

Apakah agar semakin mati berkeping-keping digilas mobil-mobil yang lewat?

Saya benci tikus. Sumpah, benci sekali. Barang-barang di rumah banyak yang rusak digigiti tikus. Juga di rumah, makanan yang dicuri dan dihabiskan tikus, sering membuat saya emosi. Jadi memang kalau berhasil menangkap tikus dan membunuhnya, ada rasa puas tersendiri.

Tapi, mencium bangkai tikus di depan mata, di tengah jalan, bukan bagian dari kepuasan tersebut, bagi saya.

Bayangkanlah. Jika bangkai tikus itu digilas ban mobil/motor, serpihan daging busuk itu bisa menempel di ban dan baunya pun tertempel, dan semua mobil yang menggilasnya membawa bangkai dan bau itu turut serta sepanjang perjalanan dan pulang ke garasi masing-masing? Apakah memang tujuannya agar semua mobil yang melewatinya ikut menggilasnya dan membawa bau busuk bangkai tersebar ke segala arah? Membawa pulang bau busuk hingga ke rumah kita?

Seorang teman dengan bergurau menanggapi: Ada terbersit, apakah itu perlambang sebagian tabiat orang Indonesia? Melempar topik korban bermasalah ke depan massa, lalu mengumbar aib di depan umum hingga semua orang bebas mencibir, mengumpat, memaki, menghakimi, menggunjingkan, alias menyebarkan bau busuknya kemana-mana?

Contohnya seperti kejadian baru-baru ini di berita, tentang seorang pemuda Indonesia pelaku kriminal kelamin di London. Pemuda itu yang kriminal, tapi berita tentang orangtua dan keluarganya ikut diseret, dibahas seperti dikuliti sampai habis, nyaris tanpa privasi, oleh media dan netijen ‘mahabenar’ dan ‘tak pernah berdosa’?

Tetapi teman saya yang lain berkata: Mestinya, kasih menutupi pelanggaran.

“Kebencian menimbulkan pertengkaran, tetapi kasih menutupi segala pelanggaran. Di bibir orang berpengertian terdapat hikmat, tetapi pentung tersedia bagi punggung orang yang tidak berakal budi” (Amsal 10:12-13).

Hatred stirs up conflict, but love covers over all wrongs.

Makna Natal, Antara Kemuliaan dan Damai Sejahtera

Kemarin, saya agak terkejut ketika tiba-tiba ada nomor tak dikenal mengirimkan pesan masuk di HP saya. Yang membuat saya terkejut karena itu bukan semacam pesan-pesan illegal berkedok penipuan yang sudah biasa.

Pesan yang ini mengirimkan ucapan Selamat Natal. Setelah saya baca teliti, ada nama pengirimnya. Saya harus memutar otak sebentar untuk mengingat siapa nama tersebut. Ada juga fotonya dengan seragam pejabat pemerintahan, tapi agak berbeda sebab waktu kami bertemu, dia dengan tampilan kasual. Setelah saya perbesar fotonya, baru saya ingat itu adalah teman kuliah pascasarjana, yang mungkin hanya sekali bertemu waktu ujian semester.

Yang membuat saya agak terkesan dan tersentuh adalah, dia adalah pejabat daerah dan berbeda keyakinan dengan saya, dan dia tidak hanya mengirim ucapan lewat grup, tapi juga mengirim lewat jalur pribadi (japri) kepada saya, padahal kami tidak terlalu kenal.

Menyadari ketika saat ini, hal menerima ucapan selamat natal dari orang yang tidak seiman, menjadi sesuatu yang langka (dan ‘terlarang’), membuat saya agak trenyuh. Hal itu mengingatkan saya pada sebuah kejadian, tentang seorang anak tetangga yang dulunya tiap hari main ke rumah dengan anak saya, dan tiba-tiba suatu hari tidak mau lagi main ke rumah, dan bilang kepada anak saya: Aku nggak boleh lagi main sama kamu, dilarang ayah, karena kamu beda agamanya.

Sesungguhnya saya tidak mau menjadi ‘melo’ dalam urusan seperti ini. Saya hampir tertawa sendiri ketika dulu mengingat waktu jaman mahasiswa ketika kuliah di Tokyo, ada teman mahasiswa dari negara lain yang merayakan hari besar entah aliran agama apa, saya turut mengucapkan selamat sekalipun saya tidak tahu apa yang dia rayakan dan ucapan selamat apa yang harus saya ucapkan, apalagi dalam bahasa asing. Saya hanya mengucapkan: Selamat merayakan ya. Semoga bahagia.

Lalu dia mengucapkan terima kasih dan menyahut dengan berkelakar: ‘Semoga bahagia’ bukanlah ucapan yang tepat, memangnya saya mau menikah? Hahaha.

Apa yang saya praktekkan dari hal itu adalah masalah penghargaan. Saya menghargai teman saya walau saya tidak tahu apa yang dia percayai, dan bukan berarti saya ikut menyetujui apa yang dia percayai itu.  Saya hanya menghomati dia sebagai teman saya, menghargai apa yang penting baginya, dan mengharapkan yang baik baginya. Itulah alasan saya mengucapkan selamat.

Di tengah menurunnya toleransi antar umat beragama, ironisnya, kemarin lusa malah seorang teman yang atheis mengucapkan Selamat Natal kepada saya. Saya berkelakar dengan berkata: Bukannya kamu tidak percaya soal agama?

Dan dia dengan guyon membalas: Memangnya saya jadi percaya agama kamu?

Dan kami pun sama-sama tertawa ringan dalam suasana damai.

Kemarin di gereja, yang menjadi sangat berkesan bagi saya dalam khotbah Natal dari pendeta kami adalah, bahwa makna hari Natal adalah: Kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi, dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepadaNya.

Dari nats Lukas 2:14 ini jelas terbaca, hanya Allah yang layak menerima kemuliaan. Bagian manusia hanyalah damai sejahtera. Awal penderitaan dan masalah manusia adalah ketika manusia juga mencari kemuliaan bagi dirinya sendiri, baik itu dalam bentuk penghargaan, pujian, penghormatan, kekuasaan, dan sebagainya.

Saya pun tidak mau mencari penghargaan dengan menunggu ucapan selamat dari orang lain yang tak ingin memberikannya. Seperti khotbah pendeta saya, kemuliaan hanya bagi Allah. Saya hanya mau damai sejahtera. Tak perlu diberi ucapan penghargaan pun saya tetap damai sejahtera.

Selamat Hari Natal. Mari damai sejahtera

Lari atau Dipulihkan?

Pernahkah Anda mengalami krisis rohani? Itu adalah saat di mana kita jauh dari Tuhan, semangat pelayanan kita tidak lagi berkobar, bahkan mungkin ada yang sampai mempertanyakan, buat apa saya melayani Tuhan? Benarkah saya dipanggil jadi Hamba Tuhan?

Ada banyak penyebab kita jatuh ke dalam krisis rohani. Mungkin karena relasi kita yang kurang baik di ladang pelayanan, mungkin hati kita tersakiti entah oleh jemaat atau hamba Tuhan, kita jatuh dalam dosa, jalan hidup yang kita pilih ditentang oleh orang-orang terdekat, mungkin pasangan kita, atau orang tua kita. Lantas, ketika berada dalam situasi seperti itu, apa solusinya?

Saya ingin mengajak kita merenungkan hal ini dengan belajar dari Nabi Elia di perikop 1 Raj. 19:1-8. Pasal 19 ini merupakan kelanjutan dari pasal sebelumnya. Pasal yang menggambarkan ada begitu banyak yang dilakukan Elia:

  1. Dia menentang dan mengalahkan 450 nabi Baal
  2. Dia berdoa agar hujan turun untuk mengakhiri kekeringan.
  3. Dia berlari mendahului Ahab ke Yizreel.

Pada pasal 19 kita melihat Elia yang “berbeda”. Apakah Izebel lebih hebat dari nabi-nabi Baal? Mengapa Elia sangat takut? Ketakutan Elia terlihat sangat tidak masuk akal. Di ayat 2 diceritakan bagaimana Izebel kemudian menyuruh suruhannya, untuk mengancam Elia. Dan dampaknya sungguh mengherankan, Elia yang sebelumnya tampil luar justru ketakutan bukan main dan ia “bangkit dan pergi menyelamatkan nyawanya”. Dia pergi sampai jauh ke padang gurun berjalan seharian, lalu duduk di bawah pohon arar dan mengeluh dan ingin mati. “Ya Tuhan ambillah nyawaku sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku.” (ay 4)

Yang kita lihat saat ini adalah contoh kasus krisis rohani yang hebat, yang bahkan bisa menimpa seorang tokoh besar dalam Alkitab. Mengapa?

Kita tidak tahu ada berapa lama waktu sejak Izebel mengeluarkan Ancamannya sampai ketika Elia mengalami krisis yang hebat itu. Tapi satu hal yang berbeda adalah, tidak ada firman Allah yang datang kepadanya atau kuasa Allah hadir, seperti yang bisa kita lihat di 1 Raj. 17:2,8, 18:1,36-37, 46. Ada kemungkinan bahwa persekutuan Elia dan Tuhan sedang renggang-renggangnya. Sehingga ketika ancaman itu datang, focus Elia bukan pada TUhan tapi pada ancaman itu sendiri. Akibatnya, ketakutanlah yang datang.

Kalau Elia saja bisa mengalami krisis seperti itu, tentu kita juga bisa. Sebab Elia dan kita sebetulnya tak jauh berbeda. Sama-sama manusia. Seperti kata Yakobus di Yak. 5: 17: “Elia adalah manusia biasa sama seperti kita”.

Saya pernah berada dalam krisis rohani yang luar biasa. Mungkin di antara kita juga pernah punya pengalaman yang sama. Lantas bagaimana cara Elia keluar dari masalah itu? Kita bisa belajar setidaknya tiga hal dari Elia:

1. Berhenti berlari dan datang kepada Tuhan
Di ayat 4 disebutkan bahwa Elia kemudian berhenti dari pelariannya lalu duduk di bawah pohon arar. Di situ dia bicara kepada Tuhan. Ucapannya memang berisi keluhan. Tapi setidaknya berbeda ketika sebelumnya dia hanya berlari dan berlari, menganggap bahwa pergi jauh akan menyelesaikan persoalan.
Dalam krisis rohani kita, kita tidak boleh terus lari. Pelarian tidak akan menyelesaikan apa-apa. Kita perlu berhenti dan datang kepada Tuhan. Mungkin isi doa kita pada awalnya haya keluhan-keluhan, tapi percayalah itu lebih baik daripada kita hanya berlari dan berlari, meninggalkan gereja, meninggalkan pelayanan.

2. Fase Pemulihan
Di dalam kelelahannya dan keputusasaannya, Elia kemudian tertidur. Apa artinya tidur? Tidur adalah fase pemulihan. Ketika kita kelelahan, tidur adalah penawar yang luar biasa efektif. Pada fase tidur, denyut jantung dan pernafasan kita melambat. Pada fase tidur tubuh mulai perbaikan dan pertumbuhan jaringan kembali, kekuatan otot dan tulang dibangun kembali dengan meningkatnya pasokan darah ke otot, dan system imun atau kekebalan tubuh kita semakin diperkuat. Energi pun dipulihkan.

Apa artinya tidur dalam masa krisis ini? Ini adalah fase pemulihan kita. Kita awali dengan membereskan segala masalah. Ada banyak caranya, mulai dari memperbaiki relasi kita dengan Tuhan, kemudian mendatangi orang yang bermasalah dengan kita dan mengampuni dia, sampai mungkin kita perlu melakukan konseling bagi diri kita sendiri. Ketika diri kita sendiri sudah pulih, maka kita akan masuk kepada fase terakhir, yaitu hadirnya kekuatan baru.

3.Kekuatan Baru
Dalam kisah Elia kita mendapati bahwa Malaikat Tuhan sendiri datang dan memberikan makanan kepadanya sehingga Elia kemudian mendapatkan kekuatan baru bagi tubuhnya. Kekuatan yang memungkinkan dia berjalan 40 hari 40 malam ke Gunung Horeb, ke Gunung Allah, di mana Allah kemudian menyatakan diriNya kepada Elia. Luar biasa bukan?

Ketika segala sesuatu sudah dibereskan, relasi dengan Allah juga kembali pulih, maka kita akan mendapatkan kekuatan baru, semangat baru, dalam pelayanan kita. Bahkan mungkin kita akan mendapati sesuatu yang luar biasa terjadi dalam pelayanan kita. Amin?

Buat saya, krisis kadang-kadang perlu untuk meluruskan kembali motivasi dan pelayanan kita. Tapi memang tak semua orang mendapat hak istimewa untuk mengalami sampai sejauh Elia, yang bahkan ingin mati saja. Kalau kita menjadi salah satu di antaranya, mari kita belajar dari kisah Elia.

Semoga pada Natal tahun ini, kita mengalami pemulihan Tuhan. Amin.

Never Be Enough

Mungkin banyak di antara kita yang tahu lagu Never Enough yang dibawakan oleh Loren Allred, lagu yang sempat menduduki tangga teratas kancah permusikan dunia. Lagu yang menjadi soundtrack dari film The Greatest Showman ini berhasil bertahan berminggu-minggu mengungguli lagu-lagu saingannya.

Lagu ini mengingatkan saya akan perjumpaan dengan seorang kawan lama di gereja. Dia yang saya kenal adalah masih hidup melajang dengan karir yang cukup baik. Setahun lalu dia pernah menceritakan bagaimana nikmatnya dia menggeluti pekerjaannya dengan posisi yang lumayan ditambah fasilitas-fasilitas yang disediakan perusahaannya.

Semua atribut yang dikenakan mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki tidak ada yang tidak bermerk. Kami pun melepas rindu dengan membagikan pengalaman-pengalaman hidup kami selama setahun tidak bersua.

Ketika tiba gilirannya menceritakan perjalanan hidupnya, saya cukup terkejut. Beliau memutuskan berhenti bekerja dan menggeluti pekerjaan barunya sebagai pekerja tidak tetap. Dengan gaya bicara yang ringan dia mengatakan bahwa ada beberapa alasan mengapa dia meninggalkan pekerjaannya tersebut. Antara lain memberi waktu untuk ibunya yang saat ini sendiri dan sakit-sakitan, memberi waktu untuk dirinya sendiri, mengingat selama ini dia memang sangat sibuk dengan jadual-jadual perusahaan yang sangat padat.

Namun penjelasan beliau sulit untuk saya terima mengingat gaji yang diperolehnya cukuplah besar buat dia yang masih melajang dan apakah dengan menjadi pekerja tidak tetap akan cukup untuk mencukupi kebutuhan orangtuanya dimana setiap bulan harus ada yang disisakan untuk biaya pengobatan orangtuanya dan itu tidaklah sedikit. Lalu bagaimana dengan kesenangannya terhadap barang-barang bermerk itu?

Sejuta pertanyaan menghujani pikiran saya. Saya coba bertanya baik-baik kepadanya. Namun apa jawabnya? Dengan santai ia menjawab: ”Cukup. Nggak ada masalah!”

Tentu saya tidak puas mendengar jawabannya. Saya kembali menanyakan apakah selalu ada proyek yang didapatkan demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari? Sambil membereskan tas dan Alkitabnya, dia tetap dengan santai menjawab: Cukup.

Saya masih belum puas dengan jawabannya dan kembali bertanya, “Bagaimana dengan biaya pengobatan ibu setiap bulan dan kebiasaanmu mengoleksi barang-barang bermerk?”

Dia hanya tersenyum sambil bersiap-siap meninggalkan saya sambil mencubit dagu saya yang tebal dia mengatakan: “Harus cukup dan mulai belajar merasa cukup di hadapan Tuhan.”

Dia pun pergi meninggalkan saya yang masih tidak percaya akan penjelasannya. Saya seperti tertampar mendengar kata ‘cukup’ yang dikatakannya.

Pelan-pelan saya mulai membereskan tas saya bersiap-siap ingin pulang. Dan tiba -tiba pipi ini terasa kembali memanas dan terbakar ketika dari ujung tempat parkir mobil sayup-sayup terdengar.

All the shine of a thousand spotlights, All the stars we steal from the night sky. Will never be enough, never be enough…

Saya ingat nats di Alkitab yang saya pegang:

Amsal 30:15 Si lintah mempunyai dua anak perempuan: “Untukku!” dan “Untukku!” Ada tiga hal yang tak akan kenyang, ada empat hal yang tak pernah berkata: “Cukup!”

-*-

Tio Sinaga, Alumni Sarjana Psikologi, Pengajar

Mari Kita Gembira

Filipi 4:4-7
4:4 Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! 4:5 Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat 4:6 Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.

Gembira atau bersukacita, alangkah indahnya itu. Mengapa kita harus bersukacita? Sebab sukacita itu sangat penting bagi kita. Orang yang kurang bersukacita biasanya kerjaannya hanya mengeluh saja atau mereka kerap mencari-cari alasan saja.

Amsal 17:22 berkata: “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.” Tahukah kamu, penelitian modern telah mengkonfirmasi apa yang disampaikan oleh penulis Amsal ini? Menurut penelitian di bidang kesehatan, hati yang gembira akan meningkatkan asupan oksigen, merangsang jantung, paru-paru dan otot dan meningkatkan kadar hormone endorphin, yaitu painkiller alami dalam tubuh kita. Sukacita juga dapat meredakan stress dan meredakan denyut jantung dan tekanan darah yang tinggi, membuat otot rileks, dan meningkatkan daya tahan tubuh.

Tapi masalahnya, bersukacita bukan hal yang gampang. Bersukacita ketika keadaan baik-baik saja, itu sangat mudah! Tapi, bagaimana kalau keadaan kita sedang sulit?

Bagaimana cara kita bersukacita ketika sedang sakit? Bagaimana bersukacita ketika tugas-tugas sekolah atau kuliah makin lama makin menumpuk dan waktu 24 jam rasanya terlalu sedikit? Bagaimana bersukacita ketika gaji sudah habis padahal akhir bulan masih dua minggu lagi? Bagaimana bersukacita ketika pacar hati tiba-tiba berpaling kepada lain hati ketika kita sedang sayang-sayangnya?

Kebanyakan orang akan cenderung mengeluh dalam keadaan seperti itu? Tapi tidak dengan orang percaya. Paulus dengan tegas mengatakan dalam Filipi 4:4 “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” Seakan-akan Paulus mengatakan ayat ini dengan mudah. Padahal, kalau kita tahu latar belakang bagian Firman Tuhan ini, kita akan menyadari bahwa Paulus sesungguhnya memiliki sejumlah alasan untuk tidak bersukacita.

Saya ambil contoh dua saja: Pertama, Paulus sedang berada di penjara. Siapa yang bisa bersukacita di penjara? Membayangkan penjara saja sudah bikin ngeri apalagi benar-benar menjalaninya? Kedua: jemaat yang dikasihinya, yang didirikannya bersama Silas dan Timotius, sedang dilanda bibit-bibit perselisihan. Di Filipi pasal 4 ayat 2 disebutkan ada perselisihan antara Euodia dan Sintikhe. Paulus pasti sangat mengasihi dan peduli pada kedua orang itu, sehingga nama mereka disebut dan Paulus meminta Sunsugos untuk menengahi mereka. Saya rasa wajar kalau kemudian Paulus gelisah, sebab dia jauh dari jemaatnya.

Ketika merenungkan situasi yang dihadapi oleh Paulus, rasanya sulit bersukacita, bukan? Tapi sebaliknya Paulus dengan tegas berkata, “Bersukacitalah senantiasa!”

Kok bisa Paulus berkata begitu? Bagaimana cara bersukacita dalam kondisi seperti itu?

Dari bagian Firman Tuhan yang kita renungkan ini, setidaknya ada tiga cara untuk bersuka cita meskipun keadaan kita tidak baik-baik saja.

Pertama: Bersukacitalah di dalam Tuhan!
Pada Filipi 4 ayat 4 Paulus berkata: Bersukacitalah di dalam Tuhan. Ayat ini jelas. Bahwa sebenarnya kita tidak bersukacita atas keadaan yang kita alami. Tapi kita bersukacita karena kita punya Tuhan. Kita harus selalu punya framing bahwa ada maksud Tuhan yang harus kita mengerti ketika kita mengalami segala sesuatu. Mengapa? Sebab Tuhan sangat mengasihi kita, karena itulah, seperti kata Paulus di Kitab Roma, Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Roma 8:28). Kasih Allah sudah jelas. Salib buktinya. Tapi kita akan mengerti bahwa segala yang terjadi dalam hidup kita itu adalah baik, ketika kita sungguh-sungguh mengasihi Allah.

Kedua, bersukacitalah dalam pengharapan
Roma 12:12a berkata: Bersukacitalah dalam pengharapan. Pengharapan kepada siapa? Jelas kepada Tuhan. Di Ratapan 3, penulis Alkitab berkata “Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; Besar kesetiaanMu!” Pengkotbah 3:11a juga berkata “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan ia memberikan kekekalan dalam hati mereka.”

Ketiga, jangan kuatir dan berdoalah dengan benar
Filipi 4:6 Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Jangan salah anggap. Tulisan ini tidak sedang mengajarkan bahwa orang Kristen tak boleh kuatir, tak boleh sedih. Yang Paulus maksudkan adalah: kita tak boleh dikuasai oleh kekuatiran dan kesedihan itu. Karena itulah dalam segala hal kita perlu berdoa dengan benar di hadapan Tuhan, yaitu doa yang penuh dengan ucapan syukur kepada-Nya.

Semoga renungan ini menguatkan kita dalam menjalani kehidupan kita sehari-hari. Amin!

Jika Kau Patah Hati

Sekitar bulan Juli 2019 lalu, media sosial diramaikan oleh pemberitaan mengenai seorang wanita yang diduga beragama Katolik, yang membawa anjing ke dalam masjid.

Diam-diam saya mengikuti berita ini dan mengamati berbagai macam komentar, kecaman, hujatan terhadap perempuan tersebut. Tidak sedikit netizen yang mengatakan bahwa ini adalah dampak dari toleransi beragama yang kebablasan, yang diberikan kepada kaum minoritas di negeri kode +62 ini. Berbagai kecaman bermunculan hingga ada penjelasan dari salah satu anggota keluarga mengenai kondisi kejiwaan wanita tersebut, namun tidak juga mengurangi hujatan dari netizen yang merasa diri maha benar.

Bulan September 2019, masih baru-baru ini, gereja dan kalangan Kristen kembali digemparkan oleh pemberitaan mengenai seorang pastor bernama Jared Wilson, pastor muda dari sebuah gereja besar di Amerika yang meninggal karena bunuh diri. Bagaimana mungkin? Itulah pertanyaan yang muncul mungkin hampir sejuta kali di akun media sosial milik sang pastor. Banyak yang menyesalkan tindakan beliau memilih langkah pintas tersebut untuk mengakhiri hidupnya. Dan bagi orang awam, sepertinya keputusan Pastor Jared adalah keputusan yang bodoh mengingat dia adalah seorang hamba Tuhan. Banyak yang tidak tahu, setelah ditelusuri lebih lanjut, Pastor Jared ternyata mengalami depresi berat.

Banyak di antara kita yang tidak mengetahui bahwa masalah keimanan adalah salah satu penyebab masalah timbulnya gangguan kejiwaan. Kegagalan dalam melayani, tidak berjalannya fungsi pelayanan kategorial, kegagalan dalam misi penggembalaan dan tekanan hebat yang dialami para gembala jemaat dalam menjalankan misi penggembalaannya dalam menghadapi jemaat dengan problema imannya masing-masing, serta karakter tiap-tiap jemaat yang unik, dan problema kehidupan mereka sehari-hari, adalah sumber depresi.

Tanggal 10 Oktober, dunia memperingati hari kesehatan mental. Lalu bagaimana gereja mempersiapkan diri dalam menghadapi masalah kesehatan mental?

Gereja diharapkan tidak hanya menjalani misi pelayanan Alkitabiah dan doa tetapi lebih dari itu gereja diharapkan lebih peka untuk memandang permasalahan ini lebih dalam bagi para jemaatnya.

Adalah seorang pastor Anton Boisen yang mengidap skizofrenia menghabiskan dua puluh tahun di rumah sakit jiwa. Ketika beliau dinyatakan sembuh dari sakitnya, Boisen mengatakan: “Kalau seorang Kristen patah kaki, ia dapat disembuhkan, bahkan gereja dan lembaga Kristen lainnya dapat berperan membiayai pengobatannya hingga sembuh. Namun jika ada seorang Kristen yang ‘patah hati’, maka ia akan dilempar ke rumah sakit jiwa dan dilupakan oleh gereja.”

Untuk itulah pentingnya peran medis, spiritual dan psikologis dalam proses penyembuhan masalah mental dan jiwa. Ketiga hal tersebut adalah satu kesatuan yang tidak bisa dicerai-beraikan karena memang peran tiga serangkai ini sangat mendukung proses penyembuhan. Gereja menjalankan fungsinya sebagai pendampingan bagi jemaat dengan masalah ini. Keterlibatan gereja dalam proses ini tentunya akan sangat memengaruhi pertumbuhan gereja dan pelayanannya ke dalam dan ke luar agar tumbuh dan berkembang menjadi gereja yang sehat dengan jemaat yang sehat.

Kalau semua orang Kristen yang mengalami ‘patah hati’, lalu terbuang dan dilupakan oleh gereja, bagaimana gereja dapat bertumbuh menjadi besar? Atau apakah gereja hanya menjadi tempat peribadahan dengan jemaat yang datang dengan kegelisahan hatinya lalu pulang dengan kesedihan jiwanya?

Seperti Mazmur pada ratapannya: “Hai jiwaku, mengapa susah serta gelisah dalam hidupmu…” dan tak ada yang menyembuhkannya?

-*-

Saitioma Sinaga.

Sarjana Psikologi