Peran Kaum Awam di Gereja: Studi Kasus GSRI

Laity menurut kamus Merriam-Webster memiliki pengertian : (1) orang-orang yang beragama yang dibedakan dari para klerus, (2) kelompok massa yang dibedakan dari mereka yang memiliki profesi tertentu atau mereka yang memiliki keahlian khusus.

Di dalam catatan sejarah gereja, pemisahan peran laity dan klerus (kaum imam) belum tampak pada gereja abad pertama. Barulah pada pertengahan abad ketiga, ketika orang Kristen semakin banyak, ikatan persatuan tidak lagi terkait eschatological hope, melainkan soal sakramen yang dikelola oleh kaum klerus. Apostolic Constitutions pada awal abad ke-empat melahirkan definisi laity yang lebih tepat dan kaum rohaniawan memiliki peran yang lebih besar di gereja, serta terjadinya pemisahan kaum laity dan klerus dalam ibadah .

Tapi bila hari-hari ini adalah masanya gereja, maka pastilah ini adalah masanya kaum laity di gereja. Sebab tak ada masa-masa seperti ini di dalam sejarah, di mana kita bisa mengakui bahwa orang-orang Kristen, apapun kedudukan dan statusnya, sama-sama dipanggil untuk memenuhi hidup sebagai orang Kristen. Semua umat Allah bisa berdialog, berbagi ide dan wawasan, tentang fungsi khas mereka di gereja .

Kesetaraan ini nampak nyata di Gereja Santapan Rohani Indonesia (GSRI). Meski pemisahan peran tetap berlaku, namun partisipasi kaum laity di GSRI terbilang signifikan. Tak hanya terlibat dalam berbagai pelayanan dan program gerejawi, kaum laity juga diizinkan menyampaikan kotbah di mimbar pada ibadah raya hari Minggu, dan menjadi ketua Badan Pengurus Sinode. Mengapa kaum laity mendapat peran sedemikian besar di GSRI?

Latar Belakang Gereja
Pada Juni 1942, Pendeta Timothy Dzao Zse Kwang dan lima rekan kerjanya mendirikan badan misi bernama Ling Liang Church di Shanghai. Ling Liang di Shanghai ini selanjutnya menjadi gereja induk bagi Ling Liang World-Wide Evangelistic Mission. Pada musim gugur tahun 1947, Gereja Ling Liang mengangkat Rev. Chuanzhen Lan dan Rev. Moses Chou sebagai pendeta misionaris. Rev. Lan dan istrinya diutus ke Calcutta, India, sedangkan Rev. Moses Chou ditugaskan melayani di Jakarta, Indonesia

Jejak pelayanan di Indonesia sebelumnya sudah dirintis oleh Pendeta Timothy Dzao Zse Kwang yang mengunjungi Indonesia pada 1941 dan mendirikan Gereja Sidang Kristus Batavia. Ke gereja inilah Pendeta Moses Chow diutus pada 1947 dan ditugaskan sebagai Gembala Sidang. Pada tanggal 25 November 1950, gedung gereja baru diresmikan dan tanggal ini ditetapkan sebagai tanggal berdirinya GSRI. Pada 27 Februari 1961 gereja ini resmi menyandang nama Gereja Santapan Rohani Indonesia.

Dalam usaha untuk memenuhi rencana jangka panjang, GSRI membuka Sekolah Latihan Pengabaran Injil di Kebayoran Baru, yang ditutup tak lama kemudian sebagai imbas peristiwa perpolitikan nasional. Dengan anugerah Tuhan, gedung Sekolah Latihan Pengabaran Injil ini dikembalikan pada tahun 1979 dan sekolah pekabaran Injil dibuka kembali pada 1981 dengan nama Institut Misi Alkitab Nusantara (IMAN), kini dikenal dengan nama STT Iman Jakarta.

GSRI kini terdiri dari 25 gereja mandiri yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, dari Sumatera sampai ke timur Indonesia.

Sistem Pemerintahan GSRI
Tata Gereja GSRI pasal 15 tentang Majelis Jemaat pada ayat 1 menyebutkan, sesuai dengan bentuk Gereja Santapan Rohani Indonesia yang presbiterial, maka pelayanan Sidang Jemaat dilaksanakan oleh Majelis Jemaat Gereja Santapan Rohani Indonesia. Pada ayat 2 disebutkan, Majelis Jemaat terdiri dari para pejabat gereja yaitu (Pendeta, Guru Injil) bersama-sama dengan para penatua.

Sistem ini mengatur, pemerintahan gereja ada di tangan pejabat-pejabat gerejawi yang secara kolektif disebut Majelis Jemaat. Setiap anggota Majelis Jemaat mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada seorang pun yang lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Masing-masing juga memiliki tugasnya sendiri.

Apabila kita mengamati tata gereja di atas, dapat disimpulkan bahwa GSRI memiliki sistem pemerintahan presbiterian. Pada sisi lain, GSRI juga menyelenggarakan pertemuan-pertemuan yang mengikat dan cenderung menerapkan sistem sinodal. Maka GSRI, dan tentu saja GSRI Depok, dapat dikatakan menganut sistem pemerintahan yang disebut presbiterian sinodal.

Ciri lain sistem presbiterian sinodal adalah kepenuhan dalam kesatuan. Tiap-tiap jemaat yang dipimpin oleh Majelis Jemaat mempunyai kemandirian penuh; tetapi pada saat yang sama tiap-tiap jemaat yang ada berada dalam kesatuan dengan jemaat-jemaat lain dalam satu sinode.

Hal ini mempunyai implikasi positif sebagai berikut: Jemaat mempunyai otonomi (kemandirian penuh) tetapi terbatas; yang membatasinya ialah sinode. Sebaliknya Sinode mempunyai kekuasaan tetapi terbatas; yang membatasinya ialah jemaat-jemaat. Dalam sistem presbiterial sinodal, semua keputusan diambil berdasarkan kesepakatan bersama bukan berdasarkan wewenang yang ada pada salah satu pihak.

Pembahasan
Kaum laity memiliki peran yang cukup signifikan di GSRI, bahkan sejak dari berdirinya. Di dalam sejarah misinya, GSRI termasuk gereja Tionghoa di mana kaum awam atau jemaat biasa berperan besar dalam mengabarkan injil kepada sesamanya dan berbuah banyak. Hal ini menepis anggapan bahwa kekristenan di Jawa Barat semata-mata adalah warisan badan zending. Para pekabar Injil Tionghoa tersebut, dianggap juga sebagai soko guru bagi beberapa jemaat di wilayah ini .

Di dalam sistem pemerintahannya, berdasarkan tata gereja di atas, dapat dikatakan bahwa Jemaat mandiri memiliki kekuasaan yang lebih besar ketimbang sinode, dan di dalam jemaat ini, kaum laity berperan besar. Ambil contoh GSRI Depok yang pernah diobservasi oleh penulis, hamba Tuhan atau pendeta di GSRI Depok secara otomatis termasuk ke dalam Majelis Jemaat, begitu juga Guru Injil. Adapun anggota Majelis Jemaat yang lain berasal dari jemaat laity, yang dipilih oleh sesama jemaat secara aklamasi dan terbuka dalam Sidang Jemaat.

Majelis Jemaat di GSRI Depok menjabat selama 3 tahun dan otomatis diperpanjang satu kali lagi. Setelah dua periode, mereka harus berhenti. Setelah satu periode berselang, jemaat yang pernah menjadi majelis, berhak untuk dipilih lagi menjadi anggota Majelis Jemaat. Anggota Majelis Jemaat yang berasal dari kaum laity mendapat gelar Penatua.

Tidak hanya di dalam pemerintahan, GSRI juga memberikan kesempatan yang besar bagi jemaat awam untuk melayani di berbagai bidang, termasuk berkotbah di mimbar ibadah raya. Tentu dengan kualifikasi tertentu dan telah mendapat persetujuan dari Gembala Sidang dan Majelis Jemaat. Kaum awam juga berkesempatan untuk melayani di bidang-bidang lain, seperti menjadi pemimpin kelompok sel, pemimpin pujian, pendoa, pengumpul persembahan, pembaca warta, pemusik, singers, usher, panitia hari besar gereja, dan sebagainya. Pendeta Ayub Rusmanto M.Th, gembala siding GSRI Depok berkata: “Keterlibatan kaum awam sangat nyata dan memberikan dampak positif di tengah tengah jemaat, karena dalam penggembalaan, seorang pendeta bukanlah semata-mata menjadi sentral pelayanan. Tetapi pendeta adalah pembina, pembimbing jemaat untuk terus bertumbuh di dalam Kristus melalui salah satunya adalah pelayanan di gereja.”

GSRI bahkan melangkah lebih jauh ketimbang gereja-gereja lain. Gereja ini juga memberikan kesempatan kepada laity untuk menjadi Ketua Sinode. Mengapa ini bisa terjadi?

Rupanya sistem pemerintahan gereja ini memang membuka peluang tersebut. Sebab menurut pasal 8 Tata Gereja GSRI , Sinode Gereja Santapan Rohani Indonesia (G.S.R.I) adalah suatu badan yang dibentuk/didirikan oleh Sidang-sidang Jemaat Gereja Santapan Rohani Indonesia (G.S.R.I) sebagai suatu wadah organisasi yang telah diakui dan mendapat pengesahan dari pemerintah (Dirjen Bimas Kristen Protestan) Kementerian Agama RI. Sinode, berdasarkan aturan ini, bukanlah pemerintah melainkan sekadar organisasi.

Organ Sinode GSRI terdiri dari: (1) Badan Penasihat Sinode, dan (2) Badan Pengurus Sinode. Badan Penasihat terdiri dari paling sedikit 5 (lima) orang dan para kandidatnya diajukan oleh Sidang Jemaat GSRI Mandiri dalam Sidang Raya Sinode. Untuk menjadi anggota Badan Penasihat, syaratnya antara lain: (1) mengetahui sejarah dan latar belakang Gereja Santapan Rohani Indonesia, (2) pernah menjadi anggota Badan Pengurus Sinode GSRI.

Adapun Badan Pengurus Sinode terdiri dari Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan Bendahara, yang dipilih, diangkat dan disahkan dalam Sidang Raya Sinode. Syarat menjadi anggota Badan Pengurus Sinode antara lain: (1) Anggota GSRI, (2) sekurang-kurangnya berusia 30 (tiga puluh) tahun dan paling sedikit sudah 10 (sepuluh) tahun menjadi anggota GSRI, dan (3) Jabatan Ketua Badan Pengurus Sinode dapat dijabat oleh pejabat gereja atau penatua. Jika ketua Sinode seorang pejabat gereja, maka wakilnya seorang penatua dan sebaliknya.

Tentang tugas dan wewenang Badan Pengurus Sinode bisa dilihat pada pasal 14 Tata Gereja GSRI, antara lain: (1) memelihara hubungan dan kerjasama di antara Sidang Jemaat GSRI dalam usaha untuk mencapai tujuan jemaat setempat dan kepentingan bersama, (2) melaksanakan semua keputusan yang telah ditetapkan dalam Sidang Raya Sinode, (3) bertanggung jawab atas pemberlakuan ketentuan-ketentuan Tata Gereja dan Tata Laksana GSRI, (4) mempersiapkan Sidang Raya Sinode, (5) menyampaikan laporan pertanggung jawaban, usul-usul dan saran-saran kepada Sidang Raya Sinode, dan (6) dalam rangka penggembalaan, Badan Pengurus Harian Sinode menyelenggarakan perlawatan pada Jemaat.

Jadi jelas, di dalam kewenangannya, Badan Pengurus Sinode hanya berfungsi sebagai pemelihara hubungan/fasilitator kerjasama antar Sidang Jemaat di GSRI. Tak mengherankan apabila kaum laity memiliki ruang berkontribusi yang besar di sini.

Penutup

Kaum awam atau laity adalah orang-orang yang beragama yang dibedakan dari para klerus atau pendeta (imam). Sekarang adalah masanya kesetaraan antara laity dan klerus. Hal ini bisa dipelajari dari kasus Gereja Santapan Rohani Indonesia (GSRI). Di Gereja ini, laity dan klerus sama-sama dipanggil untuk memenuhi hidup sebagai orang Kristen dan bisa berdialog, berbagi ide dan wawasan, tentang fungsi khas mereka di gereja.

Meski pemisahan peran tetap berlaku, partisipasi kaum laity di GSRI terbilang signifikan. Kaum laity mendapatkan porsi yang cukup besar dalam aktivitas gerejawi, dari pemerintahan sampai berbagai macam bentuk pelayanan, bahkan menjadi ketua Badan Pengurus Sinode. Hal ini memang dimungkinkan oleh Tata Gereja yang menempatkan Badan Pengurus sebagai organ gereja yang berfungsi sebagai fasilitator dan pengelola belaka, bukan merupakan bagian dari sistem pemerintahan.

Daftar Pustaka

Firdaus, Yogi Fitra. “Peran Orang-Orang Tionghoa Dalam Pekabaran Injil: Kajian Historis Terbentuknya Jemaat Tionghoa Di Jawa Barat.” Jurnal Abdiel: Khazanah Pemikiran Teologi, Pendidikan Agama Kristen, dan Musik Gereja 4, no. 1 (2020): 77–97.
Parrella, Frederick. “The Laity in the Church.” In Proceerings of the Catholic Theological Society of America, 265–266, 1980.
“Laity | Definition of Laity by Merriam-Webster.” Accessed November 12, 2020. https://www.merriam-webster.com/dictionary/laity.
“Sejarah GSRI – Sinode GSRI.” Accessed November 17, 2020. http://sinodegsri.com/sinode/index.php/2015/07/20/sejarah-gsri/.
Tata Gereja Santapan Rohani Indonesia. Jakarta: Badan Pengurus Sinode GSRI, 2018.