Jangan Menghakimi

Di rumah, anak-anak saya pernah mengetawai saya karena tidak berani naik motor atau naik ojek. Kalau tidak sangat terpaksa, saya memang tak mau naik ojek. Saya memilih naik mobil karena lebih aman dan nyaman (versi saya lho…).

Tapi beberapa kondisi memang memaksa saya naik kenderaan roda dua itu. Awalnya terasa menakutkan, tapi makin lama makin terbiasa. Walau tetap memilih tak sering-sering.

Minggu lalu saya naik ojek pesanan online, kebetulan dapat driver yang rupawan dan baik hati. Besoknya juga driver yang sopan dan rapih. Dan kemarin, saya dapat driver tipe yang versi sebaliknya. Agak semaunya, sok tahu, dan bau badan. Saya tidak tahan karena dia tidak membawa kenderaan dengan baik, tidak mengikuti arah jalan yang saya beritahu, dan baunya sangat mengganggu. Dia tidak punya kreatifitas mencari jalan yang lowong. Kami nyaris selalu berada di antara himpitan mobil, tidak bergerak. Saya selalu kuatir akan terjepit kenderaan lain. Sekali waktu saya malah tersenggol. Saya ketakutan, kesal, dan gregetan.

Padahal motornya bagus dan terlihat baru. “Apakah dia baru bisa membawa motor? Apakah dia baru jadi driver ojek online?” Saya hanya bisa mengira-ngira dalam hati.

Sepanjang jalan saya menyesal naik ojek itu. Bahkan sempat terpikir untuk turun di tengah jalan saja. Tapi mengingat akan sangat sulit naik angkutan lain, saya menahan diri.

Lalu di lampu merah Fatmawati yang macet semrawut ada sedan yang menghalangi jalan. Motor di depan kami menyenggol, dan kabur ketika gadis si pemilik sedan membuka kaca. Dia memaki kami, yang persis di belakang si motor penyenggol tadi. Si driver ojek saya masih sempat-sempatnya membalas makian si pengemudi mobil: “Bukan saya, Mbak! Itu tadi motor di depan…”

Saya segera menepuk pundak si driver dan menyuruh segera berlalu. Jangan cari masalah lagi. Saya paling tak suka lelaki yang suka berdebat, apalagi bertengkar dengan perempuan!

Lalu akhirnya ‘pergumulan’ saya pun berakhir setelah tiba di tujuan. Saya sempat berpikir akan memberi rate bintang yang sedikit dan tanpa tips, tapi hati nurani saya menolak. Saya tetap memberi lima bintang dan sedikit tips.

Ada pikiran yang melintas. Mungkin dia punya pergumulan hidup yang saya tak tahu, dan saya tak mau makin menyulitkannya dengan memberi rating bintang yang sedikit, yang akan mengurangi prestasi pada mata pencariannya.

Dan hal itu seperti terjawab di besok harinya, ketika saya naik mobil online ke kantor.

Bapak supir mobil online ini sudah agak berumur. Ketika dia tanya tujuan saya, beliau langsung bilang itu gedung kantor anaknya juga! Beliau menyebutkan nama perusahaannya. Saya tahu perusahaan itu dan saya bilang itu perusahaan yang bagus. Konon anaknya dan satu divisi katanya sedang jalan-jalan ke luar negeri dibiayai oleh kantor.

Lalu entah bagaimana mulanya, sepanjang jalan bapak sang supir ini bercerita tentang anaknya dan keluarganya. Istrinya meninggal empat tahun lalu karena kanker payudara. Anaknya yang satu gedung dengan saya adalah bungsu yang sempat terguncang karena ibunya meninggal sebelum dia wisuda. Anaknya itu pun pernah ditawari pekerjaan yang bagus di luar kota tapi ditolak karena tidak tega meninggalkan ayahnya sendirian di Jakarta. Padahal ayahnya rela saja, demi kesuksesan masa depan anaknya itu. Tapi anaknya memilih merawat ayahnya ini.

Ketika beliau sangat detil menceritakan penderitaan istrinya ketika terserang kanker ganas (dan mereka sekeluarga sepakat tidak memberitahukan kepada ibunya) dan kala mereka kesulitan mencari uang untuk pengobatan ibunya hingga nyaris menjual rumah, saya merasa sangat kagum dan terharu dalam hati. Mereka adalah keluarga yang tangguh, pejuang yang tak kenal menyerah, dan saling berkorban demi kasih dalam keluarga.

Saat-saat terakhir sebelum istrinya meninggal, tiba-tiba katanya istrinya menelepon meminta Bapak ini untuk menemani di rumah sakit, karena istrinya kangen bercanda-canda dengan suaminya. Dan saat itu istrinya katanya bercanda terus. Begitu bapak itu datang, langsung ditanya oleh istrinya sambil tertawa: Bapak pulang bawa amplop nggak? Banyak nggak isinya? Dan seterusnya. Mereka tertawa-tawa. Tak dinyana, itu adalah hari terakhir mereka bertemu dan berbicara.

Kisah si Bapak pas berakhir sebelum kami masuk lobi gedung kantor. Dia berterima kasih atas ‘telinga’ saya yang rela mendengarkannya. Saya melihat gelagat si Bapak merasa lega, karena mungkin ini pertama kalinya dia bercerita tentang hal sepribadi itu pada orang lain, pada orang yang tak dia kenal pula!

Lalu saya teringat pada driver ojek yang kemarinnya. Mungkin dia juga punya kisah yang saya tidak tahu. Mungkin lebih tragis. Mungkin lebih kompleks. Mungkin lebih menyedihkan. Saya tak tahu. Saya hanya tahu saya perlu menerima kekurangannya, tanpa perlu tahu alasan di balik sikapnya.

Sebab kita semua punya kisah kita sendiri yang jadi alasan sikap kita saat ini, yang hanya kita dan Tuhan yang tahu.

Sebab itu, seperti kata orang bijak, hendaklah kita jangan saling menghakimi.
Before you judge a man, walk a mile in his shoes.

-*-

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *