Lima belas tahun saya memiliki Asisten Rumah Tangga (ART) yang setia. Nyaman. Aman. Itulah yang saya rasakan.
Mulai dari bangun pagi hingga pagi berikutnya menjelang, dia selalu melayani kami sekeluarga dengan begitu baik. Makanan kami selalu enak dan bergizi. Rumah selalu bersih dan tertata rapi. Persediaan air mineral, Sembilan bahan pokok dan bahan makanan juga selalu ada.
Segala masalah bisa diselesaikannya. Mulai dari rok sekolah anak saya yang sobek, bisa dijahitnya, sampai urusan yang lebih berat, bisa tertangani dengan baik.
Saya pun diperlakukannya bagaikan putri. Sepulang kantor, jus buah segar selalu tersedia di atas meja. Karena sudah belasan tahun dia meladeni kami sedemikian rupa, kami menjadi biasa.
Sering lupa berterima kasih. Sering tidak peka terhadap kebutuhannya. Semua menjadi take it for granted. Memang seperti itulah, dia seharusnya, begitu kata kami.
Saya dan suami bekerja dari pagi hingga terkadang malam hari. Anak satu-satunya bersekolah dan mengikuti beberapa les dari pagi hingga terkadang sore hari. Si asisten yang lebih sering di rumah, bertemu dengan tukang pos, tukang listrik, tukang sayur dan bahkan beberapa orang yang mencoba menipu hanya untuk bisa masuk ke rumah.
Dia menjaga rumah kami bagaikan malaikat Tuhan. Saya tidak pernah mengunci kamar. Lima belas tahun terbukti, dia sangat jujur.
Saya, suami dan anak saya sangat sayang padanya. Tentu dengan cara kami masing-masing.
Tapi sekali lagi, karena sudah belasan tahun dia melakukan seperti ini kepada kami, kami jadi sering lupa berterimakasih, sering tidak peka terhadap kebutuhannya.
Hingga suatu ketika, kenyamanan kami terusik. ART yang baik hati dan sangat rajin ini pulang kampung karena ayahnya meninggal.
Atas usulan keluarganya, dia diminta tidak kembali lagi kepada saya. Sudah terlalu lama.
Dia meminta maaf. Dia ingin mencoba hal baru, demikian kata keluarganya.
Saya meradang. Menangis berhari-hari. Saya tidak menyiapkan rencana cadangan.
Sudah terlalu percaya diri, bahkan terkesan bangga memiliki ART yang setia. Ketika musim Lebaran tiba, saya selalu pamerkan ART saya yang tidak pulang kampung. Ketika ART teman-teman saya banyak yang gonta-ganti, saya selalu katakan bahwa hal itu tidak pernah terjadi pada saya. Saya terlalu bangga.
Akhirnya kami mendapatkan seorang ART baru sebagai penggantinya. Semua dimulai lagi dari awal. Pelan-pelan dan berproses.
Secara karakter dan kualitas pekerjaan, ART baru jauh berbeda dari ART lama. ART yang baru ini padahal usianya jauh lebih tua dari ART lama.
Hati saya menjadi semakin tak karuan. Kalau mengikuti ego dan kata hati, rasanya ingin mengambil ART lama kembali ke rumah saya.
Segala kebaikan ART lama selalu terbayang di pelupuk mata, sambil air mata saya mengalir. Saya menyesal kenapa saya tidak memikirkan masa depannya waktu itu. Seharusnya dia saya sekolahkan berbagai hal sebagai persiapan masa depannya.
Sampai hari ini, rasa sesak di dada saya tidak kunjung hilang karena penyesalan saya. Kebanggaan saya diporak-porandakan. Kebanggaan yang sudah menjadi berhala. Kebanggaan yang tidak lagi mengandalkan Tuhan.
Semoga ART saya yang lama sukses meraih masa depannya. Dengan tulus, saya mendoakannya. Maafkan kami yang tidak peka dengan kebutuhanmu.
Luciana Siahaan
Penulis adalah Ketua Dewan Teruna Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)
Foto: Pixabay.com