Bilang Tidak pada Kebencian dan Sikap Rasis!

Ketika mau menikah, Desember 1991, abang tertua saya yang militer (AU) dan tengah persiapan anggota DPR dari Fraksi ABRI, menginterview saya secara khusus: Apakah orangtua, keluarga, sanak saudara, kerabat dari calon istri ada yang tidak bersih lingkungan?

Maksudnya, apakah ada yang terlibat G30S atau digolongkan rezim Pemerintah Orde Baru anggota atau simpatisan PKI yang dibuat bergolongan-golongan, misalnya, A, B, dll.

Saya jawab dengan mantap: Calon mertua bahkan pengurus Golkar dan orang Soksi pada awal pembentukan di wilayahnya.

Kulihat wajah si abang lega. Saat itu, bila ada sanak saudara atau kerabat atau saudara jauh yang dicap Rezim penguasa “orang kiri” memang bisa cilaka. Maka mencari pasangan yang “bersih lingkungan” (ini jargon Orba) pun seperti syarat pokok selain syarat lain, misalnya agama, atau suku.

Saya paham kekhawatirannya. Sedikit saja cela atau bercak, bisa menggagalkan pencalonannya sebagai anggota legislatif –yg akhirnya lolos dan bahkan sampai dua periode di Fraksi ABRI (beliau memang kami akui anak orangtua kami paling cemerlang dan memiliki integritas yang bagus dan loyalitas pada kesatuan dan negara).

Tetapi, saat itu sebenarnya saya merasa unfair dan ada dalam situasi yang kejam bagi berjuta warga.

Rezim yang otoriter telah merampas hak-hak perdata warga yang dijamin konstitusi.

Terbayangkan pula saat itu beberapa teman dekat di SMA (14 Jakarta) yang bapak mereka digolongkan “terlibat”. Mereka jadi minder, perekonomian sulit, pun secara sosial diasingkan. Ada dua teman (perempuan) yang sesekali kukunjungi ke rumah mereka hingga bisa melihat keadaan mereka yang diperlakukan tak adil oleh penguasa negara dan masyarakat.

Barangkali karena sejak kecil tak bisa menerima ketidakadilan dan penindasan, saya bersimpati pada kawan-kawan yang orangtua mereka dihukum rezim tanpa proses peradilan.

Sampai kini –yang juga kuteruskan pada ketiga anak–

saya menentang ketidakadilan, menolak kesewenang-wenangan, melawan diskriminasi dalam berbagai bentuk.

Kepercayaan atau aliran agama orang lain yang tak sama dengan saya pun kuhormati. Tak ada otoritas saya merecoki apalagi melarang keyakinan orang lain. Konstitusi yang berlaku di negara ini pun menjamin hak azasi warga, tak pandang mayoritas atau minoritas.

Dan, menilai seseorang pun saya terutama dari sikapnya pada HAM. Bila dia rasis, diskriminatif, saya tak cocok. Orang seperti itu pasti tidak menarik karena menyimpan kebencian.

Saya hanya merasa adem dengan yg menghormati manusia, sama-sama makhluk yang saya percaya ciptaan Sang Khalik langit dan bumi walau berbeda-beda.

Saya tak pernah cocok dengan yang menyukai kebencian dan yang bersikap rasis!

-*-

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *