Siapakah Anda Ketika Tertangkap Kamera Tersembunyi?

Apa jadinya jika hidup kita disorot oleh sebuah kamera tersembunyi? Lalu semua rekaman dalam kamera tersebut ditunjukkan ke umum. Apakah banyak hal yang kita tutupi dan kini terekspos, dan akan membuat kita malu?

Saya teringat isi video yang terekam oleh CCTV, tentang seorang babysitter yang menganiaya anak balita majikan, ketika majikannya tidak ada di rumah. Betapa mengerikan apa yang bisa kita lakukan ketika kita tidak tahu ada orang yang bisa melihat kita.

Apa itu integritas?

Integritas adalah, apakah sikap anda sama, ketika tidak ada yang melihat anda.

Dulu, saya mencoba memahaminya dengan defenisi sederhana. Contohnya, ketika seorang rekan saya, tidak pernah (karena dilarang oleh istrinya) makan mie instan di rumah, tapi dia tiap hari makan mie instan di kantor. Orang tersebut, tidak menunjukkan integritas.

Apakah anda orang yang sama, di rumah, kantor, gereja, di lingkungan tetangga?
Pertanyaan ini adalah tantangan.

Ada seorang anak, teman anak saya, pernah berkata: Ah, Papa saya hanya manis kalau sama anak orang lain, sama kami anak-anaknya galaknya minta ampun. Mama saya juga hanya lembut kalau dilihat orang lain, kalau di rumah bawelnya tak karuan.

Dualisme terlihat dalam hal ini. Ini bukanlah integritas.

Apakah anda berani disebut sebagai orang yang berintegritas? Saya sendiri takut menghadapi pertanyaan ini. Dulu ada seorang rekan kerja yang jika di hadapan para boss ekspatriat selalu bermuka manis dan berlidah penjilat, tapi ketika menghadapi rekan sesama orang lokal, sangat kasar dan dominan. Kami semua sangat tidak menyukainya. Dan ketika dia pindah, kami semua sangat lega dan gembira. Betapa tidak enaknya hidup bersama orang dengan dualisme sikap seperti itu.

Dalam bukunya berjudul “Integritas”, Jonathan Lamb menjabarkan Paulus sebagai contoh seorang pelayan Tuhan yang memiliki integritas. Ketulusan hati Paulus, tindakannya yang terus terang dan apa adanya, tidak berbelit-belit, konsisten dan jujur, adalah kualitas pelayan Tuhan yang sejati. Bagaimana Paulus bisa memiliki intergritas itu?

Paulus menerima kualitas sifat itu dari Tuhan.

Hanya oleh kekuatan kasih karunia Tuhan, kita bisa memiliki integritas.

Membicarakan tentang integritas bisa membuat kita merasa panik dan merasa bersalah, takut dan tidak percaya diri. Itu wajar, sebab integritas bukanlah hal yang mudah. Kita tak mampu melakukannya sendiri. Tuhan yang memberikan karunia untuk kita bisa memiliki integritas demi pelayanan (baca: kehidupan) kita.

Ada orang saya kenal. Dia bisa terlihat begitu rendah hati di depan umum. Tapi rupanya dalam catatan pribadinya, sesungguhnya dia sungguh bangga dan sombong akan kemampuannya menipu orang lain dengan aktingnya itu.
Mungkin kita juga pernah seperti itu. Kita hanya manusia lemah dan berdosa. Sering kita bersikap berbeda, di depan orang dan di belakang mereka. Dalam kesendirian kita mungkin akan memaki-maki orang yang kita benci, tapi di hadapan mereka kita akan bersikap manis atau biasa saja. Dan itu hanya sedikit etika sopan-santun, atau sandiwara. Atau diam-diam, kita mungkin adalah orang-orang yang menerima amplop di bawah meja, walau kita tahu itu tidak halal.

Dalam bukunya, Lamb menguraikan, ada banyak alasan mengapa kita tidak mau atau tidak mudah memiliki integritas. Harga diri, kuatir akan status, ego, rasa malu, ingin populer, haus penghargaan dan segala motivasi duniawi lainnya. Kita semua menghadapi godaan keangkuhan. Keadaan kita atau harapan orang lain di sekeliling, bisa menjadi faktor utama yang mengendalikan hidup kita. Harga diri kita sering terkait dengan status, pendapatan atau popularitas kita. Dan betapa sulitnya menjadi orang yang jujur di tengah semua godaan itu.

Tapi kita dituntut untuk bisa melakukannya secara sama. Ketika sedang ada bos atau tidak, kita tetap bekerja dengan rajin. Ketika ada audit atau tidak, kita tetap bisa jujur mengikuti prosedur. Di depan atau di belakang orang yang tak kita sukai, kita tetap harus bisa menerima dan memaafkan. Atau seperti rekan saya, di depan istri atau di luar rumah tetap sama, tidak makan mie instan (karena alasan kesehatan).

Saya pernah dengar cerita tentang beberapa guru sekolah minggu di suatu gereja, yang terlihat tersenyum-senyum manggut-manggut ketika sedang sermon dengan majelis atau pendeta, tapi diam-diam mereka mengedarkan kertas yang berisi cacian dan celaan tentang majelis atau pendeta tersebut, yang mereka jadikan bahan tertawaan. Bagaimana mungkin kita akan membiarkan anak-anak kita diajari oleh guru-guru semacam itu?

Apa yang bisa menjadi motivasi atau alasan kita untuk berusaha memiliki integritas? Saya kutip tulisan Jonathan Lamb dalam bukunya, sebagai berikut:
• Iman kita tidak bersandar pada hikmat manusia melainkan kuasa Allah.
• Tugas kita dalam hidup ini adalah menghadirkan Yesus itu sendiri, bukan menonjolkan (atau memberitakan) diri kita sendiri.
• Komitmen hidup kita adalah menjadi imej yang sama seperti Kristus, cara kehidupan dan pemikiran yang seperti Yesus.
• Upah yang tertinggi, bagi semua anak Tuhan, adalah mendengar Tuhan berkata: “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia!” (Matius 25:21)

Kebenaran menghasilkan kesalehan. Kesucian hidup adalah tindakan perwujudan kebenaran.

Sesungguhnya, jika kita hidup suci dan benar, tak ada yang perlu kita sembunyikan, tak ada yang perlu kita poles atau tutupi, hingga kita bisa tampil apa adanya, tanpa standar ganda, tanpa topeng, tanpa kepalsuan. Saat itulah kita telah memiliki integritas.

Integritas sebagai cara hidup berarti hidup yang disertai dengan rasa puas apapun keadaan kita.

Langkah awal memiliki integritas hidup adalah dengan merasa cukup.

Merasa cukup hanya dialami dan dimiliki seseorang yang menerima Tuhan dan kasihNya yang memuaskan seluruh kerinduannya. Rasa cukup itu membawa damai sejahtera.

-*-

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *