Yogyakarta, dari Kedai Kopi di Tengah Sawah

Pulang ke kotamu
Ada setangkup hari dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selaksa makna
Terhanyut akan nostalgia
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Jogja

Petikan lagu lawas dari Kla Project, tetapi selalu relevan untuk membicarakan kota Yogyakarta.

Ini kota yang sering menjadi tujuan atau destinasi wisata saya dan keluarga saban akhir tahun. Maklum, sebagai wartawan dan beragama Kristen, saya sering mengambil cuti agak panjang pada Natal sampai Tahun Baru, sebab pada saat lebaran biasanya saya kerja.

Yogyakarta kenapa menarik? Sulit bagi saya mendeskripsikan ketertarikan saya pada kota ini dengan kalimat pendek dan lugas. Tapi kalau mau disingkat, ya Yogyakarta memang menarik.

Meski keadaannya sudah tak terlalu sama dengan keadaannya pertama kali saya menyambangi kota ini dua dekade lebih yang lalu.

Kota Yogyakarta tak lagi santai seperti dulu. Lalu lintasnya macet dan orang di jalanan perkotaan terasa terburu-buru. Entah apa yang mereka kejar di kota yang tak terlalu luas ini.

Pada saat liburan akhir Desember 2016 lalu, itu terasa sekali. Keluar dari guest house di daerah Condongcatur ke Ring Road Utara, yang jauhnya hanya sekitar 500 meteran, kami butuh sampai 30 menit lebih.

Atau tengoklah Jalan Malioboro yang menjadi jantung kota budaya ini. Padat sekali, dengan manusia dan kendaraan bermotor. Memang, sekarang jauh lebih terlihat rapih dibandingkan beberapa tahun lalu. Sejak jalur pedestrian diperluas dan parkir motor dipindahkan.

Tapi tetap saja muacet bukan main. “Pada tahun baru, orang Jogja malah cenderung menghindari Malioboro,” kata teman saya, yang sudah puluhan tahun menetap di sini.

Pada banyak sisi sudah semakin komersial. Harga-harga makanannya tak ada bedanya dengan Jakarta. Apalagi akomodasinya. Mungkin saja karena keberadaan pendatang yang memadati kota ini saban musim liburan tiba.

Tapi kota mana yang tak butuh kehadiran pendatang dan turis seperti saya ini? Bukankah itu menggerakkan perekonomian?

Hanya.. ya sudah bedalah. Lantas, mengapa saya masih datang dan datang lagi ke kota ini?

Mungkin karena kota ini punya ‘lumbung raksasa’ untuk mengawetkan sejarah. Dan saya punya tabungan sejarah yang besar di sini.

Trotoarnya menyimpan cerita saya dan istri memadu kasih dulu saat masih pacaran. Yogyakarta adalah tempat wakuncar saya (eh masih ada yang tahu istilah wakuncar nda sih? Singkatan dari “waktu kunjung pacar”), yang harus saya sambangi dengan perjalanan belasan jam dari Jakarta menumpang bis atau kereta api ekonomi.

Sejarah saya menikmati akomodasi murah luar biasa. Makanan enak dan murah luar biasa. Keramahan publik yang luar biasa.  Masih adakah itu semua?

Tentu saja masih. Orang-orangnya saya kira masih sama. Sedang keramahan kota ini pada isi dompet saya, masih bisa saya temukan di tempat-tempat yang tak biasa.

Setelah saya menjelajahi lagi sudut-sudut kota, mencari tempat saya bisa menyepi dari keriuhan pusat kota yang komersial dan mahal. Di sini kemudian saya tiba.

Pada suatu siang, akhir pekan 18 Februari 2017. Saya menemukan tempat untuk menggali kedamaian Yogyakarta, Kopi Gandroeng namanya di timur laut kota, tak jauh dari kawasan Ring Road. Ditemani hujan dan bau rumpun padi. Plus secangkir kopi tanggung susu (kotangsu) yang nikmat luar biasa.

Tempat yang dipenuhi anak-anak muda ramah. Harga makanan yang murah. Suasana yang tak bikin resah.

Ini Yogyakarta yang kusuka. Mungkin ada banyak lagi tempat seperti ini di Yogyakarta. Saya hanya tinggal mencari dan mencari..

Jogja 18 Februari 2017
Di sebuah kedai kopi di tengah sawah

Foto dijepret oleh Job Palar.

Artikel ini dikutip dari blog pribadi: http://bangdeds.com/2017/02/18/pulang-ke-yogyakarta/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *