Apakah Salah Menjadi Radikal

Apakah salah menjadi radikal? Menurut saya, sebenarnya tidak. Radikal menjadi orang jujur, misalnya, saya pikir itu perlu.

Menjadi radikal baru salah ketika misalnya kita menyakiti orang lain. Sebagai orang jujur yang jadi radikal, misalnya, dia tidak salah selama dia memang sungguh-sungguh mengungkapkan kebenaran dan tidak dilandasi dendam kepada orang yangg diungkap kesalahannya.

Lalu apakah menjadi seorang penganut kepercayaan tertentu yang radikal adalah salah? Tentu tidak juga.

Kalau kita mau mencintai Tuhan dengan sungguh-sungguh, tidak setengah hati kadang taat kadang tidak taat, ya kita harus radikal.

Yang menjadi bermasalah adalah kalau kita radikal dan kemudian menganggap yang lain atau yang berbeda dari kita salah. Mengapa demikian?

Alasannya menurut saya adalah:

1. Urusan kepercayaan kepada Tuhan pada dasarnya adalah urusan “pertemuan pribadi/kelompok” antara Tuhan dengan seseorang/kelompok orang. “Pertemuan” saya denganNya tentu berbeda dengan “pertemuan” anda denganNya.

Pemahaman siapa TUHAN buat orang Islam, Kristen, Budha, Yahudi, Hindu, dan sebagainya tentu tidak mungkin sama. Jadi, kita tidak bisa begitu saja menghakimi orang lain benar atau tidak dalam beragama, baik yang seiman dengan kita, apalagi yang tidak seiman.

2. Sejarah kehidupan manusia membuktikan bahwa keragaman itu memang ada atau setidaknya diizinkan ada oleh DIA yang disebut TUHAN. Jangankan soal keyakinan, hewan, tumbuhan, planet, benda-benda langit aja semua berbeda-beda, apalagi soal keyakinan. Berangkat dari poin 1, jelas sejarah membuktikan agama/kepercayaan/keyakinan itu adalah hasil pertemuan pribadi/kelompok. Kalau tidak demikian, bagaimana mungkin agama X lahir di tanah Y atau agama A lahir di kota B?

Ada Sunda Wiwitan di tanah Pasundan, ada Yahudi di tanah Israel dan Palestina. Sebagai manusia yang terbatas, kita diberi kemampuan untuk bisa melihat bahwa TUHAN itu memakai dan bekerja di dalam sejarah manusia menurut keterikatan manusia sendiri dengan asal-usulnya. Jadi walaupun mungkin dalam kitab suci ada tugas misi untuk menyatakan kebenaran keyakinan, jangan lupa bahwa diterima atau tidaknya misi itu tetap tergantung pada “pertemuan orang/kelompok orang” yang menerima misi itu dengan TUHAN. Justru di sini nyata kebesaran TUHAN tidak bisa kita batasi dengan rencana dan usaha kita.

3. Walaupun TUHAN menciptakan kita beragam, tapi ada 1 hal yang hampir pasti dimiliki semua individu, yaitu akal budi dan hati nurani, walaupun mungkin pemahaman akan keduanya bisa berbeda2 sesuai agama/kekhasan budaya kita. Keduanya sepertinya memang diberikan TUHAN untuk jadi penyaring buat manusia memilih yang benar dan yang salah, yang wajar dan layak atau tidak. Nah, kalo keradikalan kita sudah sampai bertentangan dengan akal budi dan hati nurani, yang berarti bertentangan dengan kemanusiaan, maka keradikalan kita bukan lagi keradikalan yang memang bermanfaat buat kita, sesama apalagi semesta. Sederhananya sebagai contoh, seluruh perang agama dalam sepanjang sejarah manusia jelas merugikan manusia itu sendiri, baik yang jadi kawan, lawan atau bahkan penonton, dan tentunya merugikan juga alam sekitarnya.

Maka, apakah keradikalan kita adalah keradikalan yang membawa manfaat atau tidak? Apakah keradikalan kita membawa damai atau tidak? Apakah keradikalan kita bertentangan dengan kemanusiaan atau tidak? Pada titik inilah kita perlu merenung dan mengambil keputusan untuk semakin sejati menjadi manusia yang sesungguhnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *