Bagi saya, tiap detik kehidupan berharga sangat, meskipun tak melakukan apa-apa atau ada problema yang tak diharap dan belum terselesaikan. Saya berupaya memaknainya, menikmatinya, walau kadang tak mudah karena diganggu hal-hal yang tak menyenangkan.
Saya tidak tahu apakah hari esok masih bisa saya rasakan, walau memikirkan dan menyiapkan kebutuhan masa depan yang entah kapan dan di tahun berapa berhenti. Energi untuk menyiapkan keperluan hari depan itulah yang sering melelahkan, maka sungguh keterlaluan bila saya harus menumpahkan sebagian untuk hal-hal di luar kemampuan menyelesaikan dan bukan pula akibat ulah atau perbuatan saya.
Sebisanya, saya tak mau mengusik manusia lain, tak melukai perasaan orang lain, tak merugikan masyarakat, tak jadi parasit di negara ini, bahkan berupaya tak jadi beban keluarga dan syukur-syukur bila bisa menjadi penolong bagi yang membutuhkan bantuan–meski tak selalu dapat saya lakukan karena ketidakmampuan.
Sungguh suatu kerugian–dan juga kebodohan–bagi saya bila membiarkan pikiran, emosi, menjadi terbeban sementara saya menyadari tak ada kuasa menghentikan pikiran orang lain, kendati pun itu suatu kebodohan atau kepicikan, menurut akal sehat saya. Bahkan kebencian yang ditebarkan orang-orang pun harus saya sikapi setenang mungkin dan tak menengkar karena suatu kesia-siaan.
Masa bodoh? Denial? Oh, tunggu dulu. Saya bisa menyampaikan aspirasi, protes, atau ketidaksenangan melalui cara atau metode yang implisit. Tidak harus vis a vis yang bisa terseret ke dalam frustrasi pikiran karena orang lain belum tentu bisa memahami yang kumaksud dan ditanggapi dengan pikiran intelek atau bermutu–walau berseberangan, misalnya.
Melibatkan diri ke suatu kancah percekcokan pikiran dan pendirian, selain bukan domain saya, pun berisiko menemukan tanggapan-tanggapan liar, out of context, ngawur, tak berstruktur dengan kerangka pikir yang dapat dipertanggungjawabkan. Bagi saya, selain melelahkan, juga menjadi penyebab kejengkelan–dan suatu kesia-siaan meladeni kebodohan yang dipertahankan sebagai “kebenaran.”
Saya lebih suka melihat atau menyetujui cara yan dilakukan Birgaldo Sinaga. Ia seorang netizen yang selain kritis, peduli, juga berani mengambil tindakan bagi yang menurutnya telah keterlaluan menyebarkan kebodohan dan fitnah yang berbahaya bagi akal sehat dan pembentukan opini maupun persepsi menyangkut kebernegaraan dan dalam upaya menahan gempuran para pelaku yang menghendaki keretakan nasional.
Birgaldo Sinaga yang juga Ketua Forum Komunikasi Anak Pejuang Republik Indonesia (Forkapri) mengadukan Dwi Estiningsih ke Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. Dwi Estiningsih dianggap menebar ujaran bernuansa kebencian lewat cuitannya di twitter:
“Luar biasa negeri yg mayoritas Islam ini. Dari ratusan pahlawan, terpilih 5 dari 11 adalah pahlawan kafir. #lelah”
“Iya sebagian kecil dari non muslim berjuang, mayoritas pengkhianat. Untung sy belajar #sejarah,”
Selain konsisten dan (sejauh ini) non partisan, Birgaldo Sinaga memiliki semangat untuk meng-counter para penganut ideologi kebencian yang melakukan segala cara utk menyebarkan kebohongan dan fitnah jahat melalui pikiran kritis.
Ia berani melaporkan ke kepolisan. Ia tempuh mekanisme hukum dalam kapasitasnya sebagai warga negara yang peduli, bukan hanya mengandalkan congor.
Cara Birgaldo merupakan alternatif yang elegan, selain berani. Ia saya dukung, terutama demi penghormatan akal sehat dan kepedulian masa depan negara yang amat rentan dari ancaman separasi atau perpecahan.
Dan saya orang yang mau jujur mengakui keterbatasan maupun kelemahan, pantang bagi saya jadi pretender dan menolak standar ganda. Keadilan itu, saya percaya, harus bersifat impersonal dan imparsial, tak memilih-milih karena alasan SARA atau kesamaan primordial.
Maka, siapapun yang diperlakukan sewenang-wenang, lalim, tak adil, patutlah dibela orang waras. Bukan karena alasan subjektif, dan memang itu sulit dimiliki kendati bisa bila mau. Caranya: membiasakan empati dalam diri; memindahkan diri sendiri pada diri orang lain yang mengalami, supaya bisa merasakan–walau sedikit–betapa sakit dan tak enak diperlakukan tak adil!
Itu baru keren. Berpihak pada siapapun yang diperlakukan tak adil. Bukan yang ikut reaktif bila menyangkut diri dan “kaum” sendiri. Sulit? Mungkin.
Namun bisa dilatih bila ada kesadaran sebagai manusia yang menghargai kehidupan dan percaya bahwa manusia adalah ciptaan “spesial,” karya agung Yang Maha Kuasa (bagi yang mempercai eksistensinya).
Setiap netizen berhak menyampaikan apa pun yang dikehendaki, termasuk kemarahan, kejengkelan, atau perlawanan atas suatu perbuatan. Saya memilih cara persuasi, mengajak sebanyak-banyaknya suporter penjaga Indonesia dengan cara saya.
Saya sesekali membagikan catatan-catatan personal yang sepele, kejadian biasa, seraya berharap: naluri sebagai makhluk sosial akan menautkan relasi dng siapapun yang tak sudi dilumuri darah kebencian.
Saya amat menyukai kehidupan, menganggap berharga tiap detik dan denyut nadi yang menandakan aktifnya organ tubuh. Banyak problema dan tantangan, terutama menyangkut masa depan, agar tak terlunta-lunta atau menjadi beban anak atau sanak-saudara.
Pula ada kenikmatan diberikan musik, seni, budaya, bacaan dan pengetahuan. Sayang sekali bila tak dimanfaatkan. Juga, pertemanan…. Itu sungguh mengasyikkan.
Mungkin, cara saya ini semacam mencari celah agar tak jadi korban himpitan kuasa-kuasa yang tak bisa saya kendalikan, sebagai warga biasa yang terjauh dari nikmatnya kekuasaan.