Tadi pagi, karena suami berangkat kerja duluan, saya naik angkot. Supirnya masih muda, mungkin usia awal 20 tahunan. Di tengah jalan dekat perempatan lampu merah fatmawati, si angkot menyenggol sebuah mobil dan merusak kaca spion mobil itu. Di dalam mobil itu ada dua orang, seorang bapak berumur 60-an yang menyetir, dan (anaknya?) laki-laki, mungkin berumur 28 -30an. Sebut saja si Pemuda.
Begitu bunyi senggolan spion itu terdengar, si Pemuda yang duduk di sebelah si pengemudi langsung teriak menyumpah dengan segala bahasa kebun binatang. Karena macet, dengan segera dia bisa menyusul memepet angkot, dan memaki-maki si supir angkot. Di dalam angkot hanya ada empat orang penumpang. Seorang laki-laki muda di sebelah supir, seorang anak gadis yang sepertinya mahasiswa, seorang bapak tua kurus dan mungil yang terkantuk-kantuk, dan saya.
Karena si sopir angkot hanya minta maaf, Pemuda itu tidak sabar menuntut bayaran pengganti spion. Si sopir angkot mengaku tak sengaja dan tak punya uang. Tapi si Pemuda dengan sangat tidak sabar pun akhirnya sampai mencekik leher si supir angkot. Bapak tua kurus yang tadi terkantuk-kantuk tiba-tiba berteriak dengan suara menggelegar. “AWAS YA! JANGAN MAIN TANGAN KAMU!”
Suara itu begitu kuat hingga saya kaget dan tak menyangka bisa keluar suara sebegitu menakutkan dari bapak tua ringkih itu. segera si Pemuda itu melepaskan cekikannya. Lalu ayahnya yang menyetir menyuruhnya merampas kunci dan meraup semua uang di atas dasbor angkot. Saya kira jumlahnya ada sekitar seratus ribuan. Kuncinya akhirnya dikembalikan karena angkot tidak bisa berjalan dan akan mengganggu lalu-lintas.
“Jangan diambil semua, Om,” kata si supir angkot memelas.
Tapi Pemuda itu tak peduli. Sinar matanya beringas dan menakutkan. Bahkan setelah lepas lewat lampu merah, di jalan raya yang ramai, masih sempat ayahnya memfoto si sopir angkot dengan ponsel, dan si Pemuda berteriak, “Awas ya, akan gue cari lo!”
Si supir angkot malah tersenyum manis ketika difoto.
Penumpang yang duduk di sebelah supir angkot berkata, “Untuk apa lagi dia nyari kamu, kan dia udah ambil uangnya? Kejar aja, pepet mobilnya…”
“Biarin aja… Aduh, itu semua uang modal saya, udah susah-susah nyarinya malah diambil semua,” keluh supir angkot.
Ada beberapa hal yang saya perhatikan. Si supir angkot memang salah dan tidak hati-hati. Tapi si Pemuda pengendara mobil tersenggol spion pun terlalu berlebihan sampai mencekik dan merampas kunci angkot segala, pula bahasa makiannya sungguh tidak berpendidikan.
Selama kejadian konflik di mana si Pemuda yang punya mobil memperlakukan si supir angkot dengan buruk, saya memikirkan akan melakukan beberapa hal dalam keadaan emergensi. Pertama, akan memfoto nomor kenderaan si mobil dan kedua pengendaranya, seandainya si supir angkot dianiaya. Kedua, akan mencari pertolongan dari pihak lain. Ketiga, jika sampai harus rugi, asal supir itu tidak dianiaya, saya akan membantu memberikan uang secukupnya untuk pengganti spion itu. Untungnya penganiayan itu tidak terjadi.
Kami juga pernah mengalami hal yang sama. Sebuah mobil mewah yang harganya hampir tiga kali lipat harga mobil kami menyenggol mobil kami dan kabur begitu saja, untung masih terkejar. Lalu ketahuanlah sopirnya masih ABG kelas tiga SMP. Saya dan suami hanya menasihati anak itu. Orangtua mana yang memberikan anak yang belum cukup umur untuk mengendarai mobil semewah itu?
Yang saya pelajari dari kejadian pagi itu adalah hal ini.
Kita berada di posisi mana ketika konflik datang. Apakah kita seperti si Pemuda, penganiaya yang merasa berhak menghukum semau kita orang yang merugikan kita? Apakah seperti si bapak kurus yang bersuara lantang membela yang teraniaya (walau memang pihak yang salah), atau diam saja menyelamatkan diri seperti si mahasiswi karena mungkin merasa lemah, atau malah mengompori dan menambah masalah seperti lelaki di sebelah supir angkot, atau, mencoba turut ambil bagian mencari jalan keluar agar tercapai perdamaian, sekalipun kita jadi ikut dirugikan?
Kalimat berikut ini mungkin terdengar klise, terlalu ideal, atau muluk-muluk, tapi sesungguhnya itulah yang benar. Mudah dikatakan, sulit pada pelaksanaannya.
Jadilah pembawa damai.
Sekalipun kita dirugikan. Seperti tertulis di kitab suci; Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!
Jakarta, 11Nov’16
-*-
Foto: Pixabay