Ada satu pesan yang sering dikumandangkan para pemberita kabar baik dari atas mimbar: DOA, kekuatan untuk menjangkau dunia. Pesan yang ketika disampaikan akan disambut riuh dengan kata “amin” yang berkepanjangan.
Tapi, seberapa percayakah dirimu dengan kekuatan sebuah doa? Seberapa seringkah meluangkan waktu untuk duduk diam dan berbincang denganNYA? Pernahkah mendoakan orang yang membenci dan sering membuat hatimu panas?
Adakah waktu khusus yang disediakan untuk berkencan dengan TUHAN? Sedekat apa sih dirimu denganNYA? Ataukah diriNYA hanya sebatas nama yang disebut ketika lelah menghampiri dan putus asa sudah merubungi?
Pertanyaan-pertanyaan sederhana di atas menalu-nalu di hati sepanjang sampai usai menonton War Room hingga tanya penasaran malaikat kecil yang disuruh sholat di satu sore itu pun terngiang, “Tante enggak sholat?”
War Room, film drama Kristen Amerika yang mengangkat tema keseharian ketika TUHAN dihadirkan hanya sebatas simbol agama di dalam rumah. Tiga karakter yang dijadikan tokoh sentral dalam War Room adalah Elizabeth Jordan (Priscilla Shirer), Tony Jordan (T.C. Stallings) dan Oma Clara (Karen Abercrombie).
Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada BAPAmu yang ada di tempat tersembunyi. Maka BAPAmu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu [Mat 6:6].
Sukses dalam karir tak selamanya menjadi cermin keberhasilan menjalani kehidupan berumah tangga meski dari luar semuanya tampak baik-baik saja. Hal ini berlaku bagi keluarga Tony dan Elizabeth Jordan.
Sebagai sales di sebuah perusahaan farmasi, Tony dipandang berhasil bila dilihat dari rumahnya yang cukup besar, kenaikan gaji, tunjangan, mendapatkan kendaraan dari kantor, dan perjalanan dinas yang tentu saja dibiayai oleh perusahaan.
Tony yang egois, angkuh dengan pencapaiannya dan keras kepala; tak menghargai keluarganya. Elizabeth yang juga sibuk dengan pekerjaannya sebagai agen penjualan rumah serta hubungan yang tak harmonis dengan Tony pun lebih sering membalas dengan keras kepala sikap Tony.
Keseharian mereka diwarnai dengan amarah. Perbincangan sederhana di meja makan bisa berakhir dengan luapan emosi karena masing-masing mengedepankan ego, hingga Danielle, puteri semata wayangnya sering pula terkena tempiasan emosi.
Rumah tangga Elizabeth dan Tony mengalami masa suam-suam kuku. Serupa dengan kopi yang bila dinikmati tak panas atau dingin sekalian, rasanya sungguh berbeda. Pertemuan Elizabeth dengan Oma Clara mengantarkannya pada sebuah perubahan dalam menghadapi persoalan kehidupan.
Elizabeth adalah jiwa yang dikirimkan TUHAN pada Oma Clara untuk dimenangkan hatinya. Padanya, Oma Clara berbagi tentang arti berserah, mendoakan dan mengasihi suami yang dibencinya, dan berperang lewat doa untuk melawan iblis yang mengacaukan hidup dan rumah tangganya untuk menyelamatkan perkawinannya.
Syaratnya, pesan Oma Clara pada Elizabeth, if you want victory you must first surrender. Jika kau menginginkan kemenangan, kau harus menyerah lebih dulu.
Meski awalnya ragu, Elizabeth mulai membangun menara doa di rumahnya. Dia menyadari kerengganan hubungannya dengan TUHAN. Dia mengubah lemari pakaiannya menjadi ruang doa, tempatnya berkomunikasi dengan TUHAN, tempat untuk berperang melawan iblis, dan tempatnya mencatat setiap pokok doanya.
Hubungan Danielle dengan ibunya pun membaik setelah Elizabeth menyadari selama ini dia hanya fokus pada diri dan masalahnya sendiri. Dia tak mengenal kegiatan keseharian putrinya itu, hingga satu siang, dia disadarkan oleh pertanyaan sederhana Danielle yang tak bisa dijawabnya: apa nama timku, apa trik lompat tali yang kupelajari kemarin, apa warna timku?
Tanpa kamu sadari, akan selalu ada orang di sekelilingmu yang memperhatikan apa yang kamu lakukan. Jika lakumu keliru, ia akan mengingatkan; bila lakumu baik, ia akan mencontohnya. Perilaku orang tua akan menjadi contoh baik atau buruk bagi anaknya, tergantung bagaimana kita menjalani keseharian itu.
Perubahan Elizabeth diikuti pula oleh Danielle yang mulai pula menempelkan catatan harapan-harapan dan doanya di dalam lemari pakaiannya.
Tony yang ketahuan berbuat culas di dalam menjalankan tugasnya, akhirnya dipecat dari perusahaan. Dia kehilangan semua fasilitas yang selama ini dinikmatinya. Namun, yang membuatnya heran adalah ketika dirinya menyampaikan hal tersebut, Elizabeth menanggapinya dengan tenang, tak ada amarah apalagi menyerang dirinya meski istrinya tersebut tahu dirinya memiliki teman wanita lain.
dan umat-Ku, yang atasnya nama-Ku disebut, merendahkan diri, berdoa dan mencari wajah-Ku, lalu berbalik dari jalan-jalannya yang jahat, maka Aku akan mendengar dari sorga dan mengampuni dosa mereka, serta memulihkan negeri mereka. (2 Tawarikh 7:14)
Ketika kita mengangkat tangan, TUHAN turun tangan. Tony dijamah TUHAN saat dirinya sedang sendirian di rumah dan mendapati potongan-potongan kertas doa Elizabeth di lemari pakaiannya yang kosong.
Air matanya tumpah, kekuatan doa istrinya telah menyadarkannya, Elizabeth tak membencinya; malah setiap saat mendoakan keselamatannya. Keluarga mereka dipulihkan, kehidupan mereka diubahkan.
Moral of the story:
- Doa dapat mengubah karakter seseorang yang berdoa
- Tujuan berdoa bukan untuk mengubah pikiran TUHAN agar mengikuti kemauan kita tapi untuk mengubah hati kita agar mengikuti apa yang TUHAN kehendaki di dalam kehidupan kita.
- TUHAN dapat memakai siapapun untuk mendekatkan kita padaNYA.
- Doa, kekuatan yang menjangkau dunia. Percaya saja, kerjakan apa yang diinginkanNYA dan jangan lelah berdoa. PUSH! Pray Until Something Happen! Setidaknya, engkau akan merasakan damai, sukacita dan dirimu diubahkan olehNYA.
- Doa bukanlah menyodorkan sejumlah permintaan kepada TUHAN, doa adalah sarana untuk berkomunikasi, mendekatkan diri dan berterima kasih pada DIA yang memberimu kesempatan untuk hidup di dunia ini.
- Perbuatan jahat tak harus dilawan dengan kejahatan pula – jadi ingat Left to Tell
War Room, film garapan Kendrick Brothers’ setelah Facing The Giant dan Courageous; salah satu tontonan siang di hari Lebaran kemarin bersama teman-teman gereja. Meski temanya kehidupan Kristen; Facing The Giant, Courageous maupun War Room tak dikhususkan untuk orang Kristen saja karena ada banyak pelajaran dan pesan penting yang bisa dipetik dari film ini.
Lha, Facing The Giant saja saya tonton ulang (lagi) sewaktu diputarkan si bos yang Hindu dua tahun lalu dalam rangka ngumpul-ngumpul team building di rumahnya. Kalau pengen yang lebih touched, coba deh tonton Faith Like Potatoes (2006), film yang diangkat dari kisah hidup Angus Bunchan, seorang Skotlandia yang pindah ke Afrika Selatan untuk menjadi petani kentang yang berserah total kepada TUHAN, saleum.
Olive Bendon
Catatan: Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di: https://obendon.com/2016/07/07/war-room-berperang-dengan-kekuatan-doa/
Penulis adalah Travel Blogger | Old Grave Lover | Citizen Journalism | Volunteer for The War Graves Photographic Project
Foto: imdb.com