Yang Lebih Penting daripada isu Pribumi dan Non-pribumi

Dua pekan lalu, saya diminta sekelompok ‘ibu-ibu muda’ penghuni BSD dan sekitar bicara hukum yang relevan diketahui. Mereka para ibu yang biasa antar-jemput anak di sekolah Penabur dan satu keponakan perempuan ikut penggagas; perkumpulan sosial dengan kegiatan rohani dengan berbagai agenda rutin, melakukan aksi sosial ke masyarakat yang membutuhkan tanpa memandang agama dan etnisitas, tak membedakan orang pribumi atau golongan Timur asing macam aturan pemerintah kolonial. Pokoknya wujud kepedulian, menyumbang tanpa motif lain, berupa sembako, pengobatan, dan lain-lain.

Ternyata, tak hanya topik hukum yang jadi bahan omongan, melebar ke persoalan-persoalan masyarakat perkotaan di zaman sekarang, mulai dari “budaya” gadgets, kecenderungan digitalisasi, perilaku dan minat anak dan orang dewasa yang semua akhirnya harus mengakui: terjadi perobahan yang begitu cepat, nyata, dan tak terbendung. Mindset, behavior, orientasi dan minat orang-orang (terutama anak), seperti kian tegas jarak atau gap dengan orang tua.

Saya pun menambahkan pandangan dan pengetahuan atau informasi yang saya tahu, termasuk yang terjadi di berbagai negara. Trend globalisasi dan dunia yang semakin datar atau flat (bukan bumi datar maksudnya) akibat kemajuan teknologi dan sains, perekonomian dunia yang semakin terbuka namun sebenarnya kian kompetitif dan mengukuhkan hegemoni negara-negara berekonomi kuat karena unggul industri dan teknologi yang berdampak pada penerimaan negara dari hasil ekspor (perdagangan luar negeri), akan semakin nyata menimbulkan disparitas atau kesenjangan sosial-ekonomi pada masyarakat di negara-negara yang kalah bersaing.

Kesempatan kerja bagi generasi penerus (murid SD-SMP sekarang) akan semakin berat dan hanya yang benar-benar unggul yang berjaya; teknologi digital dan berbasis online, perlahan atau cepat, akan menggusur SDM.

Para ibu-ibu yang lebih banyak dari etnis Tionghoa itu seperti telah paham dan karenanya memprioritaskan pendidikan anak, menyiapkan yang dibutuhkan anak (antara lain belajar beberapa bahasa asing).

Sepanjang perjalanan menuju rumah dan jarak cukup jauh dari kawasan Serpong, saya bayangkan situasi negara ini, sekarang dan nanti. Lalu, teringat ketiga anak saya yang ketiganya menuju tahap dewasa secara usia dan menurut aturan hukum perdata. Mereka akan menghadapi kompetisi yang lebih keras itu, anak mereka (bila mereka memilih menikah dan punya anak karena saya tengah berupaya menjadi ayah yang moderat, tak mau memaksa anak married meskipun saya inginkan) bukan lagi generasi milenial dan entah seperti apa dampak kemajuan teknologi-sains dan cyber yang mempengaruhi berbagai hal.

Saya sedikit nervous manakala bayangan tersebut muncul, khawatir ketiga putra-putri dan anak mereka tak mampu berebut kesempatan kerja atau menyiapkan sumber penghasilan yang menjamin kebutuhan mereka di masa depan–dan suatu sikap yang bodoh bila saya hanya mengandalkan “melihat nanti saja” atau “Tuhan akan membantu mereka.” Otak saya harus digunakan memikirkan dan membagikan pada mereka (mumpung masih bisa bicara dan berbuat), terutama mengantisipasi yang akan datang, terlepas dari mereka concern atau cuek bebek (kuharap betul tak begitu).

Namun, jujur dan legawa saya akui, di antara beberapa keunggulan orang Tionghoa atau China (terutama diaspora), memang mereka lebih siap menghadapi situasi seperti apapun. Suka atau tidak, semangat, etos, elan, dan kegigihan mereka belajar dan “making money” serta melakukan saving maupun investasi, memang lebih baik sejak dulu.
Dan, itulah salah satu penyebab munculnya kecemburuan –dan bahkan antipati– bagi orang-orang yang tak bisa mengakui keunggulan orang (etnis) lain seraya bangkit karena mau menyadari kelemahan sendiri.

Para

ibu-ibu muda yang mengundang saya itu begitu antusias bertanya: apa lagi yang seharusnya mereka lakukan untuk melindungi anak dari persoalan hukum, dan meminta advis saya untuk menambah kesiapan putra-putri mereka berkompetisi di level internasional, kelak. Mereka begitu peduli dan mencatat saran-saran yang saya sampaikan walau yang saya katakan bukan ujaran seorang pakar, cuma berdasarkan info dan bacaan dan sebagian hasil pengamatan di beberapa perusahaan yang melakukan likuidasi dan rasionalisasi pekerja akibat situasi perekonomian nasional dan global.

Terus terang, kesadaran seperti itu sangat saya inginkan sebenarnya dimiliki orang tua atau masyarakat berusia dewasa di negara ini. Tak lagi tertarik menyoal atau mengusung isu: pribumi-non pri, agama itu-agama anu.

Tetapi, kayak orang Medan, “Apalah yang mau awak bilang. Patron dan tokoh-tokoh yang didukung orang-orang dan bahkan kalangan pendidik pun masih banyak mengandalkan isu-isu murahan macam itu.”

Kecemburuan pada satu etnis itu pun tak menjadi tantangan yang menciptakan perubahan demi perbaikan. Sementara, keterbelengguan tersebut amat penting dan masih tetap menarik bagi para pemburu kekuasaan yang mengatasnamakan “suara rakyat banyak” untuk dieksploitasi.

-*-

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *