Tag Archives: Yesus

Menyingkap Praktik Pembuatan Bejana pada Zaman Yesus

Pada peristiwa Yesus mengubah air menjadi anggur pada pesta perkawinan di Kana di Galilea (bisa dibaca di Yohanes 2:1-11), tersebutlah mengenai tempayan-tempayan yang disediakan untuk pembasuhan kaki. Kalau dalam Alkitab terjemahan bahasa Inggris, tempayan disebut stone jars, yang artinya, bejana itu berbahan batu bukan tanah liat.

Tentang budaya pembuatan bejana batu di zaman Yesus Kristus itu makin tersingkap setelah arkeolog berhasil menggali sebuah gua berisi workshop pembuatan bejana dan perkakas batu di Galilea. Gua itu diperkirakan berusia 2.000 tahun lebih.

Gua berisi bahan batu kapur dan bejana belum jadi dari zaman kuno ini termasuk temuan langka, hanya ada dua lokasi yang pernah digali para arkeolog Israel. Penemuan ini menggarisbawahi pentingnya perkakas batu dalam ritual pembasuhan yang dipraktikkan kaum Yahudi.

Yonatan Adler, pengajar di Universitas Ariel dan direktur penggalian gua itu, mengatakan kebanyakan orang Israel pada masa lalu menggunakan pot dan bejana dari tanah liat. Tapi dalam praktek hukum pembasuhan dari yang najis atau kashrut, mereka juga menggunakan bejana batu.

Orang Yahudi biasanya mempraktikkan ritual itu kalau bersentuhan dengan sesuatu yang dinajiskan, macam bangkai binatang, penyakit kulit, dan sebagainya. Atau ketika memakai perkakas pada makanan yang tak boleh dicampur, macam daging dan susu.

Tambang batu kapur dan workshop bejana batu itu berada dalam sebuah gua buatan. Peneliti menemukan inti kapur yang digunakan untuk membuat bejana di mesin bubut, pahatan di dinding, dan limbah lain dalam proses pembuatan perkakas batu.

Kalau mengutip kata Adler, sampah-sampah produksi mengindikasikan bahwa workshop ini kebanyakan memproduksi cangkir bertangkai dan mangkuk berbagai ukuran. Perkakasnya diperdagangkan di Galilea dan sekitarnya.

Tentang Tuan-Puan yang Ingin Menjadi Pembesar

Saya suka takjub sekaligus agak jengah, apabila dalam sebuah pesta misalnya, tiba-tiba ada saja tamu besar yang datang.

Mereka ini biasanya dikenali dari sejumlah prevelese atau hak istimewa yang mereka dapatkan mendadak dalam perhelatan itu.

Namanya disebut dengan ‘megah’ berikut jabatan dan gelar-gelarnya. Mereka akan berhak memotong antrean panjang. Itu pun lengkap dengan kata “berkenan”.

“Mohon kiranya Bapak Kepala blablabla berkenan memberikan restu kepada mempelai..”. “Sudi kiranya Ibu Ketua blablabla berkenan berfoto dengan keluarga mempelai..”.

Bukan berarti bahwa itu salah lho ya. Kan saya bilang, saya hanya jengah saja. Tapi kenapa saya yang jengah yak?

Bisa saja memang begitulah tata krama kita terhadap orang yang dianggap penting, dianggap besar, dianggap very very important.

Tapi bagaimana dengan orang-orang yang memang pada dasarnya ingin dianggap penting, ingin dianggap besar, atau bahkan yang hebatnya, ingin menjadikan dirinya sendiri besar? Bukankah akhir-akhir ini kita melihat orang-orang macam begini?

Saya ingat perumpamaan yang disebutkan Yesus Kristus pada Lukas 14: 8-10

“Kalau seorang mengundang engkau ke pesta perkawinan, janganlah duduk di tempat kehormatan, sebab mungkin orang itu telah mengundang seorang yang lebih terhormat dari padamu, supaya orang itu, yang mengundang engkau dan dia, jangan datang dan berkata kepadamu: Berilah tempat ini kepada orang itu. Lalu engkau dengan malu harus pergi duduk di tempat yang paling rendah. Tetapi, apabila engkau diundang, pergilah duduk di tempat yang paling rendah. Mungkin tuan rumah akan datang dan berkata kepadamu: Sahabat, silakan duduk di depan. Dan dengan demikian engkau akan menerima hormat di depan mata semua tamu yang lain. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

Kisah ini dipicu kejadian pada hari Sabat, ketika Yesus diundang ke rumah seorang pemimpin Farisi dan ia melihat ada banyak tamu yang berusaha menduduki tempat kehormatan.

Kalau dibayang-bayangkan kocak juga suasana ‘rebutan’ tempat terhormat itu. “Sori, bro, jabatan gue lebih tinggi dari lo, gue lebih berhak di sini,” kata mereka satu sama lain.

Suasana rebutan kursi kehormatan itu menjadi begitu riuh, begitu menarik perhatian. Sampai-sampai Yesus melihat dan akhirnya menegur mereka.

Kalimat akhir, “Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan,” itu makjleb banget.

Saya tentu tak mau jadi yang dipermalukan macam begitu. Saya yakin, kalian juga.

 

Antara ‘Memperanakkan’ dan ‘Melahirkan’

Rentetan panjang kata memperanakkan mendominasi pembukaan kitab Matius. Abraham memperanakkan Ishak, Ishak memperanakkan Yakub, dan seterusnya sampai Matan memperanakkan Yakub. Yakub memperanakkan Yusuf.

Dan yang menarik adalah rentetan itu tidak berlanjut dengan Yusuf memperanakkan Yesus. Melainkan ditulis sebagai berikut: ‘Yakub memperanakkan Yusuf suami Maria, yang melahirkan Yesus yang disebut Kristus.’ (1:16).

Jadi Yesus tidak diperanakkan sebagai buah kandungan suami-istri, tetapi dilahirkan Maria.

Tentu saja hal ini  bukan kekhilafan Matius sang penulisnya, melainkan ungkapan apa adanya yang dia ketahui tentang kelahiran Yesus. Ini juga pasti mengundang tanya pembaca original waktu itu. Pembaca butuh penjelasan selanjutnya.

Itu sebabnya Matius memberi penjelasan lanjutan tentang hal ini. Maka Matius menulis, ‘Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut: Pada waktu itu ……’ (1:18-25).

Yusuf tidak memperanakkan Yesus, melainkan Yesus Kristus dilahirkan Maria. Roh Kuduslah yang membuat Maria mengandung. Itu sebabnya Kristen percaya bahwa Yesus Kristus memiliki dua natur, yaitu natur ilahi dan insani. Kristus datang kedunia ini ‘..untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka.’ (1:21).

Selamat Natal.

Is This Christmas Really My CHRISTmas or Only Christmas Without Christ? (Part II)

Apakah benar selama ini aku telah merayakan kelahiran-Nya? Apakah ternyata selama ini aku merayakan Natal tanpa kelahiran Sang Mesias tersebut di hatiku?

Tuhan terus mengingatkanku tentang pentingnya memiliki hubungan baik dengan Dia. Kali ini Tuhan menegurku juga lewat evaluasi kepanitiaan yang aku pegang di natal ini.

Tanpa aku sadari, ternyata selama ini aku telah mencuri kemuliaan Allah yang  telah menganugerahkan pelayanan itu kepadaku, dan aku juga kehilangan makna natal itu di dalam hatiku.

Apakah artinya natal, tanpa lahirnya Sang Juruselamat di hatiku?  Apakah natal hanya berarti kemewahan? Pohon Natal? Pernak-pernik natal? Acara Natal yang sukses dan diakui keren oleh teman-teman dari gereja/persekutuan lain? Ataukah natal hanya menjadi ajang untuk tukar kado dan pamer baju serta pernak-pernik baru? Ke mana kesederhanaan natal yang Yesus ajarkan?

Tuhan Yesus lahir di kandang domba yang hina, hanya dengan sebuah palungan dan hanya  ditemani oleh Maria dan Yusuf. Hanya sebuah kesederhanaan yang Ia bawakan dalam kelahiran Sang Mesias Yang Agung, tanpa ada baju baru, pernak-pernik, dan kemewahan.

Bahkan Ia tidak lahir dalam sebuah hotel ataupun rumah, tapi di kandang domba. Tempat yang sangat sederhana untuk kelahiran seorang Raja.

Tapi itukan 2000 tahun yang lalu? Berbeda dengan zaman sekarang, yang serba modern dan canggih. Iya, memang benar itu 2000 tahun yang lalu, memang benar pula zaman itu berbeda dengan zaman sekarang.

Namun, apakah ada perbedaan tujuan kelahiran Yesus ke dunia ini 2000 tahun yang silam dengan sekarang? Apakah Yesus lahir 2000 tahun yang silam hanya untuk mengajarkan kesederhanaan, dan Yesus yang lahir masa kini mengajarkan kemewahan? Atau apakah Yesus lahir 2000 tahun yang silam hanya untuk diketahui orang-orang majus dan gembala, dan Yesus lahir pada masa kini agar semua orang dapat membeli baju baru, menghias rumah/gereja dengan pohon natal, dan membeli pernak-pernik lainnya?

Jawabannya adalah TIDAK. Ia lahir 2000 tahun yang silam untuk menebus dosa-dosa kita dahulu, sekarang, dan yang akan datang. TIDAK ADA YANG BERUBAH DARI TUJUAN YESUS LAHIR KEDUNIA INI 2000 TAHUN YANG LALU SAMPAI SEKARANG.

Perlu sekali bagi kita untuk terus mengingat akan rema ini. Dan tentu saja ini adalah moment yang  tepat untuk bertanya pada diri kita sendiri,“ APAKAH BENAR YESUS TELAH LAHIR DI HATIKU ATAU SELAMA INI AKU HANYA IKUT-IKUTAN MERAYAKAN  NATAL SEBAGAI TRADISI TAHUNAN?” Cobalah untuk merefleksikannya sejenak dan Tuhan akan berbicara pada kita.

Seiring dengan perkembangan zaman, makna natal pun makin kian teriris dan bahkan tergantikan maknanya dengan kebudayaan-kebudayaan serta tradisi-tradisi buatan manusia. Hal ini merupakan pengalaman yang Tuhan boleh izinkan terjadi dalam hidupku.

Begitu banyak acara natal yang ku hadiri, begitu banyak perayaan natal yang hebat dan dibelakang acara natal yang hebat itu pasti ada sebuah kepanitiaan yang menyusun rangkaian acara ini.

Kepanitiaan yang hebat pasti terdiri dari orang-orang hebat dan berkomitmen dalam pelayanannya dan aku tergabung dalam panitia yang hebat tersebut.

Beberapa hal yang aku pelajari, seberapa hebat pun kita, kita harus tetap berhati-hati terutama pada saat kita melayani Tuhan dalam sebuah acara. Karena tanpa kita sadari sering kali kita menjadi orang-orang Farisi, menganggap diri paling benar, dan menganggap semua pelayanan kita harus terlihat hebat di depan orang lain (misalnya: acara ibadah dan perayaan natal).

Kita lebih mementingkan pujian orang lain akan kehebatan acara kita, bukan pujian yang dari Tuhan, dan lebih parahnya lagi terkadang kita tidak sadar bahwa kita telah mencuri kemuliaan Tuhan dan menggantikannya dengan memuliakan diri sendiri.

Hal ini sangat rawan terjadi bagi kita para panitia dan pelayan ibadah. Dosa kesombongan yang sering kali menguasai hati manusia, untuk itulah maka setiap hari kakak rohani atau pun saudara kita yang seiman selalu mengingatkan kita untuk tetap menjaga hubungan dengan Allah, agar kita tidak terjatuh dalam dosa kesombongan itu.

Kita adalah pelayan Allah, kita melayani Allah jangan sampai kita mencuri sedikitpun kemuliaan Tuhan kita.

Selain itu, hal terpenting yang harus kita evaluasi sebelum, sewaktu, dan sesudah acara berlangsung adalah motivasi hati kita, tujuan kita melakukan ini semua. Memang penting bagi kita untuk evaluasi teknis acara kita, namun lebih penting lagi agar kita tetap mengevaluasi hati kita juga, bukan hanya hal teknis saja.

Ingat Tuhan selalu melihat hati kita. Apakah kita melakukan ini semua untuk kehebatan diri sendiri? Pengakuan orang lain? Atau kita telah melakukannya untuk Bapa sebagai ucapan syukur kita atas kasih-Nya yang besar?

Itulah sedikit pengalaman berharga yang aku pelajari.

Kembali ke pertanyaan awal lagi apakah benar selama ini aku telah merayakan kelahirannya? Apakah ternyata selama ini aku merayakan Natal tanpa kelahiran Sang Mesias tersebut di hatiku?

Jawabannya adalah YA. Selama ini aku hanya merayakan natal tanpa turut memaknai kelahirannya di hatiku. Namun, aku sungguh mengucap syukur ketika Tuhan masih mau menegurku lewat Firman dan pengalaman serta perenunganku saat bersamaNya. Aku benar merasakan kasihNya dalam natal tahun ini.  Kasihnya begitu besar dan Ia sungguh Allah yang setia!

Pada saat natal ini, tidak ada salahnya apabila kita kembali merenungkan dari sekian banyak perayaan natal yang mungkin kita hadiri, atau bahkan mungkin kita adalah salah satu panitia pelaksana acara tersebut, “ APAKAH BENAR YESUS TELAH LAHIR DI HATIKU ATAU SELAMA INI AKU HANYA IKUT-IKUTAN MERAYAKAN  NATAL SEBAGAI TRADISI TAHUNAN?”

Tidak ada salahnya untuk mengecek dan merefleksikan semua motivasi yang telah kita lakukan, dan jika memang salah, akuilah karena Dia adalah kasih dan maha Pengampun, dan kita akan beroleh pengampunan dan lebih dibentuk lagi.

Kiranya melalui perayaan natal tahun ini, kita dapat lebih memaknai pentingnya Yesus lahir dan berkuasa dalam hati kita. Bukan hanya sekadar mengejar tradisi, baju baru, pernak-pernik, atau tukaran kado dengan orang terkasih. Memang tidak ada salahnya melakukan hal seperti itu, sangat-sangat tidak salah, namun, jangan sampai makna natal sebenarnya tergantikan dengan hal seperti itu.

Tetap waspada dan berdoa, karena Iblis adalah raja penipu yang selalu punya banyak cara untuk menipu kita dan membuat hubungan kita dengan Allah menjadi buruk. Dan ingatlah untuk tetap merenungkan: “SUDAHKAH YESUS LAHIR DI HATIKU ATAU SELAMA INI AKU HANYA IKUT-IKUTAN MERAYAKAN  NATAL SEBAGAI TRADISI TAHUNAN?”

Selamat Natal Tuhan Yesus memberkati ☺

Maria: Dapatkah Seorang Lewi menjadi Ibu Mesias?

Bukanlah hal yang aneh bahwa status Yesus Kristus sebagai Mesias kerap kali dipertanyakan—suatu hal yang sudah terjadi bahkan sejak hari-hari pertama pelayanan-Nya. Sayangnya, bahkan masalah kemesiasan Yesus sendiri sering kali, baik dari segi konteks asal-usul jasmaniah-Nya maupun arti kemesiasan itu sendiri, tidak diketahui oleh banyak orang yang menyebut diri sebagai orang Kristen!

Lazimnya, dari segi silsilah keturunan, orang Kristen hanya mengenal sosok Mesias sebagai Anak Daud: mengimani serta mengamini bahwa Yesus adalah keturunan Daud, pendiri Kerajaan Israel yang baru—sebuah Israel Surgawi.

Dasarnya sederhana saja: cukup merujuk Matius 1:1–16 dan Lukas 3:23–38. Keduanya jelas menunjukkan Daud dalam daftar silsilah Yesus.

Namun, yang sering kali dipermasalahkan para penggugat iman Kristen adalah kedua silsilah tersebut berakhir pada diri Yusuf, suami Maria. Padahal, demikian argumentasi mereka, sebagaimana dikatakan oleh Perjanjian Baru sendiri, Yusuf bukanlah ayah biologis Yesus.

Karena Yesus hanya anak angkat Yusuf, maka darah Daud tidak mengalir dalam darah-Nya. Jadi, menurut logika mereka, klaim Mesias sebagai Anak Daud tidak sah dan tidak dapat diterapkan pada diri Yesus.

Gereja sebenarnya telah menjawab pertanyaan seperti ini sejak awal, dengan menegaskan bahwa Maria pun adalah seorang keturunan Daud. Namun, dari mana sumbernya? Ada sementara orang Kristen yang menjawab bahwa karena kedua daftar silsilah Yesus dalam kitab Matius dan Lukas berlainan dalam merujuk keturunan Daud.

Matius merujuk anak Daud yang bernama Salomo sebagai awal cabang silsilah Daud-Nya sedangkan Lukas merujuk nama Natan sebagai cabang silsilah Daud Yesus, maka hal itu berarti bahwa sebenarnya hanya salah satu di antara kedua pohon silsilah itu yang merupakan pohon silsilah Yusuf sementara yang lainnya menunjukkan pohon silsilah Daud dari pihak Maria.

Tradisi Gereja sendiri, yang diwakili oleh kitab apokrifa Proto-Evangelium Yakobus, memberikan sebuah penjelasan lain mengenai silsilah Daud yang dimiliki oleh Maria. Tidak seperti keempat Injil, kitab ini bahkan mencantumkan nama orangtua Maria, yaitu Yoyakhim dan Anna.

Yoyakhim disebutkan sebagai seorang Yehuda kaya keturunan Daud sementara Anna sebagai seorang Lewi. Dari sini, akar Yehuda Maria disingkapkan sementara akar Lewinya semakin ditegaskan, sesuatu yang sebelumnya disebutkan secara tersirat mengenai hubungan darah antara Maria dengan Elisabet, istri Imam Zakaria dan ibunda Yohanes Pembaptis, dalam Lukas 1 ayat 36 dan seterusnya. Demikian pula dengan akar Yehudanya.

Jadi, jelas bahwa Maria memiliki darah Yehuda sekaligus Lewi. Masalahnya, bagaimana gelar kemesiasan dapat diterapkan kepada Yesus Kristus berdasarkan garis silsilah Maria ini? Jawabannya harus dilihat dari kacamata ajaran dan adat-istiadat Yahudi, budaya di mana Yesus dilahirkan dan hidup.

Orang Yahudi memiliki pemikiran yang menarik mengenai siapa orang yang disebut sebagai Yahudi. Secara garis darah, orang Israel selalu menekankan garis patrilineal. Karena itu, dalam Alkitab, ketika merujuk garis silsilahnya, hanya kaum prialah yang disebutkan namanya. Setiap orang Yehuda tulen otomatis tidak diragukan keyahudiannya.

Namun, ketika pernikahan campuran semakin lazim terjadi di tengah bangsa Yahudi (Judah/Yehuda), sebuah kodifikasi keagamaan disusun untuk menetapkan siapa yang disebut sebagai orang Yahudi dari hasil percampuran bangsa itu.

Kitab Ezra, yang dibuat beberapa abad sebelum kelahiran Yesus, menetapkan bahwa seseorang yang berasal dari orangtua campuran otomatis dianggap sebagai seorang Yahudi apabila ibunya seorang Yahudi. Sebaliknya, apabila ibunya seorang non-Yahudi, anak-anaknya tidak otomatis dianggap sebagai keturunan Yahudi. Kecuali jika mereka memeluk agama Yahudi (Judaism/Yudaisme).

Baik orang Yehuda maupun Lewi secara agama sebenarnya sama-sama disebut Yahudi dalam konteks bahwa mereka adalah keturunan Israel yang menganut Yudaisme. Adapun Yudaisme sendiri mengikat mereka dalam kepercayaan terhadap Tanakh (Taurat, Kitab Para Nabi, dan Tulisan Suci)—disebut Perjanjian Lama oleh orang Kristen.

Sebutan orang Yahudi juga mencakup suku-suku Israel lainnya (contohnya Paulus, seorang suku Benyamin) maupun orang bukan keturunan Israel jika mereka memeluk Yudaisme, yang disimbolkan oleh kepercayaannya terhadap Tanakh.

Sebagai catatan, di masa Yesus, dan sampai zaman kini, ada pula orang keturunan Israel yang tetap setia kepada Taurat tetapi tidak mengakui kitab para nabi dan tulisan suci setelah Taurat sebagaimana yang dilakukan orang Yahudi. Mereka ini dikenal dengan nama orang Samaria.

Dari sini jelas bahwa apakah Maria bisa disebut sebagai orang Yahudi atau tidak sudah terjawab. Dari segi darah dan iman, jelas Maria adalah orang Yahudi (baik sebagai penganut Yudaisme sekaligus berdarah Yehuda, asal dari suku Raja Daud). Jadi, gelar kemesiasan untuk Yesus, baik dari segi darah maupun keagamaan, bahkan sekalipun lewat silsilah Maria, tetaplah sah menurut hukum Yahudi.

Berkaitan dengan gelar Mesias untuk Yesus dan kaitan-Nya dengan silsilah keturunan-Nya, ada suatu hal yang terlupakan oleh kebanyakan orang Kristen dan tidak banyak diketahui oleh orang non-Kristen.

Pada masa Yesus, orang Yahudi bukan hanya mengharapkan seorang Mesias, tetapi memiliki suatu pemahaman mesianisme yang berpegang pada dua oknum mesianis, yakni sosok keturunan Daud yang menjadi mesias politis (raja), yang akan membebaskan bangsa Yahudi dari penjajahan Romawi dan membangun sebuah kerajaan Israel yang baru. Kemudian, sosok keturunan Harun dan Lewi yang menjadi mesias keimaman/nabi, yang akan membimbing kehidupan rohani bangsa Israel.

Dengan demikian, dari segi keturunan jasmaniah saja, belum lagi pengajaran dan keberadaan-Nya, Yesus Kristus memiliki dua kualitas Mesias yang memang dinantikan oleh orang Yahudi: sebagai seorang Yehuda (dari garis ayah Maria maupun Yusuf, ayah angkat-Nya) Dia berhak atas takhta Daud dan sebagai seorang Lewi (dari garis keturunan ibunda Maria) Dia berhak atas gelar imam besar.

Triplex munus Jesu Christi. Peranan yang dijabarkan panjang-lebar dalam Surat Ibrani 7–10 ini merupakan pengakuan iman kristiani bahwa Yesus telah menjalankan ketiga tugas kemesiasan-Nya sebagaimana tuntutan Perjanjian Lama: tugas kenabian (Ulangan 18:14–22), tugas keimaman (Mazmur 110:1–4), dan tugas kerajaan (Mazmur 2).

Itulah sebabnya Perjanjian Baru, yang diimani Gereja, menyebut Yesus Kristus dengan gelar “Nabi, Raja, Imam.”

 

Nino Oktorino

Penulis adalah pemerhati sejarah

 

Foto: Pixabay

Tradisi Lilin Natal dari Berbagai Belahan Dunia

Menyalakan lilin untuk sebuah peringatan saat ini memang telah menjadi umum. Saat ulang tahun, kita akan meniup lilin di atas kue tart. Saat ada peristiwa penting, seperti tragedi tertentu, kita menyalakan lilin di tanah lapang atau di lokasi kejadian peristiwa.

Saat Natal pun lilin dinyalakan. Penggunaan lilin saat Natal adalah tradisi lama. Tradisi menyalakan lilin Natal berasal dari Festival Cahaya sebagai bagian dari perayaan Yahudi atau sering disebut Hanukkah. Hanukkah pada intinya merupakan ritual menghidupkan 8 lilin Chanukah selama 8 hari festival.

Karena jemaat mula-mula dari kekristenan juga merupakan orang-orang Yahudi, adaptasi pun terjadi. Menyalakan lilin saat Natal sebenarnya lebih ditekankan sebagai menandai kelahiran Yesus Kristus yang adalah Terang Dunia.

Lilin Natal juga disimbolkan sebagai Cahaya dari Surga yang menyediakan kehangatan selama malam musim dingin. Patut diingat, hari Natal selalu jatuh pada musim dingin.

Di abad pertengahan, menyalakan lilin menjadi sebuah kewajiban untuk mewakili Kristus. Kebiasaan ini masih diikuti di sebagian besar gereja-gereja dan rumah-rumah orang Kristen sampai sekarang.

Beberapa negara di belahan dunia pun memiliki tradisi dengan makna tersendiri dalam ritual menyalakan lilin saat Natal. Inilah beberapa tradisi tersebut seperti dikutip dari boldsky.com.

Irlandia

Ayah atau ibu sebagai perwakilan rumah tangga akan menyalakan lilin besar yang dihiasi dengan daun holly. Kemudian seluruh anggota keluarga duduk bersama mengelilinginya dan berdoa untuk semua handai taulan dan orang-orang yang dikasihi, baik yang hidup dan yang telah meninggal.

 

Bangsa-bangsa Slavia

Kebanyakan keluarga-keluarga negeri bangsa-bangsa Slavia ini meletakkan lilin Natal besar di atas meja setelah lilin terswebut diberkati oleh imam di gereja. Menariknya, di Ukraina, mereka meletakkan lilin di tengah-tengah roti berbentuk melingkar dan bolong di bagian tengah.

 

Amerika Selatan

Di banyak negara di Amerika Selatan, lilin ditempatkan dalam lentera kertas dengan simbol Natal dan gambar dari budaya asli untuk dekorasi.

 

Inggris dan Prancis

Tiga lilin diletakkan bersama-sama dalam satu dasar yang menandakan Tritunggal Kudus.

 

Jerman

Lilin Natal ditaruh ke dalam sebuah tempat kemudian digantung di tiang kayu, dan ini tradisi yang telah muncul sejak Abad 17-18 Masehi.

 

Berbagai tradisi ini memiliki kesamaan makna, bagaimana pun cara menyalakannya. Cahaya lilin melambangkan kehadiran Yesus sebagai Terang Dunia. Lilin juga melambangkan iman seseorang kepada Allah sebagai sumber terang dan fakta bahwa kehidupan manusia tidak selamanya. Sama seperti lilin, pada waktunya manusia akan “selesai juga” seperti lilin yang mencair.

 

Foto: pixabay

Merayakan Natal Jangan Parsial

Natal baru akan diperingati pada 25 Desember, tapi suasananya sudah terasa sejak akhir November ini di mana-mana.

Dan suasana Natal yang khas dan itu-itu saja saban tahun adalah suasana gembira mengarah hura-hura, pesta, hadiah, baju baru, pohon terang, Santa Claus, lagu-lagu Natal dan sebagainya.

Dari kecil juga saya larut dalam suasana seperti itu kok. Saya senang sekali kalau Natal tiba. Banyak kue, baju baru, pohon terang, orang-orang saling berkunjung, lagu Natal, acara-acara gerejawi, maupun natalan di komunitas.

Tapi di mana Yesusnya? Kalaupun membicarakan Yesus, cukup berhenti pada Yesus sebagai bayi saja.

Sudah lama saya menyadari bahwa jarang sekali yang memaketkan Natal dengan Paskah. Kotbah Bang Alex Nanlohy di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, pada Jumat pekan lalu, kembali menyegarkan kesadaran itu.

Bisa jadi karena jaraknya di kalender yang berjauhan juga. Atau, jangan-jangan kita ini memang cenderung ingin senang-senangnya saja dan itu dimanfaatkan dunia.

Apa hubungannya Natal dan Paskah? Iyalah ada hubungannya. Natal ada hubungannya dengan DOSA. Yesus lahir hanya untuk kemudian menuju bukit Golgota untuk menebus DOSA kita.

“Hadiah Natal sejati bukanlah yang bertumpuk di bawah pohon (terang), tapi yang tergantung di kayu salib,” kata Bang Alex.

Syair lagu berikut ini mungkin menarik untuk direnungkan:

Waktu kecil kita merindukan Natal
Hadiah yang indah dan menawan
Namun tak menyadari seorang bayi tlah lahir
Bawa keselamatan ‘tuk manusia

Waktu pun berlalu dan kita pun tahu
Anugerah yang ajaib dari Bapa
yang relakan AnakNya disiksa dan disalibkan
di bukit Kalvari kar’na kasih

Karena kita Dia menderita
Karena kita Dia disalibkan
Agar dunia yang hilang diselamatkan
Dari hukuman kekal

***

Tak apa kalau saat kecil kita tumbuh dengan pemahaman yang keliru. Belum terlambat untuk memiliki kesadaran yang baru.

Yes! Memikirkan Natal sekaligus harus memikirkan karya Tuhan sebagai satu kesatuan yang utuh. Jangan sepotong-potong. Jangan hanya mau senang-senangnya, tapi tak mau merasakan sakitNya.

Merasakan sakitNya pun bukanlah akhir (jangan kau kuatir itu). Ada kebangkitan dari kematian, yang mendatangkan pengharapan dan sukacita yang sejati.

Lalu dari kebangkitan, ada kenaikan ke surga yang memberikan kepastian akan tempat kita di sana. Dari kebangkitan, ada karya Roh Kudus yang mendampingi orang percaya sampai Yesus datang kembali kedua kali.

Beriman Kristen tak bisa parsial. Sebab yang parsial itu berbahaya.

Berpotensi dimanfaatkan industri untuk meraup keuntungan ekonomis dari kecenderungan kita menyukai hura-hura. Berpotensi melumpuhkan iman, kalau hanya berhenti pada penderitaan belaka.

===

Foto: Pixabay/Devanat

Makan Malam Bersama Yesus

Desember telah kembali. Orang Kristen pun mulai bersiap-siap untuk merayakan hari Natal, hari kelahiran Yesus. Tahun ini di rumah kami Natal akan sedikit berbeda, karena perempuan tercantik di rumah kami sedang menunaikan cuti sabatnya yang telah terlalu lama tertunda. Tanpa dia Natal jelas akan berbeda, karena tidak akan ada masakan lezatnya, dan terlebih lagi, ide-ide cemerlangnya.

Di antara Natal yang pernah kami rayakan di rumah, ada satu Natal yang tidak akan pernah terlupakan. Itu adalah Natal sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu istriku mengusulkan untuk memberi hadiah Natal yang istimewa kepada Yesus. Dia mengundang Yesus untuk makan malam di rumah kami.

Sejak pagi, kami menyiapkan makan malam istimewa itu. Memilih beras yang terbaik, menyiapkan ayam panggang, sayur-sayuran yang paling segar, dan minuman yang paling memuaskan dahaga.

Beberapa teman datang membantu. Ada yang membantu menyiapkan makanan, ada yang membantu membersihkan rumah dan menyiapkan tempat.

Anakku pun tidak ketinggalan. Dia meminta membelikan snack dan kue-kue untuk Yesus yang akan datang ke rumah kami. Tidak lupa dia menyiapkan mainan kesukaannya dan film kartun favoritnya untuk dinikmati bersama Yesus.

Menjelang malam, Yesus pun datang ke rumah kami. Ah, ini bukan tulisan metafisis atau gaib. Injil Matius mencatat perkataan Yesus: “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Jadi, kami mengumpulkan 30 anak jalanan untuk menikmati makan malam istimewa di hari Natal itu.

Mereka pun datang. Gembira, ramai, dan bahkan berisik (setidaknya keesokan harinya kami harus menjelaskannya kepada para tetangga). Dimulai dengan sedikit permainan, kemudian makan-makan, dan ditutup dengan nonton dan bermain bersama; ah, aku tidak akan bisa melupakan hari Natal itu.

Itu adalah hari Natal yang paling melelahkan, namun luar biasa. Istriku puas karena makanan yang disediakannya licin tandas. Anakku gembira karena bisa bermain dan bahkan berteriak bersama dengan begitu banyak anak.

Dan aku, suaraku menjadi serak, karena harus terus berbicara selama beberapa jam, termasuk beberapa kali memisahkan pertengkaran di antara tamu-tamu istimewa kami itu.

Ya, di hari Natal itu kami makan malam bersama Yesus. Aku akan selalu mengingat malam itu. Malam itu begitu istimewa sehingga sejak waktu itu, anak-anak jalanan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kami. Terima kasih Tuhan, Engkau mau datang, sudah datang. Haleluya!

 

Foto: Dok Pribadi