Tag Archives: X-Men

Seberapa Cepat Anda Pulih dari Luka?

Dulu waktu bekerja di bagian rekrutmen, selain melakukan tes IQ, kami melakukan semacam tes kepribadian untuk kandidat, yang kemudian semakin mendekati konsep tes kecerdasan emosional (EQ). Konon, memang terbukti bahwa karyawan yang juga cerdas emosional jauh lebih baik daripada sekedar cerdas intelegensi (IQ).

Salah satu ciri orang yang memiliki kecerdasan emosional (EQ) yang tinggi adalah kemampuan beradaptasi dengan cepat. Mereka mudah menyesuaikan diri dengan perubahan, tanpa menganggap dirinya secara berlebihan jadi objek negatif atau korban dari pihak lain. Ketika mereka terjatuh atau tersandung, dengan positif mereka akan tetap melanjutkan diri untuk melangkah, alih-alih meratapi dan menyalahkan batu yang menjadi sandungannya.

Orang seperti ini tidak mau berlama-lama tinggal dalam masa lalu, dalam kemarahan, luka atau dendam, atau perasaan negatif lainnya. Mereka bukannya tidak merasa sakit hati atau sedih ataupun kecewa. Tapi mereka mampu mengolah perasaan itu, mampu mengendalikannya. Mereka marah tapi mereka mau memaafkan. Mereka memang terluka perasaannya, tapi mereka memilih untuk bisa segera sembuh. Tidak berlama-lama dalam kesuraman atau kepahitan. Cepat pulih.

Cepat pulih.

Saya suka dengan kedua kata ini. Cepat. Pulih.

Hal ini mengingatkan saya pada tokoh Logan alias Wolverine di film X-Men.

Logan adalah karakter komik fiksi X-Men asal Amerika. Wolverine adalah sebutan untuk Logan, sang mutan yang tajam indra hewannya, dan memiliki kemampuan regeneratif atau penyembuhan diri yang luar biasa.

Contohnya, Logan dapat segera pulih dari luka tembak dalam beberapa menit. Dia juga memiliki kekebalan virtual atas racun dan sebagian besar obat, serta resistensi atas penyakit. Dia bugar, sehat, kuat, panjang umur dan awet muda. Wolverine juga memiliki indra superhuman, yaitu kemampuan melihat hal-hal pada jarak yang jauh lebih besar dari manusia normal. Walaupun begitu, Logan bukanlah makhluk yang bisa hidup selamanya. Dia tetap bisa mati, oleh api atau asam.

Saya jadi cenderung membuat analogi sendiri, menganggap orang yang memiliki EQ tinggi, seperti Wolverine ini. Mereka cepat pulih dari luka, sehat dan bugar serta awet muda karena berjiwa positif, dan memiliki kemampuan melihat dengan cara pandang berbeda yang lebih luas dibanding orang kebanyakan.

Sering saya menemukan orang yang betah berlama-lama dalam kemarahan dan dendam serta menyalahkan orang lain atas masalah yang dimilikinya. Mungkin saya juga pernah seperti itu. Tanpa kita sadari, kondisi seperti itu tak baik bagi kesehatan kita, baik secara mental atau fisik. Dengan memaafkan orang lain, kita juga bisa melegakan diri kita sendiri, dan menciptakan kedamaian hati. Hidup dalam amarah atau dendam membuat kita hidup gusar dan tidak bahagia.

Seorang teman lama saya, yang baru bertemu lagi akhir-akhir ini, rupanya masih seperti itu. Dia masih menyimpan dendam pada seseorang yang menyakiti hatinya belasan tahun lalu. Ketika saya tanya mengapa, dia bilang tak bisa melupakan. Saya tanya lagi apa gunanya menyimpan dendam itu, apakah itu membuatnya lebih baik, dia tak bisa menjawab.

Saya tak mau menghakiminya. Apapun keputusannya, itu urusan dia pribadi. Tapi jika saya jadi dia, saya akan memilih untuk pulih dari rasa sakit, secepat saya bisa, dan maju terus, memikirkan hal-hal yang lebih berarti.

Bagaimana dengan anda?

*-*

Foto: Pixabay

 

 

Anda Ingin Menjadi Siapa

Jika bisa berubah wujud, anda ingin jadi seperti apa atau seperti siapa?

Sebagai hiburan yang kreatif, film X-Men menjadi salah satu genre film yang menjadi favorit saya. Dalam episode X-Men, First Class, ada beberapa percakapan yang menarik bagi saya pribadi.

Salah satunya adalah ucapan Magneto pada Mystique: “Kau ingin masyarakat menerimamu. Tapi kau bahkan tak bisa menerima dirimu sendiri!”

Magneto berkata demikian pada Mystique yang punya kemampuan berubah wujud. Aslinya Mystique berkulit kasar dan berwarna biru, dan bermata kuning, tapi dia memilih wujud seorang wanita cantik sempurna. Dia tak percaya diri dengan wujud aslinya yang aneh dan agak menakutkan.

Saya suka Mystique. Karakter mutan yang diperankan dengan akting yang cantik oleh Jennifer Lawrence ini bagi saya terlihat sungguh mengasyikkan. Bisa mengubah wujud dan suara dengan alami, menurut saya itu keren.

Jika berandai-andai bisa seperti Mystique, saya mungkin ingin mengubah wujud menjadi seperti Mariana Renata atau Rachel Weisz. (Keep on dreaming! kata hati saya, hahaha…)

Seperti Mystique, siapa yang tidak ingin penampilan menarik dan wajah yang cantik? Pun Mystique, ingin terlihat “normal” agar bisa diterima di lingkungan manusia. Sebab jangankan manusia, bagi lingkungan mutan pun dia lebih menarik dengan wujud manusia daripada wujud aslinya.

Siapa yang tak ingin terlihat enak dipandang hingga orang memuja dan memuji kita, atau menerima kita? Bahkan ada orang yang akan melakukan apa saja untuk diterima orang lain.

Apakah anda pernah mendengar bahwa belakangan ini kaum muda Korea cenderung berprinsip lebih baik bokek daripada jelek, sehingga mereka bela-belain melakukan operasi plastik? (Bukan hanya perempuan, juga laki-laki lho…)

Siapa yang tak ingin diterima. Itu adalah kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan untuk dianggap menjadi bagian dari sebuah komunitas.

Sesungguhnya hal itu bisa menjadi salah satu sumber masalah dalam hidup kita. Kerap terjadi, keinginan batiniah untuk diterima orang lain, membuat hidup kita semakin tidak bahagia dan melakukan hal yang membuat kita susah.

Segala cara mungkin akan ditempuh orang hanya untuk bisa diterima atau dianggap atau dihargai oleh orang lain. Tempo hari ada kenalan baru yang saya kira anak pejabat karena penampilan selalu wow, bahkan kadang memakai mutiara yang mewah.

Baru saya tahu kalau ternyata itu hanya tampilan artifisial. Sesungguhnya dia berasal dari keluarga yang bahkan belum bisa tinggal di rumah sendiri (bukan bermaksud menghakimi, saya hanya tak menyangka, dan saya justru jadi prihatin mendengarnya).

Dulu ada juga seorang rekan yang memang selalu rajin mentraktir semua orang dan rutin memberi bunga untuk semua wanita di kantor di hari Valentine. Mungkin itu hanya cara untuk menunjukkan bahwa dia ingin diterima dan dianggap istimewa.

So much for an acceptance.

Saya juga di waktu lalu pernah ada masa ketika saya mungkin merasa harus melakukan hal tersebut, tapi saya kemudian berhenti dan mengambil pelajaran. Bahwa itu sia-sia. Percuma. Itu adalah kesimpulan saya ketika saya berusaha untuk diterima dalam sebuah komunitas tapi kemudian saya harus melakukan yang bertentangan dengan prinsip.

Carilah orang yang bisa menerimamu apa adanya. Jika kau tak diterima, cari tempat lain, tapi jangan lupa introspeksi diri jangan sampai memang kita yang salah membawa diri hingga tidak diterima.

Seperti si Mystique, cara terbaik memang adalah menjadi diri sendiri dan menerima diri sendiri. Saya misalnya, menerima kenyataan bahwa saya bukan orang sanguin yang supel. Sampai sekarang, saya sadar, walau sudah terus berusaha belajar, saya masih seseorang yang belum lulus juga dari (contohnya) pelajaran “berbasa-basi”. Saya masih gagu jika mendadak bertemu dengan orang baru dan hanya bisa bertahan berbasa-basi di bawah lima menit kecuali orang itu bisa terus membawa percakapan. Itu sebabnya saya lebih memilih diam, daripada jadi canggung berhadapan dengan orang lain, atau malah jadi bikin masalah seperti salah komunikasi.

Ada ucapan orang bijak, kira-kira begini:

Jika anda harus membuktikan sesuatu pada orang lain agar diterima, mungkin justru itu saatnya anda harus pergi dari orang semacam itu.

Mengapa? Itu pertanda bahwa anda tak diterima apa adanya. Lebih baik mencari komunitas yang layak untuk anda dan anda layak untuk mereka.

Sebab menurut saya pribadi–bukan bermaksud skeptis–tak ada orang (hanya Tuhan) yang bisa menerima kita apa adanya. Kita harus lebih baik, mengubah diri kita lebih baik, itu salah satu cara untuk beradaptasi dengan lingkungan. Dengan berbuat baik pun belum tentu kita diterima, apalagi sebaliknya?

Tuhan mencintai kita apa adanya. Tapi saya yakin Tuhan juga ingin kita berubah makin hari makin baik hingga makin menjadi serupa seperti imejNya.

Jadi seperti si Mystique, mari terimalah diri kita apa adanya, tapi jangan berhenti di situ. Tapi, berusahalah berubah lebih baik lagi, lagi dan lagi. Sebab proses perubahan itu memang tak ada habisnya.

Jadi jika ada yang bilang: I love you just the way you are, ah yang bener!

🙂

*-*

Foto: Pixabay