Tag Archives: Tuhan

Jangan-Jangan, Tuhan Pun Kita Anggap Salah

Summum Ius Summa Iniuria. Istilah ini merupakan adagium dalam ilmu hukum yang terjemahan harafiahnya berarti “Keadilan tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi”.

Ujung dari sebuah penegakan hukum membuat satu pihak menganggapnya sebagai sebuah keadilan, namun di pihak lain justru merasa sebaliknya.

Tulisan ini tidak berbicara tentang keadilan, melainkan tentang perspektif. Ada perspektif lain yang berkembang dalam suatu kejadian, khususnya terkait dengan penegakan hukum. Tapi bukankah di luar pembicaraan tentang hukum hal yang sama terkait perspektif seringkali terjadi?

Saya teringat pembicaraan dengan seorang guru besar ilmu hukum yang mencoba menjelaskan teori das Ding an sich yang diusung Immanuel Kant secara sederhana.

Beliau menggambarkan tiga orang yang berdiri pada tiga tempat berbeda: di kaki gunung, di atas gunung, dan di balik gunung. Ketika ketiga orang tersebut diminta menyampaikan kebenaran mengenai pohon yang ada di dekat kaki gunung, orang pertama akan berkata ia yakin dan merasa benar bahwa ia melihat pohon yang cukup tinggi.

Orang kedua akan berkata yakin dan merasa benar bahwa pohon yang ia lihat itu pendek karena ia melihatnya dari atas gunung. Sedangkan orang ketiga berkata ia yakin dan merasa benar bahwa tidak ada pohon apa pun yang ia lihat, karena pandangannya memang terhalang gunung.

Gambaran tersebut pada dasarnya ingin menyampaikan bahwa tiap orang memiliki perspektif sendiri tentang apa yang ia yakini dan dianggap sebagai sebuah kebenaran.

Ketika masing-masing pihak bertemu dan menyampaikan pandangannya, serta mau menggali lebih dalam pandangan pihak lain, maka dapat dipastikan pengetahuan masing-masing pihak akan lebih berkembang. Sebaliknya, jika masing-masing pihak menyampaikan keyakinan dan anggapannya tanpa peduli terhadap pandangan pihak lain, maka dapat dipastikan potensi konflik akan muncul.

Dalam kenyataan sehari-hari, ketika diperhadapkan dengan pandangan lain yang kita anggap tidak benar, sebagai manusia kita justru sering tidak mau menerima pandangan orang lain. Bahkan mungkin cenderung menyalahkan pandangan lain tanpa mendengar apa yang diyakini orang tersebut.

Kita hanya menganggap diri kitalah yang benar, bahkan -jangan-jangan, kebenaran yang disampaikan oleh Tuhan pun kita anggap salah, karena tidak sesuai dengan keinginan atau harapan kita. Mungkin kita juga berpikir untuk mencari jalan agar orang lain yang berpandangan lain mengikuti keyakinan kita. Sehingga disadari atau tidak terjadi upaya pemaksaan kehendak, termasuk mungkin “memaksa” Tuhan melakukan apa yang kita inginkan.

Dalam perumpamaan yang disampaikan oleh Tuhan Yesus tentang orang-orang upahan di ladang anggur, pada dasarnya ingin menggambarkan hal yang sama (Matius 20:1-16).

Ketika sang majikan telah menyepakati upah yang diberikan, baik kepada pekerja yang mulai bekerja sejak pagi-pagi benar, pukul sembilan pagi, pukul dua belas, pukul tiga petang, dan pukul lima petang, dengan nilai upah sama yaitu satu dinar, para pekerja yang bekerja sejak pagi merasa tidak diperlakukan secara adil dan bersungut-sungut. Mereka merasa telah bekerja lebih lama dan berhak mendapat upah yang lebih tinggi.

Sedangkan sang majikan merasa yakin telah membahas dan menyepakati dengan para pekerja itu sebelumnya mengenai besaran upah yang akan mereka terima. Sehingga ia tidak merasa mengingkari janji kepada pekerja tersebut dan sudah berlaku adil.

Perumpamaan tersebut memang tidak berbicara mengenai jasa melainkan hak istimewa yang diberikan sama bagian kepada setiap orang yang mau menerimanya sebagai anugerah. Tiap orang mendapatkan anugerah yang sama sesuai dengan kesepakatan yang telah dicapai.

Tuhan tidak membedakan anugerah sebagai hak istimewa yang dapat diterima oleh orang-orang terdahulu dan sekarang. Maka jika Tuhan memberi anugerah kepada kita hari ini, bersyukurlah atas anugerah tersebut dan atas keadilan yang Ia nyatakan bagi kita.

Perspektif manusia yang terbatas tentu jauh berbeda jika dibandingkan dengan perspektif Tuhan yang tak terduga luasnya. Namun bukan tidak mungkin untuk memahami perspektif Tuhan.

Sekali lagi ini adalah anugerah. Memahami perspektif manusia mungkin jauh lebih mudah, terlebih jika kita melihatnya sebagai kesempatan untuk belajar memahami pemikiran, cara pandang, atau perspektif orang lain. Sehingga kita dapat menjadi lebih bijak manakala perbedaan berada di sekitar kita, bukan akhirnya hanya ada satu cara, yaitu memaksakan kehendak.

Foto: PetrFromMoravia/Pixabay