Tag Archives: tubuh

St. Eustorgio, Milan : Makam 3 Orang Majus

Setiap Natal, kisah tentang kelahiran bayi Yesus yang dikunjungi oleh tiga orang majus menjadi cerita yang seragam dilantunkan di gereja di seluruh dunia.

Namun apakah orang majus itu nyata? Siapakah mereka, dimana mereka sekarang?

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu memenuhi benak saya sampai suatu ketika calon suami saya (saat ini sudah menjadi suami) mengajak saya mengunjungi Basilica St. Eustorgio, sebuah gereja tua yang terletak di Piazza Sant’Eustorgio No.1, Milan.

Saya masih ingat, Januari 2009, hari itu awan mendung menggelayut, warna langit kelabu cenderung menyedihkan. Saya yang kala itu tengah mengunjungi Milan sebagai turis menjadi gundah, sebab cuaca kurang mendukung. Calon suami saya paham betul tidaklah nyaman berjalan-jalan di hari yang mendung.

Namun, ia mencoba menghibur saya dengan mengatakan : daripada gundah gulana karena cuaca kurang menggembirakan, mendingan kita jalan-jalan ke St. Eustorgio. Saya oke-oke saja, meskipun dalam hati bertanya-tanya memangnya ada apa di sana, nama gerejanya juga tampaknya kurang begitu “beken”.

Sambil berpayung kami berjalan kadang meloncat kecil menghindari genangan air. Kami membeli tiket kereta bawah tanah metropolitana sampai ke pusat kota Milan di Piazza Duomo.

Bersamaan dengan hentinya metropolitana, saya lihat orang-orang menghambur keluar dalam ritmik pacu jalan kaki yang sulit saya tandingi. Mereka terbiasa berjalan cepat. Keluar dari koridor bawah tanah, saya lihat orang orang mengembangkan payung, warna-warni alat pelindung tubuh dari percik air hujan itu menjadi dekorasi indah menghiasi pandangan mata sepanjang trotoar.

Hujan bulan Januari di Milan itu kejam sekali, suhu menukik sampai 3°C, calon suami saya berkata : untung saja suhu tidak turun sampai 0°C, karena pada suhu tersebut air hujan bisa berubah menjadi salju. “Oh” dalam hati, “sayang sekali, saya justru ingin melihat salju”.

Meskipun dingin menggigit, orang Milan lebih memilih berjalan kaki daripada menggunakan kendaraan pribadi. Terima kasih kepada pemerintah kota Milan bersama perusahaan daerah dan swasta yang bekerja sama membangun transportasi dalam kota serta juga kepada warga Milan yang rela menyisihkan 40% penghasilannya sebagai pagu pajak sehingga transportasi publiknya sangat memadai, nyaman, efektif dan efisien.

Dari sana kami melanjutkan perjalanan dengan trem. Tak lama, calon suami saya memencet bel untuk memberi tanda bahwa kami akan berhenti di perhentian yang akan datang. Trem tidak berhenti di sembarang tempat, ada semacam stanplat yang menandai dimana trem bisa berhenti.

Tiba di stanplat kami melompat saja, jalan sedikit kemudian oh, sebuah gereja berwarna terracotta dengan menara di belakangnya, tua namun indah. Calon suami saya kemudian menunjuk kepada menara gereja : “Kamu lihat itu di atas menara, ada semacam arah mata angin dengan hiasan bintang besar”. “Ya ya, aku bisa melihatnya, ” sahutku.

Oke, mari masuk ke dalam katanya sambil membuka pintu utama gereja. Aku turut masuk ke dalam, gelap. Beberapa berkas cahaya dari jendela di atas gedung memberikan sedikit sinar. Kulihat beberapa pengunjung tampak duduk di bangku-bangku, mereka terdiam, sunyi dalam pikiran masing-masing.

Aku berjalan agak ragu, kemudian di altar aku terpesona, sebuah salib berwarna keemasan, tampaknya memang dilapisi emas.

Ternyata bukan itu yang menjadi alasan calon suamiku membawaku ke tempat itu, ia menjentikkan tangannya padaku dan mengajakku berjalan ke arah kanan gedung. (Kebanyakan gereja di Eropa berbentuk salib, sehingga setelah gang yang panjang terhadap ruangan di sisi kiri dan sisi kanan yang juga kadang digunakan untuk misa kecil).

Ternyata di sebelah kanan ruangan terdapat sebuah bangunan aneh berwarna putih, semacam peti tetapi besar sekali. Apakah ini? Tanya saya padanya.

“Ini adalah makam tiga orang Majus, beberapa bagian tubuh ketiga orang majus ini dimakamkan di sini,” ujarnya.

Saya terpana, terharu dan tak menyangka. Di Milan ternyata ada makam tiga orang Majus! Jadi cerita Alkitab yang selalu bergaung setiap Natal di gereja itu, benar adanya, bukan fiksi, bukan sekedar kisah yang indah untuk dijadikan produksi drama di gereja.

Dalam hati saya berteriak, “Oh mereka eksis! Tiga orang tokoh pintar yang hebat, penuh dedikasi dan melakukan perjalanan jauh karena jeli melihat kuasa Tuhan saat berbicara melalui alam semesta pada dua ribu tahun lalu itu ada! Oh, saya lega sekali!”

Pada salah satu kolom terlihat semacam relief yang menggambarkan lembu yang sedang mengangkut peti mati dari batu (sarcopagus). Ahli sejarah menyebutkan, lembu tersebut dikemudikan oleh Santo Eustorgio yang membawa peti mati ketiga orang Majus tadi dari Constantinopel.

Berdasarkan literatur pada abad ke tiga setelah masehi, atau sekitar 300 tahun setelah Yesus wafat, Ratu Helena yang adalah bunda dari Kaisar Konstantin dari Konstantinopel pernah berziarah ke Yerusalem pada dan mengumpulkan tulang-belulang para orang Majus.

Kabarnya ketiga orang Majus ini turut berjalan ke Golgota dan menyaksikan penyaliban Yesus, mereka kemudian menetap disana dan meninggal di sana. Itulah mengapa Ratu Helena bisa mendapatkan tulang-belulang ketiga orang Majus.

Konstantin sang putera, kemudian menyerahkan hasil pengumpulan bundanya tersebut kepada Eustorgio saat ia berkunjung ke Konstantinopel sebelum menjabat sebagai Uskup Milan, sekitar tahun 344 Masehi.

Eustorgio kemudian membawa hadiah berupa peti mati berisi tulang-belulang tiga orang Majus dari Konstantinopel tersebut dengan menggunakan lembu. Setelah memasuki kawasan pintu Gerbang Milan yang bernama Porta Ticinese, lembu tidak dapat bergerak karena terjebak lumpur.

Eustorgio menyatakan, inilah tempat dimana Tuhan berkenan dan kemudian ia menempatkan sarcopagus dan membangun gereja di lokasi tersebut, hingga kini gereja tersebut dinamai sesuai nama sang Uskup.

Sayangnya delapan abad kemudian atau pada tahun 1164, kota Milan diserang oleh pasukan Frederick I Barbarosa dari Jerman yang merampas juga sarkopagus ketiga orang majus tersebut dan menyerahkannya kepada Rainald von Dassel di Cologne, Jerman. Semua usaha untuk mengembalikan peti mati dan kerangka ketiga orang majus tersebut gagal.

Baru pada tahun 1904, Kardinal Ferrari, archbishop Milan kemudian berhasil memboyong sebagian dari kerangka ketiga orang majus, yaitu masing masing bagian fibula (tulang di bagian betis), tibia (tulang kering) dan vertebrata (tulang punggung) yang diserahkan oleh archbishop Cologne Mgr. Fischer pada sebuah pesta epifani yang masih terus dirayakan hingga sekarang.

Keluar dari gereja tersebut, sekali lagi aku memandangi menara gereja. Di ujung menara tersebut bukan bentuk salib yang saya lihat melainkan sebentuk bidang berujung delapan, sebuah simbol yang mengingatkan kembali pada bintang yang diikuti oleh para orang majus.

Ah, suatu saat saya juga ingin ke Cologne, Jerman dan melihat juga sebagian peninggalan ketiga tokoh luar bisa tersebut.

*Referensi tambahan : Secret Milan, Massimo Polidoro, Jonglez Publishing, 2012.

Rieska Wulandari

Catatan: Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di

http://www.kompasiana.com/rieskawulandari/st-eustorgio-milan-makam-3-orang-majus_552a6154f17e61a504d623c0

Penulis adalah lulusan jurusan jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom), Universitas Padjajaran dan menetap di Italia.

Foto: museomilano.it

Dwayne Jones:  Kuasa Mayoritas itu!

Ada ribuan waria tua terlunta-lunta, demikian sari berita yang saya baca pada suatu pagi di koran langganan. Informasi tersebut disampaikan Ketua FKWI (Forum Komunikasi Waria Indonesia). Bagi banyak orang yang tahu atau setidaknya ikut membaca berita tersebut, mungkin tak ada pentingnya kabar tersebut–apalagi dipikirkan.

Apa faedahnya membicarakan waria? Bukankah mereka digolongkan manusia “salah cetak” yang tak berguna, malah bikin malu keluarga dan karenanya, umumnya diusir, tak diakui sebagai bagian dari anak, sanak-saudara, atau kerabat?

Bahkan penganut agama-agama dari “langit” atau Samawi menganggap mereka sejenis najis berlumur dosa, melawan kodrat, menyimpangi “kemauan” Tuhan, yang layak dimusnahkan; pembawa sial yang memalukan.

Jadilah mereka individu-individu yang tak pernah mereguk kemerdekaan, dikucilkan, objek olok-olok, meskipun keadaan mereka yang digolongkan transgender itu bukan karena pilihan–sebagaimana sering disalahpahami orang-orang yang merasa diri normal atau straight atau hetero.

Mereka ditepikan di satu dunia yang serbaterbatas, tak berkesempatan melakoni dan menikmati kehidupan sebagaimana orang-orang mayoritas yang merasa normal itu. Mereka adalah manusia-manusia aneh yang seolah tak punya hak sekadar menunjukkan diri yang sesungguhnya, dan mungkin telah dilupakan para petugas pencacah jiwa.

Siapakah yang sudi peduli memikirkan jiwa-jiwa yang dianggap cacat dan memalukan itu? Siapakah yang memberi mereka tumpangan dan makanan ketika mereka tak lagi bertenaga mengais recehan di pelosok-pelosok kota yang ganas dan kejam?

Adakah yang menangisi saat nyawa mereka pupus di gubuk-gubuk kumuh? Adakah yang berupaya mencegah atau menunda kematian mereka?

Barangkali, di situlah dipertegas apa yang disebut absurditas. Dalam detik-detik pertarungan melawan jemputan maut, entah apa yang memenuhi pikiran mereka. Kepasrahan? Keinginan segera mati, atau…?

Tentu perasaan dan pikiran mereka pun sama halnya dengan orang-orang mayoritas itu. Ada ketakutan yang tak terkira karena tak siap meninggalkan dunia ini meski diketahui kefanaannya. Kendati realitas yang dihadapi sepanjang hidup, amat kejam, termasuk rasa sepi yang menikam-nikam dan pedihnya menjadi orang yang dibuang.

Pengisi dunia ini memang sering berbuat kejam pada penyandang status minoritas (dalam pelbagai hal). Norma-norma yang menjadi anutan umum yang diyakini oleh kalangan terbanyak sebagai “kebenaran,” bisa menjadi pedang yang setiap saat menebas leher mereka tanpa kesempatan mengajukan pleidoi berdasarkan nurani dan akal sehat.

Kaum mayoritas selalu merasa diri paling benar dan paling berwenang menentukan apapun, termasuk hal-hal pribadi yang amat pelik dan sulit diuraikan dengan logika.

Bukankah manusia dan problematika yang mengitari tak selalu bisa dijelaskan dengan pikiran-pikiran rasional?

Itu pulalah salah satu kelemahan asas demokrasi yang menyanjung suara terbanyak, sebab mayoritas suara tak berarti cerminan atau pemenuhan rasa keadilan (sense of justice) yang berlaku umum, diterima semua orang. Para mayoritas malah kerap mengenyampingkan suara-suara tersembunyi yang sunyi, dibungkam ketidakberdayaan, dan itu menyimpan kepedihan.

***
Di negerinya Dwayne Jones, Jamaica, ada satu hukum yang berlaku tegas dan sebetulnya dimaksudkan untuk menciptakan masyarakat beradab: seks anal dilarang! Tetapi, entah ditujukan kepada satu golongan atau tidak, hukum tersebut langsung menuding kaum transgender dan gay.

Dwayne, remaja dari keluarga miskin dan besar di lingkungan kumuh pantai utara Montego Bay, lahir dengan kecenderungan atau orientasi seksual yang dianggap tak lazim. Ia lelaki namun merasa dirinya perempuan.

Fakta tersebut membuat ayahnya gusar dan geram, lalu sering menyiksa remaja yang pandai menari itu. Dwayne dianggap aib yang memalukan keluarga hingga harus disiksa demi mengembalikan kelelakiannya. Ayahnya tak juga percaya bahwa menjadi transgender bukan kemauan anaknya.

Segala cara kekerasan yang dilakukan untuk “menormalkan” Dwayne sia-sia, dan karena tak tahan terus disiksa, remaja yang “mendua jiwa” itupun kabur dari rumah orangtuanya.

Dia memilih tinggal di pemukiman sekaumnya, di lingkungan yang sama kumuhnya. Orang-orang yang terbuang dan dibenci para mayoritas yang merasa normal!

Malam itu, dengan polos, ia bercerita pada satu sahabat wanitanya bahwa dirinya baru menghadiri pesta para straight namun saat itu dia tampil dengan busana perempuan, dan pengakuannya, itulah penampilannya pertama kali sebagai “wanita” di tempat orang normal, para mayoritas itu.

Pengakuannya lagi, ia menari bagus dan kemudian diganjar pujian. Dengan bangga ia tuturkan, wajahnya membersitkan kegembiraan.

Kawannya itu mendengar setengah tak percaya, namun kemudian memberitahukan pengakuan Dwayne tersebut pada lelaki-lekaki seumurannya.

Mereka lalu mendatangi Dwayne, menginterogasi, mengusut keaslian kelaminnya, kemudian menghujami remaja yang terbuang itu dengan pukulan, tendangan, bahkan tikaman, hingga babak belur dan telentang di tepi jalan yang remang itu.

Kawanan orang muda yang marah itu meninggalkan Dwayne dengan perasaan puas. Mereka tak peduli bahwa korban mereka akhirnya mengembuskan nafas terakhir di tepi jalan yang muram itu.

Dwayne mereka matikan untuk menebus “dosanya,” dan para pelaku penganiayaan merasa layak melakukan; para mayoritas yang merasa berotoritas menghukum siapa saja yang dianggap tak sama, menyimpang,  melanggar hukum buatan Tuhan.

Mereka terlahir dengan orientasi seksual yang dianggap jamak, normal. Mereka beruntung tak seperti Dwayne. Mereka lakukan perbuatan biadab tersebut yang menurut pikiran dan keyakinan mereka, demi keberadaban yang berasal dari norma-norma hukum, juga agama-kepercayaan yang mereka yakini.

Mereka tidak mau tahu problema apa sesungguhnya yang mendera Dwayne sejak menyadari kelainan hormon dan arah seksualitasnya. Mereka tak mau berpikir sejenak bahwa manusia bisa berbeda karena disengaja atau karena kesadaran, pilihan, atau telah koheren dalam diri seseorang.

Mereka merasa paling benar dan dengan kuasa mayoritas boleh melakukan apa saja, termasuk menghentikan hak hidup orang lain yang tak sama. Kuasa mayoritas  telah mencabut nyawa lelaki belia yang malang itu, meskipun tak melakukan kejahatan yang merugikan sesiapa. Hanya karena ia dianggap menyimpang dan jumlahnya sedikit.

5 Organ Manusia yang Belum Tahu Apa Gunanya

Coba perhatikan tubuhmu dan organ-organnya. Setidaknya ada lima bagian tubuh atau organ, yang sampai saat ini belum bisa dipastikan benar apa sebetulnya gunanya bagi tubuh kita.

Para ilmuwan memiliki penjelasan ilmiah bagaimana bagian tubuh atau organ itu ada. Tapi fungsi atau gunanya, sampai saat ini masih jadi tanda tanya. Lantas buat apa Tuhan menciptakannya?

Apa saja organ atau bagian tubuh itu? Simak yuk:

#Pertama, puting lelaki

Pernahkah kita bertanya, untuk apa lelaki punya puting, toh tak bisa dipakai untuk menyusui? Pertanyaan yang sama juga sudah ditanyakan oleh Charles Darwin lho.

Idenya Darwin, dulu lelaki dan perempuan sama-sama bisa menyusui. Tapi lelaki kemudian mengalami kesulitan karena tak terlalu bisa membesarkan keturunannya, berbeda dengan perempuan.

Tapi, menurut ilmuwan, alasannya lebih pada masalah pertumbuhan.

Saat embrio tumbuh dalam rahim, kalau tak ada gangguan, embrio akan jadi perempuan. Pada pekan keempat, jalur susu tumbuh berupa jaringan tipis dari ketiak ke dada dan kemudian membentuk dua puting.

Nah, kalau tiba-tiba kromosom Y muncul, embrio pun menjadi lelaki dengan menghasilkan faktor-faktor yang menghambat perkembangan stuktur perempuan. Termasuk menghambat jalur susu tadi.

Perbedaan kelamin terlihat pada pekan ketujuh, di mana gonad (kelenjar kelamin) mulai berubah, jadi testis atau ovarium. Jadi, puting sudah muncul sebelum jenis kelamin embrio dipastikan.

#Kedua, usus buntu

Usus buntu atau disebut juga appendix adalah kantung kecil yang menempel ke usus halus manusia. Kantung ini sama sekali tak berperan pada urusan pencernaan manusia. Faktanya, 1 dari 20 manusia harus dioperasi karena usus buntunya meradang.

Berbeda dengan vertebrata pemakan tumbuhan, appendix mereka berperan dalam sistem pencernaan.

Ada anggapan bernada bercanda yang mengatakan, usus buntu itu diciptakan Tuhan hanya supaya dokter bedah selalu punya pekerjaan.

Tapi, setidaknya sebuah penelitian pada 2009 menemukan bahwa usus buntu sepertinya berguna untuk menyimpan bakteri-bakteri yang berguna bagi tubuh manusia. Bakteri ini mencegah kita mengalami diare.

#Ketiga, tulang ekor
Kita juga punya tulang ekor, tapi ke mana ekornya? Kalau menurut teori evolusi, nenek moyang manusia itu adalah makhluk berekor. Ekor pada mamalia berguna untuk keseimbangan. Tapi lantaran manusia sudah berjalan, ekor tak diperlukan lagi. Evolusi kemudian menyatukannya jadi bagian tulang punggung yang kemudian disebut coccyx.

#Keempat, arrector pili dan bulu rambut

Di pangkal rambut dan bulu kita ada yang namanya otot arrector pili, yang biasanya aktif saat kita mengalami ketakutan atau kedinginan. Biasa disebut juga merinding.

Tapi apa kegunaan arrector pili dan bulu rambut bagi manusia sendiri masih jadi tanda tanya bagi para ilmuwan.

Kalau pada hewan mamalia jelas, arrector pili dan bulu gunanya untuk penyumbatan udara dan panas tubuh, sehingga dia tak kedinginan. Saat bulu hewan berdiri, itu juga berguna untuk pertahanan diri dari predator, untuk menakut-nakuti.

Tapi pada manusia? Merinding tak membuat panas tubuh atau udara dalam tubuh tersumbat, kan? Sebab bulu rambut kita terlalu kecil dan terlalu sedikit. Apalagi kalau kita gemar mencukurnya, seperti bulu ketiak dan bulu tangan atau kaki.

#Kelima, gigi geraham bungsu

Dikenal juga dengan istilah wisdom teeth alias gigi kebijaksanaan. Bukan berarti saat gigi geraham ini tumbuh, kebijaksanaan kita muncul lho ya. Hanya, gigi ini memang tumbuh pada saat manusia berusia 17-25 tahun, ketika manusia sudah memiliki hikmat.

Nah, pada saat tumbuh, gigi ini bisa menyebabkan sakit sehingga banyak yang datang ke dokter gigi dan mencabutnya. Setelah dicabut, biasa saja tuh. Aktivitas makan juga aman. Lantas apa gunanya?

Ilmuwan menduga, awalnya gigi yang tumbuh paling akhir (dan berbeda-beda waktunya pada tiap-tiap orang) ini punya fungsi, meski belum diketahui apa. Masalahnya, seiring waktu evolusi, rahang manusia mengecil dan gigi bungsu ini tak punya tempat untuk tumbuh. Seringkali saat ia datang, hanya akan menimbulkan rasa sakit.

Atau, jangan-jangan, gigi ini diciptakan supaya dokter gigi punya kerjaan. Hehehe.

Foto ilustrasi geralt/Pixabay

“Diet or Die”

Langsing lebih membawa keuntungan untuk perempuan daripada gemuk, itu fakta. Perempuan langsing lebih disukai laki-laki pada umumnya, lebih gampang cari baju, lebih populer..

***

Materi kuliah hari ini tentang tubuh perempuan dalam komik “Shiboo to iu na no fuku wo kite”(In Clothes Called Fat) karya Anno Moyoko.

Langsing lebih membawa keuntungan untuk perempuan daripada gemuk, itu fakta. Perempuan langsing lebih disukai laki-laki pada umumnya, lebih gampang cari baju, lebih populer (cheerleaders di sekolah-sekolah rata-rata murid perempuan yang cantik kan, dan tubuhnya langsing).

diet-or-die-rouli

Sama seperti pemutih kulit, sudah tak terhitung program pelangsingan tubuh yang ditawarkan di iklan-iklan, testimoni dari orang-orang yang sudah mencoba, dengan foto before dan after programnya.

Sekali lagi, saya bukan antidiet, atau antilangsing. Engga sama sekali. Kita juga tahu, bahwa gemuk itu tidak bagus, risiko kena banyak penyakit, seperti diabetes, darah tinggi, jantung, dan sebagainya. Kalau terlalu gemuk, gerak pun jadi lamban, jalan sedikit capek, stamina juga gampang drop. Gaya hidup sehat dengan tubuh ideal, jelas itu sebuah hal yang positif.

Tapi…..

Pertama. Bukankah di kelas, biasanya yang diledek itu orang gemuk, misalnya dibilang, “hai, gendut!” atau “dasar gajah lu!”, “big baboon lu!”? Kata-kata ini semua bernada negatif, tidak membangun.

Kedua. “Saya olahraga supaya sehat.” Oke, ini sebuah sikap yang sangat positif. Tetapi, apakah semua orang, terutama perempuan, berolahraga semata-mata supaya sehat?

Saya rasa, banyak yang motif berolahraganya karena ingin memiliki tubuh idaman, yaitu tubuh yang langsing, dan bukan hanya sekedar langsing, tapi juga kencang, padat, dan berisi di bagian-bagian tertentu. Sekali lagi, ingin punya tubuh langsing tidak salah, tapi sudah mulai tidak sehat, jika kita akhirnya terobsesi harus langsing.

Ketiga. Pernah engga, kita–kaum perempuan–terintimidasi karena lihat penampilan teman kita yang lebih keren, cantik, dan langsing? Atau merasa inferior karena ketika cari baju, baik baju luaran atau baju dalam, tidak ada ukuran yang pas, karena tidak muat di tubuh kita? Terutama untuk baju dalam, saya perhatikan, baju dalam dengan model lucu-lucu dan “warna perempuan”, pada umumnya menyediakan ukuran standar saja.

Yang big size biasanya warnanya membosankan (warna basic yang serius seperti krem, putih, hitam, biru donker), modelnya juga out of date, dan biasanya harganya agak lebih mahal.

Di dalam komik ini, dibahas tentang seorang perempuan usia 20-an yang di-bully karena tubuhnya yang gemuk, dan bagaimana perempuan ini akhirnya mati-matian diet sampai terkena bulimia, karena merasa bahwa tubuh langsing adalah kunci kebahagiaan.

Kelihatannya hiperbola, dan mungkin kita berpikir, “ahhhh itu kan cerita doang, engga mungkin saya begitu”. Tapi kenyataannya: nilai perempuan hingga saat ini, sayangnya….pada umumnya ditentukan oleh kecantikan (termasuk tubuh yang langsing) dan kemudaannya.

Hari ini, di kelas, mahasiswa presentasi tentang pembacaan komik ini, dan masing-masing kelompok saling memberi pertanyaan. Satu pertanyaan yang menarik : “Kalau kalian, lebih ingin jadi Noko (tokoh utama, perempuan gemuk yang bulimia) atau Mayumi (tokoh antagonis, perempuan langsing yang ngebully tokoh utama)?”

Yang lebih menarik lagi adalah jawaban yang diberikan para mahasiswa ini. Kebanyakan dari mereka, bilang begini:

“Saya ngga mau jadi Noko atau Mayumi. Menurut saya, yang penting itu bukan fisik perempuan itu gemuk atau langsing. Yang paling penting adalah bagaimana saya sebagai perempuan berani mengungkapkan pikiran dan pendapat saya.” Jawaban yang luar biasa!

Pembahasan mengenai tubuh perempuan (dan laki-laki) masih akan berlanjut pada minggu-minggu berikut. Ini sebenarnya “hanya” kelas kajian budaya dan masyarakat Jepang, tapi saya berharap, setelah mereka mengikuti kelas ini, mahasiswa-mahasiswa saya menjadi perempuan-perempuan yang percaya diri, berani mengemukakan pendapat, dan berani punya sikap, termasuk punya persepsi positif mengenai tubuh mereka (kebetulan kelas ini isinya perempuan semua).

Marilah kita semua berhenti bersikap dangkal: menilai orang hanya dari tampilan fisiknya, terutama tampilan fisik perempuan. Dan…stop ejekan, ledekan, candaan yang meledek fisik orang. Please, itu sungguh tidak manusiawi.

Rouli Esther Pasaribu

Penulis adalah pengajar paruh waktu di Program Pascasarja Kajian Wilayah Jepang UI.

Foto: Pixabay

Foto Buku: http://books.bunshun.jp/ud/book/num/9784167777012

“Mager”? Sakit Jantung Mengintai

“Gue lagi mager! Jadi gue pesan makanan aja deh pakai GoFood. Gue makan dalam kantor aja.”

Rasanya makin sering kita dengar kalimat-kalimat seperti itu. Teknologi yang “gila-gilaan” memanjakan kita juga bikin mager atau males gerak ini jadi makin absah. Kita mau makan ada GoFood (atau aplikasi lain, kebetulan yang saya ingat cuma yang ini), tinggal klak-klik di smartphone, bayar secara digital, selesai. Enggak lama, makanan datang ke meja kantormu tanpa kau mesti bergerak keluar ruangan.

Kita mau kirim uang, nggak usah repot-repot ke ATM, apalagi ke bank, tinggal jalankan aplikasi SMS Banking, kirim ke rekening dituju, selesai.

Bahkan mau beli baju aja enggak perlu jalan ke mall lagi, padahal muter-muter di mall biasanya jadi “pembelaan” para ibu buat bergerak. “Jalan muter-muter di mall itu menghabiskan banyak kalori loh, olah raga juga kan?” begitu biasa terdengar.

Bagi para ibu mungkin olah raga, bagi kebanyakan bapak-bapak jangan-jangan masuk kategori “olah jiwa”, karena harus mengolah emosi dan tingkat kesadaran tinggi melihat serapan anggaran rumah tangga tanpa hambatan alias anggaran belanja membengkak.

Nah, mager ini sekarang menjadi salah satu penyebab makin banyak orang terkena penyakit jantung dan masalah pembuluh darah.

Mager menjadi salah satu yang faktor menimbulkan penyakit jantung. Sebanyak 26,1 persen orang Indonesia yang malas gerak alias malas berolah raga, bahkan malas untuk sekadar jalan kaki. Ini salah satu penyebab risiko terkena penyakit jantung meningkat,” kata Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI Dr Lily S Sulistyowati MM saat menjadi pembicara talkshow Power Your Life di Jakarta, Kamis (22/9). Talkshow ini sendiri dalam rangka menyambut Hari Jantung Sedunia yang jatuh pada 29 September 2016.

“Ini juga yang menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit jantung koroner (PJK) pada orang-orang di usia produktif. Jadi jangan heran kalau kita dengar sekarang, orang masih muda tapi meninggal karena serangan jantung,” kata Lily lagi.

Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang diolah Kementerian Kesehatan memperlihatkan penyakit jantung koroner mengidap penduduk usia 35-44 tahun dengan prevalensi sekitar 1,3 persen, dan 2,1 persen untuk usia 45-54 tahun.

Beberapa penyebab lain juga membuat orang terkena penyakit jantung dan masalah pembuluh darah. Sebanyak 36 persen penduduk usia di atas 15 tahun merokok, 93,5 persen penduduk kurang konsumsi buah dan sayur, dan 4,6 persen penduduk minum minuman beralkohol.

“Semua data di atas menunjukkan besarnya potensi orang terkena penyakit jantung koroner,” kata Lily.

Berdasarkan data Sample Registration System (SRS) Indonesia 2014, stroke memegang penyebab tertinggi kematian di Indonesia. Stroke mendominasi sebanyak 21.1 persen penyebab kematian, diikuti dengan penyakit jantung dan pembuluh darah sebanyak 12,9 persen, setelah itu tercatat komplikasi Diabetes Melitus sebanyak 6,7 persen.

Dua penyakit tertinggi yang menyebabkan orang Indonesia meninggal seputar sakit jantung.

Nah, seram juga kan akibat dari mager? Kena sakit jantung, tentu bukan ancaman yang main-main.

Ingat firman Tuhan di 1 Korintus 6:19-20:

Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, — dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!

Pelihara tubuh kita, karena Allah bekerja lewat tubuh ini. Nama-Nya akan dimuliakan saat kita juga menjaga tubuh ini agar tetap sehat.

Untuk memerangi mager, ternyata enggak perlu kita harus nge-gym atau ikut program lari dengan target ikut London Marathon kok.

“Lakukan aktivitas fisik , minimal 30 menit, dan 5 kali seminggu, tidak merokok, dan hindari stres,” kata Dr Lily. Simpel banget, enggak pakai ribet.

Kita bisa naik sepeda, jalan kaki ringan, berlari-lari dengan “si kecil”, dan sebagainya. Pokoknya aktivitas fisik dan cukup 30 menit.

Ayo bergerak! Dengan beraktivitas fisik, kita akan bebas dari sakit jantung dan pembuluh darah. Ini artinya, kita bisa bebas dari pembunuh nomor satu di Indonesia.