Tag Archives: tua

Menatap “Senja” dengan Berpikir Positif

 

Bagiku, Senja adalah kematangan dewasa

Pengalaman hidup yang utuh ranum dalam kemesraan anggun

Yang dapat menoleh kelampauan

dan terus melangkah di masa kini

mewujudkan panggilan Kristus yang tidak henti bergema

untuk mempersembahkan yang terbaik sampai titik akhir

sambil menatap penantian penuh kesejukan bersama Allah Bapa

 

Penggalan puisi ini dibacakan saat awal ibadah pada hari Minggu, 16 Oktober 2016. Saya beribadah di GPIB Nazareth saat itu, rupanya bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Keenam Persekutuan Kaum Lanjut Usia disingkat PKLU.

GPIB memang memiliki bidang-bidang pelayanan berdasarkan kategori dari anak-anak yang lebih sering disebut Persekutan Anak atau PA, lalu Persekutuan Teruna (PT), Persekutuan Kaum Bapak (PKB), Persekutuan Kaum Perempuan (PKP), dan kemudian PKLU ini yang merupakan kategori pelayanan buat para Oma dan Opa, atau jemaat dengan usia di atas 60 tahun.

Puisi yang dibacakan oleh seorang Oma di depan jemaat terasa indah sekali dan memberi optimisme yang besar. “Senja adalah kematangan dewasa”, kalimat ini jelas terasa memberi energi positif bagi yang membaca atau menyimaknya.

Bagi saya, puisi ini selain mendorong para Oma dan Opa untuk berpikir positif, lirik-lirik pada penggalan puisi ini seperti juga mendorong saya untuk berpikir positif terhadap para orang tua kita. Karena cuma kategori seperti merekalah “yang dapat menoleh kelampauan dan terus melangkah di masa kini”.

Kerentaan memang bisa jadi merupakan musuh utama yang melelahkan saat orang tua kita menjalani hari-hari mereka, namun pikiran positif membuat banyak orang tua terasa “lebih anak muda” daripada yang memang muda secara usia.

Sangat mengasyikkan melihat bagaimana seorang Oma di gerejaku begitu aktif dengan akun Facebook-nya. Rasanya, tak begitu banyak orang tua di atas 60 tahun mau bercapek-capek mempelajari bagaimana membuat akun di Facebook (mungkin dibuatkan, ok lah), lalu belajar posting status, atau nge-like postingan orang lain, atau malah nge-tag orang lain.

Status yang biasa tertera seperti ucapan selamat ulang tahun, atau forward kisah-kisah inspiratif. Sepanjang saya mengurut kegiatan Facebook si Oma, tak ada ujaran-ujaran negatif yang terlontar atau diteruskan.

Terasa sekali, asam garam kehidupan yang telah dilalui mempengaruhi kebijakan si Oma dalam aktivitas di media sosial. Kalau semua netizen begini, dijamin adem timeline kita, nggak gampang gaduh.

Berpikir positif ini jugalah yang saya sendiri sering terapkan saat menghadapi orang tua tercinta, Oma dan Opa dari anak-anak saya. “Mama pengen makan di sini deh”, “Mama dah lama nggak jalan ke mal ini”, “Mama diajakin nonton dong kayaknya ada film bagus tuh di bioskop”, nah loh?! Banyak amat maunya.

“Ayo ma..kita jalanin semua, ok aja. Seru pasti.”

“Hehe, enggaklah. Mama enggak kuat lah ngejalanin semua kepengen mama sekaligus. Mama cuma pengen ngobrol-ngobrol aja.”

Kalau sudah begini, semua diselesaikan secara adat di tempat nongkrong warung roti bakar di pinggir jalan utama kompleks rumah. Saya, istri, anak-anak, dan Oma tentunya, ngobrol ngalor-ngidul sambil menyeruput teh tarik atau cappuccino ala warung kopi itu. Biasanya malam, pukul 20.00 WIB, dan sampai waktu yang tidak ditentukan.

Kebanyakan orang tua cuma ingin yang simpel saja, didengar apa yang dia katakan, dan mendengarkan perkembangan apa yang telah terjadi pada orang-orang yang dikasihinya.

Bayangkan kalau saya sedang hilang kesadaran dan langsung berpikir negatif “Ngapain sih ma pengen macem-macem gitu?! Aneh-aneh aja ah!” Jawaban aura negatif seperti ini pasti langsung mengaburkan niat sebenarnya, dan dampaknya rasa sedih pasti akan menyelubungi hati orang tua dan tentu perasaan kita jadi galau juga. Tak ada yang diuntungkan, malah luka dan duka yang ditimbulkan.

Pada saatnya, saya–jika Allah berkenan–akan masuk “kategori PKLU” juga. Dambaan saya, semua berjalan seperti kisah Musa mempersiapkan Yosua.

Musa menjadi rujukan dalam setiap langkah orang muda seperti Yosua. Namun, Yosua-lah yang meraih masa di depannya, karena Musa tidak diperkenankan memasuki tanah perjanjian, Kanaan. Musa hanya diperbolehkan menatap tanah perjanjian, Yosua yang memasukinya (Ulangan 34).

Jadi, masih dalam rangka berpikir positif, sebagai orang tua saya wajib mempersiapkan kehidupan anak-anak saya sebagai generasi selanjutnya. Dan, saya akan menatap mereka meraih impian mereka, sebuah “tanah perjanjian” yang disiapkan Allah.

Tua di Jalan? (Tips menikmati kemacetan)

Bosan deh hidup di Jakarta, tua di jalan. Begitu seorang rekan saya pernah mengeluh.

Bagaimana tidak. Dia menghabiskan sekitar enam jam tiap hari untuk perjalanan pulang-pergi ke kantor, dari Bekasi ke Jakarta, karena kemacetan. Tanpa kita sadari, Jakarta telah menempa warga yang tangguh, bisa bertahan melewati kemacetan dan polusi tinggi. Setiap hari kejadian yang sama berulang kembali, tak ada habisnya. Tak ada kapoknya! Jakarta dengan daya pukau yang luar biasa, telah membuat siapa saja rela jatuh bangun mengejarnya (seperti lagu dangdut deh).

Dan rekan saya itu tidak sendirian. Saya sendiri yang hanya perjalanan dalam kota, bisa tiga sampai empat jam di jalan untuk pulang-pergi bekerja. Itu artinya 4/24 jam atau 1/6 waktu saya terbuang di jalan tiap hari.

Empat jam terbuang di jalan? Sayang sekali. Empat jam itu bukan waktu yang sedikit. Kalau dipikir-pikir, empat jam itu juga adalah jarak tempuh Jakarta-Brebes, atau bolak-balik Jakarta-Bandung. Empat jam itu adalah separuh dari total jam kerja saya di kantor sehari. Empat jam itu dokter sudah bisa melakukan dua kali operasi bedah. Dalam empat jam saya sudah bisa melakukan satu paket komplit perawatan di salon (hehe…).

Nah, dalam kemacetan perjalanan selama empat jam, apa yang bisa kita lakukan?

  1. Membaca

Anda mungkin bisa membuka ponsel atau gadget, membaca berita terkini, mencari bacaan hiburan, informasi terbaru terkait pekerjaan, mencari bacaan tentang ide penghasilan tambahan, atau sekedar mencari resep masakan, dan sebagainya. Dalam empat jam anda bisa selesai membaca sebuah buku yang tipis. Beberapa buku atau novel tebal yang saya beli, kebanyakan habis saya baca beberapa hari dalam perjalanan ke kantor. Sebagai seorang ibu, saya tak punya waktu luang sebanyak itu di rumah. Pernah juga saya di jalan membantu PR anak saya dengan browsing internet. Teman saya bahkan tiap pagi menggunakan jam di jalan untuk membaca kitab suci dan merenungkan prinsip hidupnya.

2. Mendengarkan musik atau menonton via gadget

Bagi anda yang bisa mengakses internet, hiburan melalui media elektronik akan lumayan mengendurkan kepenatan. Favorit saya adalah mendengarkan radio yang penyiarnya humoris dan informatif. Tertawa adalah obat mujarab yang membuat sehat dan awet muda. Lagu dari radio atau youtube, atau film dari streaming bisa membuat kita lupa akan kemacetan. Teman saya penggemar drama pop, dalam empat jam bisa menonton beberapa season drama serial sekaligus!

3. Menulis

Memang tidak semua orang suka menulis. Padahal sekedar menumpahkan isi hati dalam bentuk tulisan bisa mengurangi beban psikologis lho, seperti menulis buku harian. Saat macet, mungkin kita bisa mengetik curhatan kita di ponsel (beberapa ponsel memiliki fitur notes). Bagi yang suka menulis blog atau jurnal, satu atau dua topik singkat bisa ditulis dalam empat jam ini.

4. Berbincang dalam komunitas online

Saya mengikuti beberapa grup online, dan ketika jam macet adalah saat paling tepat untuk bisa turut berbincang di sana, baik untuk saling berbagi info, atau sekedar saling bercanda. Mungkin anda juga punya grup chat yang anggotanya seperti teman-teman ‘gila’ saya. Sore-sore dalam kemacetan, akan terasa betapa nikmatnya saling mencela tanpa rasa sakit hati, dan penuh dengan tawa.

5. Berbincang dengan teman seperjalanan

Selain bercanda dengan teman-teman di media sosial atau grup chat, mungkin tak ada salahnya berbincang dengan orang di sebelah anda. Baik supir taksi, teman penumpang bus atau bahkan kenek. Saya pernah dapat nomor yayasan babysitter dari sopir taksi, tahu tentang tempat belanja murah-meriah dari sesama penumpang bus, dan tahu tempat makanan enak dari kenek. Berbincang dengan orang asing ini bisa juga ternyata menambah wawasan dan memperkental sentuhan kemanusiaan di tengah era digital ini. Saya pernah dapat supir taksi teladan yang selalu diutus membawa delegasi tamu pejabat asing (termasuk waktu KTT di Bali tahun lalu yang juga dihadiri kantor saya). Juga supir yang mengaku pernah ikut melakukan pembangunan galian lubang rahasia di salah satu pulau di Indonesia. Kisah yang wow!

6. Menikmati sekitar

Macet itu penuh cerita. Ada saja anak-anak sekolah yang selalu gaduh bergurau di angkutan umum. Dari mulai saling mencela ukuran badan sampai membawa-bawa nama Ahok untuk dijadikan tempat melaporkan pelecehan.  Saya suka senyum-senyum sendiri melihat mereka, bagai mengingat masa lalu.

Saya juga suka memandangi iklan di baliho di pinggir jalan. Kadang kita bisa terinspirasi oleh bintang iklannya yang cantik. Dengan iseng saya juga kadang cuci mata menghitung kenderaan mewah yang jarang terlihat.

Tetapi, yang paling mengesankan bagi saya adalah, suatu pagi ketika berangkat ke kantor, pernah ada penumpang bus patas di sebelah saya, seorang ibu bekerja, sedang merajut sweater di dalam bus. Betapa sebuah kreatifitas tanpa batas! Saya kagum. Warga Jakarta memang luar biasa! Warga Jakarta yang tahan banting!

7. Membawa cemilan

Jika memungkinkan, bawalah cemilan kecil di dalam tas. Sebagai pengusir lapar dan jenuh, makanan kecil berupa permen karet, kacang, biskuit, coklat atau keripik bisa membuat anda lebih kebal pada kemacetan.

Berapa jam waktu yang anda miliki untuk diri sendiri (me time) setiap hari, di luar jam kerja, jam mengurus rumah/anak-anak, jam kuliah/belajar? Mungkin seperti saya, tak pernah lebih dari empat jam. Waktu di jalan lebih banyak daripada me time di rumah. Ironis bukan? Jadi, daripada jadi tua di jalan, mengapa tidak menjadikan jam macet ini sebagai me time yang efektif?

Ayo, warga Jakarta, tetap semangat!

🙂

-*-