Tag Archives: Sekolah Minggu

Benci Eric Clapton, Pengampunan dari Samarinda

Ya, benar. Saya benci Eric Clapton, bukan orangnya sih tapi lagunya. Dan bukan semua lagu juga, tapi–ini dia sumber masalahnya–lagu terbaik yang pernah dia ciptakan: “Tears in Heaven”.

Semenjak anakku si putri hadir pada 2007 lalu, semenjak itulah, sampai sekarang, 2016, saya tetap benci lagu ini. Masalahnya, lagu ini diputar di mana-mana. Dari pertama kali keluar tahun 1992, sampai saat ini, saya sering mendengar lagu ini diputar di mal-mal dan di kafe-kafe adem.

Jujur saja, ini lagu yang menakutkan buat saya. Lagu yang tidak ingin saya nyanyikan.

Eric Clapton membuat lagu ini–dibantu Will Jenning–untuk menyuarakan isi hatinya karena kesedihan mendalam. Lagu ini dipersembahkan untuk sang anak tercinta Conor Clapton yang meninggal.

Seperti tertulis di wikipedia, pada 20 Maret 1991 tepat jam 11 siang, Conor yang berusia 4 tahun meninggal karena terjatuh dari jendela lantai 53 di apartemen New York City.

“Tears in Heaven” merupakan lagu kontemplasi kesedihan Clapton yang mengurung diri selama 9 bulan. Clapton menuangkan kesedihannya dan sekaligus mewujudkan penerimaan lewat lagu ini.

Grammy Awards 1993 menobatkan “Tears in Heaven” dengan tiga penghargaan untuk lagu terbaik, rekaman terbaik, dan penyanyi pria terbaik.. Album Unplugged yang berisi lagu ini menjadi album terlaris Clapton sepanjang sejarah bermusiknya.

Would you know my name
If I saw you in heaven
Will it be the same
If I saw you in heaven
I must be strong, and carry on
Cause I know I don’t belong
Here in heaven

Lagu yang indah, namun saya tak ingin menyanyikannya, dan akhirnya memilih membencinya. Saya punya dua anak sekarang, dan seram rasanya menyanyikan lagu ini. Ada ketakutan saya, ini kok seperti membayangkan anak-anak saya kenapa-kenapa. Oh, tidak!

Ketika saya mendapat kabar, akhir pekan lalu, bahwa kawan dekat saya kehilangan buah hatinya yang masih bayi baru lahir, lagu ini pun tiba-tiba mengiang-ngiang di pikiran. Beberapa kawan menulis di wall Facebook sebagai tanda simpati, “kau sudah tenang di surga sana adik kekasih”.

Tak terbayangkan rasanya saat kawan saya mendengar lagu “Tears In Heaven”. “Apakah kau kenal papa saat kita ketemu di surga, nak?” Ahhhh saya benci.

Tak berapa lama bom molotov dilempar dan melukai anak-anak yang baru saja Sekolah Minggu dan sedang bermain di areal parkir di Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur. Empat balita menjadi korban luka bakar.

Dan kisah sedih dialami Intan Olivia Banjarnahor, 2,5 tahun, yang harus pergi meninggalkan dunia ini, mengembuskan nafas terakhir. Tak terperikan rasa duka mendalam yang harus dihadapi oleh orang tua terkasih. “Apakah akan sama, ketika kita ketemu di surga nanti, nak?” Terngiang lagi…

Namun, ini seperti linear, seperti ada kesejajaran peristiwa baik yang menghiasi lagu Eric Clapton ini, maupun bom Samarinda.

Pada tahun 2003, 12 tahun setelah kematian anaknya, Eric Clapton memutuskan untuk tidak menyanyikan lagi lagu “Tears in Heaven”. Ia merasa telah bisa merelakan kepergian anaknya.

Dan kejutan muncul pada 2013, di Crossroads Guitar Festival 2013, di Amerika Serikat, Eric Clapton menyanyikan kembali lagu ini. Setelah 10 tahun! Eric melantunkan lagu ini dengan nada yang berbeda, slow reggae, tidak dengan ciri khas ngelangut seperti awal.

Seperti Clapton yang telah ikhlas, kabar pengampunan pun datang dari keluarga Trinity Hutahaean (4), salah satu korban ledakan bom molotov Samarinda. Lewat Roina Simanjuntak, kakak dari ibu Trinity, keluarga mengatakan bahwa “Kami tidak mengutuk, tetapi mengampuni yang jahat.”

Keluarga Trinity, bocah yang masih berjibaku dengan luka bakarnya, mengampuni pelaku terorisme, Juhanda alias Jo.

Saya seperti tersadar bahwa segala sesuatu ada prosesnya. Proses itu akan selalu berlanjut terus menuju jalannya, bagaimana kita memilih, apakah proses itu menuju yang terburuk atau menuju titik terbaik–titik di mana yang buruk terputus–kemudian berlanjut menjadi lebih baik.

Saya berharap tidak terdengar lagi dari keluarga korban bom molotov, berita duka. Saya rasa seminggu ini cukup lagu itu mengiang-ngiang di pikiran saya.

Saya berdoa: Trinity kuatlah. Tuhan pulihkan adik kekasih ini.

 

Foto: wikimedia