Tag Archives: rumah tangga

Kebanggaan yang Diporakporandakan

Lima belas tahun saya memiliki Asisten Rumah Tangga (ART) yang setia. Nyaman. Aman. Itulah yang saya rasakan.

Mulai dari bangun pagi hingga pagi berikutnya menjelang, dia selalu melayani kami sekeluarga dengan begitu baik. Makanan kami selalu enak dan bergizi. Rumah selalu bersih dan tertata rapi. Persediaan air mineral, Sembilan bahan pokok dan bahan makanan juga selalu ada.

Segala masalah bisa diselesaikannya. Mulai dari rok sekolah anak saya yang sobek, bisa dijahitnya, sampai urusan yang lebih berat, bisa tertangani dengan baik.

Saya pun diperlakukannya bagaikan putri. Sepulang kantor, jus buah segar selalu tersedia di atas meja. Karena sudah belasan tahun dia meladeni kami sedemikian rupa, kami menjadi biasa.

Sering lupa berterima kasih. Sering tidak peka terhadap kebutuhannya. Semua menjadi take it for granted. Memang seperti itulah, dia seharusnya, begitu kata kami.

Saya dan suami bekerja dari pagi hingga terkadang malam hari. Anak satu-satunya bersekolah dan mengikuti beberapa les dari pagi hingga terkadang sore hari. Si asisten yang lebih sering di rumah, bertemu dengan tukang pos, tukang listrik, tukang sayur dan bahkan beberapa orang yang mencoba menipu hanya untuk bisa masuk ke rumah.

Dia menjaga rumah kami bagaikan malaikat Tuhan. Saya tidak pernah mengunci kamar. Lima belas tahun terbukti, dia sangat jujur.

Saya, suami dan anak saya sangat sayang padanya. Tentu dengan cara kami masing-masing.

Tapi sekali lagi, karena sudah belasan tahun dia melakukan seperti ini kepada kami, kami jadi sering lupa berterimakasih, sering tidak peka terhadap kebutuhannya.

Hingga suatu ketika, kenyamanan kami terusik. ART yang baik hati dan sangat rajin ini pulang kampung karena ayahnya meninggal.

Atas usulan keluarganya, dia diminta tidak kembali lagi kepada saya. Sudah terlalu lama.

Dia meminta maaf. Dia ingin mencoba hal baru, demikian kata keluarganya.

Saya meradang. Menangis berhari-hari. Saya tidak menyiapkan rencana cadangan.

Sudah terlalu percaya diri, bahkan terkesan bangga memiliki ART yang setia. Ketika musim Lebaran tiba, saya selalu pamerkan ART saya yang tidak pulang kampung. Ketika ART teman-teman saya banyak yang gonta-ganti, saya selalu katakan bahwa hal itu tidak pernah terjadi pada saya. Saya terlalu bangga.

Akhirnya kami mendapatkan seorang ART baru sebagai penggantinya. Semua dimulai lagi dari awal. Pelan-pelan dan berproses.

Secara karakter dan kualitas pekerjaan, ART baru jauh berbeda dari ART lama. ART yang baru ini padahal usianya jauh lebih tua dari ART lama.

Hati saya menjadi semakin tak karuan. Kalau mengikuti ego dan kata hati, rasanya ingin mengambil ART lama kembali ke rumah saya.

Segala kebaikan ART lama selalu terbayang di pelupuk mata, sambil air mata saya mengalir. Saya menyesal kenapa saya tidak memikirkan masa depannya waktu itu. Seharusnya dia saya sekolahkan berbagai hal sebagai persiapan masa depannya.

Sampai hari ini, rasa sesak di dada saya tidak kunjung hilang karena penyesalan saya. Kebanggaan saya diporak-porandakan. Kebanggaan yang sudah menjadi berhala. Kebanggaan yang tidak lagi mengandalkan Tuhan.

Semoga ART saya yang lama sukses meraih masa depannya. Dengan tulus, saya mendoakannya. Maafkan kami yang tidak peka dengan kebutuhanmu.

 

Luciana Siahaan

Penulis adalah Ketua Dewan Teruna Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)

Foto: Pixabay.com

“Mager”? Sakit Jantung Mengintai

“Gue lagi mager! Jadi gue pesan makanan aja deh pakai GoFood. Gue makan dalam kantor aja.”

Rasanya makin sering kita dengar kalimat-kalimat seperti itu. Teknologi yang “gila-gilaan” memanjakan kita juga bikin mager atau males gerak ini jadi makin absah. Kita mau makan ada GoFood (atau aplikasi lain, kebetulan yang saya ingat cuma yang ini), tinggal klak-klik di smartphone, bayar secara digital, selesai. Enggak lama, makanan datang ke meja kantormu tanpa kau mesti bergerak keluar ruangan.

Kita mau kirim uang, nggak usah repot-repot ke ATM, apalagi ke bank, tinggal jalankan aplikasi SMS Banking, kirim ke rekening dituju, selesai.

Bahkan mau beli baju aja enggak perlu jalan ke mall lagi, padahal muter-muter di mall biasanya jadi “pembelaan” para ibu buat bergerak. “Jalan muter-muter di mall itu menghabiskan banyak kalori loh, olah raga juga kan?” begitu biasa terdengar.

Bagi para ibu mungkin olah raga, bagi kebanyakan bapak-bapak jangan-jangan masuk kategori “olah jiwa”, karena harus mengolah emosi dan tingkat kesadaran tinggi melihat serapan anggaran rumah tangga tanpa hambatan alias anggaran belanja membengkak.

Nah, mager ini sekarang menjadi salah satu penyebab makin banyak orang terkena penyakit jantung dan masalah pembuluh darah.

Mager menjadi salah satu yang faktor menimbulkan penyakit jantung. Sebanyak 26,1 persen orang Indonesia yang malas gerak alias malas berolah raga, bahkan malas untuk sekadar jalan kaki. Ini salah satu penyebab risiko terkena penyakit jantung meningkat,” kata Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI Dr Lily S Sulistyowati MM saat menjadi pembicara talkshow Power Your Life di Jakarta, Kamis (22/9). Talkshow ini sendiri dalam rangka menyambut Hari Jantung Sedunia yang jatuh pada 29 September 2016.

“Ini juga yang menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit jantung koroner (PJK) pada orang-orang di usia produktif. Jadi jangan heran kalau kita dengar sekarang, orang masih muda tapi meninggal karena serangan jantung,” kata Lily lagi.

Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang diolah Kementerian Kesehatan memperlihatkan penyakit jantung koroner mengidap penduduk usia 35-44 tahun dengan prevalensi sekitar 1,3 persen, dan 2,1 persen untuk usia 45-54 tahun.

Beberapa penyebab lain juga membuat orang terkena penyakit jantung dan masalah pembuluh darah. Sebanyak 36 persen penduduk usia di atas 15 tahun merokok, 93,5 persen penduduk kurang konsumsi buah dan sayur, dan 4,6 persen penduduk minum minuman beralkohol.

“Semua data di atas menunjukkan besarnya potensi orang terkena penyakit jantung koroner,” kata Lily.

Berdasarkan data Sample Registration System (SRS) Indonesia 2014, stroke memegang penyebab tertinggi kematian di Indonesia. Stroke mendominasi sebanyak 21.1 persen penyebab kematian, diikuti dengan penyakit jantung dan pembuluh darah sebanyak 12,9 persen, setelah itu tercatat komplikasi Diabetes Melitus sebanyak 6,7 persen.

Dua penyakit tertinggi yang menyebabkan orang Indonesia meninggal seputar sakit jantung.

Nah, seram juga kan akibat dari mager? Kena sakit jantung, tentu bukan ancaman yang main-main.

Ingat firman Tuhan di 1 Korintus 6:19-20:

Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, — dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!

Pelihara tubuh kita, karena Allah bekerja lewat tubuh ini. Nama-Nya akan dimuliakan saat kita juga menjaga tubuh ini agar tetap sehat.

Untuk memerangi mager, ternyata enggak perlu kita harus nge-gym atau ikut program lari dengan target ikut London Marathon kok.

“Lakukan aktivitas fisik , minimal 30 menit, dan 5 kali seminggu, tidak merokok, dan hindari stres,” kata Dr Lily. Simpel banget, enggak pakai ribet.

Kita bisa naik sepeda, jalan kaki ringan, berlari-lari dengan “si kecil”, dan sebagainya. Pokoknya aktivitas fisik dan cukup 30 menit.

Ayo bergerak! Dengan beraktivitas fisik, kita akan bebas dari sakit jantung dan pembuluh darah. Ini artinya, kita bisa bebas dari pembunuh nomor satu di Indonesia.

Bahagiakah Anda?

Apakah anda bahagia?happy woman-570883_960_720

Waktu masih bekerja di bagian rekrutmen, kadang-kadang saya menanyakan hal di atas pada kandidat yang saya wawancarai. Nyaris tak pernah ada jawaban spontan akan pertanyaan ini. Biasanya kandidat akan mengernyit atau terdiam dulu beberapa detik, atau bahkan balik bertanya: Maaf, maksudnya bagaimana?

Tidak seperti ketika saya bertanya, misalnya: Apakah anda suka dengan pekerjaan anda? Jawaban Tidak, atau, Ya, biasanya terucap lebih spontan.

Pernah saya menanyakan hal serupa pada seorang teman dekat. Dia malah balik bertanya: Bahagia itu apa sih? (Saya mengerti dia sangat sibuk dan mungkin tak ada waktu untuk memikirkan pertanyaan bodoh itu. Tapi, lalu rupanya pertanyaan itu membuatnya mengevaluasi ulang jalan hidupnya).

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring, bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan).

Bagi saya, waktu kecil, bahagia sudah ada jadwalnya. Yang pasti dalam setahun minimal ada tiga kali. Hari ulang tahun, hari Natal dan libur sekolah.

Apa yang menjadi kesamaan semua momen itu? Karena pada saat itu saya mendapatkan apa yang saya inginkan atau sukai. Versi kanak dalam diri saya pun mendefinisikan bahagia sebagai, keberhasilan menggapai keinginan dan target saya. Saya bahagia dengan semua yang saya dapatkan.

Hal itu pun berubah seiring waktu. Berbeda dengan dulu, sekarang defenisi bahagia bagi saya adalah rasa damai. Peace of mind. Rasa damai, walaupun saya tidak bisa mendapatkan keinginan, menggapai impian dan mencapai target-target saya. Dan itu ternyata sulit.

Mungkin berbeda dengan anda. Seperti seorang pengusaha sukses pernah berkata, dia akan merasa bahagia jika ketika dia bangun pagi, dia tidak menginginkan apapun lagi. Saya merasa itu lebih sulit lagi.

Dalam buku The Practices of Happiness: Political Economy, Religion and Wellbeing (2011, John Atherton, Elaine Graham and Ian Steedman), disebutkan, jika kebahagiaan berarti semata perasaan senang, itu akan menjadi makna hedonistik yang dapat dikritik dari persepsi filsafat dan teologis.

Dalam filsafat Aristotelian, kebahagiaan dianggap lebih dari sekedar kesenangan. Kebahagiaan terkait dengan pengembangan dan pemenuhan umat manusia yang tidak terpisahkan, yang berarti realisasi dari potensi yang kita miliki sebagai manusia.

Pemahaman kebahagiaan yang sama dijabarkan dalam tradisi Kristen. Kebahagiaan dipahami bukan dalam hal kesenangan atau kepuasan, tetapi dalam hal pengembangan umat manusia itu. Kebahagiaan adalah pemenuhan semua manusia, yang hanya mungkin dalam kasih Allah dan kasih sesama.

Dalam etika sosial Kristen, kebahagiaan sebagai pemenuhan manusia, terkait dengan pandangan Kristen tentang umat manusia, yang terdapat dalam hubungan antar individu, makhluk sosial yang saling bergantung hidup dengan orang lain. Sehingga bukan seperti perspektif individu, kebahagiaan lebih dari sekedar perasaan enak dan kesenangan.

Lalu, apa kata Alkitab tentang kebahagiaan?

Dalam Lukas 11:28 tertulis: Tetapi Ia berkata: Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya.” (Dalam versi NIVBlessed rather are those who hear the word of God and obey it). Blessed diterjemahkan menjadi bahagia. Orang yang bahagia, orang yang diberkati.

Di dalam Khotbah di Bukit, ciri-ciri orang bahagia, yaitu: orang yang miskin di hadapan Allah, orang yang berdukacita, orang yang lemah lembutorang yang lapar dan haus akan kebenaran, orang yang murah hatinya, orang yang suci hatinya, dan, orang yang membawa damai (Matius 5:1-10).

Nah, Alkitab memiliki defenisi kebahagiaan yang berbeda dengan yang tertulis di kamus. Di kotbah tadi tak ada tertulis: ‘orang yang bahagia adalah yang merasa senang dan puas, dan yang mendapatkan keinginannya’, ya?

Selain itu, Tuhan Yesus juga berkata, “Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima.” (Kisah Para Rasul 20:25). Ini benar-benar kontras dengan konsep bahagia saya waktu kanak-kanak, kan?

Yang lebih dahsyat lagi, dalam Yakobus, berbahagia jika jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan (James 1:2 Consider it pure joy, my brothers and sisters, whenever you face trials of many kinds). Pencobaan adalah kebahagiaan? Ini sungguh ironis, bukan?

Padahal seorang profesor psikologi, A. Furnham (1953) juga menyatakan bahwa kebahagiaan merupakan bagian dari kesejahteraan, kepuasan, untuk melakukan kepuasan hidup, atau sama dengan tidak adanya tekanan psikologis. Pencobaan, kan tekanan?

Saya pernah menonton film kartun Disney, Inside Out, yaitu sebuah film dengan cerita yang menekankan temuan neuropsikologi bahwa emosi manusia mempengaruhi hubungan interpersonal dan dapat dimoderasi secara signifikan oleh manusia itu sendiri.

Film box office di seluruh dunia ini telah menerima beberapa penghargaan, termasuk Golden Globe Award. Ceritanya tentang seorang gadis kecil bernama Riley Andersen yang di dalam pikirannya ada lima personifikasi emosi dasar, yaitu Joy, Sadness, Fear, Disgust, dan Anger (Bahagia, Sedih, Takut, Jijik, dan Marah) yang mempengaruhi tindakannya melalui console di markas batinnya.

Tindakan Riley yang berusia sebelas tahun, dikendalikan oleh lima emosi mayoritas di atas, tapi JOY-lah yang menjadi pemimpin yang mengambil kendali agar Riley tetap bahagia.

Seperti ketika Riley pindah ke rumah yang jelek dan bau bangkai tikus, dan truk barang mereka hilang, dan hanya ada restoran pizza rasa brokoli yang Riley benci, emosi yang spontan muncul tentu adalah marah, sedih dan takut, tapi JOY dalam batin Riley mengendalikan emosinya dengan berkata: “Jangan fokus pada apa yang salah, selalu ada cara untuk memperbaikinya. Ayo cari senangnya. Find the fun!”

Riley pun mengambil tongkat dan memainkan gumpalan kertas sampah seperti bermain hoki di rumah kotor melompong itu, yang segera disambut oleh ayahnya. Suasana pun langsung berubah gembira.

Sebagai terobosan dalam film ini adalah, bahwa emosi diciptakan untuk menghubungkan orang bersama-sama, dan bahwa hubungan adalah hal yang paling penting dalam hidup ini. Emosi ada untuk mengatur kehidupan sosial dan penataan interaksi interpersonal (masih sejalan dengan buku The Practices of Happiness tadi, kan?)

Seperti itulah hidup kita. Kitalah yang pegang kendali atas emosi kita. Kitalah yang menentukan untuk membiarkan tombol kesedihan, ataukah memencet tombol sukacita, ketika masalah datang. Memang tak mudah, dan pasti banyak energi yang keluar, tapi pilihan ada di tangan kita.

Lalu, seperti para pakar berkata, kebahagiaan itu keputusan kita. Kita bisa meraung sedih berkepanjangan karena hujan, atau bisa mengambil payung dan berpose untuk diunduh ke media sosial (yang terakhir ini kalimat buatan saya, hehe).

Terlalu banyak hal dalam hidup ini yang menggerus perasaan kita hingga kita lupa untuk mengingat bahwa hidup kita sungguh diberkati, dan kita sering lupa memilih tombol perasaan bahagia. Seperti Riley dalam film Inside Out, biarlah JOY selalu mengendalikan tombol dalam emosi kita.

Mari berbahagia!

-*-

Si Adik Yang Lebih ‘Tua’ dari Kakaknya (Tentang Indigo Bagian 5)

Saya dan kakak perempuan saya yang usianya dua tahun lebih tua dari saya sering mengalami banyak hal-hal aneh yang tidak masuk akal. Seiring dengan bertambahnya usia, saya mencoba mencari tahu ada apa dengan saya, dan akhirnya saya menemukan konsep indigo. Saya mencari tahu ciri-ciri orang indigo dari berbagai sumber, dan saya akan coba menceritakan beberapa pengalaman yang saya alami berdasarkan beberapa ciri-ciri yang saya dapatkan:

1. Memiliki daya ingat yang baik, kemampuan yang tajam dalam mengamati.

Saat berbincang-bincang dengan keluarga, saya sering mengenang peristiwa-peristiwa lama, termasuk teman-teman lama. Keluarga saya sering kali heran karena saya masih mengingat kejadian-kejadian yang sudah berlalu selama hampir 30 tahun. Saya juga masih ingat nama-nama teman-teman saya waktu masih kecil. Saya bahkan mengingat teman-teman dari kakak dan adik saya. Kakak dan adik saya sangat heran, karena bahkan mereka sudah banyak lupa nama teman-teman mereka serta kejadian-kejadian tersebut.

Suatu saat, saya mengamat-amati beberapa hal dalam keluarga saya. Saya menghubung-hubungkan hal-hal tersebut dan menemukan suatu kejanggalan. Saya pun tiba-tiba tahu suatu masalah akan terjadi. Dan ketika hal itu terjadi, kami membahas masalah tersebut, dan saya pun membeberkan hal-hal yang sebelumnya telah saya amati tadi, dan menjelaskan hubungan hal-hal tersebut. Akhirnya masalah itu diketahui penyebabnya dan kaitannya satu sama lain. Mama saya terheran-heran dengan tajamnya pengamatan saya terhadap hal-hal yang terjadi dalam keluarga kami dan kaitannya satu sama lain. Seandainya saya tidak bicara, mungkin masalah itu masih belum diketahui dan diselesaikan untuk jangka waktu yang lebih lama.

Suami saya datang dari keluarga besar, dengan 9 bersaudara. Sebagai pendatang, saya berkomitmen untuk mengenal keluarga besar suami saya. Pada tahun-tahun pertama pernikahan kami, saya menemukan kejanggalan-kejanggalan. Misalnya, awalnya suami saya tidak tahu siapa sepupu-sepupunya. Dia juga tidak tahu apa hubungan orang-orang tertentu dengan keluarganya, padahal mereka sering datang berkunjung ke rumah mertua saya. Saya mengamat-amati ipar-ipar saya dan pasangan mereka. Setelah bergerilya mencari informasi tentang keluarga mertua saya, saya minta suami membawa saya mengunjungi keluarga mertua saya yang tidak pernah disebutkan oleh mertua saya. Setelah menghubung-hubungkan berbagai kejadian, percakapan, dan perilaku berbagai orang dalam keluarga besar suami saya, pada akhirnya saya mengungkap bahwa ternyata ada pihak yang menginginkan agar sesuatu dihilangkan, dan suatu hal lain yang dibentuk dalam keluarga mertua saya dan anak-anaknya. Hal tersebut sebenarnya sudah menjadi rahasia umum bagi the extended family (kakak beradik dan sepupu-sepupu dari mertua saya serta keluarganya), namun tidak diketahui oleh suami saya bersaudara. Saat saya menyatakan pengamatan saya ke salah seorang sepupu dari suami saya, dia terheran-heran karena saya mengetahui hal tersebut, Dia bahkan mengira ada yang memberitahukan hal itu pada saya. Namun saya hanya mengatakan bahwa saya mengetahuinya melalui pengamatan saya.

Sebelum berumah tangga, suami saya tidak merasakan kejanggalan-kejanggalan pada hal-hal yang terjadi di dalam keluarganya. Namun seiring dengan perjalannan rumah tangga kami, apa yang saya amati itu semakin jelas dan akhirnya terjadi. Sesuatu yang ingin dihilangkan dan sesuatu yang ingin dibentuk, telah hampir mencapai puncaknya.

2. Cerdas dan kreatif.
Di antara keempat anak orangtua saya, sayalah satu-satunya yang tidak pernah menjadi juara kelas. Kemampuan akademis saya hanya masuk kategori baik atau cukup, sementara kakak dan adik-adik saya beberapa kali masuk kategori 10 besar di kelas mereka.

Walaupun secara akademis saya anak ‘biasa’ saja, orangtua dan keluarga saya mengatakan bahwa sayalah yang paling cerdas. Menurut Mama, sejak masih kecil saya mampu tetap berpikiran dingin dalam berbagai masalah, dan mengambil tindakan yang logis dan relevan dalam berbagai kondisi darurat. Saya selalu dapat masuk dalam lingkungan baru tanpa masalah, di mana hal ini seringkali menjadi tantangan bagi anak-anak.

Untuk kemampuan penguasaan Bahasa, karunia saya bukan pada penguasaan menggunakan bahasa tersebut, melainkan bagaimana saya menggunakan bahasa untuk mengulas atau menjelaskan sesuatu dengan sangat deskriptif dan rinci. Karena itu, saat masih bersekolah, saat diberi tugas ‘menulis pendek’, baik berupa surat imajiner pada seorang teman, menulis cerita pendek, atau mengarang, seringkali guru saya mengatakan bahwa tulisan saya terlalu panjang.

Sulit bagi saya menulis sesuatu secara padat dan ringkas. Bagi saya untuk membuat suatu tulisan yang padat, berarti harus detil, dan jadinya tidak ringkas. (Tulisan ini salah satu contohnya, hehehe…).

Saya sering mengumpulkan puisi dan lirik lagu yang isinya sesuai isi hati ataupun deskripsi saya tentang suatu hal, misalnya tentang keluarga, cinta, masa depan, iman, dan sebagainya. Walaupun saya jarang menulis karya tulis apa pun, namun saat saya menulis, saya mendapati saya menulis dengan rinci, dan mendalam.

Karena saya sangat deskriptif dalam berbahasa, saya pun bisa menjelaskan hal-hal yang sulit dimengerti oleh orang lain. Sebenarnya penjelasan tentang hal-hal tersebut dapat dengan mudah dicari dari berbagai sumber, namun beberapa orang mengatakan bahwa mereka lebih dapat memahaminya setelah saya jelaskan.

Beberapa contoh misalnya pada Mama dan Tante-tante saya, saya menjelaskan hal-hal yang merupakan hal baru bagi mereka. Misalnya apa itu Internet, Facebook, menggunakan smartphone, online banking, dan lainnya. Pada anak saya…. berbagai hal yang tidak dipahami oleh anak seusianya.

Dalam pekerjaan, saya mengajar bidang studi Literasi Informasi untuk tingkat TK sampai kelas 6 SD. Di Indonesia, belum ada kurikulum khusus untuk bidang studi ini. Banyak sekolah menyisipkan pembelajaran literasi informasi dalam mata pelajaran lain seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris atau bidang studi Pengetahuan Sosial seperti sejarah, PPKN, atau pengetahuan seni dan budaya.

Dengan sendirinya, belum ada juga buku pelajaran untuk bidang studi ini. Di tempat saya bekerja, kurikulum yang digunakan adalah kurikulum internasional, dan saya bisa saja menggunakan kurikulum Literasi Informasi dari negara-negara barat dalam mengajar, serta berbagai materi pelajarannya.

Seiring dengan perjalanan karir saya sebagai seorang guru dalam bidang studi ini, saya belajar bahwa tidak semua hal yang saya dapatkan dari kurikulum dan materi pelajaran literasi informasi dari luar negeri itu dapat diaplikasikan di tempat kerja saya karena konteksnya berbeda. Akhirnya saya mendesain sendiri kurikulum literasi informasi serta materi-materi pelajaran ini, termasuk pula lembar kerja siswa (LKS) serta sistem penilaian bagi siswa.

Bagi mereka yang guru ataupun paham dengan dunia pendidikan, tentunya dapat memahami bahwa mendesain suatu kurikulum bukan hal mudah.

Saya mendesain dua kurikulum literasi informasi untuk digunakan di dua sekolah dengan kurikulum berbeda, dan hasil karya saya memuaskan rekan-rekan kerja saya yaitu guru-guru wali kelas, para pimpinan sekolah karena bisa mengakomodasi kebutuhan pembelajaran literasi informasi yang bukan hanya sesuai konteks kurikulum sekolah, tapi juga sesuai dengan letak gegorafis dan budaya.

3. Memiliki jiwa dewasa yang lebih dini dari usianya.

Menurut Mama saya, sejak kecil, yaitu sekitar usia 4 atau 5 tahun, banyak orang mengira saya adalah yang ‘kakak’ di antara anak-anaknya. Awalnya saya kesal dikira lebih tua dari kakak saya. Memangnya wajah saya boros apa? (Hehehe…)

Kakak yang awalnya senang dianggap terlihat lebih muda dari saya, berbalik menjadi sebal pada saya, karena dia sering dimarahi orangtua kami yang menganggapnya bersikap tidak dewasa atau kekanak-kanakan, dan sering menegurnya dengan kalimat: “Coba lihat sikap adikmu!” atau, “Kenapa sih kamu tidak berpikir panjang seperti adikmu?”, dan sejenisnya.

Kelak setelah dewasa, saya berjumpa beberapa “orang pintar” secara tidak sengaja, dan mereka mengatakan bahwa saya terlihat lebih dewasa daripada kakak saya karena saya punya jiwa yang dewasa (I have an old soul).

Sejak saya berusia enam tahun, orangtua saya berencana untuk punya anak lagi, anak ke-4. Pada akhirnya orang tua saya harus menunggu tujuh tahun untuk mendapatkan anak ke-4 mereka, si bungsu kami.

Saat Mama hamil, saya sudah berusia 13 tahun, kakak saya 15 tahun dan adik 12 tahun. Papa, kakak dan adik saya dengan antusias menyambut kedatangan si bayi, tapi saya tidak.

Suatu hari Mama mengajak saya bicara hanya berdua, dan menanyakan mengapa saya tidak setuju Mama dan Papa punya bayi lagi. Mama bilang itu aneh, karena saya sangat suka anak-anak. Keluarga, teman-teman dan tetangga banyak yang memuji saya yang mudah berinteraksi dan mencuri hati anak-anak, sehingga kalau ada acara keluarga, Mama sering meminta saya bermain dengan anak-anak kecil yang dibawa orangtuanya, supaya mereka tenang dan tidak mengganggu.

Saya ingat jawaban saya membuat Mama saya kaget. Saya menjawab bahwa saya bukannya membenci si bayi, tapi saya khawatir akan masa depan calon adik saya itu. Saya bilang, saat dia SMA nanti, Papa sudah pensiun, dan tidak punya cukup uang untuk membiayai pendidikan si bungsu untuk kuliah.

Mama saya sangat sangat heran karena saya punya pikiran yang sangat dewasa dan jauh ke depan. Dia bahkan sedikit marah, karena saya seolah-olah mengguruinya. Dia menekankan, bahwa saya tidak perlu khawatir tentang hal itu, karena itu adalah urusan orangtua.

4. Clairvoyant: kemampuan mengetahui gambaran akan apa yang akan terjadi di masa depan.

Saya sering tiba-tiba tahu sesuatu hal akan terjadi di masa depan. Hal itu terjadi bukan dengan pengelihatan, tapi hanya berupa perasaan tahu yang kuat dan pasti.

Saya percaya, tiap orang indigo juga mempunyai karunia berbeda-beda. Mengenai pengalaman saya mengetahui hal yang terjadi di masa depan, tidak pernah tentang hal-hal umum. Dengan kata lain, pengalaman saya mengetahu apa yang akan terjadi di masa depan, selalu seputar tentang diri saya dan keluarga, teman-teman, dan orang-orang yang saya kenal langsung.

Masih berkaitan dengan pembicaraan antara saya dan Mama saya di atas, saat itu saya juga mengatakan pada Mama, bahwa nantinya Papa dan Mama akan mengalami kesulitan membiayai pendidikan si bungsu, dan mereka akan meminta saya akan membantu.

Singkat cerita, bertahun-tahun kemudian, karena krisis moneter yang berawal di tahun 1997, keuangan Papa dan Mama tanpa disangka mengalami kemerosotan. Dan saya pun pada akhirnya harus membantu biaya pendidikan kuliah adik bungsu saya.

Contoh-contoh pengalaman saya lainnya di mana saya mengetahu dengan pasti apa yang akan terjadi:

– Sejak masih belum sekolah, saya tahu akan bekerja di lembaga pendidikan (sekolah). Saya pernah bekerja di lembaga non pendidikan, tapi saya tahu itu hanya akan bersifat sementara

– Saya saat masih SMA, saya sudah mengetahui bahwa saya kuliah di UI.

– Saat masih kuliah, saya tahu anak pertama saya nantinya adalah perempuan.

– Saat baru berkenalan dengan suami saya, saya sudah tahu bahwa dialah yang akan menjadi suami saya.

Saya juga sering mendapat mimpi tentang orang-orang yang saya kenal akan mengalami hal-hal buruk, sakit berat, kecelakaan atau bahkan kematian. Kalau sedang mendapat mimpi seperti itu, saya akan berubah gelisah tak karuan. Ketika peristiwa yang saya mimpikan itu menjadi kenyataan, saya selalu merasa sedih, dan bahkan terkadang merasa bersalah.

Saya merasa mimpi saya itu peringatan, dan mungkin saya harusnya bisa mencegah hal itu untuk terjadi. Tapi dalam perjalanan iman saya, saya belajar bahwa tidak ada satupun yang dapat terjadi di luar kehendak Allah, dan saya mengamininya.

5. Mengetahui keberadaan roh-roh atau sosok astral.

Sejauh ini pengalaman saya melihat sosok astral, hanya berupa sekelebat sosok dan sosok yang meniru sosok seseorang. Saya tidak pernah melihat sosok-sosok seperti kuntilanak, pocong, gondoruwo, tuyul dan sebangsanya.

Saat saya usia sekitar dua tahun, Papa mendapat tugas belajar di ITB, dan kami sekeluarga pun pindah ke Bandung. Saat itu adik saya yang paling bungsu belum lahir.

Di Bandung, kami menempati sebuah rumah di daerah yang padat. Rumah itu punya sumur timba dengan dinding setinggi dada orang dewasa. Di samping sumur ada tempat untuk mencuci pakaian, mandi, dan kloset kecil. Saya tidak mau mandi ataupun buang air di dekat sumur, karena sangat takut dengan sumur itu. Saya merasa ada kekuatan besar dari dalam sumur yang menarik saya. Saya juga tidak merasa nyaman berada di dapur rumah tersebut, karena sering mendengar orang lalu lalang di sana, padahal tidak ada orang di dapur.

Saat usia saya sekitar enam tahun, kami sekeluarga kembali ke kota kediaman kami semula, yaitu Pontianak. Selama bertahun-tahun kemudian, kami berpindah-pindah dari rumah yang satu ke rumah yang lainnya.

Hampir di setiap rumah, selalu ada bagian rumah yang saya tidak suka. Saya akan merasa adanya tekanan kuat pada diri saya di tempat tersebut sampai-sampai saya merasa kepanasan. Terkadang mendengar suara-suara orang lalu lalang, dan terkadang bahka sekelebat sosok manusia lewat.

Mulanya saya mengira itu salah satu anggota keluarga, karena sekarang keluarga kami menjadi lebih ramai dengan adanya tiga orang sepupu yang tinggal dengan kami. Tapi saya sering ketakutan saat beberapa kali mendapatkan bahwa ternyata anggota keluarga berada di ruangan yang lain, dan tidak ada yang sedang atau baru dari ruangan di mana saya melihat sekelebat sosok itu.

Pernah juga beberapa kali saya melihat sosok yang saya kira seseorang, tapi ternyata orang tersebut sedang tidak di tempat atau berada di ruangan lain di rumah saya. Ketika saya kembali lagi untuk memeriksa, sosok tersebut sudah tidak ada.

Beberapa contohnya:
Saat itu saya sudah duduk di bangku SMP. Suatu siang, saya sedang berkaca pada sebuah cermin yang berada di atas westafel di ruang makan rumah kami. Dari kaca saya dapat melihat ruang tamu dan pintu depan yang mengarah ke teras.

Tiba-tiba pintu depan itu terbuka dan Papa saya masuk. Tapi kemudian sosok Papa tersebut masuk menembus dinding kamar tidur Papa dan Mama. Saya terkesiap dan segera masuk kamar itu. Di dalam kamar hanya ada Mama dan kata Mama, Papa belum pulang dari kantor.

Di rumah yang sama, saya yang juga masih SMP, terbangun tengah malam, karena mendengar handle pintu kamar tidur saya berbunyi. Saya bangun dan melihat handle pintu bergoyang, seperti ada yang mau membuka pintu kamar tidur saya dari luar.

Saya pun bangkit dari tempat tidur dan membukakan pintu yang memang terkunci. Saya melihat nenek saya masuk ke kamarnya yang berhadapan dengan kamar tidur saya. Dia menoleh saat saya membuka pintu kamar saya, tapi tidak berkata apa-apa.

Dengan perasaan kesal, saya kembali ke kamar dan melanjutkan untuk tidur. Saya berpikir, mungkin nenek mengira sudah pagi, dan hendak membangunkan kami, seperti yang biasa dia lakukan.

Esok paginya ketika saya menanyakan hal itu padanya, nenek bilang dia tidur lelap dan tidak terbangun sedikit pun kemarin malam, apalagi keluar kamar.

Saya terkejut dan bertanya-tanya, kalau bukan nenek, jadi siapa yang saya lihat tadi malam. Tapi keluarga saya tidak memperdulikan kebingungan saya, dan berkata saya hanya bermimpi.

Hal ini terulang beberapa kali, namun tetap keluarga mengatakan saya hanya bermimpi. Sampai akhirnya kakak saya mengaku bahwa dia pun pernah mengalami hal yang sama beberapa kali.

Di rumah yang saat ini saya tempati, saya juga pernah mengalami hal serupa. Saat itu anak saya masih berusia setahun atau dua tahun sedang bermain-main dengan suami saya sambil nonton TV. Sementara saya sedang mencuci pakaian di ruang cuci “semi outdoor” di bagian belakang rumah.

Pintu dari ruang cuci menuju dapur saya biarkan terbuka. Saya kemudian melihat suami saya masuk ke dapur untuk mengambil minum. Lalu dia kembali ke ruang TV. Setelah selesai mencuci, saya masuk rumah dan melihat suami memakai baju yang berbeda dengan yang tadi saya lihat dia kenakan saat dia ke dapur.

Saya bertanya apakah di sudah mandi, karena itu sudah berganti baju, tapi suami saya bilang tidak. Saya merasa aneh, dan menceritakan bahwa tadi saya melihat dia masuk dapur untuk ambil minum. Dan suami saya bilang, dia tidak meninggalkan ruang TV sedetik pun.

6. Sensitif dan intuitif.

Saya sensitif dan intutif terhadap orang-rang yang dekat dengan saya. Contohnya, saat saya masih SMA dulu, saya pernah dekat dengan seseorang. Saya sangat menyayangi dia, begitu pula dia terhadap saya. Saya selalu tahu kalau dia sedang sakit atau ada masalah. Saya akan menanyakan langsung hal itu padanya dan hal itu selalu benar.

Kalau saya memilih untuk mau mencari tahu, saya bisa tahu siapa yang suka/tertarik pada siapa. Dalam banyak kasus saya memilih untuk “menjadi batu” alias pura-pura tidak tahu dengan ketertarikan orang tersebut pada saya, karena saya sudah tahu orang tersebut tidak akan menjadi pasangan yang tepat bagi saya.

Pernah saya membandel, menerobos intuisi saya. Beberapa kali saya mejalin hubugan dengan beberapa orang, walaupun saya tahu tak satu pun dari mereka adalah orang yang tepat bagi saya. Dan akhirnya hubungan-hubungan itu berakhir dengan kepahitan.

Saya juga tahu kalau teman atau keluarga saya punya masalah, namun seringkali tidak menunjukkan pada mereka kalau saya tahu apa yang sedang mereka hadapi. Hal ini karena saya tidak mau mencampuri urusan orang lain, kalau tidak diminta.

Saat orangtua saya hendak memutuskan perkara besar, seperti misalnya membuka usaha baru, pindah rumah, memilih tempat kuliah bagi anak-anaknya, saya mendapatkan perasaan kuat bahwa terkadang pilihan-pilihan mereka tidak tepat. Saya mencoba menyampaikannya pada mereka, dan tentu saja, mereka tidak memperdulikan saya.

Dalam banyak hal, intusisi saya menjadi kenyataan. Misalnya saat orangtua mencoba berbisnis di bidang transportasi yaitu taksi, berakhir dengan kondisi nyaris bangkrut.

Kakak saya didaftarkan kuliah di bidang studi yang asing bagi dia, sementara minatnya adalah di Bahasa Inggris. Saya memperingatkan orangtua saya bahwa hal itu tidak sesuai panggilan Kakak saya. Namun, lagi-lagi saya tidak diperdulikan. Kamu masih anak-anak, orangtua lebih tahu, kata mereka.

Sebagai anak, kami menuruti saja kemauan orang tua, dan kakak menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Namun saat ini, karier kakak saya adalah di bidang Bahasa Inggris, yaitu sebagai penterjemah.

Jadi, saya ini indigo atau bukan?

Sampai sekarang, saya belum merasa perlu berkonsultasi ke psikolog untuk mengetahui apakah saya indigo atau bukan. Alasan pertama, karena karunia ini tidak menyakiti/melukai saya (secara fisik), atau pun menempatkan saya dalam situasi bahaya (sampai sekarang).

Alasan kedua, saya terlebih dahulu ingin mempelajari lebih banyak tentang perspektif Kristen mengenai fenomena indigo. Saya mendapatkan fenomena ini belum banyak dibahas dalam prespektif Kristen, bahkan terkesan hal tabu untuk dibicarakan.

Beberapa teman dan keluarga bahkan mengatakan sebaiknya saya tidak menggali lebih jauh tentang karunia-karunia saya, terutama dalam mengetahui apa yang terjadi dalam masa depan. Mereka memperingatkan, bahwa saya bisa dituduh melakukan tenung atau guna-guna melalui mimpi agar orang-orang tertentu mengalami sakit, kecelakaan ataupun meninggal dunia.

Sementara, menggunakan tenung dan guna-guna adalah hal-hal yang bertentangan dengan iman Kristen. Walaupun kemampuan-kemampuan unik saya ini bukan saya dapatkan dengan ‘berguru’ atau penyembahan berhala, saya tahu ada pendapat bahwa ‘ilmu’ yang didapatkan oleh leluhur, dapat turun pada keturunannya.

Jadi ada kemungkinan bahwa leluhur saya memang ‘berguru’ dan ‘ilmu’ mereka terwariskan pada saya.

Tapi saya percaya pengelihatan saya tentang masa depan berasal dari Allah semata. Saya menemukan suatu ayat di dalam Alkitab yaitu Kisah Para Rasul 2: 17:
“Akan terjadi pada hari-hari terakhir–demikianlah firman Allah–bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia; maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat, dan teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan, dan orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi.”

Jadi, indigo atau bukan, semua kemampuan unik yang saya miliki adalah pemberian dari Sang Pencipta.

JN (data penulis ada pada Redaksi)

Foto: Geralt/Pixabay

Anakku Indigo, Bukan? (Tentang Indigo Bagian 4)

Bicara soal indigo, saya tertarik untuk membicarakan apa yang dialami anak saya, sebut saja namanya A. Awalnya saya kira dia hanya punya kelebihan soal ‘penglihatan’ saja. Tapi ketika dia mulai bilang mengenai mimpi yang jadi kenyataan, kemudian seperti mendapat vision, saya mulai mengobservasi lagi.

Dulu, sewaktu dia belum sekolah, dia pernah bicara: “Ibu di situ dekat jendela ada perempuan, berdiri aja diem.” Saya pikir anak kecil memang bisa ’melihat’ kan? Ntar ketika dia tambah besar juga hilang. Tetapi saya percaya yang dilihatnya, karena saya sendiri pernah melihat “seorang perempuan” masuk ke rumah saya, kamar saya tepatnya.

Tapi ketika A bersekolah di playgroup, suster dan gurunya melaporkan dia sering teriak-teriak ketakutan. Saya perhatikan di rumah juga begitu. Dia suka menutup mata, katanya melihat yang seram-seram, atau anak kecil yang marah ke dia: di situ tuh ada anak kecil melototin aku, di balik semak, atau: itu di atas pohon apaan besar-besar begitu – sementara kami orang dewasa yang dilaporin tidak melihat apa-apa.

Dia gambar: “Ini orang-orang jelek yang suka ganggu aku.”

Supaya dia tidak stres, kami bilang saja: sudah tidak usah diperhatikan. Saya tidak mau bilang: gak ada apa-apa kok, daripada bingung bagaimana menjelaskan kok hanya dia yang lihat dan juga supaya dia tetap menceritakan ke kami apa saja yang dilihat atau dialaminya, kami tidak mau mengabaikan omongannya.

Ada keluarga yang menyarankan kami membawanya ke ‘orang pintar’ untuk menutup kelebihan itu. Tapi saya dan bapaknya tidak mau. Kami percaya, Tuhan yang memberi kemampuan, kepada Tuhan juga kami meminta untuk diambil kemampuan melihatnya kalau Tuhan berkenan. Kami doakan dia setiap malam. Puji Tuhan penglihatan-penglihatan itu hilang, selama beberapa tahun…

Pada saat di kelas 4, ternyata datang lagi. Bahkan lebih seram yang dilihatnya. Dia bisa berkomunikasi. Tapi kali ini anaknya lebih siap. “Tidak usah berdoa minta diilangin ya bu, pak, aku gak papa,” katanya. Belakangan dia bilang, kalau dia sudah bisa menutup sendiri kemampuannya, lalu membukanya lagi jika dia mau.

Dia sempat bilang kalau dia sudah gak mau buka-buka lagi, capek. Memang waktu masih belum dapat dikontrol, saya perhatikan dia agak kurus, setahu saya memang kemampuan seperti ini menguras energy. Belakangan dia jadi sering melaporkan mengenai mimpi yang menjadi kenyataan. Pernah juga dia bilang mendapat penglihatan.

Jika penglihatannya membuat tidak nyaman saya ajak dia berdoa. Saya sering mengingatkan dia untuk selalu berdoa, apalagi kalau diberikan kemampuan lebih. Harus lebih dekat dengan Tuhan supaya diberikan kekuatan.

Ada pengalaman lain. Ketika kemarin memilih-milih sekolah, banyak maunya, namanya juga anak-anak. Entah bagaimana saya akhirnya ngobrol dengan seorang teman, tentang sekolah anaknya. Hari itu juga saya buka website sekolah itu, ternyata besoknya open house. Pas banget! Ah saya hanya iseng pengen lihat-lihat saja, gak berniatan juga menyekolahkan dia di situ.

Saya ajak A ke sana. Begitu masuk halaman sekolah, auranya berubah. “Oh my God. This was in my dream, sometimes ago dan lihat di mimpi aku suka,” katanya. Dia langsung memutuskan, mendaftar di sana dan ikut tesnya. Ini persis seperti di mimpiku, setiap detailnya.

Dalam hati saya bilang, what a coincidence, saya baru tahu kemarin dan hari ini open house. Kalau saya enggak dapat informasinya, enggak bakalan saya ke sana melihat sekolah itu. Biasanya dia juga malas kalau diajak lihat sekolah, kali ini dia biasa saja, tidak menolak, tidak mengiyakan: ayo jalan, begitu saja. Jadi saya pikir, bukan kebetulan itu.

Ketika masa awal pengenalan sekolah, dia memberi tahu saya – yang saat itu ada sesi terpisah kalau dia sudah ada kenalan 1 orang. Saat bubar saya ketemu dengan kawannya itu dan mamanya. Sebelum pulang kami bertukar nomor ponsel lalu mengobrol. Ketika di jalan pulang, tiba-tiba anak saya berteriak: “Oh my God! Oh my God!

Saya kemudian tanya: “Duuh kamu ada apa sih teriak-teriak?” Sejurus dia kemudian menjawab: “I just remember, she (her new friend’s name) was in my dream, I knew her, that’s why when I saw her i feel familiar.

Sampai sekarang kami masih belum tahu apa rencana Tuhan. dia punya watak agak keras, beda dengan adiknya. Tapi saya sempat bilang, coba diasah, pasti Tuhan punya rencana.

Dia jawab: “Ogah ah, dipakai buat cari duit?”

“Enggakk…dipakai buat menolong orang kan bisa,” kata saya.

“Oh iya ya,” ujarnya.

Oh iya, satu lagi. dia cukup pintar berbahasa Inggris. Pada umur 2 tahun dia bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris yang sederhana dan lancar. Akhirnya saya masukkan kursus dan sekarang dia hobi menulis fiksi pakai bahasa Inggris full.

Saya masih bertanya-tanya, apa dia termasuk indigo? Entahlah, indigo atau bukan, tidak penting, saya hanya ingin hidupnya dan kemampuannya kelak berguna untuk orang lain.

DK (data penulis ada pada Redaksi)

Foto: AdinaVoicu/pixabay

Jangan Sepelekan Anak Indigo (Tentang Indigo Bagian 3)

Pada bagian pertama dan kedua, saya sudah menceritakan pengalaman-pengalaman yang terjadi karena ‘kekhususan’ yang saya punya sejak kecil sampai dewasa ini. Menurut saya, menjadi seorang anak atau seorang dewasa indigo, bukanlah suatu kelebihan khusus.

Bagi saya seorang anak atau seorang dewasa lainnya yang pandai matematika, pandai bermusik, melukis, menyanyi atau menulis lebih baik daripada seseorang yang indigo karena kepandaian-kepandaian mereka menurut saya lebih bermanfaat dan bisa dinikmati oleh orang lain.

Sebab terkadang bila saya mendapat suatu mimpi, perasaan atau pengelihatan yang jelas, saya bingung tindakan apa yang harus saya ambil. Namun dari beberapa pengalaman saya yang terus berkembang, berikut adalah hal-hal yang bisa Anda lakukan bila anak atau keluarga Anda mempunyai kemampuan seperti ini:

1. Dengarkan omongannya.

Jangan sepelekan omongan dan perasaan anak bila dia bisa melihat hal-hal yang di luar kewajaran, makhluk halus misalnya. Temani dia, katakan padanya tidak perlu takut, ada mama papa di sini. Ajak berdoa atau mengusir makhluk tersebut dengan kuasa doa. Tolong jangan matikan lampu sampai dia benar-benar pulas. Pasang musik yang lembut juga dapat membantunya memiliki perasaan yang nyaman sebelum tidur. Bila anak Anda mempunyai teman khayalan yang sering mengikutinya, ajar dia untuk tidak berinteraksi dengan teman khayalannya dan ‘usir’ dengan doa.

2. Ajar anak Anda berdisiplin dan belajar bertanggungjawab.

Anak indigo biasanya anak yang pemberontak dan tidak taat aturan karena dia merasa dia memiliki kemampuan untuk mempelajari segala sesuatu sendiri (walaupun dia tidak menyadari sikapnya). Pikirannya sangat aktif dan melanglang buana. Ajarkan dia berdisiplin dan teratur secara bertahap, misalnya mengatur keperluan sekolahnya sendiri agar pikirannya lebih terkelola. Anak indigo juga memiliki keinginan yang kuat untuk mempelajari sesuatu. Jadi bila Anda menemukan ciri-ciri ini pada anak Anda, berikan dia aktivitas, keahlian, hobi yang bisa dia tekuni agar energinya teralih kepada hal-hal yang lebih positif dan bisa mengontrol sifatnya yang reaktif atau impulsif.

3. Jangan menjadi orangtua yang otoriter.

Orangtua yang otoriter tidak bisa bekerjasama dengan anak indigo. Sifat otoriter orangtua hanya akan membuat anak indigo semakin memberontak dan marah. Ini pengalaman saya.

4. Bila kemampuan-kemampuan supranaturalnya terus berlanjut hingga dewasa, ingatkan dia untuk bijaksana dan berhati-hati menyampaikan sesuatu yang ia ketahui kepada orang lain.

Misalnya dia mendapat mimpi tentang seseorang atau melihat seseorang melakukan sesuatu dalam pengelihatannya, pikir dulu matang-matang apa perlu dia menyampaikan hal tersebut kepada orang yang bersangkutan. Bila tidak bijaksana hubungannya malah bisa rusak dengan orang tersebut.

5. Bila anak Anda tidak dapat Anda tangani, bawa anak Anda ke psikolog untuk mendapat medikasi atau arahan dan bimbingan yang tepat.

***

Demikian hal-hal yang bisa saya bagikan mengenai anak-anak indigo menurut pengalaman saya pribadi.

Sekali lagi saya katakan ini bukanlah sesuatu yang istimewa dan patut dibanggakan atau disombongkan, karena saya meyakini semua manusia adalah ciptaan Tuhan dan diciptakan seturut dan serupa dengan gambar-Nya. Sehingga semua manusia juga mempunyai karakter dan kemampuan ke-Ilahian.

Akhirnya saya ingin menutup tulisan saya ini dengan berpesan kepada siapa saja yang membacanya untuk tidak berusaha menghubungi saya untuk menanyakan nomor togel seperti kebiasaan seorang teman saya…hehehe..

Tulisanku ini kupersembahkan untuk :
1. Anakku terkasih William Benjamin yang sangat keras kepala dan sulit diatur. Sepertinya kamu juga seorang anak indigo, nak.

2. Phillipa (Pippa) Supra Brillian, anak perempuanku yang masih dalam pengelihatan indigoku. Well, let’s see if you will really come in the future.

Rachel Rosalyn

Foto: danmo/pixabay

Sebelum Tsunami Aceh Terjadi, Saya Merasakannya.. (Tentang Indigo Bagian 2)

Minggu pagi, 26 Desember 2004. Beberapa saat sebelum tsunami Aceh terjadi, saya terbaring sakit di kamar. Sekonyong-konyong saya menangis keras-keras dan berteriak-teriak pada suami, bukan karena rasa sakit tapi rasa tertekan yang amat sangat.

Saya mengatakan pada suami seperti ada sesuatu yang terjadi. Saya merasakan seperti Tuhan turun ke muka bumi dan saya memaksa untuk diizinkan ke gereja walaupun akhirnya tidak diizinkan. Untuk mengalihkan perasaan saya, saya menyalakan televisi dan ada berita tentang tsunami di sana.

Peristiwa itu sangat membekas dalam ingatan saya dan saya kira itu adalah salah satu ciri khas anak-anak indigo.

Oleh sebab ketajaman panca indera yang luar biasa dari manusia indigo, mereka pun bisa melihat atau merasakan hal-hal yang tidak pada umumnya dirasakan atau dilihat oleh orang lain.

Sebenarnya apa sih ciri-ciri orang indigo? Kalau bercermin pada pengalaman sendiri, maka ciri indigo adalah sebagai berikut:

1. Memiliki daya ingat yang sangat baik dan kemampuan tajam untuk mengamati.

Jangankan peristiwa 10 atau 20 tahun yang lalu, beberapa kejadian di atas 30 tahun yang lalu pun saya masih ingat secara mendetail. Saya bertanya, bayi siapa yang ibu saya gendong dalam gendongan merah pada saat kami menuju suatu tempat. Ibu saya pun terkaget-kaget ketika saya menanyakan hal itu setelah besar, karena dia pikir saya tidak memperhatikan kejadian tersebut. Ada sebuah rahasia keluarga besar yang ia simpan rapat dari saya dan itu kemudian terbongkar.

2.Cerdas dan kreatif. Bahkan ada anak-anak indigo yang mampu berbahasa asing dengan cepat padahal dia tidak dibesarkan dalam keluarga yang berbahasa asing.

Saya bukanlah anak yang berprestasi ketika masa-masa sekolah bahkan boleh dikategorikan bodoh dan pemalas. Namun daya tangkap saya berkembang seiring berjalannya waktu dengan keinginan kuat untuk berkonsentrasi dan berdisiplin dalam belajar. Belajar bahasa asing bukanlah perkara sulit buat saya. Dua sampai tiga bahasa saya pelajari dalam waktu yang bersamaan dan nilai memuaskan selalu saya dapatkan. Sekarang saya adalah seorang guru bahasa Inggris privat dengan kemampuan mengajar sebagian besar saya olah sendiri dan semua orangtua murid puas dengan hasil bimbingan saya pada anak-anak mereka.

3. Berjiwa tua. Mempunyai rasa empati dan spiritualitas yang besar. Mempunyai keinginan melayani sesama yang besar.

Waktu saya kecil hingga remaja, ibu sering terkaget-kaget mendengar perkataan-perkataan saya yang terlontar menasihati ibu saya seperti orang dewasa. Misalnya, sewaktu saya remaja pernah bilang pada ibu, “Buat apa seorang wanita itu bekerja terlalu keras, seorang ibu seharusnya berada di rumah bersama anak-anaknya. Uang bukan segalanya.”

Sungguh tidak ada yang mengajari saya berkata seperti itu dan tidak saya dapatkan dari mana-mana. Mungkin karena itu pula ibu saya pensiun dini dari pekerjaannya…hehehe. Saya kemudian mencoba masuk ke sebuah seminari teologia karena ada keinginan kuat ingin melayani sesama. Namun pendidikan itu saya tinggalkan karena sesuatu hal, dan juga terutama karena sekolah itu tidak sesuai aspirasi saya untuk masuk ke pedalaman Papua.

4. Berpikiran di luar kotak (Out of the box).

Sering berpikir hal-hal yang tidak pada umumnya. Di luar konteks yang orang lain sedang bicarakan (berbeda).

5. Sangat sensitif dan intuitif.

Bisa merasakan bila keadaan seseorang sedang tidak baik, sakit, bersedih, dan lain-lain. Perkataan-perkataan seperti ini biasanya terlontar oleh saya: “Kamu lagi tidak enak badan ya? Kamu kayaknya lagi kurang konsentrasi, ada masalah?”

Sangat mudah bagi saya menilai apakah suami saya berbohong, seseorang sedang sakit, seseorang jatuh cinta atau ada relasi dengan seseorang tanpa diberitahu orang lain. Bahkan terkadang saya bisa mengetahui apabila seseorang yang saya kenal sedang atau baru memposting sesuatu di sosial media bukan karena tanda notifikasi, mengikuti saya di jalan, atau di sosial media (padahal saya tidak memberikan nomor telepon atau ID sosmed saya).

Rachel Rosalyn

Foto: Dlee/pixabay

Pengalaman Supranaturalku, Aku Ini Indigo Atau… (Tentang Indigo Bagian 1)

…? You’re my little indigo girl, indigo eyes, indigo mind… ?

-Watershed-

Usia 4-5 tahun
Tidur adalah hal yang menakutkan bagi saya di masa kanak-kanak (sekitar usia 4 atau 5 thn). Nyaris setiap malam saya melihat barang-barang berterbangan di langit-langit kamar: pakaian ayah ibu saya, barang-barang di kamar dan bahkan saya melihat ular-ular dan binatang aneh lainnya. Jika sedang beruntung, 3 peri kecil manis sebesar Peterpan atau Tinkerbell menari-nari menemani di samping tempat tidur atau seorang pria setengah badan yang (setelah besar) saya pahami memakai model rambut bangsawan dan mengenakan pakaian batik dan selalu tersenyum kepada saya.

Tiap malam saya sangat tertekan karena orangtua saya tidak mempercayai apa yang saya lihat dan memaksa saya untuk tidur dengan lampu dipadamkan.

Usia 13-14 tahun
Suatu malam, kurang lebih sewaktu saya kelas 2 SMP, saya sedang belajar di kamar dan mendengar tamu datang dan ngobrol dengan orangtua. Sejenak saya keluar kamar untuk ke kamar kecil. Sambil melewati seberang ruang tamu saya pun melemparkan senyum kepada kedua tamu yang saya lihat. Kak Vera, isteri sepupu jauh saya, dan seorang ibu tua.

Saya kembali ke kamar dan melanjutkan belajar. Setelah saya dengar tamu pulang, saya keluar kamar kembali dan bertanya pada orangtua, dengan siapakah kak Vera datang tadi. Orangtua saya mengatakan bahwa kakak itu datang sendiri tanpa didampingi siapa pun. Argumentasi pun terjadi karena saya ngotot bahwa saya melihat dua orang. Argumentasi dengan orangtua saya membuat saya merasa sangat tolol.

Usia 37 tahun
Pada suatu hari saya merasa sahabat saya akan ditipu seseorang secara finansial. Tanpa berpikir panjang saya pun menelepon dia dan menasihati dia untuk berhati-hati dalam berbisnis dan ternyata dia akan melakukan suatu transaksi. Sayang nasihat saya tidak disambut baik dan dia pun benar-benar ditipu 100 juta dan hubungan kami rusak, tidak saling berbicara selama 2 tahun.

38 tahun
Lewat petang hari sewaktu saya sedang berdoa di kamar (lampu saya matikan), saya melihat sebuah batu besar melayang di langit. Pandangan mata saya seperti bisa menembus atap rumah. Tanpa tahu apa artinya dan tidak tahu ke mana saya harus cerita, saya hanya menyimpannya di dalam hati. Dua hari kemudian diberitakan di TV bahwa ada sebuah benda angkasa (kemungkinan sisa meteor) jatuh di Duren Sawit, tidak jauh dari tempat saya tinggal.

37-40 tahun
Mendapatkan mimpi sebelum gunung Sinabung meletus. Saya juga mendapatkan mimpi sebelum pesawat German Wings jatuh di perbukitan di Perancis.

Apa yang Terjadi pada Saya?

Hal-hal seperti itu sering terjadi di dalam hidup saya dan membuat saya dilema untuk menceritakannya kepada orang lain. Saya sering jadi merasa aneh dan tolol ketika saya ceritakan kepada orang lain, karena mereka malah menyepelekan omongan saya, atau bahkan mengatakan saya sok tahu, negatif thinking, suka meramal, dan sebagainya.

Saya pun berusaha memahami dan menggali sendiri beberapa informasi yang dapat membantu saya memahami apa sebenarnya yg terjadi dalam diri saya. Berbagai perspektif saya gali, secara pandangan Kristen yang saya anut, yang disebut sebagai karunia, dan pandangan psikologi populer.

Dalam tulisan saya ini, saya ingin sedikit berbagi dari apa yang saya dapat pahami dari pandangan psikologi populer.

Pernahkah Anda mendengar istilah Indigo?

Istilah indigo sebenarnya sudah ada sejak tahun 70an tapi mulai populer sejak diterbitkannya sebuah buku mengenai hal ini pada 90-an. Beberapa definisi pun diberikan kepada orang-orang, khususnya anak-anak yang mempunyai kelebihan yang disebut indigo ini.

Beberapa definisi itu adalah:

1. Anak indigo adalah anak-anak yang diyakini memiliki kemampuan atau sifat spesial, tidak biasa atau supranatural (yang bahkan mempunyai kemampuan paranormal seperti telepati).

2. Anak indigo juga sering didiagnosa sebagai pengidap ADHD (Attention deficit Hyperactivity Disorder), yang mana anak-anak ini sulit konsentrasi, hiperaktif dan impulsif sehingga biasanya mempunyai masalah dalam tidur dan belajar tetapi bukan berarti mereka miskin intelijen. Anak indigo juga sering didiagnosa sebagai anak penderita autisme.

3. Anak indigo juga didefinisikan sebagai anak yang mempunyai Extra Sensory Perception (ESP).

Pertanyaannya, apakah saya anak indigo?

Ikuti kelanjutan tulisan soal indigo ini, yang akan disajikan secara berseri ya.

 

Rachel Rosalyn

Foto: danmo/pixabay

“No Maid, No Cry” (Tips bertahan tanpa ART)

(Tips bertahan tanpa asisten rumah tangga)

Asisten rumah tangga sudah balik? Sudah? Waw. Selamat.
Ada yang belum balik? Waw. Selamat juga.
(‘Apaaa? Selamat?’ Mungkin ada yang protes.)
Bukan, bukan. Ini bukan sarkasme. Ini sungguh ucapan selamat.

ART kami juga belum kembali. Padahal baju-bajunya masih ditinggal dan janji kembali, tapi kemarin di SMS dia bilang bingung karena ditahan oleh ibunya. Jadi sekarang kami masih galau menyimpan tanya: Mau dibawa kemana hubungan kita…? 🙂
maid
Awalnya saya sungguh kuatir. Melebihi kuatir dari biasanya. Ibu-ibu memang sepertinya sudah dari sononya sering kuatir. Bahkan dalam sebuah film ada yang bilang: Tugas seorang ibu adalah untuk kuatir. Mengapa saya lebih kuatir?
Tahun kemarin neneknya masih ada. Rumah nenek dekat dengan rumah kami, jadi saya bisa titip anak-anak pada neneknya. Tapi tahun ini neneknya sudah tidak ada, tahun lalu berpulang. Hilanglah rasa aman terbesar saya!
Tapi sebenarnya masih ada kakek. Pastinya kakek tak bisa segesit nenek mengurus cucu, tapi justru si kakek perlu ditemani cucunya. Nah. Ini bisa mengurangi rasa kuatir tadi.

Tapi lalu saya ingat, setiap lebaran, selama ART mudik, anak-anak kami selalu turut membantu pekerjaan rumah (walaupun itu tidak selalu berjalan dengan mulus). Jadi, selamat yang maksudkan tadi adalah, selama ART tidak ada, anak-anak kita bisa belajar mandiri, belajar bekerja dan belajar memiliki tanggung-jawab, serta keakraban keluarga pun makin terasa dengan kerjasama.  Jadi, selamat menikmati kerjasama dengan anak-anak di rumah.

Tahun ini anak sulung saya masuk SMP. Artinya dia sudah lebih bisa diberikan tanggung-jawab yang lebih besar. Kali ini, anak saya sudah mulai bisa mengulek bumbu masakan. Tahun sebelumnya hanya mau menyeterika dan mencuci piring. Dia tidak suka menyapu dan mengepel. Jadi tugas ini saya serahkan pada adiknya. Adiknya yang masih kelas 2 SD mau melakukan tugas itu walau hasilnya jauh dari memuaskan. Bukannya bersih, rumah makin berantakan dan becek, hahaha…

Tapi saya senang. Sekalipun yang diseterika anak saya hanya baju-baju mereka dan hanya mencuci sendok-piring-gelas (mencuci alat yang besar seperti panci presto tidak mau), itu sudah sangat membantu saya.

Jangan salah. Meminta anak-anak untuk membantu di rumah bukanlah hal mudah. Untuk memanggilnya keluar kamar saja mungkin saya perlu 573 kali panggilan (lebay, hehe). Lalu untuk memintanya mencuci piring misalnya, saya perlu beberapa cara (Jika cara nomor 1 tidak berhasil, lanjut ke cara nomor berikutnya, dan seterusnya) seperti berikut:
1. Meminta. (Tolonglah, Sayang…)
2. Membujuk. (Nanti uang jajanmu ditambah...)
3. Memaksa. (Kamu pilih, mau menyapu atau mencuci piring, atau menyikat kamar mandi?)
4. Mengancam. (Kalau kamu tidak mau, kamu tidak boleh main HP lagi!)Kebetulan cara-cara ini, pada akhirnya, selalu berhasil. Hehehe…Setelah anak mau membantu pekerjaan rumah tangga, jangan lupa berikan pujian dan ucapan terima kasih. Juga kalau ada iming-iming atau janji, harus ditepati. Itu akan memotivasi mereka lebih rajin membantu lagi.

Saya dan suami bekerja. Jadi otomatis kami berempat harus bangun pagi. Anak-anak ke sekolah, orangtua ke kantor. Untuk menghindari bangun terlalu pagi, saya menyiapkan semua bumbu dan bahan masakan di malam hari, dan tinggal diolah besok paginya.

Tempat bekal makan siang kita semua, juga sudah saya siapkan di atas meja dapur, tinggal diisi besok paginya. Seragam anak-anak sudah disiapkan di malam hari termasuk baju dalaman, kaus kaki dan sepatu. Demikian juga tas sekolah dan segala isinya.

Menyiapkan bahan masakan di malam hari memang lebih hemat waktu. Sebenarnya ada cara lain yang lebih efisien, yaitu katering sehat. Kebetulan saya punya kenalan yang biasa memasak katering dalam jumlah kecil. Kita bisa pesan beberapa jenis lauk, misalnya pepes ikan, nugget dan daging kecap untuk stok beberapa hari dan disimpan di freezer. Dikeluarkan secukupnya untuk dikonsumsi tiap hari dengan menu berbeda.

Kalau musim libur lebaran kita masih bisa cuci sendiri, tapi mungkin akan terasa berat jika sudah mulai bekerja. Pulang kantor, mencuci dan menyeterika bisa dilakukan tapi akan melelahkan. Solusi yang lebih efisien untuk hal ini adalah cuci kiloan. Murah dan praktis. Memang butuh waktu beberapa hari, tapi kita bisa atur baju mana yang perlu cepat dipakai, yang bisa kita cuci sendiri.

Tinggalkan nomor telepon kantor dan ponsel, yang ditulis besar-besar di dekat meja telepon, agar anak bisa menghubungi kita kapan saja. Jika anak sudah punya ponsel, akan lebih praktis. Jika memungkinkan, usahakanlah menelepon anak minimal dua kali dalam sehari, untuk mengecek apakah mereka sudah di rumah, sudah makan/mandi dan sudah mengerjakan tugas.

Tips lainnya lagi, jika ART belum balik,  untuk bisa turut menjaga rumah dan anak-anak, milikilah hubungan yang baik dengan tetangga dan penjaga lingkungan (contohnya satpam kompleks). Menitipkan rumah kepada satpam atau tetangga yang kenal baik akan sangat membantu.
Kalau pulang kantor malam hari anda sudah kelelahan dan belum sempat merapikan rumah, ibu-ibu, janganlah terlalu galau. Biarkanlah rumah sesekali kurang rapi. Duduk saja dengan anak-anak dan suami, singkirkan ponsel, bertukar cerita kejadian di sekolah hari ini sebelum tidur. Atau jika sempat, mari menemani mereka belajar.
Seorang Ibu memang bangun paling dulu dan tidur paling akhir. Makan paling belakang dan selesai paling dulu. (Nah kalimat terakhir ini adalah tambahan dari pengalaman pribadi :)).
Seperti kata Kitab Amsal: Istri yang cakap, bangun kalau masih malam, lalu menyediakan makanan untuk seisi rumahnya. Ia mengikat pinggangnya dengan kekuatan, ia menguatkan lengannya. Ia mengawasi segala perbuatan rumah tangganya, makanan kemalasan tidak dimakannya.

Berbahagialah menjadi ibu yang sibuk dan letih. Nikmatilah ‘kekacauan’ ini, karena ini tak lama. Sebentar lagi mereka akan beranjak dewasa dan kita akan rindu masa-masa menggemaskan ini.

Dan tetap bersyukurlah pada Tuhan. Kau repot mengurus rumah, tandanya kau punya rumah. Pontang-panting mengurus anak, tandanya punya anak. Semua itu berkat Tuhan. Semua itu layak disyukuri.  Jadi nikmatilah. Relax and enjoy.

NB. Tapi Si mbak kira-kira balik nggak, ya? 🙂

Almino Situmorang

Foto: jarmoluk/pixabay