Tag Archives: renungan

DOA YANG DITOLAK

Mengapa doa ditolak? Mungkinkah itu salah satu cara yang walau menyakitkan, bisa membuat kita semakin dewasa?

Waktu sekolah dulu, teman-teman saya suka iseng mencomot makanan ketika temannya sedang berdoa. Jadi, belajar dari pengalaman, kalau mau makan, sambil berdoa, ada teman saya yang akan menutupi makanan dengan kedua telapak tangan untuk menghindari para ‘maling’ jahil itu. Tentu saja doanya jadi kurang konsentrasi. Itu memori lucu saya tentang doa yang masih berkesan.

Apa yang paling berkesan bagi anda, tentang doa? Ada teman saya yang usil yang menjawab demikian: Doa saya paling sering ditolak!

Wah. Pernahkah doa anda ditolak? Teman saya itu pasti menjawab: Pernah banget! Sering, malah!! (Hahaha).

Jaman mahasiswa, saya pernah mendoakan sesuatu, cukup lama. Akhirnya saya sedih sekali karena ternyata doa itu ditolak. Tapi rupanya, doa itu bukan ditolak, hanya diundur waktunya. Pada akhirnya, kisahnya adalah happy ending. Sampai kini hal tersebut adalah sebuah pengingat bagi saya untuk berusaha bersabar, menunggu waktu jawaban Tuhan.

Jangan salah. Seperti teman saya yang usil tadi, doa saya yang betul-betul ditolak juga banyak, dan ada yang hingga kini masih berbekas. Tapi kembali saya ingat kejadian ‘pengingat’ tadi, dan walau masih belajar iklas, tetap saja terasa berat. Mungkin memang perlu waktu.

Seorang sahabat, sejak beberapa tahun belakangan ini memiliki pergumulan berat. Akhir-akhir ini dia, jika dia kirim pesan WA ke saya, keluhannya adalah, seolah doanya tak terjawab. Atau doanya mungkin ditolak. Dia hampir menyerah. Karena sama-sama sibuk, saya dan dia hanya bisa komunikasi aktif dengan chatting. Membaca ceritanya, kadang saya ikut menangis selama chatting. Sejujurnya, saya juga ikut letih pada pergumulannya. Seolah tak ada jawaban, seolah tak ada jalan keluar. Dan itu sungguh menyesakkan dan melelahkan. Saya hanya bisa menghiburnya dengan mendorongnya bersabar dan percaya, walau mungkin saya juga tak bisa sekuat itu.

Bicara soal ditolak, memang tak ada enaknya. Ditolak itu sakit. Ya ditolak cintanya, ya ditolak lamaran kerjanya, ditolak masuk suatu kumpulan, atau ditolak proposal kenaikan gaji, dan lainnya. Ditolak itu menyakitkan. Jangankan yang ditolak jika kita yang meminta, bahkan jika yang ditolak pemberian atau sumbangan kita pun bisa bikin sakit hati.

Bagaimana dengan doa yang ditolak tadi? Teman saya bertanya: Apa yang membuat Tuhan sebegitu ‘pelit’ atau ‘kejam’ menolak doa umat ciptaanNya?

Saya ingat sekali kala masih muda dulu pernah curhat dalam doa pada Tuhan. Saya dengan jujur berdoa dan bilang padaNya: Tuhan saya benci sama itu orang, jahat banget dia sama saya, Tuhan pasti tahu. Tuhan pasti tahu juga saya saat ini nggak mau maafin dia dan saya berharap dia mendapat balasan setimpal atau lebih buruk. Saya berharap segala yang terburuk terjadi menimpanya. Tuhan, Engkau tahu isi hati saya dan itulah keinginan jujur saya. Timpakanlah segala cilaka padanya! Tapi Kau Tuhan pengasih. Kau pasti mengampuni dia. Tapi dia jahat banget, Tuhan!

Habis berdoa, saya bengong. Hah! Doa macam apa tuh! Beberapa waktu setelah itu, jika saya teringat, saya menertawakan diri sendiri. Betapa silly doa itu walaupun betapa jujurnya. Tapi Tuhan kan tidak menolak doa macam apapun. Tidak ada doa yang ditolak dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Intinya adalah pada kalimat penutup: Tapi kehendakMulah yang jadi. Amin.

Pada akhirnya saya sadar, jawaban Tuhan atas doa yang tadi itu adalah: Tugasmu adalah mengampuni. TugasKu, membalaskan dengan caraKu dan waktuKu, dan itu bukan urusanmu.

Tentang doa, analogi saya kemudian menjadi sederhana. Seperti ini. Anak saya boleh meminta apa saja. Tapi sayalah orangtua. Saya lebih tahu yang terbaik untuknya. Dia bisa minta dibelikan iphone terbaru, tapi saya bisa memberikannya hanya ponsel biasa, sebab saya tahu yang penting buat dia adalah komunikasi, bukan gaya keren-kerenan yang akan membuat dia sombong dan dibenci teman-temannya.

Pernah juga, dulu ada doa yang dikabulkan Tuhan yang kemudian membuat saya menyesal. Ada sebuah cita-cita impian saya dan Tuhan mengabulkan doa saya untuk hal itu. Tapi ternyata impian itu tidak seperti yang saya harapkan. Apa maksud Tuhan di situ? Apa mau bilang: ‘Nih rasain permintaan lu nih!’?
Bukan. Mungkin Tuhan ingin saya belajar sesuatu dari situ. Dan betul. Saya jadi belajar, tidak semua impian atau keinginan kita baik bagi kita. Atau mungkin memang baik, walau dengan cara yang menyakitkan, yang bisa membuat kita semakin dewasa. Itu mungkin berlaku bagi pergumulan sahabat saya tadi.

Lalu seorang teman bertanya: Jadi apa resep doa yang manjur? (Manjur? Lu kira jamu! jawab teman usil tadi.) Tapi betul. Memang ada. Ada resep doa yang manjur. Doa yang pasti dikabulkan. Apa itu?

Mau doa manjur? Tinggallah di dalam Aku. Apa pun yang kau minta akan Kuberikan.

Itu tertulis dalam kitab Yohanes 15:7. Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya.

Apa itu artinya tinggal dalam Tuhan? Pendeta saya menjabarkannya seperti berikut ini.

Artinya, ketahuilah hati Tuhan. Kenalilah Tuhan. Lakukanlah perintah Tuhan. Bertingkahlakulah sebagai anak Tuhan.

Anak Tuhan?

Ya. Kalau kita tinggal di dalam Tuhan, dan melakukan firman Tuhan, tak mungkin lagi kita meminta/mendoakan hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.

Contohnya?

Tuhan tidak suka kesombongan, jadi percuma kita berdoa minta jadi millioner sebab itu mungkin akan membuat kita jadi sombong, berbuat dosa dan jadi batu sandungan. Anak Tuhan takkan minta sesuatu yang akan membuatnya tidak menaati Tuhan.
Masih bingung?

Misalnya kau anak pendeta. Kalau sudah tahu ayahmu enggak bakalan kasih kau pergi ke diskotik, untuk apa menghabiskan waktu untuk bolak-balik minta ijin ke diskotik? Sudah pasti ditolak. Tapi jika kau minta ijin pergi ke gereja, pasti dikasih langsung, malah disuruh cepat-cepat berangkat, dan mungkin diberi ongkos lebih dan uang jajan (hahaha).

Teman usil tadi pun menyimpulkan dengan asal. Kalau begitu, percuma dong berdoa minta jadi milioner, doanya bakal ditolak! Lalu saya bolehnya minta apa dong?

Kata pendeta, mintalah hikmat, kesabaran, kasih. Itu pasti manjur, pasti dikabulkan! Seratus persen manjur! Mintalah hikmat untuk bisa hidup saleh walau tak jadi milioner. Sebab tujuan hidup kita adalah untuk memuliakan Tuhan, bukan untuk menjadi milioner.

Anak saya pernah bingung karena jika dia minta uang sumbangan untuk murid yang berduka di sekolah, pasti saya kasih, dan jumlahnya pasti lebih besar dari pada uang jajannya. Kalau dia minta uang untuk beli mainan pasti saya interogasinya lama dan belum tentu dikabulkan. Dia sempat kesal.

Begitulah kadang saya melihat diri saya dalam hal jawaban doa. Apa yang kita inginkan bukan selalu yang kita butuhkan. Memang menyakitkan ketika doa kita tidak dikabulkan. Tapi Tuhan tahu yang terbaik bagi anak-anakNya. Dan seperti kata pendeta, apapun isi hati kita, tak ada salahnya menceritakan pada Tuhan. Segala curhat, ‘aib’ dan rahasia kita aman di tanganNya, tak bakalan disebarkan ke orang lain. Yakinlah! Jaman sekarang serba terbuka. Kita curhat lewat telepon bisa direkam/disadap. Curhat lewat email/surat/chatting, bisa disimpan atau di-captured dan disebar. Tak ada lagi privasi. Lalu mengapa tak kembali kepada doa, privasi tertinggi, terpercaya dan tersejahtera?

Lalu kata pendeta saya: Tapi, jangan berdoa hanya jika sedang ada permintaan lho, ya. Itu namanya egois. Memangnya kau suka jika temanmu muncul pada saat ada maunya saja? Memangnya enak kalau teman hanya telepon kalau mau minta tolong, tetangga hanya datang kalau mau pinjam uang? Memangnya enak diperlakukan begitu?

-*-

Foto: Pixabay

 

Kamu Egois, Aku Egois

Salah satu masa paling menyenangkan selama bergelut di dunia kerja ini adalah ketika suami saya pindah ke kantor di sebelah gedung kantor tempat saya bekerja. Kami bisa berangkat dan pulang kerja bersama dan sesekali janjian makan siang berdua, atau makan malam berdua sepulang kerja sebelum pulang ke rumah. Semacet apapun Jakarta rasanya tak terlalu mengganggu sebab saya tinggal duduk dan suami yang menyetir. Kami bisa mengobrol sambil ngemil dan mendengarkan radio/musik.

Tapi itu tak lama. Setelah beberapa tahun, dia ditugaskan lagi ke kantor cabang perusahaan yang lain yang berada di pinggiran Jakarta. Tak mungkin lagi dia antar atau jemput saya, sebab berbeda arah. Pernah terpikir untuk mengemudi sendiri atau mencari pengemudi pribadi, tapi pada akhirnya memutuskan lebih praktis kembali ke pangkuan angkutan umum, yang sebelum dan sesudahnya dan kapan saja seolah setia mendampingi saya (hahaha).

Apa yang terjadi dengan warga angkutan umum sekarang? Begitu saya bertanya dalam hati ketika baru kembali lagi ke ‘alam bebas’ itu. Rasanya seperti dulu ketika baru pulang dari Jepang yang serba rapi dan kagok ketika melihat semrawutnya Jakarta.

Satu kata yang lantas terbersit dari pikiran saya adalah: Egois.

Seperti kemarin pagi, di angkot, dengan cueknya seorang bapak berpakaian rapi merokok seenaknya padahal semua isi angkot yang mayoritas wanita sudah menutup hidung dan mengibas-ibas sebagai isyarat supaya beliau mematikan rokok. Egois sekali bapak ini! pikir saya. Teringat di Jepang ada inovasi untuk perokok, namanya Smoking Bells (bentuknya seperti bell/lonceng). Alat ini didesain untuk membuat perokok menikmati asap rokoknya sendiri di tempat umum, hingga tidak akan mengenai orang di sekitarnya.

Lalu soal tempat duduk di angkutan umum. Jika saya bandingkan, bila pagi hari saya naik patas AC, kemungkinan besar tidak akan dapat tempat duduk. Yang duduk sambil tidur adalah (selain wanita) para pria berpenampilan kantoran rapi yang seolah takkan peduli sekalipun ada nenek atau ibu hamil berdiri di dalam bus.

Jika saya naik kopaja, yang kebetulan isinya kebanyakan para buruh, kemungkinan besar mereka akan memberikan saya (atau wanita lainnya) tempat duduk mereka. Di situ saya kadang merasa sedih (ini bukan bercanda). Membandingkan kedua hal ini membuat saya miris. Kembali satu kata itu terbersit. Egois sekali para pria kantoran ini!

Lalu bukan hanya itu. Ada saja penumpang yang tidak mau menggeser tempat duduk untuk orang di sampingnya. Jika karena ukuran badan jadi tidak muat, mungkin bisa dimaklumi. Tapi jika karena ogah rugi, misalnya harusnya bisa berlima tapi yang duduk masih empat orang, aduh! Penumpang egois! (Makan tuh tempat duduk! Begitu teman saya pernah memaki).

Lalu kemarin lusa, seorang berpenampilan mahasiswi duduk di sebelah saya di kopaja. Di Sudirman, dia turun lebih dulu. Anehnya, tak ada ucapan permisi atau ngomong apa kek supaya saya memberi jalan, nyelonong saja dengan kasar. Untung saya sudah antisipasi, segera bangkit berdiri agar dia bisa keluar dengan lega, padahal saya cuma geser kaki juga sebenarnya dia masih bisa lewat. Bahkan saya sampai berdiri mundur memberi jalan, hingga saya berdiri di selasar kopaja. Yang tak saya duga, masih sempat-sempatnya sepatu kets-nya mundur dan menginjak sepatu saya. Saya hanya berdecak dan mengusap sepatu. Sakitnya nggak seberapa, kesalnya itu lho. Lalu, ketika saya turun, saya baru sadar suatu hal.

Astaga, saudara-saudara, rupanya sudah copotlah aksesori blink-blink sepatu lama favorit saya yang modelnya sudah tidak diproduksi itu lagi! (Ini bagian lebaynya, hahaha).

Dengan sedih dan geram saya pungut si Blink-blink yang oleh rekan kantor yang jahil disebut swarovski. Lalu saya melangkah dengan gaya sok cool walau diam-diam berharap tak ada yang memerhatikan perbedaan di antara kedua sepatu saya! (Tengsin, tahu!). Tiap kali ada orang berpapasan dengan saya dan melirik ke bawah, saya langsung mempercepat langkah, bagai selebiriti menghindari paparazzi (cuiiii…).

Tiba di pintu masuk gedung, satpam juga melirik sepatu saya walau tak berkata apa-apa. Masuk kantor, rekan-rekan saya terpingkal-pingkal mendengar cerita saya. Kasihan, untung swarovski mahalnya nggak hilang pas copot tadi, goda mereka. Lalu seorang teman sepakat dan berkata, memang anak muda jaman sekarang egois banget dan kadang nggak punya manner. Tentu saja itu hiperbola dan tak bermaksud menggeneralisasi. (Lalu saya mengelem kembali sang swarovski palsu, dan sepatu favorit saya kembali ke penampilan semula).

Belum selesai sampai di situ. Ketika saya turun lift dan mau keluar di lobi, ada orang yang berada di lantai itu segera menerobos masuk. Padahal sudah jelas ada aturan, biarkan yang mau keluar terlebih dahulu. Kayak mau naik angkot aja takut nggak keangkut ya, Neng? Dan itu sering terjadi. Memangnya dia nggak bisa bedain apa, ini lift Neng, bukan kopaja yang orang berebutan naik! Kalau di perkantoran pusat bisnis sudirman saja masih begini gaya orang kerja, apa kata dunia?! Egois amat sih, Mbak? Harusnya dia lihat kebiasaan di Jepang, jika naik eskalator, orang-orang berjajar rapih di sebelah kiri, dan jika ada yang buru-buru silakan berjalan di sebelah kanan.

Tapi mungkin bukan hanya dia, dia, dan dia tadi yang egois. Mungkin saya juga pernah melakukan keegoisan yang kurang-lebih sama.

Pernah saya (dan semua penumpang) membiarkan seorang nenek berdiri di kopaja. Waktu itu saya memang kurang sehat. Ini bukan ngeles. Dalam hati saya berkata: Maaf ya, Nek. Bukannya saya egois, tapi tekanan darah saya sedang turun jadi saya nggak kuat berdiri lama-lama. Untungnya nenek itu tidak jauh tujuannya, beberapa menit segera turun.

Saya juga pernah duduk di kopaja dan tidak mau geser. Kenapa? Karena tempat duduk di sebelah saya basah bekas hujan. Si Nona manja yang baru naik tidak mau masuk untuk duduk dan saya juga tidak mau pindah ke sebelah. Si kenek mengomel dan saya balas: Saya sudah naik dari terminal dan duduk di sini duluan, kenapa harus saya yang pindah? Dan itu kursinya basah! (Kenek yang malang, ibu-ibu loe lawan berdebat, hahaha). Si kenek pun diam dan melap kursi tapi si Nona manja yang terlanjur mengambek tidak mau duduk lagi. Silakan berdiri sendiri di belakang, Non! Biar tinggi sendiri. Atau jadi model pendamping pengamen (ini ucapan teman saya ketika saya ceritakan kisah ini).

Lalu ketika malamnya saya bercerita pada suami, dan karena tahu anak-anak menguping, saya sengaja berkata: Dunia luar sana itu keras! (Anak sulung saya langsung menyahut: Ih, mama lebay!)

Pernah juga saya naik kopaja (lama-lama kopaja jadi favorit gue deh ini, hahaha) yang ternyata lagi dicharter oleh guru-guru madrasah yang akan training di Senayan. Mereka kaget pas saya naik. Lalu mereka bilang: Ini kopaja lagi nggak narik.

Pikir saya: Lha kok berhenti pas saya setop? Ternyata berhenti karena ada mobil berhenti di depannya. Hahaha. Dengan malu saya nyaris turun. Tapi tiba-tiba saja ide itu muncul. Mungkin karena saya kepepet takut terlambat (Ide memang sering muncul dalam keadaan kepepet). Saya tanya, mereka lewat mana, boleh ikut nggak? Ternyata searah kantor saya dan mereka langsung menerima saya ikut. Tempat duduk memang hanya sekitar separuh saja yang terisi. Berhati mulia sekali sekali, pikir saya. Saya jadi penumpang gratis. Ibu-ibu guru itu mengajak saya mengobrol, ada yang mengajak saya bercanda, ada juga bu guru yang ngegodain seorang pak guru yang mendadak pindah tempat duduk (katanya biar dekat saya, hahaha). Mereka bahkan mengajak saya ikut berfoto wefie.

Betapa beruntung saya, kali ini bertemu orang-orang yang sama sekali tidak egois. Keneknya pun tidak mau terima ketika saya mau turun saya coba selipkan selembar uang. Semua guru itu langsung berteriak: Jangan diterima. Full service gratis ini, Mbak!

Ini salah satu contoh kisah toleransi khas orang Indonesia yang legendaris itu, yang sama sekali jauh dari keegoisan. Guru memang luar biasa, jasamu memang tiada tara!

Kembali ke masalah egois-egoisan tadi. Mungkin memang masih baru sampai di situ progres kita. Kita memang masih dalam proses perubahan. Semoga semakin cepat perubahan ini, dan semakin baik. Kebalikan dari lagu Kemesraan, keegoisan ini semoga cepat berlalu. 🙂

-*-

Foto: Pixabay

Kamu Garam atau Vetsin?

Seorang kenalan yang bekerja di bagian HRD, pernah membuat istilah sendiri untuk mengklasifikasi dua jenis karyawan di perusahaannya. Satu, garam. Satu lagi,vetsin. Apa maksudnya?

Kita akan bahas setelah yang ini.

Apakah panggilan hidup anda? Menjadi pebisnis, politikus, pengacara, atau pemusik? Atau lainnya. Sesungguhnya, panggilan hidup kita ditentukan oleh jati diri kita.

Sebagai orang Kristen, jati diri kita adalah gereja.  Kata Gereja mengacu pada istilah Yunani: ekklesia yang berarti orang-orang yang dikumpulkan/dipisahkan oleh panggilan Allah. Dalam keberadaannya di dunia, gereja memiliki dwi kewargaan (jati diri ganda) yaitu:

  1. Warga Kerajaan Allah: Gereja adalah suatu umat yang kudus yang dipanggil dari dunia untuk menjadi milik Allah.
  2. Warga dunia: Gereja adalah umat yang diutus ke dalam dunia untuk bersaksi dan melayani.

Bonhoeffer menyebut hal ini dengan istilah panggilan hidup ‘keduniawian yang saleh’. Orang Kristen harus bisa hidup di dunia ini dengan cara surgawi.

Sejarah gereja mencatat bahwa gereja kesulitan dalam mempertahankan jati diri gandanya tersebut. Kadang-kadang akibat keinginan yang sejati untuk menitikberatkan kekudusannya, gereja undur dari dunia di satu sisi ekstrim (ada yang menyebutnya fanatik atau terlalu rohani). Tetapi di sisi ekstrim yang lain, dalam menonjolkan keduniawiannya, gereja secara keliru menyesuaikan diri dalam tolak ukur dan nilai-nilai yang dianut dunia (ada yang memberinya istilah: terlalu duniawi).

Tanpa memelihara ke dua sisi dari jati diri gereja, gereja (baca: kita) tak kunjung dapat terlibat dalam misi. Misi muncul dari ajaran alkitabiah tentang keberadaan gereja dalam masyarakat.

Yesus sendiri yang mengajarkan kebenaran ini dalam metafora yang terkenal yaitu Garam Dunia dan Terang Dunia (Matius 5:13-16)

John Stott, seorang teolog Inggris menyimpulkan empat hal yang terkandung dalam metafora ini, yaitu :

  1. Orang Kristen berbeda secara asasi dari non Kristen.

Dunia ini gelap, demikianlah dinyatakan Yesus secara tidak langsung, tapi kamulah yang harus menjadi terangnya. Dunia sedang membusuk, tapi kamulah yang menjadi garamnya dan melindunginya dari kebusukan.

  1. Orang Kristen harus masuk ke dalam masyarakat non Kristen.

Kendati orang Kristen berbeda secara moral dan spiritual, tetapi secara sosial mereka sekali-kali tidak boleh memisahkan diri dari masyarakat sekitarnya. Sebaliknya terang harus menyinari kegelapan itu dan garam harus meresap kedalam daging yang sedang membusuk itu.

  1. Orang Kristen dapat memengaruhi masyarakat non Kristen.

Sebelum penemuan lemari pendingin, garam adalah bahan pengawet yang paling dikenal oleh masyarakat. Pembusukan daging dan ikan dapat diperlambat dengan merendamnya pada air garam. Terang lebih mencolok lagi, jika lampu dinyalakan maka kondisi gelap berubah menjadi terang. Demikian juga orang Kristen mempengaruhi masyarakat dengan mencegah pembusukan dan kegelapan, dan menjadi terang dalam masyarakat sekitarnya.

  1. Orang Kristen harus mempertahankan keunikan Kristiani mereka.

Jika garam tidak mempertahankan keasinannya (menjadi tawar), maka garam itu menjadi tidak ada gunanya. (Roma 12:2)

Kembalipada klasifikasi teman HRD tadi.

Yang dia sebut Garam itu adalah karyawan yang original, tulus hati, bekerja dengan integritas, dan sumbangsihnya nyata bagi perusahaan.

Yang disebutnya Vetsin adalah mereka yang terlihat ramah, manis dan pintar berbasa-basi, pintar mengambil hati orang, tapi kinerjanya minus. Biasanya mereka adalah penjilat. Manis di luar, busuk di dalam, dan potensial berbahaya bagi perusahaan.

Tahukah anda, manfaat garam sungguh banyak, baik dalam bidang kesehatan, kecantikan, industri, keamanan dan pertanian. Tanpa garam tentu kita tidak akan bisa bertahan hidup. Sebagai contoh, fungsi garam antara lain, memperkuat sistem kekebalan tubuh, membantu menurunkan kadar kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi, serta dapat membantu mengatur detak jantung agar lebih teratur, mengontrol gula darah dan meningkatkan sensitivitas insulin yang membantu mempertahankan kadar gula yang tepat dalam tubuh, dan membantu menjaga kekuatan tulang.

Dalam bidang keamanan, di negara-negara yang memiliki empat musim, garam  digunakan untuk pemeliharaan jalan dengan tujuan untuk menjaga mobil, truk, dan bus sekolah sehingga aman di jalan ketika musim dingin bersalju.

Bagaimana dengan vetsin? Vetsin atau istilah lainnya Monosodium Glutamate (MSG) masih sering digunakan sebagai bahan penyedap masakan. Di balik rasa gurih yang ditimbulkan oleh vetsin, ada banyak penyakit mengintai. Contoh efek samping dalam jangka panjang, bisa menjadi penyebab jantung tidak sehat, kanker (MSG dibuat dalam proses pemanasan pada suhu tinggi dan waktu lama sehingga dapat membentuk pirolisis yang bersifat karsinogenik, senyawa berbahaya yang dapat memicu kanker), dan kerusakan sistem syaraf. Konsumsi penyedap rasa dalam jangka panjang terhadap sistem syaraf seperti depresi, migrain, insomnia, juga disorientasi.

Sekarang kembali pada kita, untuk direnungkan. Apakah jati diri anda? Apakah panggilan hidup anda?

Apakah anda adalah garam atau vetsin bagi lingkungan anda?

-*-

 

Martua H. Sianipar

Penulis adalah Alumni UI dan UPH/Karyawan swasta/Majelis HKBP Cinere

 

Daftar Pustaka :

  1. John Stott (GMA Nainggolan), Isu-isu global menantang kepemimpinan Kristen, YKBK,  2000
  2. John Stott (GMA Nainggolan), Khotbah di Bukit, YKBK, 2008
  3. Bruce Milne (Connie Item-Corputty), Mengenali kebenaran, BPK, 1993
  4. Donald Guthrie (Lisda T Gamadhi), Theologi Perjanjian Baru 3, BPK, 1993
  5. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, YKBK, 1998
  6. http://manfaat.co.id/39-manfaat-garam-dalam-berbagai-bidang
  7. http://tradisioanal-obat.blogspot.co.id/2015/05/efek-bahaya-msg-bagi-kesehatan.html

Foto: Pixabay

Bahagiakah Anda?

Apakah anda bahagia?happy woman-570883_960_720

Waktu masih bekerja di bagian rekrutmen, kadang-kadang saya menanyakan hal di atas pada kandidat yang saya wawancarai. Nyaris tak pernah ada jawaban spontan akan pertanyaan ini. Biasanya kandidat akan mengernyit atau terdiam dulu beberapa detik, atau bahkan balik bertanya: Maaf, maksudnya bagaimana?

Tidak seperti ketika saya bertanya, misalnya: Apakah anda suka dengan pekerjaan anda? Jawaban Tidak, atau, Ya, biasanya terucap lebih spontan.

Pernah saya menanyakan hal serupa pada seorang teman dekat. Dia malah balik bertanya: Bahagia itu apa sih? (Saya mengerti dia sangat sibuk dan mungkin tak ada waktu untuk memikirkan pertanyaan bodoh itu. Tapi, lalu rupanya pertanyaan itu membuatnya mengevaluasi ulang jalan hidupnya).

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring, bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan).

Bagi saya, waktu kecil, bahagia sudah ada jadwalnya. Yang pasti dalam setahun minimal ada tiga kali. Hari ulang tahun, hari Natal dan libur sekolah.

Apa yang menjadi kesamaan semua momen itu? Karena pada saat itu saya mendapatkan apa yang saya inginkan atau sukai. Versi kanak dalam diri saya pun mendefinisikan bahagia sebagai, keberhasilan menggapai keinginan dan target saya. Saya bahagia dengan semua yang saya dapatkan.

Hal itu pun berubah seiring waktu. Berbeda dengan dulu, sekarang defenisi bahagia bagi saya adalah rasa damai. Peace of mind. Rasa damai, walaupun saya tidak bisa mendapatkan keinginan, menggapai impian dan mencapai target-target saya. Dan itu ternyata sulit.

Mungkin berbeda dengan anda. Seperti seorang pengusaha sukses pernah berkata, dia akan merasa bahagia jika ketika dia bangun pagi, dia tidak menginginkan apapun lagi. Saya merasa itu lebih sulit lagi.

Dalam buku The Practices of Happiness: Political Economy, Religion and Wellbeing (2011, John Atherton, Elaine Graham and Ian Steedman), disebutkan, jika kebahagiaan berarti semata perasaan senang, itu akan menjadi makna hedonistik yang dapat dikritik dari persepsi filsafat dan teologis.

Dalam filsafat Aristotelian, kebahagiaan dianggap lebih dari sekedar kesenangan. Kebahagiaan terkait dengan pengembangan dan pemenuhan umat manusia yang tidak terpisahkan, yang berarti realisasi dari potensi yang kita miliki sebagai manusia.

Pemahaman kebahagiaan yang sama dijabarkan dalam tradisi Kristen. Kebahagiaan dipahami bukan dalam hal kesenangan atau kepuasan, tetapi dalam hal pengembangan umat manusia itu. Kebahagiaan adalah pemenuhan semua manusia, yang hanya mungkin dalam kasih Allah dan kasih sesama.

Dalam etika sosial Kristen, kebahagiaan sebagai pemenuhan manusia, terkait dengan pandangan Kristen tentang umat manusia, yang terdapat dalam hubungan antar individu, makhluk sosial yang saling bergantung hidup dengan orang lain. Sehingga bukan seperti perspektif individu, kebahagiaan lebih dari sekedar perasaan enak dan kesenangan.

Lalu, apa kata Alkitab tentang kebahagiaan?

Dalam Lukas 11:28 tertulis: Tetapi Ia berkata: Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya.” (Dalam versi NIVBlessed rather are those who hear the word of God and obey it). Blessed diterjemahkan menjadi bahagia. Orang yang bahagia, orang yang diberkati.

Di dalam Khotbah di Bukit, ciri-ciri orang bahagia, yaitu: orang yang miskin di hadapan Allah, orang yang berdukacita, orang yang lemah lembutorang yang lapar dan haus akan kebenaran, orang yang murah hatinya, orang yang suci hatinya, dan, orang yang membawa damai (Matius 5:1-10).

Nah, Alkitab memiliki defenisi kebahagiaan yang berbeda dengan yang tertulis di kamus. Di kotbah tadi tak ada tertulis: ‘orang yang bahagia adalah yang merasa senang dan puas, dan yang mendapatkan keinginannya’, ya?

Selain itu, Tuhan Yesus juga berkata, “Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima.” (Kisah Para Rasul 20:25). Ini benar-benar kontras dengan konsep bahagia saya waktu kanak-kanak, kan?

Yang lebih dahsyat lagi, dalam Yakobus, berbahagia jika jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan (James 1:2 Consider it pure joy, my brothers and sisters, whenever you face trials of many kinds). Pencobaan adalah kebahagiaan? Ini sungguh ironis, bukan?

Padahal seorang profesor psikologi, A. Furnham (1953) juga menyatakan bahwa kebahagiaan merupakan bagian dari kesejahteraan, kepuasan, untuk melakukan kepuasan hidup, atau sama dengan tidak adanya tekanan psikologis. Pencobaan, kan tekanan?

Saya pernah menonton film kartun Disney, Inside Out, yaitu sebuah film dengan cerita yang menekankan temuan neuropsikologi bahwa emosi manusia mempengaruhi hubungan interpersonal dan dapat dimoderasi secara signifikan oleh manusia itu sendiri.

Film box office di seluruh dunia ini telah menerima beberapa penghargaan, termasuk Golden Globe Award. Ceritanya tentang seorang gadis kecil bernama Riley Andersen yang di dalam pikirannya ada lima personifikasi emosi dasar, yaitu Joy, Sadness, Fear, Disgust, dan Anger (Bahagia, Sedih, Takut, Jijik, dan Marah) yang mempengaruhi tindakannya melalui console di markas batinnya.

Tindakan Riley yang berusia sebelas tahun, dikendalikan oleh lima emosi mayoritas di atas, tapi JOY-lah yang menjadi pemimpin yang mengambil kendali agar Riley tetap bahagia.

Seperti ketika Riley pindah ke rumah yang jelek dan bau bangkai tikus, dan truk barang mereka hilang, dan hanya ada restoran pizza rasa brokoli yang Riley benci, emosi yang spontan muncul tentu adalah marah, sedih dan takut, tapi JOY dalam batin Riley mengendalikan emosinya dengan berkata: “Jangan fokus pada apa yang salah, selalu ada cara untuk memperbaikinya. Ayo cari senangnya. Find the fun!”

Riley pun mengambil tongkat dan memainkan gumpalan kertas sampah seperti bermain hoki di rumah kotor melompong itu, yang segera disambut oleh ayahnya. Suasana pun langsung berubah gembira.

Sebagai terobosan dalam film ini adalah, bahwa emosi diciptakan untuk menghubungkan orang bersama-sama, dan bahwa hubungan adalah hal yang paling penting dalam hidup ini. Emosi ada untuk mengatur kehidupan sosial dan penataan interaksi interpersonal (masih sejalan dengan buku The Practices of Happiness tadi, kan?)

Seperti itulah hidup kita. Kitalah yang pegang kendali atas emosi kita. Kitalah yang menentukan untuk membiarkan tombol kesedihan, ataukah memencet tombol sukacita, ketika masalah datang. Memang tak mudah, dan pasti banyak energi yang keluar, tapi pilihan ada di tangan kita.

Lalu, seperti para pakar berkata, kebahagiaan itu keputusan kita. Kita bisa meraung sedih berkepanjangan karena hujan, atau bisa mengambil payung dan berpose untuk diunduh ke media sosial (yang terakhir ini kalimat buatan saya, hehe).

Terlalu banyak hal dalam hidup ini yang menggerus perasaan kita hingga kita lupa untuk mengingat bahwa hidup kita sungguh diberkati, dan kita sering lupa memilih tombol perasaan bahagia. Seperti Riley dalam film Inside Out, biarlah JOY selalu mengendalikan tombol dalam emosi kita.

Mari berbahagia!

-*-