Tag Archives: renungan

Akibat Dosa dan Keserakahan

Dalam hal tertentu, sesuatu yang ‘terlalu’ itu baik. Misalnya, karena Allah yang terlalu mengasihi kita, sehingga Ia merelakan Anak-Nya menjadi manusia dan mati untuk dosa-dosa kita. 

Tapi kadang, apa yang terlalu itu juga kurang baik. Contohnya makanan yang terlalu manis, kurang baik bagi kesehatan kita. 

Begitu juga dalam hal lain. Seorang yang terlalu lama berkuasa tidak bagus, akan cenderung menjadi otoriter. Seseorang yang memiliki kekuasaan yang terlalu besar, juga tidak baik. Selain otoriter, dia bisa menjadi penguasa yang lalim.

Lord Acton, seorang profesor sejarah modern di Universitas Cambridge punya adagium yang terkenal: “Power tend to corrupt and absolute power corrupt absolutely”. Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut, pasti akan korup.

Jauh sebelum Acton bicara, Allah sudah memperingatkan bangsa Israel tentang kekuasaan yang korup dan sewenang-wenang. Melalui Nabi Mikha, Allah memperingatkan mengenai ketidakadilan sosial dan penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya dan merampas hak orang lain.

Pada Mikha 3: 9-12, Firman TUHAN memberikan kita contoh penguasa yang lalim, penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka itu penguasa yang muak terhadap keadilan dan membengkokkan segala yang lurus (ayat 9). Mereka juga mendirikan kekuasaannya dengan darah dan kelaliman (ayat 10).

Apa yang sudah lurus, malah dibengkokkan. Tatanan hidup moral rakyat yang berlandas pada Taurat TUHAN, malah dirusak. Mereka menolak dan mengabaikan hukum TUHAN yang mengatur hidup, dan yang menjadi landasaan hidup masyarakat Israel pada masa itu.

Bahkan kekuasaan didirikan dengan sampai menumpahkan darah dan perbuatan lalim. Dan bukan cuma itu yang terjadi. Di ayat 11 kita menemukan bahwa mereka yang memiliki kekuasaan hukum juga sudah suap. Kalau di zaman sekarang, otoritas hukum ini antara lain polisi, jaksa, dan hakim. Kalau ketiga otoritas ini bisa disuap, maka tidak ada lagi keadilan. Orang yang tadinya tidak bersalah bisa diputus tidak bersalah dan sebaliknya. Yang penting, wani piro?  

Lalu ada juga golongan imam atau rohaniawan yang mengajar bukan untuk mendidik orang dalam kebenaran, tetapi karena ada bayaran, seperti yang disebut di ayat 11. Begitu juga golongan nabi yang menenung atau dalam terjemahan lain “tells fortune” atau meramal, karena uang. Padahal ironisnya, para nabi ini sering berkata “Kita ini bersandar kepada TUHAN karena Bukankah TUHAN ada di tengah-tengah kita? Maka Tidak akan datang malapetaka menimpa kita!” 

Para nabi itu sebenarnya tidak lagi bersandar kepada TUHAN melainkan kepada uang. Uang dianggap bisa menentukan peruntungan dan masa depan seseorang dan bukan TUHAN!

Segala yang dilandasi karena motivasi akan uang ujung-ujungnya akan melenceng dan korup. Tidak ada lagi tempat TUHAN di sana. Ketika pemimpin agama telah dikendalikan uang, sesungguhnya mereka tidak lagi melayani TUHAN, melainkan melayani mamon, yaitu uang dan keserakahan. Matius 6:24 berkata: “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.”

Jadi, bisa kita bayangkan situasi pada waktu moralitas Israel sedang buruk-buruknya. Penguasa menjadi lalim dan otoriter, aparat hukum bisa disuap, para rohaniawan sudah dikuasai uang dan keserakahan. Bagaimana dengan rakyat? Kalau penguasa saja seperti itu, yang terjadi pada rakyat adalah: Kalau tidak ikut-ikutan menjadi lalim, ya menjadi korban kelaliman itu sendiri.

Itulah sebabnya, tidak ada jalan keluar lagi. Nabi Mikha menyampaikan pesan TUHAN yang penting di ayat 12. Dia menyatakan bahwa Sion akan dibajak seperti ladang dan Yerusalem akan menjadi timbunan puing, serta gunung bait Suci akan menjadi bukit berhutan.

Membajak ladang itu tindakan yang menghancurkan tanah yang keras agar bisa ditanami tanaman. Orang Israel yang keras hati perlu diremukkan dan dihancurkan. Maka TUHAN akan menyerahkan bangsa itu ke tangan bangsa lain. Harga diri mereka yang tinggi diruntuhkan. Mereka akan menjadi bangsa buangan, tidak punya identitas, nasibnya ditentukan oleh bangsa lain.  

Yerusalem akan menjadi timbunan puing. Ini nubuatan tentang kehancuran kota Yerusalem yang megah, yang sebelumnya menjadi pusat sosial, budaya, politik, dan agama bangsa itu, sebelum hancur pada abad 8 SM, ketika bangsa Babel datang. Kota mereka dibakar dan dihancurkan. Tak ada yang tersisa pada apa yang dulu mereka bangga-banggakan. 

Bahkan bukit Bait Allah yang dibangun oleh Raja Salomo pada abad ke-10 SM untuk menggantikan Kemah Suci, dirobohkan dan dihancurkan oleh Bangsa Babel di bawah Nebukadnezar pada tahun 586 SM. Bukit itu ditinggalkan dan menjadi semak-semak dan hutan.

Sedih sekali kalau kita bisa membayangkan keadaan pada masa itu. Semua terjadi karena dosa dan keserakahan. Firman ini memberitahu kita betapa mengerikannya dampak dosa dan keserakahan. Tidak hanya mengubah tatanan yang baik menjadi buruk, tapi pada akhirnya adalah kehancuran belaka.

Perbuatan dosa akan selalu ada ganjarannya. TUHAN kita memang penuh kasih dan pengampunan. Tapi kita perlu tahu bahwa TUHAN juga Maha Adil. Untuk setiap perbuatan jahat pasti ada ganjarannya. Jadi mari berhenti melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, sebelum semuanya menjadi terlambat, Ketika kita tidak lagi punya kesempatan untuk bertobat.

Firman TUHAN di 1 Yohanes 3:6 berkata: “Karena itu setiap orang yang tetap berada di dalam Dia, tidak berbuat dosa lagi; setiap orang yang tetap berbuat dosa, tidak melihat dan tidak mengenal Dia.” 

Seperti kata Firman TUHAN, Tetaplah di dalam Dia. Maka kita tidak akan berbuat dosa. Mari terus membangun pengertian yang benar tentang Yesus, Sang Kebenaran, yaitu dengan bergaul dengan FIrman TUHAN. Berapa kali Anda baca Alkitab dalam sehari? Apakah Alkitab menjadi kompas hidup saudara? Pengertian yang benar akan semakin menguatkan iman kita kepada-Nya.

Dan “berada di dalam yang benar” artinya kita tinggal dalam hidup yang berpatokan pada hidup Yesus sendiri. Bagaimana Yesus hidup sebagaimana yang diceritakan di dalam kitab Injil, begitulah seharusnya kita menjalani dan melakukan kehidupan kita.

Saya percaya, itu akan membantu kita lepas dari jeratan dosa. Tapi kalau jatuh lagi, bangkit lagi, berjuang lagi. Selama kita masih hidup, itu artinya kita masih diberikan kesempatan oleh TUHAN. Jangan sia-siakan, sebelum semuanya terlambat.

Berpegang pada Kebenaran

Bagaimana cara TUHAN mendidik kita dalam kebenaran? Tidak lain dan tidak bukan adalah dengan Firman-Nya, sebagai sumber kebenaran yang hakiki dalam iman Kristen.

Saya teringat Mazmur 119 yang secara garis besar termasuk ke dalam Mazmur-mazmur yang merenungkan cara-cara TUHAN dalam mendidik kita mengenai kebenaran. Mazmur 119 diawali dengan perkataan yang penting: Berbahagialah!

Berbahagia kenapa? Siapa orang yang akan berbahagia?

Pada ayat 1 dikatakan: berbahagialah orang-orang yang hidupnya tidak bercela, yang hidup menurut Taurat TUHAN.

Jadi dari mana dasar kebahagiaan sejati kita, tidak lain dan tidak bukan, dari Firman TUHAN. Kebahagiaan sejati akan kita nikmati ketika kita hidup dalam kebenaran.

Banyak orang yang mulai mempertanyakan kebenaran Firman TUHAN dan mengujinya dengan sains dan bahkan membandingkannya dengan kitab agama lain.

Tapi kita diajar bahwa Firman TUHAN tidak diwahyukan sebagai penguji ilmu pengetahuan, walaupun di dalamnya banyak kebenaran tentang sains.

Firman TUHAN diwahyukan untuk menuntun anak-anak Adam kembali ke Taman EDEN! Sebab sebagai orang percaya, kita diberikan kehidupan atau diciptakan semata-mata untuk berpegang pada Ketetapan TUHAN. Ya, kalau tidak berpegang pada ketetapan TUHAN, ya sebenarnya kita sama saja dengan mati!

Seperti yang disebutkan di Mazmur 119:5 “Sekiranya hidupku tentu untuk berpegang pada ketetapan-Mu!” Hakikat kita adalah mendengarkan TUHAN dan berpegang pada ketetapan-Nya, tidak yang lain.

Dan akhirnya, dengan berpegang kepada Firman Tuhan kita tidak akan dipermalukan! Mazmur 119:6 berkata: “Maka aku tidak akan mendapat malu, apabila aku mengamat-amati segala perintah-Mu.”

Dalam perspektif lain kita bisa membaca di Yeremia 6:15: “Seharusnya mereka merasa malu, sebab mereka melakukan kejijikan; tetapi mereka sama sekali tidak merasa malu dan tidak kenal noda mereka. Sebab itu mereka akan rebah di antara orang-orang yang rebah; mereka akan tersandung jatuh pada waktu Aku menghukum mereka, Firman TUHAN.”

Dengan kata lain, mereka yang tidak bergaul dengan Firman TUHAN, di mana lagi mereka berada? Kecuali melakukan berbagai kejijikan dan akhirnya akan terjatuh dan dihukum TUHAN? Semoga tidak di antara kita yang berada dalam barisan orang-orang ini.

Lari atau Dipulihkan?

Pernahkah Anda mengalami krisis rohani? Itu adalah saat di mana kita jauh dari Tuhan, semangat pelayanan kita tidak lagi berkobar, bahkan mungkin ada yang sampai mempertanyakan, buat apa saya melayani Tuhan? Benarkah saya dipanggil jadi Hamba Tuhan?

Ada banyak penyebab kita jatuh ke dalam krisis rohani. Mungkin karena relasi kita yang kurang baik di ladang pelayanan, mungkin hati kita tersakiti entah oleh jemaat atau hamba Tuhan, kita jatuh dalam dosa, jalan hidup yang kita pilih ditentang oleh orang-orang terdekat, mungkin pasangan kita, atau orang tua kita. Lantas, ketika berada dalam situasi seperti itu, apa solusinya?

Saya ingin mengajak kita merenungkan hal ini dengan belajar dari Nabi Elia di perikop 1 Raj. 19:1-8. Pasal 19 ini merupakan kelanjutan dari pasal sebelumnya. Pasal yang menggambarkan ada begitu banyak yang dilakukan Elia:

  1. Dia menentang dan mengalahkan 450 nabi Baal
  2. Dia berdoa agar hujan turun untuk mengakhiri kekeringan.
  3. Dia berlari mendahului Ahab ke Yizreel.

Pada pasal 19 kita melihat Elia yang “berbeda”. Apakah Izebel lebih hebat dari nabi-nabi Baal? Mengapa Elia sangat takut? Ketakutan Elia terlihat sangat tidak masuk akal. Di ayat 2 diceritakan bagaimana Izebel kemudian menyuruh suruhannya, untuk mengancam Elia. Dan dampaknya sungguh mengherankan, Elia yang sebelumnya tampil luar justru ketakutan bukan main dan ia “bangkit dan pergi menyelamatkan nyawanya”. Dia pergi sampai jauh ke padang gurun berjalan seharian, lalu duduk di bawah pohon arar dan mengeluh dan ingin mati. “Ya Tuhan ambillah nyawaku sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku.” (ay 4)

Yang kita lihat saat ini adalah contoh kasus krisis rohani yang hebat, yang bahkan bisa menimpa seorang tokoh besar dalam Alkitab. Mengapa?

Kita tidak tahu ada berapa lama waktu sejak Izebel mengeluarkan Ancamannya sampai ketika Elia mengalami krisis yang hebat itu. Tapi satu hal yang berbeda adalah, tidak ada firman Allah yang datang kepadanya atau kuasa Allah hadir, seperti yang bisa kita lihat di 1 Raj. 17:2,8, 18:1,36-37, 46. Ada kemungkinan bahwa persekutuan Elia dan Tuhan sedang renggang-renggangnya. Sehingga ketika ancaman itu datang, focus Elia bukan pada TUhan tapi pada ancaman itu sendiri. Akibatnya, ketakutanlah yang datang.

Kalau Elia saja bisa mengalami krisis seperti itu, tentu kita juga bisa. Sebab Elia dan kita sebetulnya tak jauh berbeda. Sama-sama manusia. Seperti kata Yakobus di Yak. 5: 17: “Elia adalah manusia biasa sama seperti kita”.

Saya pernah berada dalam krisis rohani yang luar biasa. Mungkin di antara kita juga pernah punya pengalaman yang sama. Lantas bagaimana cara Elia keluar dari masalah itu? Kita bisa belajar setidaknya tiga hal dari Elia:

1. Berhenti berlari dan datang kepada Tuhan
Di ayat 4 disebutkan bahwa Elia kemudian berhenti dari pelariannya lalu duduk di bawah pohon arar. Di situ dia bicara kepada Tuhan. Ucapannya memang berisi keluhan. Tapi setidaknya berbeda ketika sebelumnya dia hanya berlari dan berlari, menganggap bahwa pergi jauh akan menyelesaikan persoalan.
Dalam krisis rohani kita, kita tidak boleh terus lari. Pelarian tidak akan menyelesaikan apa-apa. Kita perlu berhenti dan datang kepada Tuhan. Mungkin isi doa kita pada awalnya haya keluhan-keluhan, tapi percayalah itu lebih baik daripada kita hanya berlari dan berlari, meninggalkan gereja, meninggalkan pelayanan.

2. Fase Pemulihan
Di dalam kelelahannya dan keputusasaannya, Elia kemudian tertidur. Apa artinya tidur? Tidur adalah fase pemulihan. Ketika kita kelelahan, tidur adalah penawar yang luar biasa efektif. Pada fase tidur, denyut jantung dan pernafasan kita melambat. Pada fase tidur tubuh mulai perbaikan dan pertumbuhan jaringan kembali, kekuatan otot dan tulang dibangun kembali dengan meningkatnya pasokan darah ke otot, dan system imun atau kekebalan tubuh kita semakin diperkuat. Energi pun dipulihkan.

Apa artinya tidur dalam masa krisis ini? Ini adalah fase pemulihan kita. Kita awali dengan membereskan segala masalah. Ada banyak caranya, mulai dari memperbaiki relasi kita dengan Tuhan, kemudian mendatangi orang yang bermasalah dengan kita dan mengampuni dia, sampai mungkin kita perlu melakukan konseling bagi diri kita sendiri. Ketika diri kita sendiri sudah pulih, maka kita akan masuk kepada fase terakhir, yaitu hadirnya kekuatan baru.

3.Kekuatan Baru
Dalam kisah Elia kita mendapati bahwa Malaikat Tuhan sendiri datang dan memberikan makanan kepadanya sehingga Elia kemudian mendapatkan kekuatan baru bagi tubuhnya. Kekuatan yang memungkinkan dia berjalan 40 hari 40 malam ke Gunung Horeb, ke Gunung Allah, di mana Allah kemudian menyatakan diriNya kepada Elia. Luar biasa bukan?

Ketika segala sesuatu sudah dibereskan, relasi dengan Allah juga kembali pulih, maka kita akan mendapatkan kekuatan baru, semangat baru, dalam pelayanan kita. Bahkan mungkin kita akan mendapati sesuatu yang luar biasa terjadi dalam pelayanan kita. Amin?

Buat saya, krisis kadang-kadang perlu untuk meluruskan kembali motivasi dan pelayanan kita. Tapi memang tak semua orang mendapat hak istimewa untuk mengalami sampai sejauh Elia, yang bahkan ingin mati saja. Kalau kita menjadi salah satu di antaranya, mari kita belajar dari kisah Elia.

Semoga pada Natal tahun ini, kita mengalami pemulihan Tuhan. Amin.

Mari Kita Gembira

Filipi 4:4-7
4:4 Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! 4:5 Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat 4:6 Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.

Gembira atau bersukacita, alangkah indahnya itu. Mengapa kita harus bersukacita? Sebab sukacita itu sangat penting bagi kita. Orang yang kurang bersukacita biasanya kerjaannya hanya mengeluh saja atau mereka kerap mencari-cari alasan saja.

Amsal 17:22 berkata: “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.” Tahukah kamu, penelitian modern telah mengkonfirmasi apa yang disampaikan oleh penulis Amsal ini? Menurut penelitian di bidang kesehatan, hati yang gembira akan meningkatkan asupan oksigen, merangsang jantung, paru-paru dan otot dan meningkatkan kadar hormone endorphin, yaitu painkiller alami dalam tubuh kita. Sukacita juga dapat meredakan stress dan meredakan denyut jantung dan tekanan darah yang tinggi, membuat otot rileks, dan meningkatkan daya tahan tubuh.

Tapi masalahnya, bersukacita bukan hal yang gampang. Bersukacita ketika keadaan baik-baik saja, itu sangat mudah! Tapi, bagaimana kalau keadaan kita sedang sulit?

Bagaimana cara kita bersukacita ketika sedang sakit? Bagaimana bersukacita ketika tugas-tugas sekolah atau kuliah makin lama makin menumpuk dan waktu 24 jam rasanya terlalu sedikit? Bagaimana bersukacita ketika gaji sudah habis padahal akhir bulan masih dua minggu lagi? Bagaimana bersukacita ketika pacar hati tiba-tiba berpaling kepada lain hati ketika kita sedang sayang-sayangnya?

Kebanyakan orang akan cenderung mengeluh dalam keadaan seperti itu? Tapi tidak dengan orang percaya. Paulus dengan tegas mengatakan dalam Filipi 4:4 “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” Seakan-akan Paulus mengatakan ayat ini dengan mudah. Padahal, kalau kita tahu latar belakang bagian Firman Tuhan ini, kita akan menyadari bahwa Paulus sesungguhnya memiliki sejumlah alasan untuk tidak bersukacita.

Saya ambil contoh dua saja: Pertama, Paulus sedang berada di penjara. Siapa yang bisa bersukacita di penjara? Membayangkan penjara saja sudah bikin ngeri apalagi benar-benar menjalaninya? Kedua: jemaat yang dikasihinya, yang didirikannya bersama Silas dan Timotius, sedang dilanda bibit-bibit perselisihan. Di Filipi pasal 4 ayat 2 disebutkan ada perselisihan antara Euodia dan Sintikhe. Paulus pasti sangat mengasihi dan peduli pada kedua orang itu, sehingga nama mereka disebut dan Paulus meminta Sunsugos untuk menengahi mereka. Saya rasa wajar kalau kemudian Paulus gelisah, sebab dia jauh dari jemaatnya.

Ketika merenungkan situasi yang dihadapi oleh Paulus, rasanya sulit bersukacita, bukan? Tapi sebaliknya Paulus dengan tegas berkata, “Bersukacitalah senantiasa!”

Kok bisa Paulus berkata begitu? Bagaimana cara bersukacita dalam kondisi seperti itu?

Dari bagian Firman Tuhan yang kita renungkan ini, setidaknya ada tiga cara untuk bersuka cita meskipun keadaan kita tidak baik-baik saja.

Pertama: Bersukacitalah di dalam Tuhan!
Pada Filipi 4 ayat 4 Paulus berkata: Bersukacitalah di dalam Tuhan. Ayat ini jelas. Bahwa sebenarnya kita tidak bersukacita atas keadaan yang kita alami. Tapi kita bersukacita karena kita punya Tuhan. Kita harus selalu punya framing bahwa ada maksud Tuhan yang harus kita mengerti ketika kita mengalami segala sesuatu. Mengapa? Sebab Tuhan sangat mengasihi kita, karena itulah, seperti kata Paulus di Kitab Roma, Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Roma 8:28). Kasih Allah sudah jelas. Salib buktinya. Tapi kita akan mengerti bahwa segala yang terjadi dalam hidup kita itu adalah baik, ketika kita sungguh-sungguh mengasihi Allah.

Kedua, bersukacitalah dalam pengharapan
Roma 12:12a berkata: Bersukacitalah dalam pengharapan. Pengharapan kepada siapa? Jelas kepada Tuhan. Di Ratapan 3, penulis Alkitab berkata “Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; Besar kesetiaanMu!” Pengkotbah 3:11a juga berkata “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan ia memberikan kekekalan dalam hati mereka.”

Ketiga, jangan kuatir dan berdoalah dengan benar
Filipi 4:6 Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Jangan salah anggap. Tulisan ini tidak sedang mengajarkan bahwa orang Kristen tak boleh kuatir, tak boleh sedih. Yang Paulus maksudkan adalah: kita tak boleh dikuasai oleh kekuatiran dan kesedihan itu. Karena itulah dalam segala hal kita perlu berdoa dengan benar di hadapan Tuhan, yaitu doa yang penuh dengan ucapan syukur kepada-Nya.

Semoga renungan ini menguatkan kita dalam menjalani kehidupan kita sehari-hari. Amin!

Wartawan, Jurnalisme, dan Gospel Worldview

Perhatikan kalimat ini: Saya terlatih menjadi jurnalis dan saya juga terlatih menjadi pengikut Kristen sejati. Apakah ini dua hal yang bertolak belakang? Atau dapatkah seorang jurnalis menjadi Kristen yang baik. Sebaliknya, dapatkah seorang Kristen sejati menjadi jurnalis yang baik?

Di Indonesia ada banyak jurnalis Kristen, itu faktanya. Tapi seberapa banyak kekristenan dan terutama Injil mempengaruhi mereka bekerja di dunia jurnalistik umum? Di sisi lain, ada juga kelompok jurnalis dari media-media Kristen. Sudahkah Injil betul-betul mempengaruhi mereka bekerja?

Di Indonesia, jurnalis Kristen dan Katolik biasanya berkumpul dalam forum, seperti Forum Wartawan Kristen atau Forum Wartawan Katolik. Tapi dalam aktivitasnya, forum-forum itu lebih banyak berfungsi sebagai ajang silaturahmi dan pembinaan rohani. Bukan sebagai forum intelektual, bagaimana para jurnalis ini membedah doktrin-doktrin kekristenan secara ilmiah, berdasarkan sudut pandang jurnalisme dan sebagainya.

Maka tulisan ini menjadi upaya saya untuk mencari benang merah antara jurnalis dan Injil. Menemukan jawaban atas pertanyaan bagaimana seorang jurnalis dan dunia jurnalisme memandang Kitab Injil dan apa pengaruh Injil dalam hidup mereka.

Memahami Cara Kerja Jurnalistik

Untuk menjawab pertanyaan pada bagian pendahuluan, saya kira kita harus terlebih dahulu memahami bagaimana seorang jurnalis bekerja. Jurnalis sebagai seorang profesional memiliki aturan dan etika profesional dalam pekerjaannya.

Pada dasarnya, jurnalis sejati atau wartawan sejati bertujuan untuk menyampaikan soal-soal yang rumit dan mengkomunikasikannya dengan cepat menggunakan relatif sedikit kata, supaya lebih sederhana dan mudah dipahami oleh pembaca/publik.

Apa yang dikomunikasikan kepada pembaca sesungguhnya? Servis seorang jurnalis adalah kebenaran. Kebenaran itu berkaitan dengan fakta-fakta. Berdasarkan fakta inilah para jurnalis bekerja.

Kalau dijabarkan lebih mendetail, ada baiknya melihat pedoman kerja wartawan Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Pada pasal 6 yang terdapat dalam bab mengenai Asas, Fungsi, Hak, Kewajiban dan Peranan Pers, disebutkan bahwa wartawan itu berkewajiban:

– memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
– menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan
Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan;

– mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum;

– memperjuangkan keadilan dan kebenaran;

Jadi, wartawan harus bekerja berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Fakta, dalam hal ini adalah: informasi yang tepat, akurat, dan benar. Semua informasi hanya tinggal menjadi informasi sebelum dilakukan check and recheck serta verifikasi. Setelah melewati proses check and recheck dan verifikasi, sebuah informasi berubah menjadi FAKTA.

Fakta, sesuai dengan makna sebenarnya, haruslah dapat dipercaya. Sebab kalau tidak, maka sudah menyalahi hakikatnya. Fakta yang bukan fakta adalah hoax atau informasi palsu.

Tapi sebelum menjadi berita, fakta-fakta harus dipilah-pilah. Sebab, acuan dalam penulisan berita harus memperhatikan variabel penting yaitu angle tulisan dan newsvalue atau nilai berita.

Angle adalah sudut pandang berita, tentang tema utama atau topik utama yang hendak disampaikan melalui berita tersebut. Sedangkan newsvalue adalah nilai berita yang mempengaruhi keterbacaan berita tersebut. Kalau berita tak mengandung salah satu atau beberapa newsvalue, dipastikan berita itu akan rendah tingkat keterbacaannya.

Beberapa newsvalue adalah: proximity (kedekatan), aktualitas (kebaruan berita), magnitude, dan ketokohan dalam berita. Nanti kita akan melihat bagaimana unsur newsvalue ini bisa ditemukan dalam Injil. Tapi sebelumnya, mari kita mengenali keempat Kitab Injil terlebih dahulu.

Memahami Kitab Injil

Ke-66 kitab yang terdapat di dalam Alkitab telah melewati apa yang disebut dengan proses kanonisasi, yaitu proses yang melibatkan pengenalan dan pengakuan akan originalitas dan otoritas ke-66 kitab itu sebagai Firman yang diilhamkan Tuhan.

Perjanjian Lama khususnya pada Alkitab kaum Protestan, mengacu pada Taurat Ibrani yang terdiri 39 kitab. Tak banyak persoalan dalam kanonisasi Perjanjian Lama. Walau denominasi lain, macam Katolik memasukkan beberapa kitab yang disebut deuterocanonical.

Sedangkan untuk Perjanjian Baru, di mana keempat kitab Injil berada, penentuannya telah melewati berbagai pengujian, seperti:

– apostolicity

Apakah ia ditulis oleh seorang rasul atau diotentifikasi oleh seorang rasul?

– universality

Apakah ia dibaca dan diterima secara luas?

– karakter

Memadai secara spiritual, diarahkan pada kesalehan, konten doktrinal mempunyai kesesuaian dengan pengajaran rasul-rasul.

Prosesnya panjang dan memakan waktu cukup lama sebelum akhirnya gereja bersepakat pada kitab-kitab yang ada di dalam Perjanjian Baru saat ini.

Tetapi penyelidikan terhadap kitab-kitab Perjanjian Baru terus berlangsung sampai kini dan telah melahirkan banyak sekali hasil penelitian yang menarik. Salah satu yang relevan untuk saya angkat pada tulisan ini adalah hasil penelitian yang mendapati bahwa keempat Injil memiliki ciri kesusasteraan yang sama, yaitu sebagai buku biografi kuno.

Salah seorang pakar yang meneliti hal itu adalah Michael R. Licona Ph.D, seorang associate professor teologi di Houston Baptist University. Saya mendengar banyak paparannya pada sebuah acara di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Pakar Perjanjian Baru ini memiliki empat alasan saat menyimpulkan bahwa keempat Injil adalah biografi kuno:

Pertama, Biografi biasanya berfokus pada seorang karakter utama, bukan pada era, peristiwa, atau pemerintahan. Dalam hal ini, fokus pada keempat injil adalah sosok Yesus Kristus. Kedua, menggambarkan mengenai silsilah karakter utama, kemudian bergerak cepat untuk menceritakan mengenai kisah si tokoh di tengah publik, dalam hal ini adalah pelayanan Yesus. Ketiga, biografi kuno memiliki panjang 10.000-20.000 kata, supaya cerita cukup ditampung pada satu gulungan. Semua kitab injil begitu panjangnya. Keempat, karakter utama digambarkan melalui kata-kata dan perbuatannya.

Kaitan antara Injil dan Berita

Satu hal yang menarik, kata Injil atau gospel sendiri berasal dari kata evangelion, dari Bahasa Yunani, yang artinya ‘good news’ atau ‘berita baik’.
Injil adalah sebuah berita.

Jelas tak sama dengan berita-berita pada umumnya yang kita baca di media online atau media cetak, atau kita tonton di stasiun TV. Tapi sebagaimana Injil dan kitab-kitab lain menjalani proses kanonisasi, berita pun berproses sebelum menjadi apa yang kita baca atau pirsa.

Kalau melihat prosesnya, pembuatan dan penerbitan berita di media massa juga melewati proses panjang. Segala informasi harus dibedah, diperiksa, dicek dan ricek, untuk diketahui mana yang memang fakta dan mana yang bukan fakta.

Fakta-fakta itu kemudian disaring lagi melalui apa yang disebut ukuran newsvalue, alias nilai berita. Nilai berita akan mempengaruhi apakah fakta-fakta itu menarik untuk dibaca atau tidak. Kalau tidak ada nilai berita, ya tidak akan diterbitkan sebab tidak akan dibaca oleh orang.

Dalam konteks ini, menurut saya Injil adalah berita yang sudah melewati berbagai proses tadi. Injil adalah fakta, bukan fiksi. Meski di dalamnya terkandung muatan fiksi macam perumpamaan-perumpamaan yang diceritakan Yesus Kristus. Tapi itu jelas tak mempengaruhi keabsahan Injil sebagai fakta sejarah, yang merupakan biografi kuno tentang Yesus Kristus.

Kitab Injil dan kitab-kitab lain di Alkitab sudah merupakan hasil verifikasi ketat, untuk memisahkannya dari kitab-kitab yang tak punya unsur yang kuat untuk disebut sebagai Firman yang diilhamkan oleh Allah melalui Roh Kudus.

Dalam dunia jurnalistik, biografi termasuk salah satu produk jurnalisme. Cukup sering media menuliskan biografi tentang tokoh-tokoh yang populer, penting, dan berpengaruh.

Sebab berita semacam itu juga menarik dan inspiratif serta edukatif, sebagaimana arahan pasal 3 UU no 40/1999, bahwa salah satu fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

Dalam penyusunan biografi, selain memperhatikan akurasi, yang terutama adalah bagaimana menampilkan hal-hal penting yang menarik dalam riwayat hidup tokoh yang ditulis. Sebab tak semua riwayat itu menarik dan relevan untuk diceritakan kepada pembaca. Dalam penulisan biografi dengan ruang yang terbatas, jelas harus ada upaya pemilihan editorial, mana fakta atau kisah yang harus diceritakan dan mana yang tidak perlu.

Sama halnya dengan Injil, tak menceritakan keseluruhan riwayat hidup Yesus Kristus, sebab tak dianggap relevan dengan maksud penulisan kitab Injil tersebut. Melainkan para penulis Kitab Injil, dengan bimbingan Roh Kudus, menuliskan hal-hal dalam pelayanan Yesus, baik perkataan dan perbuatan-Nya, yang memiliki relevansi dengan tujuan penulisan kitab tersebut.
Apakah tujuan penulisan Injil dan keseluruhan Alkitab? Bukankah dengan maksud membawa ‘pulang’ anak-anak Adam-Hawa kembali ke Firdaus?

Penulis Kitab Markus misalnya, menceritakan pelayanan Yesus Kristus dengan maksud untuk menunjukkan bahwa Yesus adalah Allah melalui perbuatan dan perkataan-Nya. Begitu juga penulis Kitab Yohanes. Sedang penulis Kitab Matius memberi penekanan pada kemesiasan Yesus. Jadi mereka menyampaikan berbagai fakta mengenai perbuatan dan perkataan Yesus yang akan menopang tujuan mereka masing-masing, dan tentu saja, sesuai dengan maksud Tuhan sendiri dalam penulisan Injil.

Sedangkan aspek newsvalue yang dipenuhi Injil yang paling jelas adalah ketokohan, sesuai dengan kesusasteraannya selaku biografi kuno. Tentang Yesus Kristus ditulis sebagai biografi sebab tokoh ini memang sangat menarik perhatian dan sangat kontroversial pada zaman tersebut dan sampai sekarang. Apa yang diucapkan-Nya dan dilakukannya menarik perhatian luar biasa. Anak tukang kayu dari Nazareth itu disebut Nabi, Guru, Juru Selamat/Mesias, dan Tuhan.

Lebih lanjut, pertanyaannya, bagaimanakah seorang jurnalis memandang kitab Injil?

Bagaimana Jurnalis Memandang Kitab Injil

Sebagai berita, Injil, menurut saya, sudah memenuhi segala syarat sebagai berita yang menarik untuk dibaca dan sangat berpengaruh. Secara umum bagi setiap manusia, yang sudah berdosa dan kehilangan kemuliaan. Dan secara khusus bagi para jurnalis-jurnalis Kristen di luar sana.

Injil dituliskan dan diinspirasikan oleh Tuhan sebagai ‘jalan pulang’ manusia ke Firdaus, tempat seharusnya manusia berada saat diciptakan. Kejatuhan manusia ke dalam dosa telah menyebabkan keterpisahannya dengan Tuhan dan akibatnya adalah kematian.

Tapi Tuhan sudah menyediakan jalan keluar. Karena demikianlah Allah mengasihi isi dunia ini, sehingga dikaruniakan-Nya Anak-Nya yang tunggal itu, supaya barangsiapa yang percaya akan Dia jangan binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).

Tuhan Yesus Kristus sendiri sudah memberitakan: Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku (Yohanes 14:6). Bagi seorang jurnalis Kristen, ia haruslah memandang Kitab Injil sebagai panduan menuju keselamatannya.

Tapi bukan hanya itu. Sebagai profesi yang bisa memberikan pengaruh kepada khalayak, menjadi penting bahwa Injil tak hanya memandu tapi juga sekaligus mempengaruhi bagaimana seorang jurnalis bekerja. Dalam hal ini, bagaimana Injil mempengaruhi bagaimana jurnalis meliput dan menuliskan berita. Sebab apa yang mereka tuliskan akan berdampak pada orang banyak.

Dalam konteks ini, sederhananya adalah bagaimana Injil menjadi worldview seorang jurnalis dan pada akhirnya membentuk perilakunya, mempengaruhi bagaimana dia meliput dan menuliskan beritanya. Dalam pandangan saya, setidaknya ada empat hal yang harusnya terjadi pada diri seorang jurnalis ketika memiliki Gospel worldview:

Hidup yang berpadanan dengan Injil

Filipi 1:27 menuliskan: “Hanya, hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus, supaya, apabila aku datang aku melihat, dan apabila aku tidak datang aku mendengar, bahwa kamu teguh berdiri dalam satu roh, dan sehati sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari Berita Injil.”

Hidup yang berpadanan dengan Injil amat penting. Sebab, sebagai seorang jurnalis Kristen, maka ia harus memiliki kesaksian hidup sesuai dengan apa yang dia percayai, sesuai dengan imannya dan tidak hanya menjadi jurnalis Kristen KTP. Sebab sekelilingnya akan melihat dan menghakimi bagaimana dia hidup. Kesaksian hidup yang benar akan sangat berdampak, tak hanya bagi diri sendiri, tapi juga bagi orang lain.

Tidak menjadi pembenci

Seringkali godaan untuk berpihak muncul saat wartawan menulis berita. Padahal, prinsip jurnalisme adalah keberimbangan dan cover both side. Wartawan harus memberikan ruang yang sama dan berimbang kepada narasumber-narasumbernya, seberapapun dia tak menyukai salah satunya.

Yesus Kristus di Kitab Injil juga mensyaratkan supaya kita tidak menjadi pembenci melainkan mengasihi orang lain seperti diri sendiri (Matius 22:39).

Wartawan juga tidak boleh buru-buru menghakimi dan memberikan penilaian prematur, melainkan harus selalu menimbang baik-baik setiap perkara. Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil (Yohanes 7:24).

Tuliskan kebenaran dan ciptakan perdamaian

Seperti yang disebut pada poin pertama, jurnalisme sejatinya tidak berpihak. Tapi amanat bagi pers adalah untuk menyampaikan kebenaran dan keadilan, seperti termaktub dalam pasal 6 UU Pers. Begitulah juga panggilan sebagai orang Kristen untuk senantiasa berpihak kepada kebenaran dan berusaha menciptakan perdamaian, bukan menimbulkan sensasi dan kontroversi. Tuhan Yesus berkata berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah (Matius 5:9).

Mengedepankan kepentingan orang lain dan tidak mencari pujian sia-sia

Begitulah yang disebutkan dalam Filipi 2:3 “…dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri.”

Banyak wartawan yang berambisi mengejar pujian atau penghargaan, sehingga kadang kala jadi kebablasan dan tak jarang yang rela membuat berita bohong hanya untuk jadi seseorang yang menonjol dibandingkan orang lain. Atau mungkin membuat berita yang benar, hanya tidak memperhatikan etika dan kesopanan. Sekadar mencari sensasi dan kunjungan lebih banyak pembaca ke outlet berita mereka.

Sebagai wartawan Kristen yang hidupnya dipengaruhi Injil, harusnya bersikap rendah hati dan mengutamakan orang lain. Dengan sikap ini, biasanya seorang wartawan akan lebih jernih dalam melihat persoalan yang hendak diliput dan ditulisnya. Keran informasi juga akan terbuka dengan lebar dan ada banyak hal-hal menarik yang bisa digali, kalau seorang wartawan tidak sok tahu atau sombong.

Ratna Sarumpaet, Hoax, dan Duri Dalam Daging

Apa yang terjadi dengan Ratna Sarumpaet hanyalah puncak gunung es dari perilaku warga dunia maya di Indonesia. Kebetulan dia seorang aktivis yang dekat dengan seorang tokoh nasional. Kebetulan dia seorang seniman. Tapi apa yang dilakukannya, terlepas dari motifnya sendiri, bisa dilakukan oleh siapa saja.

Peredaran hoax masih merajalela di ranah maya kita. Payung hukum untuk memberantas tindakan kejahatan berupa pembuatan dan penyebaran hoax sebenarnya sudah ada. Tapi penegakannya yang masih tanda tanya. Bahkan terkesan tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Coba kita lihat kasus Ratna Sarumpaet ini. Saya cenderung agak pesimistis bahwa kasus ini akan menjerat lebih banyak tokoh yang diduga ikut menyebarkan hoax tersebut. Dan kalau hal seperti ini terus terjadi, maka sampai kapanpun kasus macam ini akan terus terjadi bahkan bisa jadi makin menjadi.

Penegakan hukum tanpa pandang bulu adalah kuntji. Kalau tidak, kita akan terus merasakan kegelisahan. Seperti duri dalam daging. Seperti duri yang nyangkut di tenggorokan kita. Sangat tak nyaman dan terus menerus mengganggu.

Saya jadi ingat dengan Kitab Hakim-Hakim di Perjanjian Lama. Kalau mau diringkas, kitab ini sebetulnya mengisahkan pergumulan umat Israel di Kanaan yang terus menerus diganggu oleh orang-orang di sekitarnya, tetangganya.

Apa pasalnya? Sebetulnya sederhana, menurut saya. Sebab sejak semula umat Israel tidak patuh pada perintah Allah setelah mereka mendapat tanah pusaka menurut suku mereka masing-masing. Alih-alih menghalau dan membersihkan musuh dari tanah pusaka mereka, sebagian besar suku Israel memilih berdiam bersama mereka.

Kelak, para tetangganya inilah yang menjadi duri dalam daging mereka. Peperangan demi peperangan harus mereka hadapi dengan berkorban harta benda dan nyawa. Bahkan, mereka harus berperang dengan sesamanya. Coba kalau dari semula mereka patuh sebagaimana suku Yehuda dan Simeon, mungkin ceritanya berbeda.

Kembali ke masalah hoax dan penegakan hukum. Saya kira, segalanya sudah jelas. Payung hukum ada. Penegak hukumnya ada. Pelanggar hukumnya juga banyak. Tapi penegakan hukum tanpa pandang bulunya yang kurang. Sehingga, sebagaimana tetangga orang Israel, ada duri dalam daging kita.

Pada hemat saya, siapapun dia, latar belakang politiknya, bahkan jabatannya, tak boleh lepas dari keadilan hukum. Kepolisian dan penegak hukum yang lain harus berani bertindak.

Kalau Ragi Menggerogoti Hidupmu

Ragi menguntungkan dalam proses pembuatan roti dan makanan lain. Tapi kalau dihubungkan dengan urusan hidup benar, ragi adalah simbol kemunafikan, kebusukan, dosa. Bagaimana mungkin?

Ragi banyak dikenal dalam proses fermentasi. Pada pembuatan roti, ragi menyebabkan fermentasi yang mengubah gula menjadi karbondioksida sehingga adonan akan mengembang.

Ragi juga dipakai dalam fermentasi untuk menghasilkan etanol dalam pembuatan bir, anggur, dan minuman beralkohol lainnya.

Dalam pembuatan tempe, ragi dari jenis Rhizopus oligosporus menghasilkan enzim yang merombak senyawa kompleks protein menjadi senyawa yang lebih sederhana dan menjadikan tempe sebagai sumber protein nabati yang memiliki nilai cerna tinggi.

Intinya, ragi mampu melakukan perubahan mendasar pada struktur kimiawi benda yang dicampur dengannya, meskipun jumlahnya sedikit, dengan cepat dan efektif. Seperti kata Paulus: Sedikit ragi sudah mengkhamirkan seluruh adonan (Galatia 5:9).

Tapi oleh sebab fungsinya ini, Ragi kemudian dapat menjadi simbol sesuatu yang jahat, korup, dan merusak. Ia juga simbol dosa karena sifatnya yang ‘membusukkan’.

Istilah inilah yang kemudian digunakan Yesus untuk menggambarkan ajaran kaum Farisi dan Saduki, seperti digambarkan dalam kisah di Matius 16:5-12.

Orang Farisi membungkus formalitas agama dan kemunafikan dalam bentuk kesalehan yang kasat mata. Sedangkan orang Saduki mengajarkan tentang skeptisisme, rasionalisme, dan anti pada kebangkitan orang mati.

Kadang-kadang kita ini seperti murid-murid Yesus yang terlalu sibuk untuk memikirkan soal-soal penghidupan berupa ‘roti’ yang hendak kita makan. Terlalu khawatir akan apa yang akan kita makan hari ini atau besok.

Sementara Tuhan Yesus sendiri sudah jelas-jelas menunjukkan bahwa Dia berkuasa melakukan sesuatu yang berada di luar alam pemikiran kita.

Sebanyak 5.000 orang bisa diberi makan hanya dengan 5 roti. Dia juga memberi makan 4.000 orang dengan 7 roti saja (Mat 16:9-10).

Apalagi hanya untuk memberi kita makan?

Justru yang harus kita perhatikan adalah racun berupa kesalehan formal alias kemunafikan/hipokrisi rohani. Kesalehan yang sebetulnya sedang membungkus dosa-dosa kita yang mengerikan.

Saya pun pernah memakai topeng kesalehan untuk menutupi citra diri berdosa dan sepatutnya membawa saya ke dalam hukuman kekal. Tapi percayalah, kemunafikan itu hanya akan menggerogoti hati, membusukkannya.

Atau, kita terpapar racun ketakutan, kekhawatiran, ketidakpercayaan pada Tuhan, yang akhirnya membuat kita jadi skeptis pada kemampuan Tuhan dalam memberikan jalan keluar bagi setiap persoalan kita.

Topeng yang menutupi dosa dan racun kekhawatiran itu seperti ragi, yang kalau kita biarkan, akan menyebar dan merajalela. Tak hanya dalam diri kita, tapi juga dalam diri orang lain.

Sebelum terlambat, mari berhenti dan bertobat. Sebab begitu struktur jiwa dan hati kita sudah dihabisi oleh ragi orang Farisi dan Saduki, akan sulit mengembalikannya ke bentuknya semula.

Foto: Pixabay/TanteTati

 

 

Menghakimi Buku Melalui Sampulnya (Pengalaman Yesus)

Maggie Tulliver tak habis pikir ketika Mr Riley, teman ayahnya, mengkritisi keputusannya membeli buku “The History of the Devil” karya Daniel Defoe, dari pasar murah Partridge.

Penilaiannya seperti tak dianggap. Padahal bagi Maggie, buku itu begitu menarik dari sampul dan penjilidannya. Dan dia pikir, buku itu adalah buku yang baik.

Sedang Mr Riley tetap menganggap buku itu tak cocok untuk si kecil Maggie. Dan Maggie pun terluka hatinya. Kemudian dia berkata, “Tapi memang kelihatannya, kita tak boleh menilai dari tampilan luarnya, ah dunia ini memang membingungkan.”

Cuplikan kisah fiksi di atas diambil dari novel “The Mill on The Floss” karya George Eliot yang terbit pada 1900. Kalimat yang diucapkan Mr Riley dan kemudian dikutip oleh Maggie menjadi asal mula idiom “you can’t judge a book by its cover”.

Kalian pasti tahu makna idiom itu. Kalau menurut kamus Cambridge, kalimat itu berarti: kita tak bisa mengetahui sesuatu atau seseorang seperti apa hanya dengan melihat apa yang kelihatan dari sesuatu atau seseorang itu.

Seberapa sering kita terjebak pada cara berpikir seperti ini? Belum-belum sudah mengatakan si A itu blablabla.. si B itu blablabla. Padahal, mengenal kualitasnya pun belum.

Kejadian serupa pernah dialami Yesus Kristus, seperti digambarkan pada Matius 13:53-58. Setelah melakukan perjalanan dan pengajaran (salah satunya memberi kotbah di bukit yang terkenal itu), Yesus kembali ke Nazaret, kota asal-Nya.

Sebagaimana di tempat lain, Yesus pun mengajar di bait Allah di kota itu. Tapi apa yang terjadi? Orang-orang di kota asalnya, yang tadinya terkagum-kagum, malah berbalik jadi kecewa dan menolak Dia. Mengapa?

Sebab ternyata mereka mengenal sosok yang mengajar luar biasa dan berkuasa mengadakan mujizat-mujizat itu adalah Yesus si anak tukang kayu yang miskin dan tak terpandang.

Maka Yesus berkata kepada mereka: “Seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya.” Dan karena ketidakpercayaan mereka, tidak banyak mujizat diadakan-Nya di situ. (Matius 13:57-58)

Di dunia ini ada banyak contoh orang ditolak (dalam mencari kerja, menjadi calon pemimpin, urusan pernikahan, dan sebagainya) karena status sosialnya, agamanya, relasinya, sukunya, dan sebagainya.

Tapi itu memang lumrah saja. Sebab umumnya kita ini menilai orang lain berdasarkan pada apa yang tampak. Bukan pada kualitas dan potensi seseorang.

Bagaimana kalau kita mengalaminya sendiri, jadi korban penilaian orang lain? Jangan menyerah dan tak ada alasan untuk menyerah. Saya percaya, pasti ada tempat di mana kita bisa diterima berdasarkan kualitas dan kepribadian kita. Bukan pada “sampul” kita.

 

***

Artikel ini dikutip dari tulisan sendiri di: http://bangdeds.com/2017/02/13/menghakimi-orang-melalui-sampulnya/

Babi dan Orang Gila

Hari-hari ini sedang ramai dipergunjingkan orang soal festival kuliner serba babi di Semarang, yang kemudian ‘dipaksa’ untuk dibatalkan penyelenggaraannya.

Babi adalah sumber protein bagi sebagian manusia. Kenapa sebagian? Sebab ada agama, seperti Yahudi (kemudian Islam), yang sungguh-sungguh mengharamkan binatang ini. Bagi orang Yahudi, jangankan dimakan, mereka yang kedapatan memelihara dan memakan babi, akan dihukum menurut hukum Musa.

Dalam kisah orang gila yang kerasukan setan di Gerasa, Yesus memerintahkan setan keluar dari tubuh orang itu. Tapi setan punya penawaran: “Jika Engkau mengusir kami, suruhlah kami pindah ke dalam kawanan babi itu.” (Matius 8:31). Pada Markus 5, dijelaskan lebih mendetail soal peristiwa ini. Bahwa si setan itu menyebut dirinya Legion karena mereka banyak.

Kawanan babi itu, yang menurut Kitab Markus jumlahnya mencapai 2.000 ekor, kemudian dirasuki setan, loncat ke danau, dan mati. Waduh, 2.000 ekor sekaligus loncat dari tebing ke danau dan mati bersamaan.

Kisah di Gerasa ini menarik bukan karena peristiwa ‘bunuh diri’ bareng babi-babi itu. Melainkan bagaimana Tuhan menghargai satu jiwa manusia yang sudah diabaikan oleh manusia lain, lebih dari apapun juga.

Kita ini seringkali tak peduli pada orang lain, apalagi pada orang-orang yang kita sebut ‘gila’. Menghargai manusia lain, memanusiakan orang lain, itulah yang saya maksudkan dari kisah babi dan orang gila dari Gerasa. Seberapa pun berbedanya kita dengan mereka. (Tulisan lain soal memanusiakan manusia lain, silakan baca pada artikel ini)

Seberapapun berbedanya kita dengan orang lain (termasuk bahwa mereka kemudian boleh menikmati sesuatu yang haram menurut kepercayaan kita), orang lain wajib dihargai melebihi tembok-tembok perbedaan.

Saya kira, itulah kunci persatuan dan kesatuan. Sehingga tak perlulah sampai festival kuliner serba babi di Semarang bikin sewot kemudian ‘dipaksa-paksa’ untuk dibatalkan.

Foto: Pixabay/Mutinka

Memilih Buah, Memilih Jadi OMDO atau..

Saya suka makan buah. Tapi saya selalu kesulitan memilih buah yang baik, yang sesuai dengan yang saya harapkan, tanpa mencicipinya. Makanya, biasanya saya menyerahkan urusan memilih ini pada si abang tukang buah.

Teknik mereka dalam menentukan kualitas buah itu memang unik. Sampai sekarang saya masih belum bisa memahami rahasianya.

Si abang penjual semangka biasanya memilih dengan menepuk-nepuk buah itu. Begitu juga si abang penjual buah durian. Biasanya dengan goloknya, bukan tangan seperti penjual semangka.

Dari bunyi yang keluar, si abang penjual semangka dan durian akan dengan yakin bilang yang ini enak, yang ini belum terlalu matang, dan sebagainya.

Ternyata sampai di rumah, kadang klaim si abang salah, kadang juga benar. Tapi ya sudah. Kalau si abang salah, saya paling menggerutu sendiri. Namanya juga menggantungkan kepercayaan pada penilaian si abang, bukan?

Terlepas dari teknik ‘ajaib’ itu, saya sepakat bahwa buah yang baik itu dihasilkan oleh pohon yang baik. Itu hukumnya, seperti yang disampaikan Tuhan Yesus pada kotbah di bukit.

Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik. (Matius 7: 17-18)

Hari-hari ini banyak sekali orang yang kualitasnya seperti buah yang tidak baik. Tampilannya mungkin cantik, saleh, menarik, tapi perbuatannya bertolak belakang dengan citranya.

Mereka itu golongan yang pintar bicara saja. Mereka itu OMDO, omong doang. Mereka ada di mana-mana. Bahkan di ruang-ruang ibadah. Yesus meminta kita untuk tak terpesona pada nabi-nabi palsu, yang menyamar jadi domba padahal mereka serigala yang buas.

“Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka,” kata Yesus.

Buahnya adalah perbuatannya. Bisa jadi mereka itu lebih banyak berseru “Tuhan..Tuhan” ketimbang kita. Mereka bahkan bisa bernubuat, melakukan mujizat, mengusir setan, dan sebagainya. Tapi mereka tidak melakukan kehendak Tuhan.

Perhatikan kuncinya. “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan!  akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Matius 7:21).

Saya selalu khawatir tumbuh menjadi pribadi yang seperti itu. Maka saya lebih suka berdiam diri daripada banyak bicara. Itu pun belum cukup. Saya harus selalu waspada dan berusaha melakukan kehendak Tuhan dalam kehidupan.

Kalau terjatuh, bangkit lagi, terjatuh, bangkit lagi.

Sebab cukup mudah untuk menguji, apakah kita ini betulan melakukan kehendak Tuhan atau hanya polesan semata. Ketika ada badai, ketika ada guncangan hidup, apakah kita akan bertahan seperti rumah yang dibangun di atas karang. Atau kita akan hancur lebur seperti rumah yang dibangun di atas pasir.

Percayalah, upaya kita tidak sia-sia, asal dilakukan dengan sungguh-sungguh. Sebab Tuhan bukanlah si abang tukang durian, yang bisa salah dalam menilai.

Diambil dari tulisan sendiri di: http://bangdeds.com/2017/01/19/omdo/