Tag Archives: Puisi

Hapuskan

Hapuskan cemberut di wajahmu
jangan biarkan kerat-kerut itu mengotorinya
apalagi sampai air mata mengeruhkan mata jernihmu

Lihat! Di saat semua yang fana berdesakan
bertindihan, saling sikut dan injak
mendaki tiang kesia-siaan yang hampa puncaknya
kau duduk tenang di depan sang pemberi hidup
menikmati suara lembutnya membelaimu

Di saat dunia kering kerontang,
dan insan meranggas satu demi satu
dalam benci, dendam, dengki, dan angkara,
kau melangkah ringan di sisi sang pengadil
menikmati tangan kokohnya menggandengmu

Di saat dunia hiruk pikuk mencari damai
kau teduh tenteram dalam pelukan damai agung
Di saat dunia kacau balau karena tiada cinta,
kau dituntun mesra tangan lembut cinta sejati

damai itu memanggilmu hari ini
untuk menenteramkan hiruk pikuk itu,
dan cinta itu mengutusmu saat ini
untuk meneduhkan kekacauan itu..

hapuskan cemberut di wajahmu,
anugerah yang diberikan untukmu
terlalu indah untuk dicemari olehnya

 

Foto : Matahari terbenam di Seminyak (koleksi pribadi)

Maafkan Aku, Guru

Di masa kanak-kanak
ia berkhayal jadi guru
seperti gurunya
yang selalu tersenyum
dan tak lelah mengajarinya menebar senyum

Di masa remaja
ia mulai mengenal cinta
jatuh hati pada gurunya yang tampan
meskipun ia tahu itu tak layak

Tadi pagi…
ia berdiri di depan kelas
dengan bangga menganggukkan kepala setiap kali mendengar ucapan
“Selamat pagi guru…!”

Tapi saat ini…
ia berdiri di depan cermin
tak berani mengangkat kepala…
karena ia tahu…
sosok di depannya belumlah layak untuk digugu dan ditiru
wajahnya jarang menebar senyum
tangannya terlalu sibuk menyusun administrasi
waktunya habis mengumpulkan poin demi tunjangan sertifikasi dan inpasing
belum lagi urusan politik dan setumpuk bisnis sampingan berdalih demi sesuap nasi

Tangannya terlanjur lunglai
tak sempat lagi menepuk pundak anak-anak didiknya untuk menghalau beban yang semakin menumpu di sana
bahkan…
guratan di wajahnya
adalah lukisan seribu warna
keinginan mencipta tertutup warna amarah
kerinduan meneduhkan terhalang dengki dan akar pahit
luka
dendam
kecewa….

Setengah berbisik
ia menutur
“Untuk guruku yang dulu pernah mengasihiku dengan tulus…
untuk guruku yang jejaknya kuingin turut…
maafkan anakmu…
aku
tak layak disebut guru seperti dirimu.
Selamat Ulang Tahun…
Semoga engkau masih berkenan memberiku senyum…”

-*-

Suryani Waruwu

Penulis adalah alumnus FIB UI, berprofesi sebagai seorang Pendidik

Foto: Pixabay

Aku Meratapimu Hari Ini

Dulu Aku menolak untuk meratap
Di depan maut yang sengatnya telah dipatahkan
Ketika Engkau pergi meninggalkan kami

Dulu Aku menolak untuk meratap
Dan berjanji meneruskan impian-impian kita
Mendidik camar-camar liar terbang tinggi ke awan

Dulu Aku menolak untuk meratap
Dan berusaha tetap berdiri dengan langkah tertatih
Menjaga kawanan domba-domba liar di kandang itu

Setelah lima belas tahun berlalu dari waktu itu
Ternyata ratapan itu tak dapat ku tahan
Mengalir begitu saja seperti banjir bandang

Ratapan itu tak dapat kutahan hari ini karena tak ada lagi
Suara lembut dari tubuh ringkihmu yang penuh energi
Yang selalu bisa membangkitkan gelora di hati yang letih

Aku tetap ingin meneruskan impian-impian kita
Melihat camar-camar muda menaklukkan badai
Dan kawanan domba-domba liar itu menemukan damai

Aku tetap ingin menghidupi nyanyian kredo kita:
Achor’s vale or desolate waste, there we’d bear the Gospel You gave
Carry love through streets like Sodom’s, anywhere to seek and to save

Ah, Maafkan aku, karena meratapimu hari ini.

 

Yogyakarta, 22 April 2016