Tag Archives: positif

Aku, Kau, dan Batu

Selama masa lock down pandemi ini, batu menjadi sesuatu yang menarik perhatian saya, mungkin karena punya waktu untuk mengamati taman-taman bunga dengan batu hias yang menarik di kompleks tempat tinggal saya.

Kisah tentang batu, rupanya sudah menjadi ilham dari banyak kisah menarik bagi saya pribadi sejak kecil.

Yang teranyar adalah kisah tentang batu infiniti di dalam kisah fiksi film Avenger, End Game. Di mana jika kelima batu infiniti itu terkumpul, akan menjadi kekuatan tanpa batas dan kemudian dimanfaatkan oleh Thanos untuk menghancurkan setengah penduduk dunia.

Kisah batu lainnya yang berkesan sejak masa kecil, adalah cerita di masa Sekolah Minggu, tentang batu ketapel yang dipakai oleh Daud untuk membidik jidat raksasa pendekar tentara Filistin, panglima perang Mesir. Batu kecil yang bisa membuat raksasa rubuh dan mati seketika.

Di dalam injil Markus, disebutkan bahwa jika ada seorang yang menyesatkan iman seorang anak kecil, maka penyesat itu harus dihukum dengan batu kilangan yang diikatkan ke lehernya lalu dibuang ke laut.

Lalu legenda tentang Malin Kundang, anak durhaka yang malu mengakui ibu kandungnya. Dia dikutuk menjadi batu, di mana tubuhnya berubah menjadi batu dalam kondisi tengah bersujud meminta ampun pada ibunya.

Kemudian, sebuah legenda tentang Batu Gantung di tepi Danau Toba, yang dianggap perwujudan seorang gadis yang patah hati karena dijodohkan dengan pria yang tidak dicintainya. Gadis itu terperosok dalam lubang batu dan meminta batu menelan dirinya yang tak lagi ingin hidup. Batu itu pun menggantung dengan bentuk mirip tubuh gadis itu.

Yang paling menohok adalah tentang batu yang dijadikan perumpamaan oleh Yesus dalam kisah perempuan yang berzina. Ketika sang perempuan yang berzina diarak massa dan akan dihukum rajam atau dilempari dengan batu, maka Yesus berkata kepada massa: Siapa yang tidak berdosa, silakan melempar batu pada wanita itu. Namun rupanya pada akhirnya tak seorangpun yang melemparinya batu.

Batu adalah benda kecil, yang banyak gunanya. Bukan hanya untuk bangunan, batu juga bisa untuk hiasan atau perhiasan.
Saya ingat beberapa tahun lalu ketika keluarga besar kami menjahitkan kebaya seragam untuk acara pernikahan saudara, yang membedakan seragam kami adalah hiasan pada kebaya itu. Salah satu hiasan terindah pada kebaya itu adalah batu manik-manik hias yang berkilau.

Manfaat batu bermacam-macam. Batu bisa mempercantik taman, bisa dipakai untuk melukai orang, untuk memperkokoh bangunan, mengusir binatang, menjadi hiasan, bahkan ada yang percaya mitos, batu dipercaya jika diikat dalam baju, bisa menahan mual perjalanan, atau menolak bala.

Sejatinya, batu adalah barang yang fungsional, meski sering dipakai dalam makna konotasi. Kepala batu, artinya manusia keras kepala. Berhati batu, artinya keras hati. Makna positif contohnya dalam kata Batu Karang, yang artinya kuat dan teguh dalam guncangan problema, atau Gunung Batu, artinya tempat pertahanan dan perlindungan.

Dari semua kisah dan fungsi batu di atas, yang paling bikin saya bergidik adalah batu rajam. Di jaman Yunani Kuno, Rajam adalah hukum mati dengan melempari orang dengan batu sampai mati. Hukuman rajam ini terdengar sebagai cara yang keji untuk mati, mengerikan dan seolah tak beradab, serta tak berperikemanusiaan.

Saya teringat suatu kali pernah berhasil menangkap tikus dengan jerat lem tikus di rumah. Karena takut tikus terlepas lagi, buru-buru saya minta tukang sampah membuangnya, namun rupanya kepala si tikus dipukul dulu dengan batu hingga berdarah. Melihat itu seketika saya merasa mual ingin muntah. Saya membayangkan betapa mengerikan hukum rajam, melempari orang hingga mati, pasti seluruh kepala/badannya luka-luka berdarah.

Barangkali memang, seperti kata seorang bijak, kita semua memiliki ‘batu’ dalam diri kita. Batu itu bisa kita keluarkan dalam wujud bahasa atau tindakan. ‘Batu’ kita bisa menjadi benteng buat diri kita. ‘Batu’ kita juga bisa menjadi kerikil bagi orang lain. Kita bisa melempari ‘batu’ pada orang lain dengan bahasa yang kasar atau tindakan yang jahat. Sebaliknya, orang lain juga bisa melakukannya pada kita. Sadar tak sadar, kita bisa perang ‘batu’ dengan saling menghakimi, walau akhirnya kita semua yang terluka.

Namun, sesungguhnya siapakah kita hingga berhak melempar ‘batu’ pada orang yang kita anggap berdosa. Padahal kita juga sama, sesama pendosa. Hanya saja, mungkin dosa kita tidak terekspos.

Alangkah indah dan lebih baik jika kita bisa ‘mengolah batu’ kita untuk manfaat positif. Untuk memperindah, membuat lebih baik, dan membangun. Bukan untuk menjadi senjata untuk melukai sesama kita.

Bertindaklah, Bangkitkan Pikiran Positifmu

Berpikir positif bisa memberikanmu perubahan hidup yang positif. Itu menyehatkan jiwa dan ragamu.

Tapi kadang-kadang, ada situasi di mana kamu kesulitan membangun pikiran positif. Yang timbul malah pikiran negatif, pikiran buruk, yang akan menggerogoti energimu.

Karena itu, bertindaklah. Jangan biarkan pikiran negatif menguasaimu. Berikut ini ada 10 tips yang bisa membantu:

1. Bergaullah dengan mereka yang positif
Kalau kita dikelilingi oleh orang yang sehari-harinya komplain melulu, marah melulu, pikiran negatif mereka bisa menular lho. Karena itu, lebih baik bergaul dengan orang-orang positif, yang akan menularkan energi positif padamu dan malah itu bisa jadi kebiasaanmu. Catat, akan sulit jadi negatif ketika semua orang di sekelilingmu sangat positif.

2. Jangan bermain role of victim
Ketika kamu berhadapan dengan masalah jangan merasa sebagai korban dan menyalahkan orang lain. Akuilah bahwa kamu juga berperan pada timbulnya masalah itu dan bertanggung jawablah. Dengan begitu kamu akan belajar dari kesalahan dan tak menyalahkan orang lain.

3. Berbagilah
Kamu bisa menjadi sukarelawan dalam berbagai aksi sosial. Membantu orang lain akan memberikan sudut pandang baru padamu dalam melihat dunia dan membantumu berpikir positif.

4. Bacalah hal-hal yang positif dan inspiratif
Pakai waktumu untuk membaca sesuatu yang mendorong pikiran positif. Misalnya membaca Kitab Suci, buku dengan kutipan-kutipan inspiratif, dan sebagainya.

5. Buang pikiran negatif
Selama masih ada pikiran negatif di kepalamu, kamu tidak akan bisa memberikan tempat untuk pikiran positif. Buanglah kata-kata seperti “Aku selalu bikin kacau” atau “Aku tak pernah bisa”. Kalau terjadi kekacauan, berpikirlah, “Baiklah, aku sungguh-sungguh belajar dari pengalaman ini.”

6. Kejar tujuan
Kalau kamu sudah mempunyai tujuan, adanya masalah akan membangkitkan motivasimu untuk mengatasi masalah itu, karena fokusmu pada tujuan.

7. Ingat, konsekuensi pikiran negatif
Pikiran negatif hanya akan membuatmu kurang berusaha, alhasil, peluangmu berhasil juga akan berkurang.

8. Bantu orang lain
Terbiasa memuji orang lain dengan tulus dan menawarkan bantuan, akan membuat perasaanmu lebih baik.

9. Berterima kasih dan bersyukur
Dengan bersyukur dan berterima kasih pada apa yang sudah kamu alami setiap hari. Bikin daftar, apa saja yang kamu syukuri dan pantas kamu berikan terima kasih. Lihat, pada akhirnya, itu akan menjadi kebiasaanmu.

10. Merawat fisik dan mental
Berikan tubuhmu istirahat yang cukup supaya kamu bisa meraup energi baru. Kelola stresmu dengan baik, supaya kamu punya banyak energi untuk berpikir positif.

Foto: Pixabay/Geralt

Menatap “Senja” dengan Berpikir Positif

 

Bagiku, Senja adalah kematangan dewasa

Pengalaman hidup yang utuh ranum dalam kemesraan anggun

Yang dapat menoleh kelampauan

dan terus melangkah di masa kini

mewujudkan panggilan Kristus yang tidak henti bergema

untuk mempersembahkan yang terbaik sampai titik akhir

sambil menatap penantian penuh kesejukan bersama Allah Bapa

 

Penggalan puisi ini dibacakan saat awal ibadah pada hari Minggu, 16 Oktober 2016. Saya beribadah di GPIB Nazareth saat itu, rupanya bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Keenam Persekutuan Kaum Lanjut Usia disingkat PKLU.

GPIB memang memiliki bidang-bidang pelayanan berdasarkan kategori dari anak-anak yang lebih sering disebut Persekutan Anak atau PA, lalu Persekutuan Teruna (PT), Persekutuan Kaum Bapak (PKB), Persekutuan Kaum Perempuan (PKP), dan kemudian PKLU ini yang merupakan kategori pelayanan buat para Oma dan Opa, atau jemaat dengan usia di atas 60 tahun.

Puisi yang dibacakan oleh seorang Oma di depan jemaat terasa indah sekali dan memberi optimisme yang besar. “Senja adalah kematangan dewasa”, kalimat ini jelas terasa memberi energi positif bagi yang membaca atau menyimaknya.

Bagi saya, puisi ini selain mendorong para Oma dan Opa untuk berpikir positif, lirik-lirik pada penggalan puisi ini seperti juga mendorong saya untuk berpikir positif terhadap para orang tua kita. Karena cuma kategori seperti merekalah “yang dapat menoleh kelampauan dan terus melangkah di masa kini”.

Kerentaan memang bisa jadi merupakan musuh utama yang melelahkan saat orang tua kita menjalani hari-hari mereka, namun pikiran positif membuat banyak orang tua terasa “lebih anak muda” daripada yang memang muda secara usia.

Sangat mengasyikkan melihat bagaimana seorang Oma di gerejaku begitu aktif dengan akun Facebook-nya. Rasanya, tak begitu banyak orang tua di atas 60 tahun mau bercapek-capek mempelajari bagaimana membuat akun di Facebook (mungkin dibuatkan, ok lah), lalu belajar posting status, atau nge-like postingan orang lain, atau malah nge-tag orang lain.

Status yang biasa tertera seperti ucapan selamat ulang tahun, atau forward kisah-kisah inspiratif. Sepanjang saya mengurut kegiatan Facebook si Oma, tak ada ujaran-ujaran negatif yang terlontar atau diteruskan.

Terasa sekali, asam garam kehidupan yang telah dilalui mempengaruhi kebijakan si Oma dalam aktivitas di media sosial. Kalau semua netizen begini, dijamin adem timeline kita, nggak gampang gaduh.

Berpikir positif ini jugalah yang saya sendiri sering terapkan saat menghadapi orang tua tercinta, Oma dan Opa dari anak-anak saya. “Mama pengen makan di sini deh”, “Mama dah lama nggak jalan ke mal ini”, “Mama diajakin nonton dong kayaknya ada film bagus tuh di bioskop”, nah loh?! Banyak amat maunya.

“Ayo ma..kita jalanin semua, ok aja. Seru pasti.”

“Hehe, enggaklah. Mama enggak kuat lah ngejalanin semua kepengen mama sekaligus. Mama cuma pengen ngobrol-ngobrol aja.”

Kalau sudah begini, semua diselesaikan secara adat di tempat nongkrong warung roti bakar di pinggir jalan utama kompleks rumah. Saya, istri, anak-anak, dan Oma tentunya, ngobrol ngalor-ngidul sambil menyeruput teh tarik atau cappuccino ala warung kopi itu. Biasanya malam, pukul 20.00 WIB, dan sampai waktu yang tidak ditentukan.

Kebanyakan orang tua cuma ingin yang simpel saja, didengar apa yang dia katakan, dan mendengarkan perkembangan apa yang telah terjadi pada orang-orang yang dikasihinya.

Bayangkan kalau saya sedang hilang kesadaran dan langsung berpikir negatif “Ngapain sih ma pengen macem-macem gitu?! Aneh-aneh aja ah!” Jawaban aura negatif seperti ini pasti langsung mengaburkan niat sebenarnya, dan dampaknya rasa sedih pasti akan menyelubungi hati orang tua dan tentu perasaan kita jadi galau juga. Tak ada yang diuntungkan, malah luka dan duka yang ditimbulkan.

Pada saatnya, saya–jika Allah berkenan–akan masuk “kategori PKLU” juga. Dambaan saya, semua berjalan seperti kisah Musa mempersiapkan Yosua.

Musa menjadi rujukan dalam setiap langkah orang muda seperti Yosua. Namun, Yosua-lah yang meraih masa di depannya, karena Musa tidak diperkenankan memasuki tanah perjanjian, Kanaan. Musa hanya diperbolehkan menatap tanah perjanjian, Yosua yang memasukinya (Ulangan 34).

Jadi, masih dalam rangka berpikir positif, sebagai orang tua saya wajib mempersiapkan kehidupan anak-anak saya sebagai generasi selanjutnya. Dan, saya akan menatap mereka meraih impian mereka, sebuah “tanah perjanjian” yang disiapkan Allah.