Tag Archives: perubahan

Bukan Tanpa Akhir

Ada sebuah restoran favorit keluarga kami, yang minimal sekali dalam sebulan kami kunjungi. Salah satu menu favorit saya adalah mie lamian khas yang mereka buat secara langsung. Biasanya sambil menunggu pesanan dimasak, saya memerhatikan proses pembuatan mie lamian itu. Tepung yang diadon, diremas, diputar, ditekan, diulen, dibanting, diregang, dibanting, ditarik lagi, berulang-ulang, sampai berkali-kali, hingga bisa dibentuk menjadi mie.

Bagi saya mie lamian itu enak. Beda dengan mie lainnya. Mungkinkah karena proses pembuatannya lebih ‘keras’ dan lama? Mungkin kalau hanya diulen sekali lalu dipotong-potong, bisa saja bentuk atau rasanya berbeda, bukan? Seperti kata orang, proses tidak mengkhianati hasil.

Lalu saya terpikir, apakah hidup kita memang kadang seperti itu. Ketika ada pergumulan, kita merasa menderita seolah hati kita diremas, ditarik, diputar, dibanting-banting, dipukul, disayat-sayat, berulang-ulang, seolah tak ada akhirnya.

Pada akhirnya semuanya ternyata berakhir juga. Dan tanpa sadar, kita sudah setingkat lebih kuat, lebih dewasa, lebih berpengalaman, lebih tahan banting. Naik kelas.

Kalau dianalogikan dengan mie lamian tadi, kita sudah sampai pada fase proses akhir, terbentuk menjadi mie, siap dihidangkan, dan menjadi hidangan nikmat, membawa kesenangan bagi yang menikmati.

Saya jadi ingat, minggu lalu setelah ulang tahunnya yang keenam belas, suatu pagi anak saya ke dapur dan bertanya: Mam, susu sarapanku mana?
Saya menjawab: Mama nggak bikin.
Dia bertanya: Mengapa. Tapi minuman adek Mama bikin.
Saya jawab: Kamu bisa bikin sendiri, kan?
Dia sahuti: Kan biasanya Mama yang bikin.
Jawab saya: Kamu lupa ya, umurmu sudah berapa. Saatnya kamu sudah harus belajar bisa mandiri.
Dia manyun sebentar. Lalu saya mengambil gelas dan memberikan padanya. Dia mengambil susu dan air panas dan menyeduhnya sendiri.

Saya ingat setelah pesta ulang tahun saya ke-17, saya pernah mengeluh, bahwa menjadi dewasa itu tidak enak. Tidak bisa bermanja-manja lagi, semua harus saya kerjakan sendiri. Apalagi kedua orangtua saya bekerja. Kami tidak ada pembantu, saya harus membersihkan rumah sendiri ditambah harus les tiap hari untuk persiapan ujian masuk perguruan tinggi.

Proses pendewasaan itu memang tidak enak, tapi kita harus melaluinya, kata orangtua. Salah satu contoh proses yang ‘menyebalkan’ itu adalah perubahan. Saat itu saya harus bisa mengadaptasi perubahan dari bangun menjadi lebih pagi dan tidur lebih malam, pekerjaan rumah dan pelajaran yang lebih banyak.

Orang yang paling kuat adalah orang bisa beradaptasi dengan perubahan. Begitu kata bapak saya.

Kalau saya ingat hal itu sekarang, terutama dalam kondisi pandemi saat ini, kata-kata itu menjadi motivasi bagi saya untuk saya teruskan pada anak-anak.

Virus Covid-19 entah kapan berakhir, kita harus siap berubah dan menghadapi kondisi ‘new normal’. Semua takkan sama lagi. Kita harus siap menghadapi perubahan, dan terus beradaptasi.

Mungkin saat ini kita sedang dalam fase diregang-regang dan dibanting-banting seperti adonan tepung mie lamian. Mari, bersabarlah, dan tetap bertahan, nanti akan indah pada waktunya.

Sepuluh Tahun, Apakah Anda Berubah?

Bulan Desember masih terasa seperti kemarin. Tiba-tiba sekarang bulan Januari sudah mendekati ujung. Tahun berganti. Usia bertambah. Berubahkan kita?

Seorang teman saya selalu mengubah gaya rambutnya di tahun baru. Misalnya jika tahun sebelumnya rambutnya panjang, di tahun baru dipotong pendek, atau jika tahun lalu keriting, tahun ini dibuat lurus.

Ada juga teman yang selalu mengganti barangnya di tahun baru. Tak tanggung-tanggung, jika bukan mobil, ponselnya yang harus ganti. Untung bukan suaminya yang diganti, kata teman saya lainnya sambil bercanda.

Apapun bentuknya, mungkin mereka hanya ingin ada perubahan dari tahun ke tahun. Mungkin itu hanya simbol, bahwa mestinya ada perubahan sesuai dengan perubahan waktu.

Tapi itu semua hanya perubahan secara fisik. Sesungguhnya yang tak kalah penting adalah perubahan dalam diri kita. Mudah mengganti barang milik kita, tapi mengubah perilaku kita, cara pandang kita, sikap dan kelakuan kita, apakah mudah juga? Anda tentu sudah tahu jawabannya, kan. Hehehe.

Belakangan ini sedang trending topik #ten years challenge. Seorang teman tiba-tiba mengirimkan foto-foto lama kami ketika mahasiswa, dan bertanya: Kapan kita berfoto bersama begini lagi. Agak sulit, sebab foto lama itu ada di luar negeri dan kami semua kini sudah sibuk dengan keluarga masing-masing.

Terpengaruh tantangan sepuluh tahun ini, teman-teman di media sosial ramai memamerkan foto lama dengan foto baru. Ada teman yang terlihat tidak terlalu ada perubahan pada wajah dan tampilan fisiknya, ada juga yang terlihat sangat berbeda.

Yang menarik dari foto-foto challenge itu adalah, selain mengenang memori masa lalu, bernostalgia memang bisa menjadi hiburan tersendiri. Bagi pertemanan yang sudah dekat dan kebal, ini bisa menjadi ajang cela-celaan. Misalnya, ada yang mengatakan:

“Kok muka kamu dari dulu tetap seperti tomat, sih?”
“Mendingan muka akulah, daripada muka kamu seperti melon raksasa.”

Seorang teman kuliah yang memajang foto langsing sepuluh tahun lalu, mendapat komentar lucu:
“Apa yang dilakukan suamimu padamu, kok kamu jadi bengkak begini sekarang?”

Ada seorang teman yang sengaja dengan maksud bercanda memasang foto bayi dan foto saat ini dengan tagar #10yearschallenge, dan segera dihujani komentar dari teman-temannya karena hal itu mustahil. Sebab usianya sekarang sudah 30 tahun.
“Edan, pertumbuhan kamu cepat amat, Bro!” komentar seseorang.
“Banyak tekanan hidup dan tekanan dari netizen yang maha benar, jadi cepat tua, Sis!” jawabnya bergurau.

Bicara tentang membandingkan masa lalu dan masa kini, memang tak ada habisnya. Ini yang membuatnya menarik. Bukan sekedar menikmati foto masa lalu, tantangan #10yearschallenge ini juga bisa menyimpan makna lain, bahwa dalam hidup ini tak ada yang abadi. Kita hanya makhluk yang akan berubah dan menjadi tua seiring waktu berjalan, bukan vampir yang tetap awet muda dan tak mati-mati. Perubahan ini mengingatkan kita bahwa pada akhirnya kita akan tiba ke garis finish dan kembali ke Pencipta, dan waktu yang kita miliki pun terbatas, hingga kita harus menggunakannya semaksimal mungkin.

Akan tetapi, seperti sepotong lirik lagu NKOTB waktu saya remaja: Age is just number, dont you stop having fun, usia bukan jadi alasan kita untuk tidak bisa melakukan hal-hal yang kita inginkan sepanjang itu positif. Saya punya seorang kerabat yang sudah nenek berusia 70 tahun tapi masih suka mengenakan sepatu boot model seperti artis, sering mengenakan sepatu high heels, dan rajin mengganti warna rambut dan kuteks. Tidak ada orang yang berhak menghakimi orang lain karena usia. Kita punya selera masing-masing.

Bernostalgia memang bisa membuat kita merasakan kembali kebahagiaan dan bersyukur atas pencapaian yang telah kita lakukan dari masa lalu. Selain potensial mengingat kembali rasa pahit atas kenangan buruk, nostalgia juga bisa membuat kita merasa kuat bahwa akhirnya kita bisa melewati itu semua dan menjadi orang yang lebih baik saat ini. Hidup terasa lebih bermakna dan dan lebih berpengharapan karena melihat bahwa kesulitan dari masa lalu bisa teratasi dengan baik dan membuat kita semakin kuat dan dewasa serta bijaksana.

Sepuluh tahun memang bukan waktu yang singkat. Sepuluh tahun lalu anak saya masih balita, eh sekarang sudah anak gadis. Mungkin sepuluh tahun lagi dia sudah menikah dan saya sudah menjadi seorang nenek (astaga!). Hehehe.

Apapun yang terjadi, yang perlu kita bandingkan adalah diri kita sendiri, di masa lalu dengan sekarang, dan diri kita di masa depan. Bukan membandingkan diri kita dengan orang lain. Sebab kita menjalani jalur hidup kita masing-masing dan standar hidup yang berbeda, dan pergumulan yang berbeda, sehingga standar dan defenisi sukses kita juga berbeda. Kita punya standar masing-masing, yang urusannya adalah antara diri kita sendiri dengan sang Pencipta.

Seperti pernah saya dengar orang bijak berkata:

Hidup ini bukan perlombaan. Yang berlomba adalah diri kita sendiri melawan diri kita di masa lalu. Menjadi diri kita yang lebih baik semakin hari semakin baik adalah tujuan hidup atau tujuan perlombaan itu sendiri.

Jika bicara soal waktu, waktu tak membatasi kesuksesan seseorang, dan umur bukan penentu kesuksesan. Misalnya, ada yang sejak kecil sudah jenius, tapi biasa saja di usia dewasa, ada yang biasa saja waktu kecil tapi sukses ketika sudah berumur.

Tidak semua orang seperti Mark Zuckerberg. Seorang pemuda yang pernah menjadi billionaire termuda di dunia ketika berusia 22 tahun, yang kini orang ke-5 terkaya di dunia dengan kesuksesannya menciptakan Facebook ketika masih berada di bangku kuliah. Ada juga yang seperti Henry Ford mulai sukses di usia 40 tahun, atau seperti Kapten Sandlers yang merintis KFC di usia 65 tahun.

Lalu, ada seorang nenek dari Singapura, Mary Ho. Usianya sudah 81 tahun. Beliau mulai belajar bermain gitar saat usia 60 tahun dan sempat ingin menyerah namun beliau kemudian belajar tiga jam sehari. Sekarang beliau terkenal jadi rocker dan sudah diminta merekam albumnya sendiri.

Hikmahnya, tak ada kata terlambat untuk berubah lebih baik.

Selain kenangan yang membahagiakan tadi, kita juga pasti bisa teringat kesedihan atau kekecewaan di masa lalu. Tetapi hal itu pun layak kita syukuri. Bagaimanapun hal itu turut memberi sumbangsih dalam pembentukan diri kita yang saat ini. Seperti kata lagu, suka duka dipakai Tuhan untuk kebaikan kita.

Jadi, dalam sepuluh tahun ini, apa yang berubah dalam hidup anda?

*-*

Mental Apa yang Kita Miliki?

Mungkin sering kita mendengar orang nyinyir dengan istilah Revolusi Mental yang digaungkan oleh bapak Presiden Joko Widodo. Konon, gagasan revolusi mental ini pertama kali dilontarkan oleh Presiden Soekarno belasan tahun setelah Indonesia merdeka. Revolusi itu adalah upaya membangun jiwa yang merdeka, mengubah pola pikir dan perilaku ke arah yang positif untuk mencapai kemajuan.

Saat ini pemerintah sedang sibuk membangun infrastruktur, dan bersamaan dengan itu juga sungguh tak kalah penting membangun mental bangsa, yang adalah modal utama dalam membangun jiwa bangsa, dengan tujuan akhir agar Indonesia menjadi bangsa yang mampu berkompetisi di kancah internasional.

Tapi rasanya, itu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Boro-boro revolusi mental, menerima saran saja kita sulit. Seperti pengalaman saya hampir tiap hari.

Karena kondisi yang menuntut, akhir-akhir ini saya ‘terpaksa’ menggunakan jasa kendaraan bermotor online. Banyak kisahnya rupanya. Setiap hari selalu berbeda.

Di suatu kali, saya dapat pengendara yang pintar, menemukan jalan pintas yang membuat waktu tempuh menjadi lebih cepat. Saya sangat bersyukur mendapat pengemudi yang kelihatannya sudah berpengalaman itu.

Di kali lainnya, saya mendapat pengemudi yang tidak becus. Lamban, tidak tahu kapan harus menyalip, kapan harus minggir, dan melulu mengambil jalan sekenanya tanpa strategi, asal bergerak, dan kami terus stuck dengan kenderaan di depan kami, hingga kami terus terjebak di tengah dalam himpitan mobil-mobil. Padahal kan harusnya motor bisa lebih cepat dari mobil karena itulah bedanya yang membuat orang memilih naik motor.

Kesempatan lainnya, saya mendapat pengemudi yang ‘grasa-grusu’. Setiap di depan kami ada space sedikit saja, langsung menyeruduk, hingga saya hampir menjerit-jerit takut terjepit motor dan mobil di kiri dan kanan kami. Dia sepertinya bermasalah dengan cara mengemudi, suka mendadak mengerem, dan pernah membuat saya hampir terlonjak ke belakang.

Itu belum seberapa. Sering, saya dapat pengemudi yang keras kepala. Saya sudah setiap hari melintas rute perjalanan kami sehingga saya sudah tahu baiknya lewat jalur mana supaya cepat, tapi mereka ini sungguh tidak mau mendengarkan saran saya. Mereka merasa jalur yang mereka tahu itu lebih baik. Misalnya jalur di lampu merah Fatmawati, itu baiknya kita susuri lewat kiri terus dan membelok ke kanan setelah dekat lampu merah, tapi mereka mengotot terus memotong lewat tengah di antara mobil-mobil yang tidak mau memberi space. Jadilah kami stuck dan itu memperlambat waktu tempuh. Saya dirugikan dalam hal waktu. Padahal tujuan saya naik ojek adalah untuk menghemat waktu.

Saya heran. Mengapa mereka ini susah sekali mendengar saran. Saya sudah bilang, “Lewat kiri saja terus Pak, nanti di depan baru ke kanan,”, tapi mereka tetap saja mencoba masuk ke jalur tengah. Bahkan pernah, pengemudinya membantah: “Saya tahu kok jalan ini, Bu.”
Saking saya kesal, saya ingin bilang: “Tiap hari saya lewat sini lho, Pak, jadi saya tahu. Benar kan, lebih cepat jalur yang saya bilang, kan?!”

Tapi kan tidak sehat jika tiap pagi harus marah-marah ke pengemudi. Para pengemudi yang mau belajar, yang mengikuti saran dari saya, mereka malah senang dan mengucapkan terima kasih karena menemukan jalur baru, wawasan baru, pengalaman baru. Mereka bisa menerapkannya ke penumpang lainnya. Penumpang lain pun akan senang. Begitu seterusnya.

Yang saya tak habis pikir adalah, alasan pengemudi-pengemudi yang seenak hati dan tidak mau mendengarkan saran itu. Mengapa? Saya kan penumpang, saya nasabah. Nasabah kan, adalah raja. Dalam hati saya pernah geli membayangkan, jika pengemudi keras kepala tersebut misalnya adalah karyawan di kantor kami, dan bos saya menyuruhnya sesuatu dan dia melawan, maka sekejap saja dia pasti akan dipecat!

Pernah juga ada pengemudi yang licik. Saya pesan ojek dan ada yang menerima orderan saya. Di peta saya lihat posisinya ada di depan gedung kantor saya. Tapi dia mengirim pesan dan mengatakan dia ada di gedung seberang kantor saya dan minta di-cancell saja sebab akan memutar jauh dan menghabiskan waktu. Saya curiga, sebab saya lihat di depan gedung kantor saya banyak ojek dengan label yang sama, tapi mengapa saya diberikan driver yang berada di seberang jalan.

Saya cancell dan memesan lagi. Di depan gedung ketika menunggu ojek datang, saya mendengar beberapa pengemudi sedang mengobrol.
Seorang pengemudi agak keras berkata: “Kalau nggak mau ambil, ngaku-ngaku aja posisi kita ada di seberang biar di-cancell. Kalau saya mah nggak mau ambil orderan ke daerah itu, kan itu daerah macet, ntar susah lagi baliknya.”

Pas saya menoleh, saya curiga dia adalah driver yang tadi minta cancell ke saya, sebab dia menyebut daerah tujuan saya, dan kalau tidak salah, plat kenderaannya sama, dan wajahnya mirip di foto aplikasi.
Saya sempat merasa kesal tapi lalu saya abaikan. Saya pikir, itu rejeki anda yang tolak, anda yang rugi. Dia tidak tahu di daerah tujuan saya itu jalannya sudah bagus karena tol sudah jadi, jalanan pun sangat lancar dan mulus. Itu adalah salah satu bukti kemajuan pembangunan infrastruktur yang sedang giat dilakukan oleh pemerintah.

Orang dengan kesoktahuan yang tak berdasar ditambah kebodohan alias kurang wawasan, dan potensi licik tukang tipu, malas dan tak mau repot, takkan membuat seseorang mendapat banyak rejeki, pikir saya.

Saya jadi ingat hasil riset teman saya yang ekspatriat, bahwa orang Indonesia cenderung bermental instan, berpikir pendek, kurang daya juang, suka mengutang dan tukang kredit.

Saya selalu tak suka mendengarkan hal itu, tapi kini setelah makin banyak mengalami interaksi dengan orang lain, saya dengan sedih menyadari bahwa mungkin itu ada benarnya. Riset itu memang tidak mengatakan semua orang Indonesia begitu, tapi kemudian saya jadi bercermin diri saya sendiri. Mental saya mental apa?

Saya mungkin juga malas melakukan perubahan, jika bukan karena terpaksa. Contohnya adalah naik kenderaan ojek online ini. Saya dulu tidak mau naik ojek, karena takut panas, bau asap, takut kesenggol, tidak nyaman alias pegal apalagi kalau pakai rok, sehingga saya memilih resiko menghabiskan waktu dan uang lebih banyak dengan naik kenderaan roda empat.

Hingga pada akhirnya saya terpaksa, mau tidak mau, harus naik ojek. Keadaan yang memaksa saya meninggalkan zona nyaman saya. Dan awalnya itu terasa sangat menyiksa. Sampai sekarang pun walau sudah mulai terbiasa, tetap saja masih kurang nyaman. Tapi saya memaksa diri untuk beradaptasi dengan perubahan itu. Sebab tak bisa disangkal, hal itu membuat hidup saya lebih berkembang karena lebih mendukung pekerjaan dan kehidupan pribadi saya.

Hal itu yang kemudian membuat saya refleksi dengan diri saya sendiri. Mungkin dalam hidup saya juga pernah atau sering seperti para pengemudi tadi.

Karena kemalasan atau kebodohan atau ego, kita tidak mau berubah, tidak mau menerima saran, tidak mau belajar, lebih nyaman dengan cara lama dan kondisi saat ini. Kita tak mau repot-repot berubah, tak sudi diusik dengan revolusi mental.

Tapi jika tanpa keinginan untuk berubah, maju, berkembang, berkreasi, apa yang bisa kita harapkan dalam hidup ini? Bisakah mental instan dan hidup konstan tanpa perubahan membuat kita lebih baik? Lebih maju? Lebih sejahtera? Lebih makmur? Lebih bahagia? Bisa bersaing di dunia internasional?

Jika kita tak ada perubahan cara, pola pikir, strategi dan kemauan meninggalkan zona nyaman dan kemalasan serta kepicikan, apa bisa kita mengalami kemajuan serta meraih impian dan masa depan yang lebih baik?

Film “Thor: Ragnarok”, Hidup adalah tentang Perubahan

Akhir pekan kemarin, saya dan anak-anak menonton film Thor: Ragnarok. Sudah lama kami menunggu film ini diputar.

Sebelum menonton, saya agak heran begitu melihat mengapa di posternya, rambut Thor jadi pendek. Setelah menonton, barulah ketahuan alasannya. Ketika rambutnya akan dipotong selama film itu, saya sempat kuatir kekuatannya akan berkurang seperti Samson. Ternyata tidak.

Tapi ketika Thor bertarung dengan Hela, sang dewi kematian, dan Hela menghancurkan palu Thor, saya pun tercengang. Apakah kekuatan Thor akan hilang bersama kehancuran palu itu?

Ketika Thor kehilangan palunya, dia mungkin juga merasa kehilangan kekuatannya. Padahal, bukan di situ letak kekuatannya yang sebenarnya. Itu hanya senjata. Hanya alat. Sarana.

Tanpa palu Mjolnir itu, Thor pada dasarnya sangat kuat dan cepat. Thor adalah salah satu Asgardian terkuat dalam hal potensi kekuatan (raw power). Dengan palu itu, kekuatan dan kelincahan alami Thor ditingkatkan sampai batas tertentu, tapi pada dasarnya Thor sangat kuat (extremely durable).

Saya pikir, Thor yang terkenal dengan senjata palunya, mungkin saja sempat merasa lemah atau ‘telanjang’ tanpa palu itu. Ibarat orang jika tak mengenakan jam tangan, atau tidak memegang ponsel satu hari saja, rasanya ada yang kurang.

Kita juga mungkin pernah merasa bahwa kekuatan kita ada pada material, barang-barang atau harta kita, tapi sesungguhnya bukan. Itu hanya sarana. Kekuatan itu ada pada diri kita. Kepribadian kita. Apapun bentuknya.

Film ini memang film laga, tapi sangat saya suka, sebab banyak dialog atau adegan yang kocak yang dari awal sudah membuat saya terpingkal-pingkal.

Selain joke-joke dan keseruan pertarungan dan jalan cerita yang tak terduga, juga akting bagus dari tokoh-tokohnya, banyak hikmah yang bisa dipetik dari film ini.

Contohnya…

Ada orang seperti Valkyrie, yang mencoba melarikan diri dari masa lalu dengan hidup bermabuk-mabukan, tak berani menghadapi kenyataan, walaupun pada akhirnya dia berani menghadapi mimpi buruknya.

Kalaupun kita punya kekuatan, jangan main pukul sembarangan seperti Hulk yang mencoba menghajar Surtur, monster api, yang bisa menghanguskannya dalam sekejap. Pikir dulu sebelum bertindak. Ukur dulu kemampuan kita.

Lalu Thor, yang menemukan dirinya, bahwa kekuatannya ada pada dirinya, bukan pada palunya. Dan bahwa sebuah negeri itu bukanlah tempatnya, tapi manusianya.

Lalu, yang paling saya sukai adalah, seperti ucapan Thor kepada adiknya, Loki: “

Hidup ini adalah tentang pertumbuhan dan perubahan

, tapi kenapa kau tetap sama saja?”

Ada orang yang seperti Loki, tak mau berubah, tetap pengkhianat, egois dan tricky, hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Sesaat kita merasa bisa memercayainya tapi rupanya dia tetap mengkhianati kita.

Saya setuju bahwa,

memang seharusnya dalam hidup ini kita harus mengalami perubahan positif, bertransformasi terus-menerus menjadi orang yang lebih baik, lebih dewasa, lebih matang, lebih berguna, makin positif, dan semakin menyerupai imej Pencipta kita.

Kesimpulannya, kami sangat puas menonton film ini, tak percuma penantian ‘panjang’ kami. Tak sabar menunggu film berikutnya.

-*-

Perubahan Hidup

Tahun yang baru adalah momentum yang tepat untuk membuat komitmen untuk melakukan perubahan hidup. Akan tetapi hal ini bukan perkara mudah. Mengubah kebiasaan biasanya menimbulkan ketidaknyamanan. Meski begitu, perubahan hidup bukanlah sesuatu yang mustahil dicapai.

Langkah pertama untuk mengubah hidup adalah dengan menyadari adanya kebutuhan untuk melakukan perubahan hidup. Kebutuhan akan memotivasi kita untuk melakukan sesuatu. Mengapa kita mau berjalan ke dispenser? Karena kita butuh minum. Demikian juga kalau kita sudah menetapkan bahwa perubahan hidup adalah sebuah kebutuhan maka kita akan termotivasi untuk mencapainya.

Berikutnya, Anda perlu menetapkan tujuan dengan menggunakan pendekatan “SMART”. Dalam metode ini, tujuan Anda harus memenuhi kriteria sebagai berikut: Specifik, Measured (dapat diukur), Appropriate (sesuai kebutuhan Anda), Realistis, dan Time-bound (terikat waktu).

Mulailah dengan menentukan tujuan yang spesifik. Misalnya, jika Anda perlu meningkatkan aktivitas fisik Anda, jangan hanya berkata “saya akan meningkatkan aktivitas saya nanti”. Target ini tidak jelas, dan untuk mencapainya akan lebih sulit.

Cobalah menggantinya menjadi “saya akan berjalan 1 kilometer atau 2.000 langkah setiap hari.” Tapi ingat, sesuaikan target Anda dengan kondisi tubuh. Jangan memaksakan diri untuk berjalan terlalu jauh jika Anda tidak fit. Konsultasikan dengan dokter tipe olahraga yang sesuai untuk Anda.

Kunci lainnya adalah dengan menetapkan target yang realistis. Lakukan langkah demi langkah menuju target utama Anda. Misalnya, jika Anda ingin mahir mengemudi mobil, maka mulailah dengan belajar mengemudi di tempat yang aman dulu.

Setelah itu, mulai mengemudi di jalan raya yang sepi. Jika sudah percaya diri, mulai mengemudi di tempat yang lebih ramai.

Dengan menjalani perubahan setahap demi setahap, Anda akan tetap termotivasi untuk menyelesaikan keseluruhan program. Namun jika Anda menetapkan target yang tidak realistis, misalnya langsung menjuarai balapan mobil, maka Anda akan lebih cepat merasa frustasi.

Ketika perubahan dimulai, maka catatlah perkembangannya dalam catatan harian. Dalam diari ini, Anda bisa mencatat apa yang Anda lakukan dan perkembangan apa saja yang mulai terlihat. Sekecil apa pun itu.

Yang Anda perlukan hanyalah sebuah buku. Mulailah menuliskan kondisinya sebelum dimulai perubahan, kemudian rekamlah perkembangannya. Diari membantu Anda tetap bersemangat menjalani keseluruhan program sampai selesai.

Jika Anda mulai mengalami kemajuan, jangan lupa memberikan hadiah dengan pada diri sendiri. Berikan hadiah yang positif. Jangan sampai ketika Anda berhasil berhenti merokok selama sebulan, maka Anda memberikan hadiah dengan membiarkan Anda merokok sebatang.

Ketika Anda memulai target baru, tawarkan diri Anda sebuah janji hadiah, misalnya, “Jika saya mencapai target ini, saya akan membeli CD lagu kesukaan saya.”

Dengan melakukan perubahan ini, maka Anda kehidupan Anda akan menjadi lebih baik.

 

Purnawan Kristanto

Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis.

Laman asli tulisan ini lihat di: http://renungan.purnawan.web.id/?p=716

Penulis adalah writer | trainer | humanitarian volunteer | video & photo hobyist | jazz & classic lover | husband of priest | father of two daughters |

Masih Seperti yang Dulu

Reuni. Sebuah kata yang bagai mesin waktu, yang bisa menerbangkan kita dengan instan ke masa lalu.

Orang-orang seolah tak pernah bosan reuni. Padahal apa yang kita kenang di masa lalu mungkin sudah tidak relevan.  Mungkin karena banyak hal konyol yang bisa dikenang kembali. Dalam sebuah reuni terkadang ada momen kejujuran. Yaitu momen di mana sesuatu yang dulu dirahasiakan sekarang diungkap (seperti tax amnesty dong, hehe). Saya sungguh tidak menyangka ketika seorang teman rupanya masih menyimpan rasa kesal sama seorang teman lain, hanya karena dulu tidak ikut ditraktir makan. Lalu ada juga yang masih musuhan padahal sudah lupa dulu akar masalahnya apa.

Lalu, “Astaga, kamu nggak berubah ya!” kata seorang teman, A, kepada teman lainnya, B. Menurut A, si B masih galak dan berjiwa provokator. Dan si C, katanya, masih sama, kalem dan sensitif. Dan tentang saya, katanya terlihat banyak berubah, sekarang lebih tenang dan bijak (hahaha), mungkin karena tuntutan karir, ya, tambahnya. Kami hanya tertawa-tawa. Mungkin di memorinya masih tertinggal kenangan dulu ketika remaja kami enggak bisa diam, di mana-mana mengobrol dan ngakak-ngakak. Lalu pada saya dia berbisik: “Si D kok masih sama aja kayak dulu ya, egois, pelit, perhitungan, sirikan, nggak mau kalah, banyak membual dan gengsinya tinggi.”

Pada akhirnya acara reunian itu memang jadi momen yang membuat kami menertawakan masa lalu, sambil introspeksi, membandingkan dengan diri kami yang sekarang, dan pulang dengan pertanyaan, apa iya saya belum berubah? Atau, apa iya saya sudah berubah? Apakah saya masih sama saja seperti dulu (seperti lagu lawas milik Dian Pisesha yang sering diputar kakak saya di masa saya kecil)?

Aku masih seperti yang dulu?

Saya kagum pada seorang teman, si Q, yang rajin mengevaluasi dirinya. Dia penganut ajaran orang bijak yang mengatakan: Jangan bandingkan diri anda dengan orang lain, tapi bandingkanlah dengan diri anda sendiri. Dia membuat resolusi dan menjadi parameter untuk membandingkan dirinya yang sekarang dengan dirinya tahun lalu, dan seterusnya.

Dalam sharingnya, pernah dia menemukan pola pikirnya masih ada yang sama dengan pola pikir dirinya waktu remaja. Dan dia berjuang keras mengubah hal itu. Misalnya, sikap mementingkan diri sendiri, pamer atau membual untuk mendapatkan pengakuan, dan suka memberontak pada peraturan. Itu kan sikap remaja puber kita banget, masa masih sama saja sekarang? Katanya.

Sikapnya itu membuat saya berpikir, apakah tanpa kita sadari, masih samakah pola pikir kita sekarang dengan masa dulu? Seperti seseorang yang saya kenal, umur 45 tapi pola pikirnya sama saja dengan anaknya yang berumur 15 (ukuran bodi saja yang lebih besar dari anaknya).

Bicara tentang perubahan, menarik bila mengamati metamorfosis kupu-kupu. Prosesnya terjadi cukup panjang dan lama namum sederhana. Daur hidup kupu-kupu dimulai dari telur menjadi ulat  lalu menjadi kepompong. Jika telah sempurna, kupu-kupu keluar dari kepompong tersebut,dan menjadi kupu-kupu dewasa.

Fase pupa atau kepompong berlangsung dengan waktu yang bervariasi, ada yang berkisar beberapa minggu, bulan, bahkan ada yang sampai tahunan. Fase pupa merupakan fase yang amat penting karena pada fase inilah dipersiapkan perubahan yang besar. Sel-sel larva akan berubah membentuk sayap, kaki, mata, dan bagian-bagian tubuh lainnya. Pada fase ini memerlukan energi yang sangat besar, sebelum masuk fase dewasa. Pada fase dewasa ini bertanggung jawab atas kelangsungan jenisnya dan menentukan dimana individu-individu baru akan berkembang.

Jika dianalogikan dengan perubahan pada kupu-kupu, hidup kita juga dibentuk terus, diubahkan dari sifat kanak, menjadi dewasa, prosesnya lama, berkali-kali, berulang-ulang ditempa, dimurnikan, dibentuk, hingga hasil akhirnya sempurna, seindah kupu-kupu dewasa.

Seperti pada fase pupa/kepompong, mungkin sama dengan fase menuju kedewasaan bagi manusia, kedewasaan memang perlu energi besar, untuk mengendalikan diri dan memikul salib. Dan pada usia dewasa kita memikirkan untuk menjadi pribadi yang menjadi teladan bagi generasi berikutnya, bukan malah sama saja dengan pola pikir generasi yang jauh lebih muda daripada kita.

Kembali ke reuni tadi, ada satu hal yang paling saya sesalkan, yaitu seorang yang teman yang, dulu adalah orang yang sangat toleran, entah mengapa kini terlihat sangat rasis, baik dalam ucapan dan status-status di media sosial, yang sering meresahkan dan potensial mempropagandakan perselisihan dan perpecahan. Padahal kami sama-sama pernah duduk di bangku universitas terbaik di negeri ini dan juga kuliah di salah satu kampus terbaik di negara orang (dia bahkan lebih lama tinggal di luar negeri). Rupanya kita tak bisa berharap orang lain akan lebih terbuka matanya karena sudah melihat dunia luar, atau akan membuat wawasan dan pola pikirnya berubah lebih mengglobal karena sudah melihat lebih banyak keanekaragaman. Kalau begitu, lantas apa yang bisa kita harapkan dari mereka yang level pendidikannya lebih rendah dengan wawasan yang lebih sedikit? Lalu masihkah berlaku pepatah: Katak di bawah tempurung? Atau harus diganti menjadi : Katak leyeh-leyeh di atas tempurung berjemur pakai kacamata hitam?

Saya menghibur diri dengan membaca tulisan di jurnal resolusi teman si Q tadi:

Jika anda belum berubah, tidak apa-apa, belum terlambat, berubahlah sekarang juga. Hidup adalah perubahan dan pelajaran yang berkesinambungan. Long life learning. Jangan jadi orang lain. Jadilah diri sendiri, dengan versi yang lebih baik. Be you, but better. Jangan sama lagilah pola pikir kita di masa lalu dengan sekarang. Seperti metamorfosis kupu-kupu, janganlah berlama-lama menjadi kepompong yang terbungkus buruk rupa, marilah segera berubah, bertransformasi menjadi lebih cantik setiap hari.

Amin.

(Dan saya masih senyum-senyum teringat seorang teman membuat lelucon: Dalam sebuah reuni, seorang teman yang sudah keluar dari rumah sakit jiwa menyanyikan sebuah lagu, yang membuat semua orang kabur dari tempat reunian. Lagu apakah itu? :))

(Daftar pustaka/kutipan dari : http://www.kelasipa.com/2015/04/penjelasan-proses-metamorfosis-kupu-lengkap.html)

-*-