Tag Archives: Perbedaan

Tentang Tahun Ayam

Hari ini di beberapa grup online yang saya ikuti, banyak ucapan selamat merayakan imlek. Di salah satu grup, banyak juga ucapan dengan bahasa yang tak saya mengerti tapi lucu karena kami semua yang tak mengerti bahasa itu turut menimpali dengan aktif, bahkan ada yang memelesetkan.

Misalnya, Gong xi fat chai, jangan kebanyakan makan nanti jadi fat ya, coy!
Ada juga yang bilang: Selamat tahun ayam, hati-hati jangan sampai rejeki dipatok ayam.
Bahkan ada yang sengaja meng-upload foto ayam goreng, dan menuliskan ‘selamat tahun baru’ di bawahnya.

Apa yang saya suka dalam salah satu grup itu adalah orang-orangnya terbuka dan tak merasa tersinggung walau saling teasing dan sekalipun ada yang suka mlesetin. Mungkin karena anggotanya sudah akrab dan mungkin juga karena memang komunitas itu terdiri dari golongan yang tingkat toleransinya terbilang tinggi. Ciyee…

Kami sudah terbiasa bercanda. Misalnya pas saya merayakan Paskah, seorang teman dari agama lain dengan sengaja mengirim nats (yang dia tahu dari sekolahnya, karena dulu dia kebetulan sekolah Kristen). Rasanya jadi lucu juga karena dia kan sebenarnya tidak mengerti nats itu dan sama sekali tidak nyambung dengan konteks perayaan Paskah, tapi itu tidak bermaksud menyinggung dan itu malah membuat grup kami ramai, tertawa-tawa.

Pernah juga kami merencanakan pertemuan, dan kepada yang beragama islam pun kami suka bergurau, contohnya dengan berkata: Enakan makan di lapo aja, enak lho dagingnya, lo belum pernah ngerasain kan? (Tahu kan di lapo itu pasti ada daging haram, hehehe).

Lalu pernah juga waktu kami makan dalam rangka buka puasa bersama di sebuah restoran arab, seorang teman sengaja mendandani saya dengan pasmina seolah saya mengenakan hijab. Kami makan dan berfoto-foto dengan gembira. Tak ada yang tersinggung. Tak ada yang protes. Sebab kami melakukan itu bukan untuk menistakan siapapun. Kami hanya berusaha beradaptasi dan tampil seperti lingkungan menuntut kami.

Apa yang membuat semua perbedaan itu lancar dan mulus, adalah mungkin karena kami bisa menerima keberadaan kami masing-masing yang memang berbeda.

Toleransi. Menerima perbedaan. Itulah hakikinya nusantara.

Kita tak harus setuju cara orang merayakan sesuatu tapi sikap kita adalah lebih baik menghargai sebab cara kita sendiri juga belum tentu mereka setujui tapi tetap mereka hormati. Itulah yang membuat kita bisa hidup berdampingan dengan damai.

Seorang teman kantor sering membawa bekal makan siang yang bagi orang lain adalah makanan haram, tapi mereka tetap bisa menerima, dan hubungan kami tetap baik. Selera boleh beda, pandangan hidup boleh berbeda, kebiasaan dan pola pikir boleh berbeda, tapi hubungan baik harus tetap dijaga.

Saya pikir itulah sejatinya nusantara yang harus tetap kita jaga dan lestarikan.

Dan seperti kata teman saya yang memang suka bercanda, apapun agamanya yang penting sama-sama menikmati hari liburnya. Hahaha.

Konon menurut zodiak Cina, ini tahun ayam. Mengapa ayam, saya juga kurang paham.
Yang jelas, ayam adalah hewan yang sangat adaptif, mudah hidup di sembarang tempat. Ayam juga adalah peliharaan yang murah dan popular, dan merupakan salah satu sumber protein utama bagi manusia. Kita tahu bahwa protein sangat vital bagi kesehatan dan pertumbuhan manusia.

Apapun artinya tahun ayam dalam zodiak, bagi kita yang tidak merayakannya, saya ingin mengambil makna positif dan menarik makna universalnya, yaitu,

semoga kita bisa semakin memiliki sifat alami ayam, yang, mudah beradaptasi dan menjadi sumber sumbangsih ‘protein’ bagi kehidupan manusia yang universal melalui karya kita masing-masing.

Selamat hari raya tahun baru Imlek, semoga tahun ini semakin damai-sejahtera dalam perbedaan dan nusantara yang semakin makmur.

Dan sama seperti tahun-tahun sebelumnya, kita bisa berpegang pada janji Tuhan:
“Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok,… ” (Matius 6:34), “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan (Yeremia 29:11).

Rambut pun tak sama hitam!

Akhir-akhir ini hampir tiap pagi saya melewati sekolah Perancis yang di Jakarta Selatan. Saya suka melewati sekolah itu sekalipun pas lewat sana pasti macet karena bentrok dengan jam masuk sekolah. Kenapa? Seolah sedang melewati kota Paris, hehehe

Saya suka melihat anak-anak sekolah itu. Ada yang berambut merah, berkulit mengilap, bermata biru, bahkan berambut gimbal. Mereka lucu-lucu dan unik-unik. Model pakaian mereka juga bermacam-macam. Ada yang hanya pakai sepatu kets dan T-Shirt. Ada yang kasual dengan kaos dan celana pendek. Ada yang rapi memakai rok dan kemeja. Ada juga penampilan punk atau rocker seperti Avril Lavigne dengan rambut berwarna-warni.

Dan para ibu yang mengantar juga berpenampilan berbeda. Ada yang hanya memakai dress pendek, ada yang mengenakan tank top dan celana pendek, ada juga berkemeja belel yang berkerah rendah. Yang terlihat lebih formil hanya para ayah yang mungkin setelah mengantar anak langsung pergi ke kantor. Mereka sudah rapi berkemeja dan dasi, bahkan mengenakan setelan jas. Kadang ada yang terlihat berpenampilan seperti pemain film Man in Black.

Apa yang saya pikir menarik dari hal ini? Busana anak-anak sekolah itu. Mereka berbusana bebas. Bukan seragam seperti di sekolah anak saya.

Anak saya pernah bertanya. Mengapa harus memakai seragam sekolah? Yang saya ingat, salah satu alasan pemberlakuan seragam adalah untuk menyamakan siswa, dengan kata lain supaya tidak terlihat perbedaan antara siswa yang mampu dan kurang mampu, melalui penampilannya.

Sebaliknya, jika dilihat dari sejarah, pemakaian seragam sekolah ini dimulai pada abad ke-16, diberlakukan untuk sekolah rakyat kalangan bawah di Inggris, dengan tujuan membedakan murid sekolah gratis dengan sekolah kalangan atas yang berbayar.

Pertanyaan ini menggelitik saya. Seperti halnya alasan seragam sekolah ini, mungkinkah sejak awal bersekolah, kita secara tidak sadar telah diajarkan untuk selalu sama dengan orang lain? Untuk terpaksa seragam, diharuskan sama dengan orang lain? Seragam? Sama?

Mengapa kita bukannya diajarkan menerima perbedaan sejak awal? Bahwa penampilan itu tak harus sama, status sosial tak harus ditutupi, bahwa memang hidup itu adalah perbedaan dan keanekaragaman, dan itulah yang harus bisa kita terima dan hadapi. Mungkinkah hal ini ada hubungannya dengan kondisi yang marak akhir-akhir ini, seperti sikap rasisme yang memaksakan persamaan, dan menimbulkan rasa permusuhan pada pihak yang dianggap berbeda?

Anak saya yang bersekolah di sekolah swasta, pernah bercerita tentang temannya yang harta orangtuanya berlimpah-limpah. Dia sempat membandingkan dirinya dengan temannya itu. Jawaban saya simpel saja: Kamu anak Mama, bukan anak Mama temanmu. Terimalah kenyataan perbedaan itu (Sejak itu anak saya tidak lagi membanding-bandingkan diri dengan orang lain).

Pertanyaan saya berikutnya adalah, kenapa kita lebih fokus mengurusi penampilan luar? Mengapa kita tidak lebih fokus pada mental daripada lahiriah. Di sebuah sekolah bergengsi di Jawa, muridnya bebas bergaya apa saja, tapi mereka adalah murid-murid unggulan dan berprestasi, juga berdisiplin tinggi.

Bukankah pendidikan moral lebih penting dari sekedar harus mengenakan sepatu warna hitam seragam? Rambut awut-awutan tapi disiplin dan berprestasi lebih baik daripada kelimis, tukang bully dan tidak bisa bertoleransi?

Menurut saya, takkan terhindarkan, sekalipun diberi seragam tetap saja seseorang bisa menonjolkan kelas ekonominya, misal dengan mobil jemputan mewah, tas, aksesori, dan lainnya. Jadi seragam semata tak selalu bisa mencegah kecemburuan sosial, bukan?

Ini hanya pikiran saya. Intinya bukan soal seragam. Bukankah lebih baik sejak dini ditanamkan bahwa perbedaan (kelas sosial, ras, agama, budaya, dll) itu memang ada dan kita harus bisa menerimanya? Kita harus bisa toleransi dan tenggang rasa dalam segala perbedaan itu. Alih-alih mencoba memaksa menyamakan atau menyeragamkan hanya dengan melalui pakaian, bukankah lebih baik berfokus pada moralnya, menerima bahwa kita semua memang berbeda, rambut di kepala boleh sama tapi warna rambut pun ada yang berbeda, kan?

Marilah terima kenyataan, bahwa kita memang berbeda. Warna rambut pun tak selalu sama!

Seperti pelangi, perbedaan itu indah. Kita tak harus selalu sama. Yang paling indah adalah ketika kita bisa hidup berdampingan dengan damai dalam segala perbedaan kita.

-*-

Foto: Pixabay