Tag Archives: pengorbanan

Kado Natalmu, Mewakili Isi Hatimu

Film lama, Little House on the Prairie adalah sebuah tayangan serial drama televisi Amerika, tentang keluarga Ingalls yang tinggal di sebuah pertanian di Minnesota, pada tahun 1870an.

Dalam sebuah seri dalam film Little House on the Prairie, ada sebuah kisah yang mengharukan buat saya.

Menjelang natal, keluarga Ingalls sibuk.
Mary, mendadak sibuk dengan waktu di luar rumah, untuk membantu seorang ibu tukang jahit yang sudah tua, tanpa bayaran, katanya untuk menambah pengetahuan. Belakangan ketahuan, rupanya diam-diam Mary belajar menjahit kemeja untuk hadiah natal ayahnya.

Diam-diam, Laura menjual kuda poni-nya untuk membeli kompor masak untuk ibunya. Laura menukar kudanya dengan kompor di toko ayah Nellie, Mister Nels. Nellie menginginkan kuda itu untuk hadiah natalnya.

Kompor masak besar itu dibungkus dan dikirim dengan paket besar ke rumah keluarga Ingalls malam hari sebelum Natal, dan dengan ketentuan, karena sebagai kejutan, tak boleh dibuka hingga besok paginya, di pagi hari Natal. Anak-anak sangat penasaran. Itu kado siapa, untuk siapa, dan isinya apa. Tapi tak seorangpun boleh membukanya.

Tak hanya anak-anak, rupanya ibunya, Caroline juga penasaran, tidak sabar, malamnya sampai tidak bisa tidur, ingin tahu kado besar apa isinya dan dari siapa untuk siapa. Suaminya, Charles sampai tertawa, berkata: Kamu lebih-lebih daripada anak-anak rasa penasarannya.

Yang tak diduga, ketika tiba saatnya bertukar kado natal, rupanya Charles membelikan sadel untuk kuda poni Laura. Hal ini sungguh membuat sedih. Sebab Laura sudah tak lagi memiliki kudanya.

Ibunya juga rupanya sudah menyiapkan kado natal untuk bapaknya, tetapi terpaksa diam-diam menyimpannya kembali, karena sama dengan kado yang diberikan oleh Mary pada ayahnya. Kemeja yang serupa.

Yang paling megharukan adalah ketika ibu mereka, Caroline, mengetahui kado kompor untuknya. Kuda poni Laura ditukar untuk kompor besar itu.

Hati ibu mana yang takkan meleleh melihat kejutan dan pengorbanan yang luar biasa dari seorang anak, seperti itu?

Laura yang masih sekecil itu, sadar ibu mereka butuh kompor untuk memasak bagi semua anggota keluarga. Dia mengorbankan hal yang paling disukainya untuk kepentingan semua anggota keluarga.

Sangat mengharukan melihat keluarga ini berusaha memberikan hadiah terbaik untuk keluarga, orang yang mereka kasihi. Mengorbankan tenaga, usaha, dana, bahkan hal yang paling mereka cintai,

seperti kuda poni Laura. Luar biasa semangat natal dan semangat mengasihi mereka!

Semoga kita semua memiliki semangat natal yang sama, memberikan hadiah terbaik dari diri kita untuk orang yang kita kasihi, seperti Yesus, yang lahir dan mati, dan bangkit, yang telah lebih dulu memberikan teladan dengan memberikan hadiah terbaik untuk kita, yaitu: nyawaNya.

Apa kado natal anda untuk Yesus tahun ini?

*-*

Cinta Thanos

Ada adegan yang menurut saya paling sedih, ketika menonton film Avengers, Infinity War.

Yaitu adegan Gamora dengan Thanos. Ketika itu, Thanos harus menukarkan apa yang dia cintai untuk mendapatkan batu infiniti Jiwa. Mengetahui syarat itu, sejenak ada jeda.

Thanos yang selalu berhasil mendapatkan apa yang dia mau dengan segala cara, kali ini mendapatkan tantangan yang Gamora kira akan membuat Thanos gagal. Sebab monster sejahat Thanos, menurut Gamora, tak punya seseorang atau sesuatu yang dicintai dalam hidupnya, kecuali dirinya sendiri.

Ketika itu, sambil tertawa Gamora berkata:
All of my life I’ve been waiting for this moment: When you failed. You know why? Because you love nothing! No one!”

Dan saat itu airmata menetes di pipi Thanos.
Gamora tentu saja terkejut. “Really, tears?”
Masa monster jahat dan kejam itu menangis? Masa dia bisa menangis? Menangisi apa?

Lalu dia sadar bahwa Thanos menangis bukan untuk dirinya sendiri. Not for him.
Seketika Gamora sadar bahwa Thanos menangis untuk diri Gamora. Tak disangka satu-satunya yang dicintai Thanos adalah Gamora.

Gamora pun segera meronta: “No..! This isn’t love.”

Mana mungkin Thanos yang jahat itu bisa mencintai, apalagi mencintainya, anak angkatnya yang tidak tahan padanya hingga melarikan diri darinya?

Gamora tak sempat berpikir lagi, dia sudah diseret untuk dilempar ke jurang oleh Thanos. Dan Thanos melemparkan Gamora, membunuhnya, membunuh orang yang dicintainya, sambil berurai airmata.
Monster itu, membunuh anaknya sambil menangis.

Melawan hati nuraninya, untuk tetap melakukan yang jahat.

Committed to crime. Melakukan segala cara untuk mendapatkan tujuan, walau harus mengorbankan orang yang dikasihi.

Adakah kita seperti itu? Adakah Thanos dalam diri kita masing-masing?

Cintakah namanya ketika mengorbankan orang yang kita cintai untuk kepentingan diri kita? Seperti cinta Thanos.

Bukankah harusnya cinta identik dengan pengorbanan diri, seperti konsep salib, cinta adalah ketika kita mengorbankan diri untuk orang yang kita cintai?

Hidup Bersama, Perlu Pengorbanan

“Hidup bersama, perlu pengorbanan.”

Saya lupa mendengar atau membaca tulisan itu di mana. Tapi saya menyetujuinya.

Dalam sebuah perjalanan wisata ke luar negeri, seorang teman saya yang sering tur backpack bercerita. Dalam setiap rombongan, pasti ada saja anggota yang merepotkan. Anggota yang rese, trouble maker atau biang keladi masalah. Dan biasanya orang itu adalah tipe orang yang egois. Tak bisa berbagi.

Perjalanan terakhir mereka, dipelopori oleh seseorang yang sama sekali belum pernah ke luar negeri. Sebutlah namanya si Siti. Karena kebetulan dia tidak bekerja seperti yang lain, yang lain dengan senang hati membiarkan si Siti ini membuat rencana jadwal perjalanan. Tapi, sejak awal orang ini malah sudah merepotkan. Minta dibookingkan reservasi, minta dibayari dulu, bayarnya juga belum lunas sampai tiba di luar negeri, lalu dia tak membuat jadwal tur perjalanan ternyata, dan pada akhirnya hanya mau ke pergi ke tujuan wisata yang dia mau saja, padahal yang lain ingin juga tur ke tempat lainnya.

Sudah bisa diduga akhir perjalanan itu meninggalkan konflik. Tentu saja yang lain merasa kapok tak mau lagi pergi dengan Siti si egois tadi.

Yang paling membuat teman saya kesal adalah, setelah lewat beberapa hari, si Siti ini masih menagih uang lagi, dengan kata-kata kasar, mengatakan bahwa harusnya dia tidak membayar sebanyak itu, padahal waktu sebelum pulang sudah diadakan hitung-hitungan dan sudah selesai dengan damai. Jumlah yang dia tagih itu pun tak seberapa, dan setelah dicek ternyata uang itu malah tak dia keluarkan. Sepertinya dia memang bermasalah dengan keuangan.

Tapi, teman saya itu dengan rela membayar jumlah itu, demi menjaga hubungan. Dirugikan uang tak seberapa, katanya, tak masalah, asal hubungan tetap baik. Dewasa sekali sikap itu.

Teman saya itu mengatakan, dia mengambil hikmah dari hubungan pertemanan itu. Dia bilang; Wah jangankan pernikahan, pertemanan pun perlu pengorbanan ya!

Betul. Hubungan bertetangga pun, hubungan rekanan pekerjaan pun perlu pengorbanan. Dan teman saya yang lain dengan berkelakar menambahkan; Hubungan majikan dengan pembantu rumah tangga pun perlu pengorbanan majikan, yang mengurut dada mengorbankan perasaan melihat ulah PRT yang kerjanya tak becus dan hobi main ponsel terus.

Seorang teman yang ahli dalam bidang psikologi pernah mengatakan bahwa salah satu bukti kematangan pribadi seseorang atau disebut kedewasaan, adalah kemampuan berbagi dengan orang lain. Berbagi adalah salah satu bentuk dari ‘berkorban’. Kita memberi dari kepentingan diri kita demi kepentingan orang lain juga.

Untuk setiap hubungan, kita perlu siap dengan resiko dirugikan, dimanfaatkan atau disakiti. Itulah mengapa perlu kasih. Kasihlah yang membuat kita rela dengan pengorbanan itu, secara sadar mau menerima sikap yang sebenarnya tak layak kita terima. Itu menunjukkan kekuatan dan kebesaran jiwa kita.

Hidup memang penuh dengan bermacam hubungan. Tapi memang, demi kelancaran hubungan itu, setiap orang harus siap ‘mengorbankan’ sesuatu, dalam berbagai bentuk. Waktu, materi, atau perasaaan.

Jika tak siap berkorban, mungkin seperti kodok, lebih baik tinggal di bawah tempurung saja?

-*-