Tag Archives: Pancasila

Tokoh Tebuireng: Eggy Sudjana Tak Paham Sejarah

Perjalanan Parade Kebangsaan GMKI ke Jawa Timur akhirnya tiba di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, kamis (5/10) pekan lalu. Pada persinggahan kali ini, dibahas pula pernyataan kontroversial Eggy Sudjana dan berbagai topik kebangsaan lainnya.

Di sini rombongan GMKI disambut H. Lukman Hakim, Mudir bidang Pondok, Kepala Pondok Putra Ustadz Iskandar, Ustadz Ainur Rofiq, dan Ustadz Roziqi sebagai perwakilan dari Madrasah Aliyah Salafiyyah Syafi’iyyah Tebuireng.

Pada pertemuan tersebut, Alan Christian Singkali, Sekretaris Umum PP GMKI menanyakan tanggapan Pesantren Tebuireng tentang pernyataan kontroversial Eggy Sudjana yang mengatakan bahwa tidak ada ajaran selain Islam yang sesuai dengan sila pertama Pancasila.

Menanggapi pertanyaan mengenai komentar kontroversial Eggy Sudjana itu, Ustadz Ahmad Roziqi yang merupakan alumnus Universitas Al Azhar Mesir, menyampaikan bahwa orang yang mengatakan seperti itu tidak paham sejarah dan harus belajar kembali. “Bagi Pesantren Tebuireng dan NU, Indonesia dan Pancasila sudah final dan tidak bisa ditawar-tawar lagi,” ujarnya, tegas. Beliau menjelaskan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) sudah punya Pendidikan Kader Penggerak NU (PKPNU) dengan slogannya ‘NKRI harga mati! Pancasila jaya!’.

“Ketuhanan Yang Maha Esa berarti setiap agama memaknai Tuhan sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Yang satu tidak bisa memaksakan ajarannya kepada yang lainnya. Sampai sekarang kita bisa hidup rukun bersama. Itu hanya pernyataan sempalan yang tidak paham sejarah,” jelas dosen Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng itu.

Mendengar jawaban tersebut, Alan Singkali, juga mengatakan bahwa setiap agama maupun keyakinan di Indonesia mengandung nilai-nilai hidup bersama yang sudah diwarisi dari pengalaman berabad-abad. Nilai-nilai inilah yang terus menerus dihidupi oleh setiap pemeluknya dalam bergaul antar sesama anak bangsa. Sehingga seluruh tatanan nilai dalam setiap agama tertuang apik dalam satuan nafas pada setiap sila dari Pancasila itu sendiri.

Dalam perbincangan lain, Lukman Hakim mengatakan pemerintah dan masyarakat harus sadar bahwa kegaduhan negara akibat radikalisme dan isu SARA salah satunya disebabkan ketimpangan sosial dan ekonomi. Ada kepentingan elit dan kelompok yang bermain di tengah kecemasan masyarakat yang berlebihan dan ketimpangan ekonomi.

“Tugas bersama baik pesantren maupun gerakan mahasiswa seperti GMKI untuk membangun ekonomi masyarakat kecil,” ujar H. Lukman Hakim. “Toko waralaba atau toko modern semakin menjamur hingga desa-desa kecil. Akibatnya warung dan pasar tradisional masyarakat sudah semakin sepi dan tergeser. Kami berharap pemerintah dapat mengontrol munculnya fenomena tersebut, jika tidak, konflik dan kesenjangan akan semakin tajam.”

Sahat Martin Philip Sinurat, Ketua Umum Pengurus Pusat GMKI sepakat bahwa pemuda dan mahasiwa harus mengembangkan ekonomi kreatif sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan pada masyarakat yang terpinggirkan. “Pemerintah juga harus membuat kebijakan yang dapat mendukung pengembangan ekonomi masyarakat ekonomi rendah. Pemerintah harus memikirkan bagaimana agar warung dan pasar tradisional dapat berkembang dan bersaing dengan toko modern, bukannya menyerahkannya pada mekanisme pasar,” ujarnya.

Diskusi ditutup dengan pemberian cinderamata dari GMKI kepada Pesantren Tebuireng. Perwakilan GMKI kemudian diajak berziarah ke makam keluarga besar Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, yakni KH. Hasyim Ashari, KH. Wahid Hasyim dan Gus Dur.

Dalam kunjungan ke Jombang, GMKI juga disambut oleh Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jombang. Rombongan menginap di Rumah Ijo peninggalan Alm. KH. Yusuf Hasyim, yang pernah menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng.

Kunjungan ke Pesantren Tebuireng menutup rangkaian Parade Kebangsaan GMKI ke beberapa Pesantren di Jawa Timur. Sebelumnya, GMKI bersilaturahmi ke Pondok Pesatren Ngalah Pasuruan, Pondok Pesantren Al Hikam Malang, dan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.

Mahasiswa Lintas Iman: Intoleran Berarti Tak Paham Pancasila

Sebuah diskusi publik digelar di Jakarta beberapa hari lalu. Diskusi ini mempertemukan kelompok mahasiswa lintas iman, yang dihelat oleh Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia.

Diskusi bertema “Orang Muda Bicara Pancasila” itu menghadirkan sembilan pembicara yang merupakan pimpinan organisasi mahasiswa Kelompok Cipayung Plus lintas generasi.

Noer Fajriansyah, Ketum PB HMI 2010-2012 mengatakan, Pancasila itu sejalan dengan agama. Kalau masih ada orang yang mempersoalkan toleransi di Indonesia saat ini, berarti mereka belum memahami arti dari Pancasila. Perlu adanya evaluasi di bidang pendidikan terkait Pancasila sebagaimana dahulunya ada penataran P4.

Addin Jauharudin, Ketua Umum PB PMII 2011-2014 mengatakan, bangsa ini bisa berdiri sampai saat ini karena adanya pemahaman dan pengakuan terhadap Pancasila. Bahkan hal itu dilakukan oleh organisasi mahasiswa seperti dalam kelompok Cipayung. Seberapa kuat organisasi ini, maka bangsa ini juga akan kuat.

“Saya melihat, terdapat tiga poin yang bakalan menguat ke depan. Pertama, adanya kelompok yang memanfaatkan situasi saat ini dalam soal-soal intoleran untuk kepentingan politik. Kedua, ada kelompok yang tidak tahu soal ini, sehingga mereka hanya mengikuti apa kata pemimpin mereka dalam wadah apapun sebagai sebuah kebenaran. Ketiga, kelompok pelajar hari ini yang mudah goyah karena bisa berubah akibat sedang berada pada fase mencari identitas. Maka untuk mengatasi persoalan ini, Kelompok Cipayung harus menjadi yang terdepan dalam memproduksi gagasan kebangsaan,” sambung Addin.

Jihadul Mubarok, Ketum DPP IMM 2012-2014 mengatakan, NKRI itu harga mati bagi Muhammadiyah. Perlu ditanamkan rasa optimis dalam bernegara. Hasil penelitian membuktikan bahwa kelompok yang ingin merdeka dalam negara ini populasinya kecil, sementara penelitian lain mengungkapkan bahwa 65% masyarakat Indonesia tidak mau mengubah Pancasila sebagai ideologi negara.

Tweedy Noviadi, Ketum PP GMNI 2011-2013, 2013-2015 mengatakan, Pancasila adalah wadah pemersatu dan Pancasila harus dioperasionalkan dan merupakan sumber semua aturan yang berlaku di Indonesia. Tidak boleh ada aturan yang bertentangan dengan Pancasila. Nilai – nilai Pancasila juga harus menjadi etos kerja pemerintah dan masyarakat.

I Made Bawa Yasa, Presidium Pusat KMHDI 2012-2014 mengatakan, Bhineka Tunggal Ika yang ada dalam cengkraman burung Garuda adalah sesuatu yang sudah final. Tetapi akhir-akhir ini ada sekelompok orang yang berusaha menggoyahkannya. Ini konstruksi pikir yang sangat keliru.

“Pertemuan seperti ini penting dan harus kita galakkan dalam masyarakat sebagai sebuah pendidikan. Mengajak masyarakat untuk berpikir jernih dalam memandang bangsa sebagai negara Pancasila,” ungkap Made.

Lidya Natalia Sartono, Ketum PP PMKRI 2013-2015 mengatakan, ideologi Pancasila harus kita tanamkan dalam masyarakat khususnya melalui ruang pendidikan. Tidak boleh menghilangkan mata pelajaran PMP, PPKN, PKN, Pendidikan Pancasila dan sebagainya.

“Dalam ruang pendidikan khususnya S1, banyak mahasiswa masih bingung tentang lahirnya Pancasila. Dari sini kita lihat perlu adanya tambahan konten dan pelajaran Pancasila dalam ruang-ruang sekolah dan kuliah,” tutur Lidya.

Suparjo, Ketum PP HIKMAHBUDHI 2014-2016 mengatakan,  menurut Russel, falsafah itu antara ideologi dan sains. Hal ini sangatlah cocok dengan Pancasila yang juga menjadi dasar hidup bersama dalam bangsa. Pancasila menjawab semua keinginan di negara ini dan tidak ada perbedaan. Tetap banyak oknum yang ingin mempermainkan Pancasila dan ingin merebut kekuasaan.

Ayub Pongrekun, Ketum PP GMKI 2014-2016 mengatakan, sangat menarik bila kita melihat proses dialetikal Soekarno sampai lahirnya Pancasila. Dari berbagai tempat di mana beliau berada seperti Bandung, Jakarta, Sumatera sampai Ende. Beragam pengalaman dan korespondensi ini memberi kontribusi berarti bagi gagasan Pancasila.

“Kekayaan kebudayaan dari dialetikal pengalaman dan korespondensi tadi memberi warna pada Pancasila sehingga Soekarno dengan lantang menolak sistem monarki, dan mengusulkan musyawarah yang tidak bertentangan dengan budaya. Pengambilan keputusan layaknya masyarakat Minangkabau, Bugis, Makassar dan atau pela gandong di Ambon dan lain-lain. Oleh karena itu harus dihayati bahwa Pancasila adalah jiwa raga Indonesia,” sambung Ayub .

Adriyana, Ketum PP KAMMI 2013-2015 mengatakan, Pancasila merupakan titik ekuilibrium dari perbedaan. Mengapa goncangan bisa terjadi saat ini atas Pancasila? Itu disebabkan karena krisis identitas. Bila kita tidak bisa bersatu dalam banyak hal karena perbedaan lahiria, maka kita tetap dapat bersatu dalam Indonesia. Perbedaan jangan kita jadikan untuk saling menjatuhkan karena kita semua bersaudara.

Sebagai penanggap, Ketua Umum PP GMKI Sahat Sinurat mengatakan, Pengurus Pusat GMKI mengadakan diskusi publik dengan tema orang muda bicara Pancasila untuk mengingatkan kita bahwa kaum muda memiliki tanggung jawab dalam memahami dan menjalankan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu para pemuda harus bersatu dan tidak boleh tersekat-sekat dengan tembok perbedaan.

“Pancasila tidak hanya menjadi jawaban atas persoalan intoleransi, namun juga berbagai persoalan lain yang masih terjadi di tengah bangsa kita seperti ketimpangan pembangunan, diskriminasi, korupsi, disintegrasi bangsa, dan lain sebagainya. Maka nilai-nilai Pancasila harus dapat diarustamakan dalam setiap sendi kehidupan bangsa,” sambung Sahat.

Penanggap selanjutnya, Taufan P Korompot, Ketua Umum DPP IMM 2016-2018 mengatakan, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945 dan NKRI harus terinternalisasi dalam diri setiap warga Indonesia. Pancasila harus dijadikan sebagai landasan nilai dari semua aspek kehidupan.

Dalam Diskusi Publik ini, semua pembicara sepakat bahwa Kelompok Cipayung Plus tetap bersinergi dan berkomitmen terhadap Pancasila dan NKRI. Oleh karena itu, Kelompok Cipayung Plus harus juga terlibat dalam penanaman ideologi Pancasila di tengah masyarakat, salah satunya di dalam Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang baru saja dibentuk pemerintah.

Jangan Amnesia! Kita Punya Pancasila

Selamat hari lahir Pancasila! Pertama kali kenal Pancasila, ketika duduk di bangku SD. Tahu sila pertama sampai kelima karena diajarkan pada pelajaran PMP alias Pendidikan Moral Pancasila. Tiap hari Senin upacara bendera, dengan khusyuk pasti menyebutkan lima sila itu.

Memang seperti indoktrinasi sih, tapi mungkin kita memang perlu diingatkan berulang-ulang soal Pancasila sebagai dasar negara ini (dasar lho dasar….artinya apapun yang kita lakukan sebagai warga negara, mestinya didasari nilai-nilai luhur ini). Ini biar enggak pada amnesia bahwa kita punya Pancasila dan enggak coba-coba ganti dasar negara dengan falsafah yang lain.

Zaman saya SD, saya harus banget menghafalkan 36 butir P4. Sekarang di SD, kayaknya sih tidak sampai harus menghafalkan 36 butir P4, ya, tapi kalau saya lihat materi pelajaran anak saya, tetap kok diajarkan tentang Pancasila dan nilai-nilai pengamalannya.

Saya suka tanya pada mahasiswa-mahasiswa saya, setelah selesai baca karya sastra: paling suka bagian yang mana? Nahhh…kalau saya ditanya, sila Pancasila mana yang paling powerful untuk kamu?

Jawaban saya: sila ke-3, Persatuan Indonesia. Karena, kalau kita benar-benar menghayati sila ini, harusnya perpecahan bangsa itu enggal akan terjadi.

Saya mungkin sok idealis banget ya, tapi menurut saya, di zaman serba tidak pasti dan penuh kecurigaan sana sini dan goncang ganjing politik begini, saya merasa, yang paling kita butuhkan itu adalah harapan.

Harapan bahwa kita bisa menjadi lebih baik, maju, damai, lebih menghormati satu dengan yang lain. Kalau belum-belum sudah pesimistis, ya akhirnya, terjadilah sesuai dengan pikiran pesimistismu. Apapun itu, menyebarkan aura negatif yang bikin enggak damai itu sungguh meresahkan.

Mungkin ada yang berpikir, “ini wall gue, ini socmed gue, terserah gue mau nulis apa.” Menurut saya, tetap enggak bisa “terserah” sih, karena meskipun “wall gue, socmed gue,” yang baca kan bukan hanya yang menulis!

Dan socmed itu sudah merupakan sebuah masyarakat, di mana para penggunanya saling berinteraksi, jadi tetap kalau bicara atau mengeluarkan pendapat atau share sesuatu, harus pakai etika.

Kalau dibilang apa yang diposting di socmed itu enggak ada hubungan dengan kepribadian yang bikin postingan tersebut, menurut saya sih tidak demikian. Sedikit banyak, postingan seseorang, berbicara mengenai kepribadian, pola pikir, cara pandang orang tersebut, meski memang tidak sepenuhnya terlihat dalam setiap postingan tersebut.

Jadi, di hari peringatan lahirnya Pancasila ini, mari kita jaga esensi keberagaman bangsa tercinta ini, yang konon katanya “Bhinneka Tunggal Ika”. Kita sudah diajarkan semboyan negeri ini kan, jadi untuk apa kita masih cari semboyan lain, atau masih mengaku berbhinneka tunggal ika dan cinta Pancasila, tapi kenyataannya malah membela sekelompok SARA tertentu dan tidak menghormati yang berbeda dengan diri kita sendiri, baik dalam hal kesukuan, agama, ras, dan golongan?

Selamat memaknai kebhinnekaan dalam hidup, keragaman dalam berbangsa, dan lima sila sebagai dasar bertutur dan bertindak! Mari jadikan apa yang orang-orang sebut sebagai utopia dan sekadar angan yang mustahil menjelma nyata, dan terus berproses semakin hari semakin mendekati kenyataan!

 

Rouli Esther Pasaribu

Penulis adalah pengajar paruh waktu di Program Pascasarja Kajian Wilayah Jepang UI.

Pancasila Dirongrong, Ini Sikap Pemuda Kristen

Di tengah upaya untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, justru muncul berbagai tindakan yang inkonsisten terhadap Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini telah meresahkan banyak kalangan, termasuk pemuda Kristen dan mahasiswa Kristen.

Beberapa tindakan inkonsisten itu terdeteksi di sejumlah kalangan. Seperti dijabarkan dalam keterangan resmi Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) dan Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPP GAMKI), di Jakarta, Selasa (30/5/2017).

1. Inkonsistensi Lembaga Negara macam lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Lembaga Negara seharusnya mampu menegakkan Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Republik Indonesia. Akan tetapi, saat ini terdapat kebijakan dan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat maupun daerah yang bertentangan dengan Pancasila. Penegakan hukum tebang pilih dan diskriminatif. Lembaga negara tidak tegas menindak oknum maupun kelompok masyarakat yang melakukan ujaran kebencian, intimidasi, mengganggu kegiatan kelompok masyarakat tertentu, bahkan tindak kekerasan. Terdapat oknum-oknum penyelenggara negara yang mengeluarkan pernyataan yang diskriminatif dan menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.

2. Partai politik dan kader partai politik

Partai politik adalah instrumen utama dalam memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Namun, saat ini sikap dan komitmen partai politik dalam menjunjung tinggi Pancasila sebagai jiwa dan raga bangsa masih dipertanyakan. Partai politik tidak menjalankan fungsinya dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila terhadap kader dan simpatisannya. Partai politik tidak melakukan kontrol terhadap kader-kadernya yang menjadi bagian dari penyelenggara negara baik di pusat maupun daerah. Terdapat oknum-oknum kader partai yang membuat pernyataan dan kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

3. Lembaga keagamaan

Lembaga keagamaan memiliki peran sentral sebagai benteng penjaga moral dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila. Akan tetapi, belakangan ini lembaga-lembaga keagamaan justru terjebak dalam eksklusifitas dan ego kepentingan agama dan kelompok masing-masing. Mimbar-mimbar lembaga keagamaan justru menjauhkan pembahasan Pancasila sebagai falsafah hidup umat beragama dan berbangsa, bahkan ada yang justru menyebarkan permusuhan terhadap kelompok yang berbeda.

4. Organisasi masyarakat

Organisasi Masyarakat (Ormas) seharusnya menjadi tempat pembinaan masyarakat dalam menghayati Pancasila sebagai falsafah hidup dan perekat keutuhan bangsa dan negara. Sayangnya, ada sebagian organisasi masyarakat yang justru mengeluarkan ujaran kebencian, intimidasi, mengganggu kegiatan kelompok masyarakat tertentu, bahkan melakukan tindakan-tindakan kekerasan karena alasan perbedaan dan mengakibatkan kegaduhan di tengah masyarakat. Terdapat juga organisasi masyarakat yang asas dan prakteknya secara terang-terangan bertentangan bahkan menolak Pancasila.

5. Lembaga Pendidikan (Sekolah dan Perguruan Tinggi)

Lembaga pendidikan seharusnya mampu mencerdaskan kehidupan bangsa dan menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila. Namun, belakangan ini lembaga pendidikan kurang mengajarkan Pancasila sebagai aliran darah dan detak jantung kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Terdapat oknum penyelenggara pendidikan yang justru mengajarkan kebencian dan permusuhan terhadap kelompok masyarakat tertentu. Di beberapa sekolah dan perguruan tinggi, paham-paham yang bertentangan dengan Pancasila justru berkembang dalam aktivitas organisasi dan kehidupan sehari-hari pelajar dan mahasiswa.

6. Polri dan TNI

Polri dan TNI adalah alat negara dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan bangsa dan negara serta menegakkan hukum yang berdasarkan Pancasila dan NKRI. Apresiasi diberikan kepada Polri dan TNI yang senantiasa berjuang untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Akan tetapi Polri dan TNI harus lebih tegas dalam melakukan tindakan terhadap pelaku yang mengancam pertahanan, keamanan dan ketertiban. Masih maraknya kasus-kasusujaran kebencian, tindakan kekerasan, intimidasi, ancaman-ancaman, ataupun gangguan kegiatan yang dilakukan kelompok tertentu yang belum ditindak dengan tegas oleh aparat yang berwewenang. Tindakan pencegahan seharusnya dapat dilakukan sebagai upaya meminimalisir dampak yang lebih besar di tengah masyarakat.

Melihat inkonsistensi di banyak sisi itu,  Pengurus Pusat GMKI dan Dewan Pimpinan Pusat GAMKI menyatakan:

1. Menegaskan bahwa empat konsensus dasar bangsa (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) dan Sumpah Pemuda (Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa) adalah final dan tidak bisa diganggu-gugat.

2. Mendesak lembaga-lembaga negara, partai politik dan kader partai politik, lembaga keagamaan, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, serta TNI dan Polri untuk konsisten dan berkomitmen menanamkan dan menegakkan Pancasila sebagai Ideologi Negara, Falsafah Hidup, dan Perekat Keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia.

3. Mendesak lembaga negara (Presiden dan DPR RI) menegaskan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan berikut sanksi administrasi dan pidana, termasuk di dalamnya melakukan revisi terhadap Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

4. Mengecam manuver politik yang dilakukan oknum pejabat dan para elit politik yang menyebabkan perpecahan di tengah masyarakat dan kami mendesak untuk segera menghentikannya. Dalam kaitan dengan itu, mahasiswa dan pemuda harus menjadi barisan terdepan dalam menjaga persatuan, perdamaian dan kerukunan masyarakat dan bangsa berdasarkan Pancasila.

5. Bila hal tersebut di atas tidak dilakukan segera, maka keruntuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila sudah di depan mata dan negara kebangsaan Indonesia sebagai hasil konsensus bersama para pendiri bangsa tinggal menjadi sejarah.

Pernyataan sikap ini ditandatangani Sahat M. P Sinurat selaku Ketua Umum PP GMKI dan Alan C. Singkali sebagai Sekretaris Umum. Juga ditandatangani Ketua Umum DPP GAMKI Michael Wattimena dan Sekretaris Umum DPP GMKI Putu B. Timothy.